Klik di sini untuk versi aslinja jang dalem bahasa Londo; berikut ini alih bahasa: Joss Wibisono

Air dalam ketel dikiranja sudah mendidih begitu terlihat busa tatkala dia memasukkan sebungkus teh tjelup ke dalamnja. Tapi dia lebih berniat beli mesin pendidih air sadja. Busa itu memang pertanda bahwa air sudah panas, tapi sebenarnja masih belum mendidih. Ia tak berani menggunakan ketel karena berisik begitu airnja mendidih. Pokoknja semua harus dilakukan supaja tidak mengganggu sang suami jang begitu keasjikan menonton sepak bola.
Tangannja gemetaran ketika mengangkat tjangkir teh di medja dapur. Dari ruang keluarga dia dengar televisi disetel begitu keras. Frank Snoeks komentator sepak bola terkenal Belanda, suara jang begitu dikenalnja. 10 menit lagi pertandingan akan berachir. Belanda unggul. Bukan lantaran dia merasa aman, tapi karena dia sudah jakin suasana akan tenang2 sadja. Tidak perlu panik, katanja pada diri sendiri, sementara mereguk teh.
Tiga menit lagi, kembali didengarnja suara Frank Snoeks, maka Oranje akan menang. Tapi dia tak bisa duduk tenang. Dia berdiri, dengan tenang dibukanja pintu lemari es. Delapan, dia menghitung botol bir di dalam. Pagi tadi ia meletakkan 20.
Waktu tambahan, kembali telinganja menangkap suara komentator. Detak djantungnja makin tjepat. Dengan tjepat pula ia memandang sekeliling. Sudahkah semuanja tertata rapi? Atau masih adakah berantakan jang tak disukai sang suami? Dapur itu sudah rapi djali. Kamar keluarga pasti lain lagi.
Didengarkan suara peluit. Kemudian sunji senjap. Suami memadamkan televisi. Dia mendengar sematjam dengungan di telinganja, menjambut djantungnja jang berdetak keras. Dan memang kesunjian itu petjah, “Sini!” suara suami dari sitje terdengar seperti badai.
Malam ini Oranje kembali turun ke lapangan. Malam ini djuga banjak perempuan akan ketakutan, persis seperti kisah di atas. Ajahku bekerdja pada het Steunpunt Huiselijk Geweld alias Lembaga Bantuan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Groningen, Belanda utara. Padaku ia bertutur tentang meningkatnja kekerasan selama kedjuaraan Piala Dunia. Kalau Belanda kalah djumlah laporan kasus KDRT jang masuk pada lembaga resmi meningkat sampai hampir 40 persen. Bahkan kalau Oranje menang, kata ajah, KDRT tetap akan meningkat dengan lebih dari seperempat.
Aku njaris tak pertjaja. Kalau Belanda menang bukankah kita semua senang? Kenapa suami harus memukul istrinja? Atau istri memukul suami atau anaknja. Jang terachir ini djuga terdjadi. Gara2 minuman, kata ajah. Tegang selama pertandingan. Duduk terlalu dekat satu sama lain. Dan itu tidak hanja terdjadi pada saat berlangsungnja pertandingan, tambah ajah. Kalau Belanda kalah, keesokan harinja KDRT masih meningkat sebanjak 11 persen.
Dia banjak membatja proses verbal polisi tentang KDRT, ajahku. Kalau bahasa polisi disisihkan, jang tersisa adalah kisah perempuan di atas. Ada perbedaan ketjil di sana sini, tapi setjara garis besar gambarannja tetap sama. Sepak bola adalah perang, kata mereka. Di atas lapangan, mungkin. Setjara kiasan. Tapi ternjata djuga di dalam banjak rumah tangga. Setjara harafiah. Tidaklah mengherankan kalau tetap ada kalangan jang berharap Oranje sudah gugur di babak terdahulu.