“Djenis kelamin tuan” Oleh Joss Wibisono

Catatan pengantar: Versi sedikit lain tulisan ini diumumkan oleh MBM Tempo yang kemudian juga disalin oleh Ivan Lanin dalam blognya Rubrik Bahasa. Kolom ini ditulis antara lain untuk menjawab kalangan yang menghimbau supaya saya menulis soal sex, film, dst. Dalam blog ini digunakan ejaan yang belum disempurnakan oleh orde barunya engkong harto. Selamat membaca dan silahkan berkomentar. Kalow bisa lebih dari unjuk jempol jach. Trims banget, sebelumnya.

Ada baiknja tulisan ini diawali dengan dua larik sjair lagu Djoewita Malam, karja Ismail Marzuki [1914-1958].

Djoewita malam siapakah gerangan toean
Djoewita malam dari boelankah toean”.

Ismail Marzuki [1914-1958]
Ismail Marzuki 1914-1958
Kemudian dua larik lagi, masih karja komponis jang sama, kali ini lagu Arjati:

Dosakah hamba mimpi berkasih dengan toean
tak moengkin toean terpetik dakoe”.

Belum djelas benar kapan Ismail Marzuki mentjiptakan keduanja, mungkin pada tahun 1930an. Tapi apa arti kata “toean” pada dua lirik lagu di atas?

Sebelum mendjawabnja, berikut dikutip lagi tiga pantun Bahasa Melajoe jang berusia lebih tua katimbang lagu2 Ismail Marzuki tadi.

Constant van de Wall [1871-1945]
Constant van de Wall 1871-1945
1. Kerengga di dalam boeloeh
Serahi berisi aer mawar
Sampai mesera di dalam toeboeh
Toean s’orang djadi penawar.

2. Djika tida karna boelan
Masakan bintang timor tinggi?
Djika tida karna toean,
Masakan abang datang kemari?

3. Kaloek toean djalan dahoeloe
Tjarikan saja daoen Kambodja
Kaloek toean mati dahoeloe
nantikan saja di pintoe Soearga.

Tiga pantun di atas terhimpun dalam buku musik Maleische Liederen (Lagu2 Melajoe), karja komponis Constant van de Wall [1871-1945] jang berdarah Indo, tjampuran Indonesia Belanda. Walau pun baru terbit tahun 1913, Van de Wall sebenarnja sudah selesai menggubah lagu bagi pantun2 itu pada tahun 1906.

Sampai di sini kita tentunja mafhum bahwa kata “toean” baik pada sjair lagu2 Ismail mau pun pada pantun jang dilagukan Constant, bukan berarti lawannja njonja. “Toean” di atas berarti “Anda”, mungkin dengan sedikit unsur pudjaan. Kalau begitu bagaimana dengan “tuan” zaman sekarang jang adalah pendamping njonja? Bagaimana “tuan” bisa sampai pada makna itu?

Sampul Maleische Liederen

Dalam kata pengantar Maleische Liederen, Constant van de Wall menjebut satu nama jang menurutnja berdjasa membakukan edjaan bahasa Melajoe. Itulah Charles Adriaan van Ophuysen [1854-1917]. Katanja upaja Van Ophuysen patut diikuti, karena ia berupaja menetapkan edjaan dan itulah jang diikutinja. Anehnja, walau pun menjebut namanja, Van de Wall ternjata tidak menggunakan edjaaan Van Ophuysen jang mulai berlaku tahun 1901. Misalnja ia masih menulis kaloek dan bukan kalau; tida bukan tida’ atau tidak. Pantun2 jang dilagukannja diambil dari kumpulan puisi bahasa Melaju jang dihimpun oleh orang Prantjis Aristide Marre dalam buku Le monde poétique, revue de poésie universelle, terbitan 1894.

Djika memudji upaja Van Ophuysen, mengapa Van de Wall menggunakan karja seorang Prantjis pakar bahasa Melajoe? Bisa djadi karena sampai saat itu baru karja Marre jang ditulis dalam abdjad Latin. Maklum, pantun2 itu aslinja ditulis dalam Aksara Djawi (Arab Melajoe). Jang djelas pada karja Marre “toean” masih bermakna “anda”, makna aslinja. Wah, kalau begitu djangan2 jang dilakukan Van Ophuysen lebih dari pembakuan belaka. Djangan2 ia djuga sudah mengubah makna dengan, misalnja, memberi djenis kelamin djantan pada kata jang aslinja berdjenis kelamin netral.

Dugaan matjam begini bukan tanpa alasan. Charles Adriaan van Ophuysen adalah arsitek bahkan pentjipta bahasa Melajoe baku jang kelak mendjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melajoe seperti itu menurutnja ada di Riau, apa jang disebutnja Riouw Maleisch. Dengan pilihan ini maka tersingkirlah bahasa Melaju lain jang digunakan di mana2, karena bahasa ini sudah merupakan lingua franca di Nusantara. Kerdja Van Ophuysen djuga erat berkaitan dengan upaja Belanda melebarkan kekuasaannja ke seantero Nusantara pada awal Abad 20, selama periode Politik Etis.

Begitulah, jang disebut pembakuan memang tidak lebih dari penguasaan bahasa supaja rakjat penggunanja djuga terkuasai. Langkah Van Ophuysen sendiri djuga tidak konsisten. Ketika masih mendjabat penerus Van Ophuysen sebagai guru besar sastra Melaju pada universitas Leiden, Henk Maier mentjatat bahwa sebagai ilmuwan bahasa, Van Ophuysen sebenarnja lebih menjukai bahasa lisan orang Riau, karena lebih hidup. Tetapi ketika mendjadi pedjabat kolonial, Riouw Maleisch djustru dipilih karena, konon, banjaknja naskah dalam bahasa ini jang dianggap puntjak Bahasa Melaju.

Henk Maier

Itu berarti, demikian kesimpulan Maier, sebenarnja jang disebut Riouw Maleisch itu tidak pernah ada di dunia njata, hanja ada dalam naskah. Ini tjuma bahasa rekaan jang tidak (pernah) digunakan oleh siapa pun. Bahkan Henk Maier menjebut Riouw Maleisch sebagai “tidak lebih dari mitos politik”.

Penetapan Riouw Maleisch sebagai bahasa baku sadja sudah problematis. Bagaimana bisa mengatakan bahwa Riouw Maleisch lebih tinggi deradjatnja katimbang bahasa Melaju lain? Apa kriterianja? Djelas tidak ada, karena itu Henk Maier menulis bahwa Riouw Maleisch dipilih karena kebetulan Van Ophuysen mengadakan penelitian di wilajah Riau.

Dengan keperkasaan kekuasaan kolonial, semua inkonsistensi itu putjat pasi, tiada arti. Bahkan Riouw Maleisch diangkat mendjadi apa jang disebut beschaafd Maleisch, bahasa Melajoe tinggi, sebagai lawan laag Maleisch, bahasa Melajoe rendahan. Jang terachir ini antara lain untuk mentjibir bahasa Melaju kalangan Tionghwa, karena mereka waktu itu dianggap mendominasi dunia pertjetakan dan penerbitan.

Pembakuan bahasa menjebabkan hilangnja bahasa jang tidak dibakukan. Maka lenjaplah kemadjemukan bahasa Melaju, jang tinggal hanja satu bahasa baku dengan satu edjaan jang baku pula. Dari tiga pantun Van de Wall, paling sedikit terlihat dua kata jang sekarang sudah tidak kita ketahui lagi maknanja. Tanpa membuka kamus, siapa masih tahu makna kerengga dan serahi?

Pembakuan, tak pelak lagi, djuga mengubah makna kata. Kata “toean” bisa dilihat sebagai salah satu sasarannja. Van Ophuysen sepertinja begitu ngebet menemukan padanan mijnheer atau meneer dalam Riouw Maleisch, sehingga toean harus mendjalani dua kali operasi: ganti makna dan ganti kelamin.

Sedjak 1947 Edjaan Van Ophuysen sudah kita tinggalkan. Tetapi djelas “karja” Van Ophuysen bukanlah edjaan belaka dan itu sangat berdampak pada bahasa kita. Toean adalah salah satu tjontohnja. Kemadjemukan bermasjarakat jang sekarang begitu didambakan banjak orang, sebenarnja djuga sudah hilang begitu kemadjemukan bahasa lenjap. Dan itu berkat Van Ophuysen.

3 pemikiran pada ““Djenis kelamin tuan” Oleh Joss Wibisono

  1. Yoss, tulisanmu ini menarik, lho. Tentu banyak bacaan yang kamu pakai untuk menulisnya. Saya kira cukup penting tahun diintroduce-nya kata toean untuk kelamin laki-laki. Itu kapan dan di mana? Kalau gara2 van Ophuysen tinggal di Riau trus dengan bantuan pemkol bisa bikin ketetapan yang besar banget untuk se Nusantara ini -ya dia memang sedang beruntung luar biasa. Dan memang seperti katamu, sistem informasi penguasa waktu itulah yang tentu banyak berperan.
    Yang saya masih penasaran, kok di Malaysia jauh2 hari toean sudah disandingkan dengan poean. Kalau dari situ asalnya, ya van Ophuysen cuma nge gong i aja, kalee.. bukan dia yang bikin..

    1. Hallo Bu Wiel, trims jach atas komentarnja. Komentar pertama dalem ini blog! Saja memang sudah sempat mikir soal Malaysia, abis bahasa serumpun sech. Tapi berhubung Malaysia wektu itu didjadjah Inggris maka edjaan mereka beda djuga. Inget “Partai” sama “Party”.

      Usul Bu Wil untuk menelusur kapan wektunja bisa djuga dilakuken. Jang djelas mijnheer Van Ophuysen ini menerbitkan bukunja pada tahun 1901. Rasa2nja wektu itu di Malaysia misih blom ada tulisan dalem huruf Latin. Kebanjakan, kalow tidak semuwa, misih dalem tulisan Djawi. Lagi pula rasa2nja di Malaysia orang misih pakai kata “enchik” sak belonnja mereka achirnja berpaling pada “tuan”. Tapi sekali lagi Malaysia memang di luwar lingkup pembahasannja esei ini.

      Soal batjaan, ach enggak banjak Bu Wil. Dua artikelnja Henk Maier (bisa diklik ketika namanja tertjetak biru), terus bukunja Constant van de Wall dan bukunja Aristide Marre. Total ampat batjaan. Enggak banjak kan?

      Tapi apa Bu Wiel enggak hairan, lulusan ekonomi kajak saja kok nulisnja soal bahasa dan etimologi kata? Ini kan mengchianati idjazah sendiri? Gimana menurut Bu Wiel?

  2. Oo… jadi aslinya tidak berjenis kelamin, toh? Hahaha… ngeri juga si Ophuysen itu. Bahkan sekarang “Tuan” punya pasangan yang sewarna-bunyi: “Puan”; walau di Indonesia kita memasangkannya dengan “Nyonya”.

    Kata “Tuan” juga bertambah maknanya, tidak sekedar kelamin saja. Kita jadi mengenal kosokbali “Tuan-Budak”. Dan makna “Tuan” sebagai ‘si empunya kuasa’ ini kemudian tidak mengenal jenis kelamin. Itu mengapa masih harus dijelaskan lagi, seperti dalam frasa: “Tuan Puteri”. 🙂

    Trims, Pak Joss, buat warta sejarah-bahasanya. Saya tunggu artikel-artikel berikutnya.

    Tabik!

    Ginting

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.