Klow mau batja versi edjaan orde bau, silahken ngeklik ini.
Pengantar: Setiap tanggal 1 Djuli setjara nasional Belanda mengenang penghapusan perbudakan di wilajah koloninja. Sedjak 2002 peringatan itu berlangsung di Oosterpark Amsterdam, persisnja di Nationaal monument slavernijverleden (Monumen nasional masa lampau perbudakan). Walau begitu, menurut Reggie Baay pada surat terbukanja berikut, pada tanggal itu sebenarnja hanja sebagian penghapusan perbudakan jang diperingati.

Maret 2015 sedjarawan dan novelis Belanda Reggie Baay menerbitkan buku tentang perbudakan di Hindia Belanda berdjudul Daar werd wat gruwelijks verricht, slavernij in Nederlands-Indië (Di sana dilakukan sesuatu jang mengerikan: perbudakan di Hindia Belanda). Dalam buku terbarunja ini Reggie menguraikan bahwa sebenarnja perbudakan djuga terdjadi di Hindia Timur, tidak melulu di Hindia Barat, wilajah djadjahan Belanda lain jang mentjakup Suriname serta Antila di Kepulauan Karibia. Selama ini orang Belanda beranggapan bahwa masa lampau perbudakan mereka hanja terdjadi di sana, padahal di Timur bukan sadja ada perbudakan, tetapi perbudakan itu djuga tidak kalah kedjam dan ngerinja dengan di Barat. Jang lebih penting lagi lebih lama, walaupun sudah lebih dahulu dihentikan.
Dengan latar belakang ini Reggie Baay menulis surat terbuka jang berisi desakan supaja masa lampau perbudakan Belanda dilengkapi dengan perbudakan di Indonesia. Surat terbuka ini memang ditudjukan kepada chalajak pembatja Belanda, tetapi tetap relevan bagi kita di Indonesia. Berikut terdjemahannja.
Surat Terbuka Reggie Baay
Djuga tentang sedjarah perbudakannja sendiri, Belanda masih sadja mengidap ingatan selektif.
Hari ini, 1 Djuli 2015, negara kita memperingati penghapusan perbudakan. Untuk itu dikenang bagaimana, 152 tahun silam, perbudakan diachiri di pelbagai wilajah djadjahan Belanda. Walau begitu, jang tidak disadari orang adalah bahwa peringatan tahunan 1 Djuli ini hanjalah untuk mengenang sebagian sedjarah perbudakan Belanda, itulah perbudakan di wilajah Barat; di Suriname dan Antila. Bahwa negara kita djuga punja masa lampau perbudakan di Samudra Hindia, chususnja di wilajah koloni Hindia Timur (jang kemudian bernama Hindia Belanda), dengan banjak alasan, tidak boleh diabaikan lagi.
Sudah sedjak awal abad 17, kita djuga punja sedjarah dalam perdagangan budak dan perbudakan di Asia. Dari penelitian terbukti misalnja, bahwa baru di bawah kekuasaan VOC sadja, di Asia itu, ratusan ribu orang sudah didjadikan budak, mereka kemudian diperdjualbelikan dan digunakan sebagai budak. Dan ketika pada achir abad 18 VOC bangkrut serta kekuasaan koloni Hindia Timur djatuh ke tangan negara Belanda, maka itu sama sekali tidak berarti bahwa perdagangan budak kolonial dan perbudakan djuga ikut berachir.
Perbudakan tetap berlangsung sampai pertengahan abad 19 tatkala parlemen Belanda memutuskan untuk mengachiri perbudakan di Hindia: “Paling lambat perbudakan di seantero Hindia Belanda dihapus pada tanggal 1 Djanuari 1860”, demikian bunji keputusan itu. Djadi tiga setengah tahun lebih dahulu daripada perbudakan di Hindia Barat.
Barang siapa berpendapat bahwa mulai saat itu perbudakan di Hindia Belanda benar2 sudah berachir maka pasti dia akan merasa tertipu. Pada penghapusan tanggal 1 Djanuari 1860 itu hanja sebagian ketjil budak di Nusantara jang benar2 dibebaskan; sebagian besar, jang mentjapai puluhan ribu dan terutama dikuwasai oleh pemilik budak di luar Djawa, tetap terkungkung dalam perbudakan. Chawatir akan gedjolak politik, tapi terutama karena tahu bahwa pembebasan para budak ini akan langsung menjebabkan penurunan keuntungan kolonial bagi kas negara induk, telah membuat pelbagai pemerintahan setjara ragu2 jang berkuasa di Belanda untuk tidak benar2 mengachiri perbudakan. Ini mengakibatkan kenjataan jang mengedjutkan bahwa di bawah kekuasaan kolonial Belanda, walaupun setjara resmi perbudakan di Hindia sudah diachiri pada 1860, hal itu tetap sadja berlangsung sampai dekade pertama abad XX.

Di Belanda kita selalu kesulitan dengan sisi gelap sedjarah kita. Masalah pelik itu bahkan makin terlihat pada masa lampau di bekas wilajah koloni. Apakah tidak sangat berarti kalau masa lampau perbudakan di Hindia Belanda jang tidak njaman itu ternjata benar2 terhapus dari ingatan kolektif kita, tidak memperoleh tempat pada sedjarah nasional kita dan djuga tidak memperoleh kesempatan pada peringatan nasional bagi penghapusan perbudakan di Belanda? Kenjataan bahwa masa lampau perbudakan di Barat diperingati setjara nasional, sebenarnja djuga bukan karena kita berbesar hati untuk mengakui salah satu kegagalan kita di masa lampau itu.
Djustru sebaliknjalah jang terdjadi. Peringatan nasional penghapusan perbudakan itu merupakan hasil perdjuangan orang2 Suriname dan Antila jang patut dikagumi dan tak kenal lelah. Sebagai keturunan budak, mereka menuntut pengakuan bagi sedjarah perbudakan nenek mojang mereka.
Mengenai masa lampau perbudakan di Timur, tidak pernah ada keturunan budak jang bangkit untuk menuntut pengakuan bagi masa lampau mereka. Dan tidak perlu ditunggu bahwa kelompok seperti itu akan muntjul, alasannja mudah sadja, jaitu bahwa sebagian besar keturunan budak dari Timur tidak sadar akan masa lampau sedjarah mereka di bidang perbudakan.
Apakah dengan begitu kita semakin punja alasan untuk tidak perlu mengenang dan memperingati bagian sedjarah perbudakan kita jang satu ini? Tidak, tentu sadja tidak. Dimulai dengan jang terachir dulu: peringatan tidak hanja berarti menundjukkan hormat kepada korban dan keturunan mereka (jang sadar), tetapi djuga bertudjuan untuk tidak melupakannja, sehingga kita bisa tetap setjara kritis melihat masa lampau kita sendiri. Selain itu apakah tidak aneh kalau dalam peladjaran sedjarah kita setjara ksatria mengakui perbudakan di bekas wilajah koloni, tapi ternjata tidak disebut adanja perbudakan di Hindia Belanda? Apakah itu bukan pemalsuan sedjarah jang lajak ditampik, apalagi ketika sekarang berkat penelitian sudah tidak terbantahkan lagi bahwa keseluruhan andil Belanda dalam episode gelap sedjarah dunia ini djauh lebih besar dari jang selama ini diketahui orang? Karena pembungkaman sedjarah, seperti ditulis oleh wartawan dan pengarang Anne Lot Hoek belum lama berselang pada harian NRC-Handelsblad, adalah djuga pemalsuan sedjarah.
Sebagai penutup masih ada satu hal lagi. Satu bangsa jang dengan takut menolak untuk menatap bajangan gelap masa lampaunja dan terutama hanja membanggakan “keberhasilan” historisnja, akan mentjiptakan tjitra jang salah tentang dirinja sendiri dan dalam kebutaan itu setjara arogan djuga akan menghakimi bangsa lain. Bangsa seperti itu tidak hanja tidak bisa dipertjaja serta tidak akan memperoleh penghormatan setjara moral, tetapi djuga akan mendjadi sasaran kedjengkelan dan edjekan, terutama di atas pentas internasional. (Alih bahasa: Joss Wibisono)