“Bisanja Tjumak Njebut 350 Tahun” oleh Joss Wibisono

Kalow bisanja tjuman batja veri edjaan orde bau EYD, ja silahken ngeklik ini azha:

Dalam hal kolonialisme Belanda, kita selalu menundjuk aspek durasinja jang menurut ingatan chalajak umum Indonesia berlangsung selama 350 tahun. Aspek lain jang lebih honggiam atawa gawat tidak pernah atau djarang kita tuding. Mengapa hanja menekankan lamanja pendjadjahan? Itupun jang salah lagi! Masalahnja tak ada sedjengkalpun wilajah Nusantara jang pernah didjadjah Belanda sampai tiga setengah abad. Sebenarnja lebih tepat untuk menuding aspek lain. Aspek jang mana itu?

Cornelis de Houtman tiba di Banten, Maret 1956
Cornelis de Houtman tiba di Banten, Maret 1596

Sebagai orang jang njaris, auzubillah, seperempat abad menetap di Belanda, negeri bekas pendjadjah, aku sering ditanja tentang masa lampau Belanda di Indonesia. Ada pertanjaan menarik seperti adakah bekas2 masa lampau itu terlihat di Belanda. Tapi ada pula pernjataan langsung seperti “kan Belanda sampai 350 tahun mendjadjah Indonesia?” Ini tidak terlalu menarik bagiku, nadanja djuga keminter dan menggurui.

Makanja, kalau bilangan 350 itu sampai terlontar, aku biasanja langsung terdorong usil. Niat menggoda tak tertahan lagi. Sebentar2, kataku, bener jach 350 tahun itu? Ajo kita hitung. Setudju kan kalau dibilang Belanda mulai mendjadjah Indonesia sedjak berdirinja VOC pada tahun 1602? Mungkin karena tidak tahu angka lain, jang bersangkutan biasanja setudju. Sebenarnja kalau tidak begitu buta sejarah dia bisa masih bilang 1596, ketika kakak beradik De Houtman tiba di Banten. Tapi sulit djuga menjebut tahun itu sebagai awal pendjadjahan Belanda, karena Cornelis de Houtman waktu itu tjuma melakukan pendjadjakan, Belanda belum benar2 mendjadjah kita.

Atjara berhitung berlandjut, awal pendjadjahan 1602, kalau ditambah 350 maka kita baru merdeka tahun 1952! Djadi bagaimana dengan proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengakuan Belanda pada kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949? Belum lagi kalow kita hitung pendjadjahan Djepang. Bukankah itu berlangsung selama sekitar tiga tahun dan dimulai tahun 1942? Masak Indonesia didjadjah bareng2 sama Djepang dan Belanda? Bukankah Belanda waktu itu diusir sama Djepang?

Diberondong dengan begitu banjak angka dan peristiwa, apalagi angka2 dan peristiwa2 jang masuk akal untuk membuat seseorang djadi ragu, jang bersangkutan biasanja djadi gugup. Ja pokoknja Belanda lamalah mendjadjah kita! Begitu djawaban jang terlontar, biasanja dengan nada tak berdaja njaris putus asa. Jang paling mendjengkelkan adalah mereka jang, mungkin karena merasa kedjepit, menjatakan, “Abis kamu kan udah lama di Belanda, pasti berubah, kena pengaruh mereka!”

Sebenarnja banjak sekali keburukan kolonialisme Belanda di Indonesia, dan itulah jang kupeladjari selama 25 tahun terachir. Tapi mengapa kita selalu menekankan lamanja kolonialisme jang ternjata djuga tidak benar? Bagiku itu hanja merupakan bukti betapa kita benar2 buta sedjarah, selain tentunja akibat ulah orde bau menghapus sedjarah, mereduksinja hanja sebagai angka tahun dan peristiwanja belaka. Sedjarah sebagai pendjelas masa kini jang berisi narasi perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran tetap asing bagi kita.

Pada tulisan ini ingin kusampaikan keberatan terhadap angka 350 tahun itu dan bagaimana sebaiknja kita melihat pendjadjahan Belanda serta pelbagai matjam aspek negatifnja.

««»»

Pernjataan “Belanda mendjadjah Indonesia selama 350 tahun” mengandung banjak ketidakbenaran dan salah persepsi. Per-tama2 angka 350 tahun itu sadja sudah salah. Tidak satupun wilajah Indonesia jang benar2 didjadjah selama itu. Maluku dan wilajah Banten/Djakarta sebagai markas besar VOC sadja mengalami pendjadjahan selama, maksimal, 340 tahun. (Bahkan Maluku atau Ambon baru mereka kuasai tahun 1630) Itu kalau dihitung dari 1602 sampai 1942 ketika Djepang masuk. Belanda djelas sudah tidak efektif lagi menguasai Nusantara begitu Djepang masuk pada tahun 1942.

Selain wilajah Banten/Djakarta dan Maluku, Belanda setjara bertahap menundukkan wilajah2 Nusantara, dan itu kebanjakan baru berlangsung pada abad 20, ketika kolonialismenja bertjorak Politik Etis. Memang, sisi lain Politik Etis jang bertudjuan mendidik kaum inlanders pribumi itu tidak lain adalah djuga apa jang oleh orang Belanda disebut sebagai pacificatie, gampangnja penaklukan wilajah2 luar Djawa. Atjeh misalnja baru ditaklukkan pada tahun 1904 (bahkan Belanda baru sepenuhnja berkuasa di sana pada tahun 1912), Bali tahun 1906. Dengan begitu Atjeh maksimal didjadjah Belanda selama 38 tahun dan Bali selama 36 tahun. Djangankan 350 tahun, setengah abadpun tidak pernah Belanda mendjadjah Atjeh dan Bali.

Tjoet Njak Dien wektu ditangkep Belanda Kapé Kapé
Tjoet Njak Dien wektu ditangkep Belanda Kapé Kapé

Itu artinja kita tidak bisa pukul rata bahwa seluruh wilajah Indonesia didjadjah Belanda selama 350 tahun. Kalau itu tetap kita lakukan, maka kita djuga akan keliru memahami perdjuangan orang2 Atjeh dan Bali jang sebenarnja mempertahankan wilajah2 mereka dari pendudukan Belanda. Kita djuga akan salah, misalnja, dalam memahami kepahlawanan Tjoet Njak Dien, karena dia mati2an mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Atjeh. Bukan karena Sang Tjoet Njak memberontak terhadap (pendjadjahan) Belanda. Waktu itu, sekali lagi, Atjeh belum dikuasai Belanda. Sampai achir Abad XIX Atjeh merupakan sebuah negara berdaulat, bahkan memiliki duta besar sampai ke Turki. Bukankah dengan menganggap Indonesia dikuasai Belanda selama 350 tahun berarti kita djuga beranggapan Atjeh sudah lama dikuasai Belanda, sehingga itu djuga berarti Kesultanan Atjeh dan perlawanan Tjoet Njak Dien kehilangan maknanja.

Di sini kembali terlihat betapa angka 350 tahun itu salah, tidak tepat dan tidak mempedulikan dinamika daerah jang punja gedjolak dan tokoh sendiri2. Sekarang, di zaman otonomi daerah, tidaklah aneh kalau daerah djuga menuntut pengakuan terhadap sedjarah mereka masing2. Kiranja djuga djelas bahwa kalau tadi setjara chusus disebut Atjeh atau Bali maka itu sekedar tjontoh belaka. Daerah lain pasti punja sedjarah dan dinamika sendiri2 jang sekarang tidak bisa diabaikan begitu sadja.

Di sini lagi2 terlihat kesalahan lain dalam menjebut Belanda mendjadjah Indonesia selama 350 tahun, itulah kesalahan menjebut Indonesia. Dengan menjebut begitu maka se-olah2 Indonesia sudah lama ada dan selama 350 tahun didjadjah Belanda. Kita tahu ini tidak benar. Indonesia baru diproklamasikan kelahirannja pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum itu jang ada adalah Hindia Belanda, dan sebelum itu, misalnja pada abad ke XIX, jang ada adalah Kesultanan Atjeh, Keradjaan Bone, Keradjaan Klungkung dst. Indonesia sebagai sebuah negara, sekali lagi, belum ada. Paling banter jang ada hanja wilajahnja, itupun masih punja struktur pemerintahan lain atau masih di bawah kekuasaan Belanda.

Seolah berkelit, seorang kenalan jang sudah guru besar berudjar, »Bagi mereka pendjadjahan Belanda maksimal tjuma 40 tahun? Mereka adalah pelawak paling lutju di seantero dunia. Mas, kalau dapur rumah Anda kemasukan maling, apakah Anda akan ngomong “Dapur rumah saja kemasukan maling!” Atau Anda akan ngomong “Rumah saja kemasukan maling!” Nah, tahun 1605 mereka menjerbu Ternate, Tidore, Halmahera, Jailolo, dll jang merupakan lumbung rempah2 Indonesia jang harganja mahal banget di Eropa ketika itu. Mereka monopoli dan eksploitasi ekonomi dan manusia, demi membangun keradjaan mereka hingga bisa sedjahtera seperti sekarang ini. Saja pertjaja dengan konsep Pan-Indonesia jang diraih oleh Gadjah Mada pada abad 13. Itu sudah ada konsep Pan-Indonesia. Ternate dan Tidore, meskipun ibaratnja seperti ‘dapur’ rumah kita, tapi itu sudah dimasuki Belanda si maling itu. Kalau mereka bilang mereka mendjadjah kita hanja 40 tahun, saja tahu itu hanja alasan mereka untuk tidak mau mengembalikan jang sudah mereka ambil setjara se-mena2 dari Indonesia selama 350 tahun. Mereka sudah litjik sedjak awal kan? Djadi kenapa kita pertjaja omongan mereka jang tidak lutju itu?« Demikian seorang kenalan, sang guru besar.

Dari pendapatnja terbatja betapa si pembantah bersitegang bahwa Indonesia itu sudah ada sedjak abad 15. Ternate, Tidore dan seterusnja disebutnja sebagai lumbung rempah2 Indonesia. Lebih dari itu dia djuga menganggap Madjapahit identik dengan Indonesia, menurutnja itu “Pan Indonesia jang diraih oleh Gadjah Mada”. Sulit dibantah bahwa dia memandang “Indonesianja” se-mata2 dari sudut Djawa, dia djelas bersikap Djawa sentris. Bagi orang Djawa seperti dia, Madjapahit memang identik dengan Indonesia: statis, tidak berubah lagi sedjak zaman itu, walaupun belum tentu orang2 non-Djawa setudju dengan pendapatnja. Aku chawatir pendirian sematjam ini akan membenarkan ideologi “NKRI harga mati”, jang melihat otonomi daerah tidak lebih dari separatisme dan karena itu perlu ditindak dengan kekerasan sendjata.

Dia djelas djuga sangat paranoia terhadap Belanda. Dikiranja sampai sekarang Belanda begitu litjik, membudjukku untuk berpendapat pendjadjahan Atjeh tidak sampai 40 tahun. Dia sama sekali menutup kemungkinan aku berpikiran mandiri dan, terutama dalam soal lamanja pendjadjahan, sama sekali tidak terbudjuk oleh Belanda. Sajangnja pendapat tentang Belanda ini tjuma prasangka. Kalau dia tahu bagaimana orang Belanda marah terhadap Perdana Menteri Jan Peter Balkenende ketika, di depan de Tweede Kamer (parlemen Belanda) men-dorong2 orang supaja kembali bermental VOC, pasti dia tidak akan punja pendapat seperti itu.

Perdana Menteri Balkenende di depan de Tweede Kamer, parlemen Belanda

Terus terang sadja Belanda jang rasional lebih bisa dipertjaja, walaupun sekali lagi, aku tetap punja pikiran dan pendirian mandiri dan tidak akan kubiarkan semua itu diserobot orang.

Dengan berpendapat seperti itu si kenalan djuga djelas menampilkan Belanda sebagai satu pendjadjah jang tetap sama dan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tiga setengah abad itu. Ini djelas tidak benar.

Per-tama2 jang mulai mendjadjah sebenarnja adalah sebuah perusahaan multinasional jang bernama VOC atau gampangnja Kumpeni. Selama abad XVII dan XVIII itu Belanda merupakan republik. Ketika VOC bangkrut, djadjahannja diambil alih oleh negara Belanda jang masih belum bertjorak monarki. Kemudian di Nusantara muntjul apa jang disebut interregnum (penguasaan sela) Inggris pada awal Abad XIX dengan Sir Thomas Stanford Raffles sebagai gubernur djenderal. Pada waktu itu Belanda sendiri didjadjah oleh Napoléon. Baru ketika Belanda dimerdekakan Inggris dan Prusia dari djadjahan Prantjis dan berubah mendjadi keradjaan serta Inggris mengembalikan Nusantara, Belanda, kali ini sudah djadi keradjaan, benar2 menguasai wilajah Nusantara. Itu terdjadi pada tahun 1813.

Du Bus de Gisignies, Gubernur Djenderal Hindia Belanda 1825-1830

Sebagai keradjaan, wilajah Belanda masih mentjakup Belgia. Keduanja masih satu keradjaan. Bahkan salah satu gubernur Hindia Belanda pada awal abad 19, namanja Léonard du Bus de Gisignies, adalah orang Belgia. Djangan2 ini berarti kita djuga pernah didjadjah Belgia? Pada tahun 1830 Belanda kembali mengalami perubahan karena Belgia memisahkan diri. Terantjam bangkrut oleh ulah Belgia ini dan oleh Perang Djawa, Belanda memberlakukan Tanam Paksa, Djawa terutama didjadikan sapi perahan, demi menghindari bangkrut itu. Nah, kalau hanja menjebut Belanda mendjadjah Indonesia selama 350 tahun, selain djangka waktu itu salah, pelbagai perubahan penting jang terdjadi di Belanda selama kurun waktu tiga setengah abad itu djuga akan luput dari sudut pandang kita.

Djadi bagaimana kita bisa bitjara tentang kolonialisme Belanda, tanpa perlu terdjebak dalam pelbagai kesalahan tadi? Djangan chawatir: tanpa menjebut durasinja, kita akan masih tetap bisa menuding banjak keburukan kolonialisme Belanda di Indonesia. Salah satunja, dan ini djarang sekali diungkap orang, adalah Tanam Paksa. Bahkan orang Belanda sendiri mengakui betapa Tanam Paksa itu merupakan tjaranja menjedot kekajaan dari wilajah djadjahan. Sampai2 Cees Fasseurpun, salah seorang sedjarawan konservatif Belanda, mengakui hal ini. Tulisnja, berkat apa jang disebut Indische baten (keuntungan Hindia) Belanda bisa membangun djaringan kereta api jang sampai sekarang masih dipergunakan. Demikian pula dua djalan air penting Belanda, Noordzeekanaal dan de Nieuwe Waterweg, dibangun dengan keuntungan Hindia itu.

Sampul buku Jan Breman mengenai Preangerstelsel

Anehnja, walaupun sudah mengakui keburukan Tanam Paksa, orang Belanda tetap sadja menggunakan istilah Cultuurstelsel jang adalah bahasa pedjabat pada abad XIX ketika politik memaksa petani Djawa ini dilantjarkan. Ini djuga bisa kita tudingkan pada mereka. Kalau sudah tahu buruknja, mengapa tidak menggunakan istilah Tanam Paksa sadja jang dalam bahasa Belandanja adalah gedwongen coffieteelt? Di Belanda baru Jan Breman jang menggunakan istilah ini. Pakar sosiologi pedesaan ini sekarang terlibat dalam polemik sengit dengan Cees Fasseur soal Tanam Paksa. Fasseur berpendapat, walaupun memang dirugikan, tapi petani Djawa masih sedikit memperoleh manfaat Tanam Paksa ketika hasil panen mereka didjual ke pasar internasional. Breman tidak setudju, integrasi ke pasar dunia itu menurutnja malah memiskinkan. Mengutip seorang pejabat kolonial jang mbalelo, Breman dalam buku terbarunja mengenai Tanam Paksa di Pasundan menulis bahwa petani Zeeland (Belanda tenggara) pasti tidak akan mau kalau hasil panennja didjual di bawah harga pasar. Lebih dari itu, pelbagai pembatasan lain jang diterapkan penguasa kolonial terhadap warga beberapa desa Pasundan pada abad 18 itu merupakan sematjam laboratorium untuk mengembangkan apartheid jang pada Abad XX berlaku di Afrika Selatan.

Hal lain jang bisa kita tudingkan ke hidung orang Belanda adalah kenjataan bahwa mereka tidak pernah mengakui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka pada tanggal 27 Desember 1949, ketika Den Haag menjerahkan (bagi kita mengakui) kedaulatan RIS dalam sebuah upatjara di Istana De Dam, Amsterdam. Beda lima tahun itu adalah upaja gagal mereka untuk merebut kembali Indonesia jang sudah memproklamasikan kemerdekaannja. Baru tahun 2005, pada hari ulang tahun proklamasi jang ke 60, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot hadir pada upatjara detik2 proklamasi. Sebagai menlu pertama Belanda jang hadir pada upatjara itu, dia menjatakan mengakui setjara moral proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pernjataan ini tidak tegas dan sangat mengambang. Apa maksudnja “mengakui setjara moral” itu? Mengapa tidak langsung sadja mengakui proklamasi kemerdekaan kita? Ada jang menafsirkan utjapan sematjam ini tidak lebih dari tameng untuk melindungi negara (tentu sadja negara Belanda) dari kemungkinan gugatan pengadilan jang diajukan para bekas pegawai negeri Hindia Belanda. Selama pendjadjahan Djepang misalnja pemerintah Belanda tidak menggadji mereka lagi. Padahal mereka belum dipetjat sebagai pegawai negeri. Dihalangi oleh kemungkinan2 sematjam ini Belanda pada achirnja tidak pernah bisa tegas dan djelas dalam berhubungan dengan Indonesia, bekas djadjahannja. Rasanja seperti madju kena, mundurpun kena.

««»»

NKRI harga matek, mangkaknja di Papua banjak jang matek

Melalui dua tjontoh di atas, (sebenarnja tjontoh itu masih banjak) kita diadjak untuk melek sedjarah supaja paham, sadar dan bisa menerima bahwa dalam sedjarah tidak ada hal jang statis dan tidak berubah. Indonesia baru lahir setelah Proklamasi 17 Agustus, sebelum itu Indonesia adalah Hindia Belanda, wilajah djadjahan Belanda. Tetapi selama pendjadjahan itu banjak terdjadi perubahan dan itu bukan hanja berlangsung di Hindia Belanda melainkan djuga di Belanda sendiri. Sekarang Indonesia sudah merdeka, akankah perubahan itu berhenti seperti sering kita dengar dalam slogan NKRI harga mati?

Silahkan memikirkan dan mendjawabnja sendiri. Jang djelas Timor Timur sekarang sudah djadi Timor Leste, itu karena orde baru sudah djatuh. Mungkinkah kita menghentikan perubahan?***

[Penulis adalah peneliti tamu pada Pusat Kadjian Asia Tenggara Universitas Kyoto, Djepang. Versi lain jang lebih pendekan dan dalam EYD diumumkan oleh Majalah Historia Online]

13 pemikiran pada ““Bisanja Tjumak Njebut 350 Tahun” oleh Joss Wibisono

  1. tapi mesti inget juga joss, yang pertama bikin mitos ratusan tahun itu kan belanda sendiri. gubernur jenderal de jonge ngomong ke pers tahun 1936, ‘kami sudah bekerja di hindia selama 300 tahun, maka perlu 300 tahun lagi sebelum mereka (orang hindia tentunya) mungkin siap untuk sejenis otonomi.” nah, yang aku gak begitu jelas kapan dan di mana ‘350 tahun’ itu pertama disebut. kalau mau dihitung dari datangnya si cornelis ke banten, jatuhnya juni 1946 ya. ini bukan soal setuju atau tidak dengan idenya (aku jelas tidak setuju), tapi masuk akal dari segi politik. baru aja merdeka, perlu legitimasi sejarah untuk mengklaim keberadaan republik (yang masih perang dengan belanda). belanda bilang jepang itu kejam, orang republik bilang belanda lebih kejam. kok ya pas jepang menduduki indonesia 3,5 tahun, maka keluar angka 350 tahun. ya ini urusan retorika politik memang gak ada hubungannya dengan akurasi sejarah. yang jadi masalah ketika ide itu kemudian – pinjem istilah ben – difosilisasi. dipercaya bener sebagai kebenaran yang sebener2nya. muaranya ya kita tahu: NKRI harga mati. nah, ini jadi perkara. tanah jadi lebih penting dari orang, sehingga banyak yang ribut aja perkara patok perbatasan dipindah tapi diem aja kalau tanah rakyat diserobot perusahaan sawit punya malaysia dan singapore di mana2. mereka marah timor leste ‘lepas’ tapi seumur2 gak peduli sama rakyat timor leste, malah kecenderungannya rasis.

    1. Setudju Fay. Trims atas komentarmu. Lha jach itu jang aku omongin. Mereka jang pikirannja buntet sedjarah (nerdjemahin “Historical Lobotomy” istilahnja Oom Ben), pasti mikirnja kajak gitu. Indonesia didjadjah Belanda selama 350 tahun (didjadjah Djepangnja kapan, kalow gitu?) dan kerna itu bagi mereka NKRI harga matek.

      Dalem esei di atas aku berusaha menarik garis lurus antara angka 350 tahun itu dengen NKRI harga matek. Itulah pikirannja orang jang buntet sedjarah.

  2. Setuju pada tulisan tentang “bukan 350 tahun” itu yang mengarah pada slogan “NKRI harga mati”.

    Tapi kalau diperdalam, bukan saja durasi penjajahan yang bermasalah, tapi juga penjahahan itu sendiri. Menyebut Aceh dan Bali sebagai contoh, bukan kasus, menurut saya masih dalam kerangka pembagian dua kutub perspektif Belanda, yakni Jawa (Java) dan non Jawa (Buitengewesten), pun masih dalam atmosfir bahwa Indonesia sudah ada sejak dahulu. Aceh ya Aceh, Jawa ya Jawa, Bali ya Bali. Apa maksudnya pernyataan “Indonesia baru diproklamasikan kelahirannja pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum itu jang ada adalah Hindia Belanda”? Dikemanakan negara2 berusia ratusan itu?

    Bagaimana kita melihat Siak, Pontianak, Buton (dan mungkin yang lainnya)? Di masa itu, terserah negara masing2 mau berdagang dengan siapapun. Sila lihat/unduh koleksi surat2 perjanjian dengan negara2 pada 1800-an – mungkin pernah saya share di sini (perhatikan salah satu kejuruan Langkat, misalnya, yang menyebut “I’ll make no exclusive contract with the Dutch or any other Goverment” (tentu ini dalam kerangka Inggris pada Belanda. Pada perspektif Langkat, tentu saja, ya terserah selama menguntungkan)): http://books.google.com/books?id=F43jeS4ZAFsC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false.

    Link serupa di masa2 berbeda juga bisa dicari di situs yang sama.

    Indonesia, saya yakin, bukanlah suatu entitas tunggal, yang bisa disebut sebagai musuh Belanda atau musuh Jepang dalam satu tarikan napas. Belanda kawan A, musuh B. Jepang kawan B, musuh A. Dan yang saat ini menguasai (?) panggung adalah ahli waris dari mereka yang menjadi kawan Jepang yang fasis itu.

    1. Hallo Bung TM Dhani Iqbal. Makasih banjak atas komentar Anda. Soal pendjadjahan tampaknja kita memang datang dari titik berangkat jang berbeda2. Anda datang dari titik berangkat sebelum pendjadjahan Belanda, sementara saja melihat pendjadjahan itulah sebagai titik awalnja. Karena itu Anda melihat saja menjebut Bali dan Aceh bukan sebagai kasus melainkan sebagai tjontoh. Karena itu pula Anda melihat saja menggunakan perspektif kolonial dalem melilhat Atjeh dan Bali vesus Djawa, jaitu “Java en de buitengewesten”.

      Menariknja di balik perbedaan titik awal ini, kita achirnja sampai pada titik achir jang sama, bahkan kita mentjapai kesepakatan, paling sedikit dalam dua hal. Pertama soal lamanja pendjadjahan (bagi kita memang tidak sampai 350 tahun) dan kedua soal NKRI harga mati. Kalow menurut saja djustru dua hal jang terachir inilah jang paling penting dan itu membuwat perbedaan di titik awal tidak terlalu berarti.

      Saja akan terus berupaja menulis tentang pendjadjahan Belanda dan bagaimana buruknja pendjadjahan itu. Saja harap Anda akan terus menulis tentang Nusantara pra pedjadjahan Belanda untuk, djuga seperti saja, menundjukkan buruknja pendjadjahan itu.

      Dengen begitu diharapken (oleh saja) Anda akan terus menulis dari depan (pra-pendjadjahan) dan saja dari saat pendjadjahan itu sendiri seraja menundjukkan apa sadja jang terdjadi. Tabik dan sekali lagi, terima kasih banjak atas komentar Anda jang begitu berarti dan penting.

  3. Guru besarnya lucu deh… masalahnya rumah bernama Indonesia itu belum ada sebelum 1945, dan wilayah Majapahit sendiri nggak mencakup seluruh Indonesia sekarang dan jelas itu merupakan entitas yang jauh berbeda dari entitas Republik Indonesia. Lagi pula analogi dapur itu kurang tepat untuk diterapkan dalam konteks historis. Apakah hanya karena (sebagai pembanding) Afrika Selatan dijajah Inggris, lantas seluruh Afrika dijajah Inggris hanya karena “dapurnya” Afrika dimasuki Inggris? Tidak, karena, rumah bernama “Republik Afrika” belum ada bahkan sampai sekarang.

    1. Bener banget Jessica. Tapi bliow bukan guru besarku kok. Bliow adalah temanku azha. Aku tidak pernah beladjar pada bliow. Mangkaknja pikiranku lain kan dari pikiran bliow. Aku lebih tjotjok sama pikiranmu. Trims jach atas komentarmu, sorri baru sekarang didjawab, kerna baru sekarang dilihat dan dibatja. Tabik.

  4. Informasi yang sangat menarik dan memberikan wawasan baru mengenai sejarah Indonesia. Tetapi saya ingin mengkritik penulis. Betapa dengan sangat cermat dia menulis berita-berita penting bagi kami tetapi saya tetap merasa rancu karena dia memutuskan lama berdomisili di negara yang disebutnya sebagai maling dan keburukan kolonialisme lain. Bukankah dengan begitu anda menikmati hasil penjajahan itu di negeri maling, tempat anda tinggal nyaman dengan menikmati segala fasilitasnya.

    Mungkin saya dapat memahami perasaan anda yang begitu rindu Indonesia karena telah berdomisili cukup lama di Negeri Belanda. Hal tersebut sering saya temui di kalangan mereka yang dulunya tinggal di Indonesia. Mereka sering mengutarakan betapa rindu Indonesia. Ketika saya bertanya atau mengajak mereka kembali ke Indonesia, jawaban mereka selalu sama yaitu lebih nyaman di Negeri Belanda.

    Ironis melihat anda menyebut dan menulis bahwa Belanda telah berbuat hal yang buruk kepada kita, tetapi anda menikmatinya di negeri sana. Jadi apakah anda menyebut diri anda sebagai nasionalis atau hanya sebagai salah satu orang yang rindu berada di Indonesia.

    Mohon maaf jika komentar saya tidak berkenan. Salam hormat dari saya, cucu Pejuang 45 dan pernah tinggal di Negeri Belanda.

    1. Hallo Independent (anda ini pria atow perempuan jach?)

      Trims atas komentar anda. Maaf saja edit sedikit supaja lebih gampang dibatjanja.

      Kalow saja lama tinggal di Londo, itu bukan lantaran saja tidak nasionalis lho jach. Nasionalisme sama sekali tida ada kaitan sama di mana seseorang berada. Lagian, buwat saja ngapain djadi nasionalis kalow achirnja tjuman mengorbankan orang2 di Timor Leste atow di Atjeh atow di Papua sampé sekarang. Saja di Londo memang seperti jang anda bilang menikmatin hasilnja Londo mengeruk kekajaan dari Nusantara (bukan Indonesia, kerna itu wektu Indonesiai misih belon lahir). Lha kan lebih baek ikutan menikmatin ketimbang dibiarken Londonja menikmatin sendirian terus.

      Kalow anda sech pasti nasionalis jach, beda djuwauh dari saja. Mangkaknja anda balik ke Indonesia, kan?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.