“Wangsa Oranje dan Monarki di Belanda” Oleh Joss Wibisono

Kalow engga demen sama edjaan Suwandi, silahken batja versi EYDnja dengen ngeklik ini

Tahun 2013 ini, ketika Belanda memperingati 200 tahun monarki, berlangsung pelantikan radja baru di negeri kintjir angin. Dua abad sudah dinasti Oranje bertahta di negeri bekas pendjadjah, tapi ternjata selalu sadja menghadapi masalah.

ADA SATU alasan menarik jang dikemukakan oleh ratu Beatrix senin malam 28 djanuari 2013 tentang mengapa dia memutuskan untuk berabdikasi, mundur dari tahta keradjaan Belanda. “Pada achir tahun ini kita akan memperingati 200 tahun silam negeri kita mendjadi sebuah keradjaan,” demikian sri baginda ratu jang sekarang sudah bergelar “putri”.

Ratu Beatrix mengumumkan rentjana abdikasinja
Ratu Beatrix mengumumkan rentjana abdikasinja

Memang begitulah: tahun ini genap 200 tahun Belanda menganut sistem monarki. Sebelum itu, misalnja pada zaman VOC, Belanda masih merupakan republik. Bekas pendjadjah ini memang aneh, seperempat abad setelah Prantjis mendjatuhkan monarki lewat revolusi Bastille 14 djuli 1789, Belanda malah merangkul radja dan membuang republik. Tapi harus diakui itu sebenarnja djuga gara2 konperensi Wina tahun 1813 jang menetapkan Belanda harus mendjadi satu keradjaan bersama Belgia dengan Willem I sebagai radjanja. Rakjat Belanda menerima keputusan ini, karena di Prantjis mereka melihat republik malah mendatangkan gedjolak. Monarki dianggap lebih mendjamin stabilitas, ketenangan, dan kesinambungan.

Perubahan itu terdjadi tepat dua abad silam. Waktu itu Belanda masih punja apa jang disebut overzeese gebiedsdelen (wilajah seberang lautan), bukan hanja di Hindia Barat (sekarang Karibia), tetapi djuga di Hindia Timur (sekarang Indonesia). Itu berarti: sampai Indonesia merdeka, setiap radja/ratu Belanda djuga bertahta di Hindia Belanda.

Dalam 200 tahun itu ternjata seorang radja Belanda selalu menghadapi dua masalah besar. Pertama kekuasaannja jang terus sadja berkurang dan kedua wilajahnja jang djuga terus menjusut. Seorang radja atau ratu Belanda selalu akan tertimpa dan karena itu harus berurusan dengan salah satunja.

Baiklah kita lihat satu per satu enam radja jang pernah berkuasa; persisnja tiga radja dan tiga ratu. Willem-Alexander jang dilantik tanggal 30 april 2013 itu merupakan radja ketudjuh.

Radja Willem I
Radja Willem I

Radja pertama, seperti disebut tadi, adalah Willem I jang berkuasa atas Belanda, Belgia dan tentunja wilajah koloni Hindia Barat maupun Hindia Timur. Tapi segera dia menghadapi dua pemberontakan. Pertama pemberontakan Belgia jang tidak sudi diperintah Den Haag. Akibatnja Belgia merdeka tahun 1830, kira2 seperti Timor Timur jang keluar dari NKRI pada 1999. Ini njaris menjebabkan Belanda bangkrut, karena waktu itu Belgia merupakan pusat industri. Kebangkrutan bisa dihindari berkat djadjahan di Nusantara.

Di Djawa sementara itu djuga petjah apa jang disebut perang Djawa (1825-1830) jang dipimpin oleh Diponegoro. Inilah pemberontakan kedua dalam masa pemerintahan Willem I. Dengan tipu muslihat Diponegoro ditangkap dan terhadap Djawa diberlakukan Tanam Paksa untuk mengisi kas negeri induk jang njaris kosong karena Belgia tjabut.

Pengambilalihan hasil pertanian dari Djawa merupakan urusan Nederlandsche Handelmaatschappij (NHM) atau perusahaan dagang Nederland jang sudah didirikan oleh Willem I tahun 1824. Dan memang NHM mendjadi besar berkat Tanam Paksa jang oleh orang Belanda selalu dihaluskan sebagai cultuurstelsel atau sistem budidaja, sehingga unsur paksaannja tidak kentara.

Kehilangan Belgia ini merupakan pukulan hebat bagi Willem I. Upajanja mengembalikan wilajah selatan tidak pernah berhasil, walaupun dia sudah melobi adikuasa Eropa dan mengerahkan pasukan ke perbatasan dengan Belgia sampai 10 tahun. Prantjis ternjata lebih suka Belgia merdeka. Dihantam trauma, Willem memutuskan abdikasi, mundur dari tahta. Itu terdjadi pada tahun 1840, seperempat abad lebih setelah dia naik tahta.

Radja Willem II
Radja Willem II

Penggantinja, Willem II, tidak menghadapi masalah wilajah. Tapi dia harus berurusan dengan UUD baru jang sangat membatasi kekuasaannja. Radja hanja merupakan kepala negara, bukan kepala kabinet, sehingga dia tidak punja wewenang politik lagi. Keputusan politik hanja urusan politisi, sebagai menteri dalam kabinet. Politisi itu pada gilirannja dipilih oleh rakjat melalui pemilu dan mereka harus merupakan anggota de Tweede Kamer, parlemen Belanda.

Willem II jang semula dikenal sangat konservatif, ternjata menerima pembatasan ini, mungkin karena dia melihat banjaknja kepala bermahkota di Eropa jang kehilangan tahta. Dia bersedia mendjadi monarki konstitusional, praktis dalam semalam karena mau dijakinkan oleh Johan Rudolph Thorbecke, penjusun UUD itu. Tapi kesehatannja lemah, dia tutup usia tahun 1849, akibat djatuh dari tangga, sembilan tahun setelah bertahta dan setahun setelah konstitusi baru.

Radja Willem III
Radja Willem III

Willem III berusaha membalik keputusan ajahnja menerima UUD baru jang menetapkan radja sebagai monarki konstitusional. Sudah sedjak diusulkan, Willem III tidak setudju dengan konstitusi baru jang dianggapnja tjuma memperketjil kekuasaan radja. Tapi upajanja tidak pernah berhasil, djuga karena dia dilihat sebagai radja paling lemah sedjauh ini. Bagi orang Belanda, 20 tahun pemerintahan Willem III tidak lebih dari perang gerilja antara radja lawan parlemen.

Ketika zaman makin modern, makin sulit menerima radja dengan kekuasaan absolut. Karena itu gagasan monarki konstitusional makin tertanam dalam tradisi politik Belanda. Prinsipnja adalah radja tidak dapat diganggu gugat, dan para menterilah jang bertanggung djawab.

Willem III digantikan oleh Wilhelmina jang tidak lagi menghadapi masalah pembatasan kekuasaan, melainkan masalah wilajah. Semula, pada zaman ajahnja, diupajakan perluasan wilayah Hindia Belanda dengan mulai menaklukkan apa jang disebut buitengewesten (wilajah luar Djawa). Atjeh jang mulai diperangi pada tahun 1873 achirnja dikuasai pada 1914. Sebelum itu Bali tunduk pada tahun 1906. Tapi djustru di bawah Wilhelmina Indonesia merdeka.

Ratu Wilhemina
Ratu Wilhemina

Akibat Perang Dunia Kedua (Belanda diduduki Nazi Djerman dan Hindia Belanda diduduki Dai Nippon), kemerdekaan Indonesia berlangsung sepihak, tanpa didahului perundingan dengan Belanda. Belanda masih berupaja merebut kembali djadjahan itu pada perang kemerdekaan jang berlangsung selama lima tahun, 1945 sampai 1949. Ketika tahu bahwa Belanda kalah dan akan kehilangan Indonesia, Wilhelmina patah arang. Dia berabdikasi tahun 1948, digantikan oleh putrinja: Juliana.

Julianalah jang menandatangani penjerahan kedaulatan (bagi kita pengakuan kedaulatan) Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 di istana de Dam, Amsterdam. Pada pidatonja terlihat betapa progresif pendirian Juliana dalam soal kemerdekaan bangsa2 terdjadjah. “Niet langer staan wij gedeeltelijk tegenover elkander, wij zijn nu naast elkaar gaan staan … onmeetbaar groot is de voldoening van een volk dat zijn vrijheid verwerkelijkt ziet.” Kira2 berarti: “Kita tidak lagi ber-hadap2an, kita sekarang sama2 berdiri berdampingan … adalah kepuasan jang tak terperikan bagi sebuah bangsa ketika melihat bahwa kemerdekaannja sekarang terwudjud”.

Ratu Juliana di antara Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Perdana Menteri Willem Drees
Ratu Juliana di antara Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Perdana Menteri Willem Drees

Dan memang di bawah Juliana Belanda masih kehilangan satu koloninja lagi: Suriname jang merdeka pada tahun 1975. Pada zaman itu pikiran kiri progresif bermekaran di Eropa, sehingga Den Haag jang berada di bawah perdana menteri Joop den Uyl pemimpin partai buruh PvdA, merasa malu masih punja koloni. Kalau Indonesia masih di-halang2i kemerdekaannja, djustru Suriname disuruh tjepat2 merdeka. Dan Juliana tidak keberatan kehilangan wilajah, walaupun ketika dilantik dia sudah bersumpah mendjaga dan memelihara wilajah negerinja.

Beatrix jang menggantikan Juliana djelas tidak menghadapi masalah wilajah lagi. Di zamannja banjak djadjahan sudah merdeka, wilajah Belanda di Karibia tidak lagi diperlakukan sebagai djadjahan, melainkan bagian keradjaan dengan pemerintahan dan parlemen sendiri. Beatrix djustru menghadapi masalah kekuasaannja, apakah dia harus tetap dalam monarki konstitusional atau monarki seremonial.

Ratu Beatrix berpidato pada kundjungan kenegaraan Djakarta 1995
Ratu Beatrix berpidato pada kundjungan kenegaraan Djakarta 1995

Selama berkuasa, 1980 sampai 2013, Beatrix selalu berperan pada pembentukan kabinet. Dia senantiasa menentukan partai2 mana jang berkoalisi membentuk pemerintahan. Peran terbesarnja terlihat pada tahun 1990an, ketika Belanda diperintah oleh kabinet ungu jang untuk pertama kalinja dalam sedjarah tidak menjertakan partai kristen demokrat CDA. Semula, partai buruh PvdA dan partai konservatif VVD sudah gagal berunding membentuk koalisi, tapi Beatrix menghendakinja, koalisi ungu itu harus ada. Maka lahirlah kabinet ungu di bawah Perdana Menteri Wim Kok jang berkuasa selama dua periode dan beranggotakan partai buruh PvdA, partai konservatif VVD serta partai demokrat D66.

Pada dua kabinet terachir, jaitu Kabinet Rutte I dan Rutte II, djustru peran Beatrix disingkirkan sama sekali oleh politisi Belanda. Mereka tidak menghendaki ratu berperan dalam pembentukan kabinet. Perundingan pembentukan koalisi berlangsung tanpa setjuilpun peran ratu. Inilah jang tampaknja menjebabkan Beatrix berkeputusan untuk berabdikasi. Ia emoh monarki seremonial.

Sekarang Belanda diperintah oleh Radja Willem-Alexander. Dalam wawantjara mendjelang penobatan dia sudah menjatakan tidak keberatan dengan monarki seremonial, radja jang tidak punja peran politik sama sekali, asal semuanja berlangsung setjara demokratis. Mungkin itulah bentuk monarki abad 21 ini, jang djelas itu sudah terdjadi di Swedia.

Radja Willem-Alexander Bersumpah
Radja Willem-Alexander Bersumpah

Achir tahun ini, di bawah radja baru, Belanda akan memperingati 200 tahun monarki. Seabad silam, nenek mojang kita di Hindia Belanda disuruh ikut merajakan 100 tahun monarki di Belanda. Tapi ada satu peristiwa besar jang waktu itu memusingkan Gubernur Djenderal Alexander Idenburg. Maklum Soewardi Soerjaningrat memprotes peringatan itu lewat pamfletnja jang berdjudul “Als ik eens Nederlander was” (seandainja sadja aku ini orang Belanda). Sebaliknja, bagi kita, itulah momentum penting dalam sedjarah nasionalisme Indonesia.

Soewardi serta pamfletnja
Soewardi serta pamfletnja

4 pemikiran pada ““Wangsa Oranje dan Monarki di Belanda” Oleh Joss Wibisono

  1. sungguh bikin tjerah, djadi tau singkat ringkesnja monarki blanda en akibatnja buwat warga nusantara jang terbilang hindia belanda itu. makasih,

  2. Watak kleine kruideniers mentaliteit bangsa Belanda memang lebih menerima monarchie konstitutioneil daripada republic. Adanya negeri Belanda dan bangsa Belanda yang berasal dari orang buangan dan pelarian dari daerah pedalaman Eropa Barat umumnya hidup sebagai pedagang apa saja yang bisa diperdagangkan dari hasil pertanian dan hasil daerah rawa estuaria sungai Rhein/Rijn dan Maas ……. mentaliteit bangsa Belanda inilah yang menghasilkan Hollands denken yang dikutuk Soekarno …….

  3. Terima kasih, Mass Joss, atas artikelnya.
    Saya menjadi lebih mengerti tentang sejarah sistem pemerintahan di Belanda.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.