“Mikul dhuwur mendhem djero à la Londo” oleh Joss Wibisono

Klow bisanja tjuman batja edjaan harto ode bau silahken ngeklik ini.

Piet de Jong telah tutup usia hari rebo 27 djuli 2016, demikian diumumkan oleh CDA, senin siang 1 agustus 2016 pada situs web partai kristen demokrat Belanda ini. Kelahiran 3 april 1915, De Jong mentjapai usia 101 tahun. Dia adalah perdana menteri Belanda dari 1967 sampai 1971, djabatan penuh pertama selama empat tahun jang dipegang oleh seorang perdana menteri Belanda setelah berachirnja Perang Dunia Kedua.

Piet de Jong di depan parlemen Belanda pada tahun 1967
Piet de Jong di depan parlemen Belanda pada tahun 1967

De Jong dikenal sebagai seorang politikus jang tidak begitu suka berpolitik. Dia memang menempuh karier sebagai militer pada angkatan laut Belanda. Pada 1959 dia ditundjuk oleh pemimpin partai katolik KVP (pendahulu CDA) sebagai menteri muda marinir. Baru saat itu dia mendjadi anggota KVP. Pada 1963 De Jong mendjabat menteri pertahanan dan achirnja, pada 1967 mendjabat perdana menteri. Itupun hanja untuk sekali masa djabatan, maklum partai katolik KVP butuh pemimpin lain.

Walau begitu Piet de Jong berhasil memerintah selama empat tahun penuh. Ini prestasi tersendiri, karena sebelum itu pelbagai kabinet Belanda, di bawah ratu Juliana jang mulai bertachta tahun 1948, selalu djatuh akibat pelbagai krisis. Tidak satu kabinetpun sesudah perang ini jang memerintah penuh selama empat tahun. Dalam periode itu, De Jong meninggalkan dua tradisi politik jang sampai sekarang masih berlaku di Belanda.

Pertama dia mengadakan pertemuan sekali seminggu dengan ratu Juliana membitjarakan perkembangan politik dan beleid pemerintahnja. Mungkin ini dilakukannja karena dia kenal pribadi dengan ratu Juliana. Maklum selama tiga tahun (dari 1955 sampai 1958) Piet de Jong pernah mendjadi adjudan sang ratu. Sedjak itu setiap perdana menteri Belanda selalu mengadakan pertemuan dengan ratu/radja sekali seminggu. Sampai sekarang, setiap hari senin perdana menteri Mark Rutte selalu bertemu dengan raja Willem-Alexander jang adalah tjutju ratu Juliana.

Kedua pada setiap hari djum’at sore, perdana menteri selalu mengadakan djumpa pers mingguan, membitjarakan pelbagai hal jang dianggap penting sebagai penutup minggu. Semula Piet de Jong mengadakan djumpa pers ini karena dia ingin melewati achir pekan jang tenang tanpa gangguan djuru tinta. Bahkan ia memilih waktu djam empat sore untuk mendjawab pertanjaan wartawan. Sedjak itu setiap perdana menteri Belanda selalu mengadakan djumpa pers pada djum’at sore. Kalau suatu saat dia berhalangan maka wakil perdana menteri jang akan menggantikannja. Itu djuga dilakukan oleh Mark Rutte, perdana menteri sekarang. Kalau dia berhalangan, misalnja karena berada ke luar negeri, maka wakil perdana menteri jaitu Lodewijk Asscher (menteri sosial/tenaga kerdja) jang akan mendjawab pertanjaan wartawan pada setiap djum’at sore.

Tampaknja tradisi ini tertjipta karena sebagai bekas komandan kapal selam, Piet de Jong ternjata berhasil melampaui pelbagai kelokan krisis jang menghantam pemerintahannja.

Salah satu krisis itu berachir dengan apa jang disebut “Excessennota” alias nota ekses, dan ini berkaitan dengan Indonesia. Tanpa peran kuntji Piet de Jong mustahil nota ini keluar dan kabinetnja bisa terus berkuasa. Menariknja dalam pelbagai obituari jang hari2 ini terbit, media massa Belanda ternjata sama sekali tidak menjinggung lagi peran kuntji De Jong ini. Hanja mingguan De Groene Amsterdammer jang melakukannja, itupun bukan dalam rangka kepergian Piet de Jong, melainkan pada tahun 2008, tatkala Excessennota digugat dan ditjertja. Inilah alasan utama mengapa publik Indonesia perlu tahu peran kuntji Piet de Jong dalam masalah nota ekses ini.

Begini tjeritanja.

Sjahdan pada 17 djanuari 1969, televisi VARA menjiarkan wawantjara dengan Joop Hueting dalam atjara Achter het Nieuws (Di balik berita). Ketika masih muda, pakar psikologi Hueting pernah ditugaskan di Indonesia sewaktu Belanda berupaja menguasai kembali bekas koloninja di masa perang kemerdekaan 1945-1949. Dalam wawantjara itu dengan djudjur dan terbuka Joop Hueting bertutur bagaimana dirinja terlibat dalam bandjir darah di Indonesia. Sekedar tjuplikan:

“Tjontoh jang selalu saja ingat adalah bahwa suatu ketika saja datang di sebuah kampung jang di tengahnja ada dua rumah. Dua pasukan Belanda jaitu seorang kopral dan seorang pradjurit masuk, si kopral menembakkan pistol mitraljurnja sampai kosong. Saja masuk dan dalam kegelapan mendjumpai 15 sampai 20 orang, perempuan, anak2 dan pria. Ketika mata saja terbiasa dalam gelap, saja lihat bagaimana darah segar muntjrat dari pembuluh nadi seorang korban, djuga saja dengar djeritan dan erangan mendjelang adjal disuarakan oleh orang2 dalam pondok itu.”

Sebenarnja penampilan televisi itu berlangsung menjusul wawantjara di harian de Volkskrant. Wawantjara itu terbit satu halaman penuh pada edisi 19 desember 1968 koran pagi ini. Tapi tak ada reaksi, mungkin karena publik Belanda ber-siap2 menjambut hari Natal dan tahun baru. Baru ketika Joop Hueting muntjul di televisi —sebuah medium baru di Belanda dan masih hitam putih— reaksi datang bak gelombang, tidak kurang djuga ketjaman.

Hueting sendiri diantjam sampai terpaksa mengungsi bersama keluarganja, mereka bersembunji di sebuah tempat terpentjil di Veluwe (Belanda tengah). Wartawan televisi VARA jang melakukan wawantjara harus mendapat pengawalan polisi. Kaum veteran jang merasa terpodjok oleh pengungkapan itu sangat marah.

Waktu itu djuga muntjul desakan dari pelbagai sudut. Pertama tentu dari opini publik jang mengetjam tindakan kedji ini. Kemudian dari parlemen, partai buruh PvdA jang beroposisi mendesak supaja dilakukan penelitian menjeluruh terhadap tuduhan kedjahatan perang di Indonesia, tentu sadja dalam bentuk pansus parlemen. Desakan ketiga muntjul dari PBB jang sedjak 1947 sudah menuduh Belanda melakukan pembunuhan massal. Belanda menjangkalnja, tapi tim PBB jang melakukan penjelidikan pada 1948 menjatakan bahwa Belanda telah sengadja berperilaku setjara kedjam. Laporan PBB ini baru dikeluarkan pemerintah tahun 1995, tatkala sudah kadaluwarsa, sehingga kedjaksaan Belanda tidak perlu berbuat apa2 lagi.

Kembali ke tahun 1969. Untuk menghadapi pelbagai tekanan, pemerintahan Perdana Menteri Piet de Jong menugaskan Komisi Keradjaan Sedjarah Nasional untuk melakukan penelitian. Komisi memutuskan hanja akan mengadakan inventarisasi dalam arsip nasional. Achirnja jang diteliti hanja kemungkinan adanja “ekses” jang dilakukan pradjurit Belanda. Perdana Menteri De Jong jang mendjabat komando kapal selam sepandjang Perang Dunia Kedua, tidak mau menggunakan kata “kedjahatan perang”.

Jang mendapat tugas melakukan invetarisasi adalah sedjarawan muda Cees Fasseur. Dengan hanja tiga bulan Fasseur jang kemudian mendjabat gurubesar sedjarah Asia Tenggara pada Univesitas Leiden hanja bisa mendaftar 110 kasus kedjahatan perang. Tapi dia tahu masih banjak jang tersisa. Laporannja, berjudul Excessennota (Nota Ekses) berhasil menghentikan keributan, walaupun kesimpulannja sempat “disesuaikan” oleh Perdana Menteri De Jong.

Nota ini dikirim kepada de Tweede Kamer, parlemen Belanda disertai surat pengantar Perdana Menteri De Jong. Isinja penjesalan terhadap beberapa ekses jang terdjadi di Indonesia. Walau begitu pemerintah tetap berpendapat bahwa selama perang kemerdekaan Indonesia pasukan Belanda telah bertindak semestinja. “Data jang terkumpul ini membuktikan bahwa tidak terdjadi kekedjaman sistematis,” demikian sang perdana menteri pada 1969 itu. Surat ini masih menjebut afair Makassar dan dinas rahasia sebagai perketjualian, karena keduanja menelan korban besar.

Parlemen menerima nota ekses dan surat pengantar itu tidak dipertanjakan lebih landjut. Malah desakan partai buruh PvdA jang beroposisi supaja dilakukan penjelidikan parlemen lewat pansus bisa dikalahkan dalam pemungutan suara. Dengan begitu selamatlah kabinet Belanda dari krisis, dan Perdana Menteri De Jong bisa bertahan sampai achir djabatannja tahun 1971.

Ketika pada 2008 masalah Rawagede dibawa ke pengadilan Belanda, kembali pers mempermasalahkan Excessennota. Mingguan De Groene Amsterdammer misalnja berhasil mewawantjarai Piet de Jong jang waktu itu sudah mentjapai 93 tahun.

Dia mengakui bahwa pada 1969 memang harus dilakukan penelitian. Pemerintahnja memilih penelitian arsip karena itu “jang terbaik”. “Sebagai orang jang semakin tua, saja alami sendiri bahwa ingatan ini tidak bisa dipertjaja. Tetapi arsip tidaklah bohong. Dan untuk itu kami minta supaja dilaksanakan oleh orang2 jang terpertjaja dan mampu melakukannja”.

Piet de Jong ketika mentjapai 100 tahun pada 2015
Piet de Jong ketika mentjapai 100 tahun pada 2015

Sekarang terbukti bahwa hasil peneltian Fasseur tidak bisa diandalkan. Lebih dari itu semua orang jang melakukan penelitian, termasuk Fasseur jang kelahiran Balikpapan, berdarah Indo. Netralitas mereka sangat dipertanjakan. Walau begitu Piet de Jong mengaku,”Tidak ada jang ingin kami sembunjikan. Memang terdjadi hal2 jang mengerikan di sana, tapi bukankah djenderal Spoor sendiri telah menghukum anak buahnja jang melakukan kesalahan?”

Di sini Piet de Jong tidak teliti dalam membatja sedjarah. Pelbagai “ekses” itu tidak akan terdjadi seandainja djenderal Simon Spoor, panglima pasukan Belanda di Indonesia, sepenuhnja bisa mengendalikan pasukannja.

Over de doden niets dan goeds, kata peribahasa Belanda. Artinja persis sama dengan pepatah Djawa “mikul dhuwur mendhem djero”, jaitu tentang mereka jang sudah meninggal hanja ada hal2 jang bagus sadja. Pasti karena itu pers Belanda tidak lagi menjinggung peran Piet de Jong dalam kasus nota ekses ini ketika hari2 ini mengenangnja dalam pelbagai obituari.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.