Historiografi Indonesia jang timpang kembali djelas terlihat pada kasus dua saudara sepupu Noto Soeroto dan Soewardi Suryaningrat. Soewardi jang kemudian ganti nama mendjadi Ki Hadjar Dewantara dikenal luas sebagai pahlawan dan bapak pendidikan nasional Indonesia. Saudara sepupunja, Noto Soeroto, tjuma segelintir jang tahu. Padahal keduanja muntjul serempak dalam sedjarah Belanda. Betapa sedjarah bekas penguasa kolonial itu lebih lengkap dan anehnja orang Indonesia djuga tidak merasa risi.
Pernah dengar nama Noto Soeroto? Tidak apa2 kalau tidak pernah, karena memang sekarang sosok ini sudah tidak dikenal orang lagi. Dulu, pada zaman pra-kemerdekaan, mungkin masih ada jang pernah dengar namanja. Itupun bisa djadi tjuma segelintir belaka, maklum, prijaji Pakualaman ini menghabiskan 25 tahun hidupnja di Negeri Belanda. Pada tahun 1932, djadi sebelum Djepang masuk dan pada saat Hindia Belanda (Indonesia waktu itu) kena resesi dunia, baru Noto Soeroto pulang kampung.
Keturunan Pakualaman lain jang kita kenal, tak pelak lagi, adalah Soewardi Suryaningrat jang ketika memasuki usia hampir lima windu, pada tahun 1928, mengubah namanja mendjadi Ki Hadjar Dewantara. Noto Soeroto memang sekakek dengan Soewardi Suryaningrat, itulah Pakoe Alam V jang bertahta dari tahun 1878 sampai 1900.
Noto Soeroto gagal menjelesaikan studi hukum di Leiden, Soewardi djuga tidak berhasil menjelesaikan studi dokter Djawa, pada STOVIA di Batavia. Ini menarik, karena sebenarnja di zaman kolonial dulu kalangan ningratlah jang memperoleh semua fasilitas pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Sama seperti Noto Soeroto, Soewardi djuga pernah menetap di Belanda, walaupun karena diasingkan dan itu bukan seperempat abad tapi “tjuma” enam tahun, dari 1913 sampai 1919.

Mungkin sampai di situ sadjalah persamaan Noto Soeroto dengan Soewardi Suryaningrat. Selandjutnja perdjalanan hidup dua saudara sepupu ini begitu berbeda, seperti langit dengan bumi. Jang djelas, kalau Soewardi mendapat gelar pahlawan nasional dan hari lahirnja, 2 Mei 1889, diperingati sebagai hari pendidikan nasional, maka Noto Soeroto jang setahun lebih tua katimbang Soewardi, kelahiran 5 Juni 1888, tidak dikenal orang. Ini terutama karena ada satu perbedaan paling penting di antara keduanja, itulah pendirian politik mereka.
Soewardi mendjadi pahlawan berkat perdjuangan gigihnja memerdekakan Indonesia. Noto Soeroto di lain pihak djustru berpendapat Indonesia tidak perlu langsung dan tjepat2 merdeka dari Belanda.
Sedjak ikut mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Nusantara pada tahun 1912, Soewardi sudah menekankan Indonesia harus merdeka dari Belanda, djuga dalam bidang pendidikan. Dalam mendirikan Taman Siswa misalnja, pada sebuah brosur terbitan 1935, Soewardi menegaskan bahwa “aan een volk niet zoo maar het een of andere onderwijsstelsel kan worden opgelegd, door hen, die niet tot dat volk behooren” (terhadap satu bangsa tidak dapat diterapkan sistem pendidikan oleh mereka jang bukan termasuk bangsa itu).
Sebaliknja, Noto Soeroto berpendapat djangan sampai Belanda dan Hindia (nama Indonesia waktu itu) berpisah. Persatuan Timur dengan Barat, apa jang disebutnja osmose keduanja, akan membawa keuntungan, bukan sadja bagi Belanda tetapi djuga bagi Hindia. Noto Soeroto memang menghendaki “de eendracht van Nederland en Indië” (persatuan Belanda dengan Hindia).
Dasar gagasan Noto Soeroto adalah apa jang disebutnja “de opheffing van het Javaanse volk,” kira2 berarti “pengangkatan rakjat Djawa.” Djelas Noto Soeroto lebih mementingkan rakjat dan bukan status Hindia, apakah masih djadjahan Belanda atau sudah merdeka. Baginja, apalah arti kemerdekaan kalau tidak bisa membebaskan rakjat, tidak bisa mengangkat rakjat dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Itu sama sekali tidak berarti bahwa Noto Soeroto menutup mata terhadap kolonialisme. Soal ini dia menulis: “Europeesche politiek is funest en de koloniale daarvan hatelijk” (politik Eropa buruk dan kolonialismenja patut dibentji). Hindia, menurutnja, tidak boleh hanja sebagai sapi perahan Belanda semata. Keduanja harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Itu berarti rakjat Hindia harus dididik supaja bisa sederadjat dengan Belanda, dan itu adalah tugas besar Belanda.
Berachirnja kolonialisme bagi Noto Soeroto per-tama2 bukan berarti kemerdekaan Hindia, tetapi dimulainja tugas Belanda mengangkat martabat rakjat Hindia. Semua ini harus berdjalan setjara alamiah dan bertahap, karena itu Noto Soeroto sadar: dibutuhkan waktu lama sebelum rakjat Hindia bisa benar2 sederadjat dengan rakjat Belanda.
Noto Soeroto tahu Belanda tidak akan begitu sadja melepas Hindia, karena apalah artinja Belanda, sebuah negara ketjil (sedikit lebih besar dari Djawa Tengah) di Laut Utara, kalau sampai kehilangan Zamrud Chatulistiwa? Menurutnja Belanda (dan dunia Barat umumnja) memiliki intelektualitas, sedangkan Hindia memiliki hati. Keduanja, dengan kata lain, saling membutuhkan. Untuk itu, bagi Noto Soeroto, Belanda tidak punja pilihan lain ketjuali memenuhi panggilan alam mengangkat deradjat rakjat Hindia. Kolonialisme memang harus ditinggalkan, tetapi itu bukan berarti kemerdekaan. Jang harus terdjadi adalah sematjam balas budi Belanda untuk mengangkat rakjat Hindia sampai sederadjat dengannja.
Gagasan Noto Soeroto ini mendjadi djelas dan runtut berkat biografinja jang baru terbit. Dalam Mijn aardse leven vol moeite en strijd, Raden Mas Noto Soeroto, Javaan, dichter, politicus 1888-1951 (Kehidupan Duniawiku penuh kesulitan dan perdjuangan, Raden Mas Noto Soeroto, orang Djawa, penjair dan politikus, 1888-1951, terbitan KITLV Uitgeverij, Leiden) René Karels, penulisnja, memaparkan pemikiran, karja dan riwajat hidup Noto Soeroto dengan lengkapnja.
Masuk akal belaka kalau biografi Noto Soeroto jang orang Djawa itu ditulis oleh orang Belanda seperti René Karels. Pertama, selama 25 tahun tinggal di Belanda, dari 1906 sampai 1932, prijaji Pakualaman ini menulis (hampir) semua pemikiran dan karjanja dalam bahasa Belanda. Dengan begitu, kedua, sebagian besar bahan tentang Noto Soeroto djuga tersimpan di Belanda. Masih untung kalau sekarang kabarnja ada seorang dosen UI jang tengah menulis disertasi tentang karja2 Noto Soeroto. Zaman ini sudah tidak banjak lagi orang Indonesia jang (masih) bisa berbahasa Belanda. Itu artinja pelbagai pemikiran jang berkembang pada zaman pra-Indonesia dulu, jang kebanjakan ditulis dalam bahasa Belanda, makin sulit kita djangkau.

Semula, ketika tiba di Belanda pada tahun 1906 (usia 18 tahun), Noto Soeroto berniat kuliah hukum di Leiden. Dan ia memang sempat mendjadi mahasiswa hukum sampai lulus kandidaatexamen (sematjam sardjana muda), tetapi gelar Mr (meester in de rechten, sardjana hukum) tidak pernah diraihnja. Noto Soeroto mungkin terlalu sibuk dengan pelbagai urusan lain, termasuk urusan keluarga.
Urusan lain itu antara lain adalah ikut wadjib militer Belanda selama Perang Dunia Pertama, mendjadi ketua Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia), dan membuka penerbitan/pertjetakan Hadi Poestaka. Selain itu Noto Soeroto djuga menikahi perempuan Belanda Jo Meijer, empat bulan sebelum anak pertama mereka, Rawindro, lahir.
***
Sebenarnja masih ada satu lagi persamaan Noto Soeroto dengan saudara sepupunja Soewardi Suryaningrat. Itulah kemampuan mereka berdua berbahasa Belanda dengan sempurna, lisan maupun tulisan.
Dalam surat elektroniknja René Karels menegaskan betapa dia sering kagum pada bahasa Noto Soeroto. Semua tanpa salah dan kalimat2nja djuga indah. Pidatonja ia utjapkan di luar kepala, tetapi kalimat2nja sempurna, seperti kalimat dalam bukunja. Berangkat ke Belanda pada usia muda, lafal Soeroto djuga terdengar seperti lafal orang Belanda, tak terdengar medhok Djawanja. Hal serupa djuga bisa dikatakan terhadap Soewardi. Kefasihannja berbahasa Belanda membuat Soewardi mampu berpikir bukan hanja dalam bahasa tetapi djuga dalam tjara Belanda. Kembali, persamaan keduanja hanjalah sampai di sini, karena Soewardi menggunakan kefasihan Bahasa Belandanja untuk tudjuan jang berbeda sekali dari Noto Soeroto.
Dari pelajaran sedjarah kita tahu bahwa ketika berusia 24 tahun, pada tahun 1913, Soewardi Suryaningrat menulis sebuah pamflet berdjudul “Als ik eens Nederlander was” (Seandainja sadja aku ini orang Belanda). Inilah protesnja terhadap rentjana penguasa kolonial mengadakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari pendjadjahan Prantjis Napoléon. Akibatnja Belanda marah dan Soewardi harus menghadapi Gubernur Djenderal Idenburg jang menggunakan exorbitante rechten (hak luar biasa) untuk mengasingkan orang. Idenburg memutuskan Soewardi harus ke Bangka, tetapi jang bersangkutan memilih Den Haag.
Kita tidak sepenuhnja tahu mengapa pamflet Soewardi sampai membuat penguasa kolonial begitu berang. Maklum, sampai sekarang tidak ada analisa mendalam tentangnja. Dalam historiografi Indonesia hanja ada tiga analisa terhadap pamflet ini, sajangnja ketiga2nja ditulis bukan oleh orang Indonesia.
Pertama Benedict Anderson jang menulis analisa sepintas dalam buku terkenalnja Imagined Communities, terbit tahun 1983 (diterdjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Komunitas-Komunitas Terbayang). Tekanan sardjana Irlandia ini adalah pada bangkitnja nasionalisme Indonesia sebagai gelombang terachir nasionalisme dunia. Djadi Anderson tidak melulu menganalisa pamflet ini.
Analisa kedua ditulis oleh sardjana Djepang Tsuchiya Kenji dalam bukunja Democracy and Leadership: The Rise of The Taman Siswa Movement in Indonesia (Demokrasi dan kepemimpinan: Bangkitnja Gerakan Taman Siswa di Indonesia) terbitan 1987. Berpidjak pada tradisi Djawa, Tsuchiya datang dengan analisa rumit tentang ketimpangan bahasa antara pribumi dengan penguasa kolonial. Ia luput melihat sasaran utama kritik Soewardi jaitu tembakan djitu terhadap djantung kolonialisme Belanda.
Sedangkan analisa ketiga ditulis oleh sardjana Amerika James Siegel dalam bukunja Fetish, Recognition, Revolution terbitan 1997. Siegel melihat pamflet Soewardi, terutama versi bahasa Melajoenja, sebagai awal nasionalisme Indonesia. Baginja nasionalisme kita berawal pada bahasa untuk kemudian mendjalar ke sendi2 kemasjarakatan lain. Tapi ada satu masalah dalam analisa Siegel: ia terlalu memusatkan pembahasannja pada versi bahasa Belanda pamflet Soewardi itu, padahal teori Siegel mengenai peran bahasa Melaju. Lagi pula, terdjemahan bahasa Melaju itu tidak setadjam vesi aslinja.
Satu2nja sedjarawan Indonesia spesialis dan alumnus Taman Siswa, Aburrachman Surjomihardjo, menolak menganalisa “Als ik eens Nederlander was”. Alasannja, pamflet ini sudah terlalu banjak dianalisa. Tapi kalau analisa2 itu dirudjuk, maka jang ada tjuma tulisan tidak mendalam.
“Als ik eens Nederlander was” mengandung banjak aspek, antara lain aspek politik-kolonialisme, rasisme, kritik kemasjarakatan dan aspek bahasa. Dalam soal bahasa terlihat bagaimana Soewardi menggunakan kefasihannja berbahasa Belanda untuk menghantam (kolonialisme) Belanda.
Jang djelas Soewardi tampil bukan lagi sebagai seorang pribumi melainkan orang Belanda imadjiner jang, dengan kefasihan seorang penutur asli, meng-olok2 (sesama) Belanda. Sinisme Soewardi me-luap2, walaupun tetap dalam takaran lihai dan tjerdik. Ia misalnja menulis tidak akan protes, karena, dengan hak terbatas, pribumi dilarang protes. Djustru inilah protes Soewardi! Dan ia menuangkannja dengan begitu tjerdik sehingga dia tidak perlu harus turun ke djalan berdemonstrasi, karena memang itu tidak mungkin.
Noto Soeroto menggunakan kefasihan berbahasa Belandanja bukan se-mata2 untuk urusan politik. Tapi, djangankan menghantam, dalam menulis tentang politik, ia tidak pernah memodjokkan Belanda. Selama 25 tahun menetap di Belanda, Noto Soeroto berkembang mendjadi penulis ratusan artikel dan beberapa buku serta beberapa kumpulan puisi. Ia djuga seorang penjair.

Sebagai penjair ia menulis tudjuh kumpulan puisi, semuanja dalam bahasa Belanda. Bundel2 itu berdjudul Melatiknoppen (kuntum melati), De geur van moeders haarwrong (semerbak kondé ibunda), Fluisteringen van den avondwind (bisikan angin malam), Bloeme-ketenen (rangkaian bunga), Chitra, Lotos en morgendauw (teratai dan embun pagi), Wayang liederen (tembang wajang).
Tentang tudjuh kumpulan puisi itu, René Karels mentjatat dua hal penting. Pertama, maknanja bagi sastra Belanda dan kedua, sumber2 ilham Noto Soeroto.
Kumpulan puisi Noto Soeroto membawa pembaruan dalam dunia sastra Belanda. Sebagian besar kumpulan itu berisi puisi tak bersadjak, apa jang disebut prosa puisi. Sebelum Soeroto, sebenarnja sudah ada penjair Belanda jang menulis puisi sematjam itu, tetapi dengan tudjuh bundel itu, djelas ia seolah mendobrakkan pembaruan. Apalagi dengan perumpamaan2 Djawa jang tidak dikenal dalam tradisi puisi Belanda. Bagi René Karels Noto Soeroto adalah penjair Djawa pertama jang menulis puisi dalam bahasa Belanda. Tetapi djelas Noto Soeroto adalah penjair bukan penutur asli pertama jang bersadjak dalam bahasa Belanda.
Ada dua sumber ilham puisi2 itu. Pertama adat istiadat Djawa dan kedua pudjangga India pemenang hadiah Nobel Sastra tahun 1913: Rabindranath Tagore.
René Karels menjebut Noto Soeroto ingin memperkenalkan Djawa dan budaja Djawa kepada chalajak Belanda. Puisi2nja berkisar tentang Borobudur, tentang wajang, dan hal2 jang Djawa lainnja. Ia berharap perkenalan ini bisa membuat orang Belanda menerima budaja Djawa. Tapi bukan itu sadja. Karena Noto Soeroto sebenarnja djuga ingin memanfaatkan kemadjuan Barat bagi kemadjuan Djawa, terutama kebudajaannja. Inilah gagasan utama Noto Soeroto: mentjangkokkan budaja Barat ke dalam budaja Djawa.
Ketika puisi2nja terbit, Noto Soeroto mendapat sambutan hangat kritisi Belanda. Demikian juga komponis2 Belanda jang kemudian menggubah lagu untuk puisi2 itu. Dalam bukunja, René Karels mentjatat paling sedikit ada empat komponis Belanda jang menggubah lagu atas puisi2 Soeroto. Bernard van den Sigtenhorst Meyer misalnja menggubah lagu seriosa De Boroboedoer untuk soprano dan piano. Sedangkan Linda Bandara menulis dua gubahan orkestra besar atas puisi2 Noto Soeroto. Pada tahun 1995 Sinta Wullur jang keturunan Indonesia menggubah komposisi untuk paduan suara atas sjair Noto Soeroto.

Walaupun sekarang puisi2 Noto Soeroto tidak lagi dibatja orang, tetapi melalui lagu2 jang digubah atas puisi2 itu bisa didjamin namanja tidak akan terlupakan. Pada tahun 2005, dalam CD berdjudul Angin Timur Gelumbang Barat, soprano Renate Arends dan pianis Henk Mak van Dijk, antara lain merekam lagu De Boroboedoer. Berkat Noto Soeroto, Borobudur masuk dalam chazanah lagu seriosa Belanda. Masih harus dipertanjakan adakah komponis Indonesia jang menggubah lagu atau komposisi lain tentang Borobudur.
Setelah 25 tahun menetap di Belanda, pada tahun 1932, Noto Soeroto pulang kampung. Menurut René Karels ia sangat ketjewa, rindu tanah air, tidak punja uang dan ingin mentjari dukungan di tanah air. Ia tinggalkan tiga anak dan istrinja. Kalau sudah punja uang, begitu harapannja, baru mereka bisa didatangkan ke Djawa.
Harapan ini tak pernah terpenuhi. Hindia Belanda jang waktu itu dilanda resesi dunia, makin bangun dan bergerak menudju kemerdekaan. Noto Soeroto hanja bisa bekerdja sebagai agen asuransi. Dan ia tetap berpegang teguh pada pendirian bahwa kemerdekaan Indonesia baru bisa terwudjud kalau warganja sudah berpendidikan.
Seolah mau berkonsesi, ia membawa gagasan “rijkseenheid” sematjam persemakmuran sebagai pemersatu Nederland dan Indonesia. Mungkin pendapatnja sedikit bergeser, Indonesia memang akan merdeka, tetapi harus tetap dalam persatuan dengan Belanda, di bawah dinasti Oranje. Pada saat itu Belanda wadjib memadjukan kenegaraan, perekonomian dan kemakmuran rohaniah bangsa Indonesia. Di tengah nasionalisme jang waktu itu makin militan, antara lain berkat perdjuangan Ki Hadjar Dewantara, sang saudara sepupu, djelas tidak tempat lagi bagi gagasan Noto Soeroto jang bisa disebut djalan tengah ini.
Ketika 10 tahun kemudian Djepang datang, Noto Soeroto jang sementara itu sudah mendjadi sekretaris pribadi Mangkoenegoro VII di Solo, ditahan oleh Kempetai karena dianggap terlalu dekat dengan Belanda. Di Belanda, istrinja Jo Meijer djuga ditangkap Nazi karena menjebarkan koran ilegal, ia dimasukkan ke Kamp Ravensbrück, chusus untuk kaum perempuan. Untunglah, berkat seorang bangsawan Swedia, Jo Meijer bisa selamat dari maut.
Nasib anak pertamanja, Rawi, lain lagi. Sebagai mahasiswa ia bergabung dalam perlawanan terhadap pendudukan Nazi. Tapi tertangkap dan harus mendjalani kerdja paksa di Djerman. Ketika Perang Dunia Kedua berachir, dalam keadaan sakit parah, Rawi kembali ke Belanda. Maut merenggutnja tahun 1945. Noto Soeroto sendiri meninggal dunia di Solo pada tahun 1951. Semula ia dimakamkan di makam Baron, Solo. Pada pertengahan 1980an, karena penggusuran Baron, makam Noto Soeroto dipindah ke Sonjaragi, Djogjakarta.
Dengan latar belakang ini, mungkin sudah tiba saatnja melengkapi buku sedjarah kita dengan tokoh seperti Noto Soeroto jang tidak menghendaki kemerdekaan langsung Indonesia. Kalau tidak, maka paling sedikit akan terdjadi dua keanehan atau inkonsistensi jang sangat tidak masuk akal.

Pertama historiografi kita timpang, karena hanja berisi sedjarah Soewardi Suryaningrat jang memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia setjepatnja. Sementara saudara sepupunja, Noto Soeroto, jang punja pendapat lain soal kemerdekaan, tidak masuk sedjarah. Padahal, di zaman kolonial dulu, keduanja sama2 memikirkan masa depan Indonesia.
Kedua, baik Soewardi maupun Noto Soeroto sama2 dikenal dalam sedjarah Belanda, terutama karena keduanja pernah tinggal di Belanda. Ketika itu nama kedua saudara sepupu ini sering muntjul dalam koran Belanda, apakah karena diberitakan atau karena tulisan2 mereka masing2. Noto Soeroto djelas lebih sering dan lebih banjak, karena dia lebih lama menetap di Belanda. Djuga karena tudjuh kumpulan puisinja, itulah perannja dalam (sedjarah) sastra Belanda. Aneh djadinja kalau sedjarah kita hanja mengenal Soewardi dan bukan misanannja, Noto Soeroto.
Sekarang sudah djelas bahwa dalam soal kedua saudara sepupu ini historiografi Belanda si bekas pendjadjah lebih komplit katimbang historiografi kita. Akankah kita berpangku tangan sadja?
[Versi awal tulisan ini (jang lebih pendek) pernah diumumkan setjara bersambung oleh harian Suara Merdeka terbitan Semarang, edisi 25 Djuli 2010 pada halaman 15 dan edisi 1 Agustus 2010 pada halaman 15]
Sebuah memoir mengenai tokoh-tokoh Indonesia (Jawa) yang mengembangkan pemikiran modern demi memajukan masyarakat kolonial-feodal di Nederlands-Indie. J.Wibisono dengan baik menyajikan kontroversi pemikiran antara dua sepupu cucu Paku Alam V ….. bila yang seorang diangkat sebagai pahlawan dan yang seorang lagi tidak diangkat sebagai pahlawan adalah suatu kewajaran dalam penulisan sejarah masyarakat yang tradisional pasti dikuasai oleh pemenang pertarungan di panggung kehidupan …..
Terima kasih banjak Bung Siradj atas komentar Anda. Saja sebenernja tidak terlalu mempermasalahken soal gelar kepahlawanan. Apalagi kerna Taman Makam Pahlawan kan djuga disaratin oleh kalangan jang sama sekali tidak berhak terbaring di sana. Jang saja prihatinkan adalah historiografi Indonesia. Historiografi jaitu sedjarah Indonesia ternjata tidak selengkap sedjarah Londo, si bekas pendjadjah. Historiografi Londo mengenal keduanja, baik Soewardi maupun Noto Soeroto. Tapi historiografi kita? Hanja mengenal Soewardi kan? Padahal mereka orang kita, tapi bagaimana mungkin historiografi Londo jang (bekas) pendjadjah itu lebih lengkap daripada historiografi kita?
Bung Joss, di jaman sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, negara yang terbentuk adalah negara separo sekular dan separo theis –> menghasilkan suatu masyarakat yang tidak jelas dasar ideologinya maupun model ekonominya, sehingga politik negara yang digalakkan adalah politik minta bantuan asing untuk menata dan membangun negara (ini konsep utama pemikiran para pemimpin ketika itu). Ketika Belanda melakukan agresi demi kepentingan ekonominya di Indonesia maka para pemimpin terpecah belah menjadi faksi-faksi politik yang saling mempersalahkan kebijakan politik yang diambil dalam menghadapi agresi asing dengan persenjataan modern dan bersemangat pemenang perang dunia II. Dalam usaha membangkitkan perasaan nasionalisme Indonesia dibikinlah doktrin nasionalis yang anti-kolonialisme, hususnya anti-kolonialisme Belanda –> ini berakibat terjadinya garis demarkasi Belanda-Indonesia dan bukan garis demarkasi Kolonialisme-Nasionalisme. Akibatnya adalah ketidak seimbangan dalam historiografi Indonesia terhadap pemikiran para tokoh dan pemimpin gerakan anti-kolonialisme yang memperjuangkan kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Saya sendiri yang dibesarkan oleh doktrin “nasionalisme-Islam” hingga tua tidak mampu menyeimbangkan pemahaman sejarah Indonesia secara saintifik. Hanya sesudah menguasai metodologi sains di semua aspeknya barulah bisa secara berimbang mencoba mendekonstruksi doktrin-nasionalisme masa lampau yang dicekokkan semasa muda oleh para ideolog Negara Republik Indonesia ketika itu.
Saya senang sekali membaca ini, menutup bolongnya otak saya ttg sejarah Indonesia dan para tokoh pemikirnya. Tks bung Joss, Ditunggu tulisan2 dan artikel2 bernasnya lagi. mestinya bisa masuk buku sejarah Indonesia dan jadi buku pelajaran di SD atau SMP.
Jujur sadja saya baru mendengar dan mengenal nama Noto Soeroto baru sekarang. Seingat saya Historiografi yang saya pelajari zaman SD sampai SMA tidak pernah ada nama itu. Entah itu karena saya terlalu rajin “colut” (baca: bolos) atau emang ga ada. Selain itu, minat mempelajari Historiografi baru timbul setelah masuk kuliah. Hahaha. Betapa malasnya saya dulu.
Oh ya, Kalau dibilang ini kan versi yang pendek, minta yang versi panjangnya dunk Koh. kalau boleh, kirim by email sadja ya?
Noto Soeroto punya pemahaman bahwa Belanda bertanggung jawab mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pada era 1900 itu akhirnya Belanda memberi beasiswa agar pemuda2 Indonesia tamatan HBS bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda. Mungkin era ini bisa disebut sebagai era evolusi. Berikut salah satu buku karya Harry Poeze dengan judul yang sudah diterjemahkan “Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”
http://books.google.co.id/books?id=7aEpLKpCfz8C&printsec=frontcover&source=gbs_vpt_reviews#v=onepage&q&f=false
Bung Joss, jika dia seorang pemikir Indonesia, maka pada dasarnya dia merupakan kaum intelektual. Ternyata pemikiran Noto tersebut ditolak oleh kaum nasionalis dan juga ditolak oleh orang2 Belanda. Jadi apa dampak pemikirin Noto Soeroto bagi kehidupan sosial?
Trims komentar anda Bung Boy. Aku edit sedikit jach, supaja terbatjanja lebih enak. Mentjari dampak pemikiran Soeroto djelas terlalu ditjari2, sementara sekarang pemikirannja sendiri tidak diketahui orang lagi. Tudjuwanku menulis adalah memperkenalken beragamnja pikiran tentang Indonesia pada zaman perdjuwangan dulu. Dari sini diharapken pembatja tahu bahwa tidak semwua orang Indonesia menghendaki kemerdekaan. Dan itu adalah hak mereka djuga.
Luar Biasa, bisakah dilanjutkan?
Sudah ada hlo kelandjutannja Pak Siswanto. Sudahkah membatja ini: https://gatholotjo.wordpress.com/2011/10/11/soeharto-dan-diktator2-nusantara-lain-oleh-joss-wibisono/
Adakah disertasi yang merangkum pemikiran2 antara lain Joss Wibisono, Gatholotjo, Augutine, Siswanto, Boy,Tony Laly, Erwin Santoso, Nursyahbani, Siradj? Saya bermimpi jika ada, mungkinkah hal ini menjadi mata kuliah di Jurusan Sejarah UI atau Gama. Di lain pihak Ki Hadjar Dewantara dan Noto Soeroto bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang Indonesia yang paham bahasa Belanda dengan fasih untuk meneruskan karya sastra berbahasa Belanda sebagai warisan “orang2 dulu” seperti misalnya almarhum kakek saya yang sering mensitir sajak2 Noto Soeroto. Saya pernah mendengar ada komunitas tamatan ITB (padahal orang2 teknologi) pencinta karya2 Khalil Gibran, sang penyair Libanon itu.
Appreciiate this blog post