“NKRI + Uni Eropa = terantjem bubar?” oleh Joss Wibisono

Catatan pengantar: versi awal tulisan ini pernah diumumken oleh harian Sinar Harapan pada tanggal 1 november 2001 dengan judul “Kita dan Balkan”. Versi berikut ditulis pada tahun 2006 untuk seorang rekan yang mau pensiun. Tapi tidak jadi, maka dari itu diumumkan di sini saja, barang tentu tidak dalem EYD.

I

PADA AWAL eseinja jang berisi pudjian kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Philip Bowring, kolumnis masalah Asia Timur dan Asia Tenggara untuk harian The International Herald Tribune, menulis sebagai berikut,

Back in the last days of Suharto, the time of the Asian crisis and the East Timor mess, there were widespread predictions – mostly by foreigners – that a country of 220 million, of diverse religions and ethnic groups spread across several time zones, would fall apart.

So far it has not. Indeed, the strength of this hard- to-define identity is reflected in a very low rate of permanent emigration.

[Terdjemahan: Dulu pada hari2 achir Soeharto, pada masa krismon dan amburadulnja Timor Timur, beredar luas ramalan – sebagian besar oleh orang asing – bahwa negara berpenduduk 220 djuta dengan keragaman agama dan suku bangsa jang tersebar dalam beberapa zona waktu ini akan berantakan.

Sampai sedjauh ini itu tidaklah terdjadi. Memang kekuatan djati dirinja jang sulit didefinisikan itu tertjermin pada begitu rendahnja emigrasi permanen]

Dari kutipan kolom berdjudul “A Cautious Path through Political Jungles” jang terbit tanggal 14 September 2006 di atas djelas bahwa kechawatiran akan bubarnja Indonesia sebenarnja sudah menghinggapi kalangan luar negeri sedjak krismon 1997. Dan menariknja lagi, pada kalangan luar negeri, kechawatiran itu sekarang sudah tersingkir atau katakanlah tidak segawat dahulu lagi.

Dili September 1999: majoritas rakjat Timtim memutuskan tjabut dari NKRI
Dili September 1999: majoritas rakjat Timtim memutuskan tjabut dari NKRI

Ini djelas bertolakbelakang dengan apa jang masih berlangsung di Indonesia. Pertama kechawatiran bubarnja Indonesia jang sering disebut sebagai bubarnja NKRI baru mulai mentjekam setelah Timor Timur tjabut dari NKRI dan itu terdjadi pada bulan September 1999, dua tahun setelah krismon 1997. Kedua, sampai sekarang kechawatiran itu tetap berketjamuk, walau pun masalah Atjeh sudah terselesaikan dan walau pun Timor Leste ternjata tidak lebih baik setelah merdeka katimbang ketika masih didjadikan propinsi termudanja Indonesia dulu. Pelbagai tulisan media massa masih sarat dengan kechawatiran bubarnja NKRI ini.

Jang terpenting adalah bahwa tulisan Philip Bowring itu lagi2 mentjerminkan begitu berbedanja pandangan orang asing terhadap Indonesia dari pandangan orang Indonesia terhadap negeri mereka sendiri. Perbedaan itu bukan sekali sadja. Perbedaan lain jang mentjolok menjangkut kalangan komunis.

Di luar negeri orang sudah lama sadar bahwa kalangan komunis adalah se-mata2 korban orde barunja harto. Pelbagai buku tentang PKI jang terbit dalam 30 tahun terachir, selalu menjebut mereka sebagai korban jang lajak dipulihkan peran historisnja, jaitu kalangan pertama jang memakai nama Indonesia dan termasuk kalangan pertama jang memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di luar negeri historiografi Indonesia sarat dengan buku2 tentang peran heroik kalangan kiri, padahal mereka sebenarnja sudah terganjang habis dalam 30 tahun lebih kekuasaan tangan besi harto.

Gus Dur sesaat setelah didjatuhkan MPR, 24 Djuli 2001
Gus Dur sesaat setelah didjatuhkan MPR, 24 Djuli 2001

Sebaliknja di dalam negeri Indonesia sendiri, djuga pada zaman bangkrutnja komunisme sehingga di dunia penganutnja sudah tinggal segelintir sadja, masih ada sadja kalangan kanan Indonesia jang bitjara tentang bahaja laten komunisme, hingga batjot mereka ber-busa2. Upaja Gus Dur jang kandas untuk mentjabut Tap MPRS Nomer XXV dan Nomer XXVI tentang pelarangan komunisme, marxisme dan leninisme djuga tidak dilandjutkan. Kedua Tap itu tetap kokoh bertahan.

Perbedaan pandangan ini djelas problematis. Kesannja orang luar tidak paham dengan apa jang berketjamuk di Indonesia dan orang Indonesia djuga tidak paham dengan apa jang terdjadi di luar negeri. Padahal sekarang sudah abad 21, zaman di mana dengan internet dan sms, kedjadian di satu bagian dunia tertentu hanja dalam hitungan detik bisa diketahui oleh orang di belahan dunia lain. Orang asing tampaknja terus melihat Indonesia sebagai sesuatu jang exotis, sementara orang Indonesia tidak djuga terganggu oleh pandangan matjam itu, bahkan tetap merasa diri sebagai planit tersendiri.

II

Tulisan ini akan dilandjutkan dengan membahas kechawatiran bubarnja NKRI (kechawatiran jang tidak kundjung padam di Indonesia) tetapi bukan dari katjamata Indonesia, melainkan dari katjamata luar negeri. Penggabungan pandangan ini dirasakan perlu bahkan mendesak, bukan hanja supaja djurang perbedaan seperti tertera di atas tidak terus menganga, tetapi djuga supaja kechawatiran tentang bubarnja NKRI bisa diteropong dari sisi internasional dengan wawasan lebih luas dari jang selama ini sudah sempat dilakukan.

III

Pelbagai tulisan tentang antjaman persatuan Indonesia, dan tulisan matjam itu sangat banjak, maklum antjamannja dirasakan sangat serius, selalu berkisar pada kondisi dalam negeri. Dalam seminggu di bulan Djuni 2006 misalnja, harian Kompas, salah satu koran berpengaruh terbitan Djakarta, menurunkan dua tulisan jang membeberkan masalah antjaman terhadap persatuan Indonesia, melulu dari sudut dalam negeri Indonesia belaka. Tulisan pertama, terbit tanggal 6 Djuni 2006 bertepatan dengan 105 tahun kelahiran Soekarno. Mendamprat para penerus Soekarno, Tjipta Lesmana dalam eseinja jang berdjudul “105 Tahun Bung Karno” antara lain menulis,

Ketika kita mengenang 105 tahun (Soekarno lahir 6 djuni 1901) kelahiran Soekarno, Indonesia sesungguhnya sedang berjalan menuju kehancuran atau disintegrasi total. Faktor pokoknya karena bangsa ini hidup dalam situasi anomali atau valueless state. Di satu sisi kita sudah meninggalkan Pancasila sebagai pandangan hidup, walau teoritis masih mengakuinya sebagai ideologi, di sisi lain nilai penggantinya belum diformalkan. Memang kita sedang bereksperimen dengan liberalisme (plus kapitalisme sebagai anak kandungnya), tetapi banyak elemen masyarakat yang menolak ideologi tersebut.

Seolah belum tjukup, empat hari kemudian, djadi pada tanggal 10 djuni 2006, harian Kompas kembali mengumumkan tulisan senada jang lagi2 se-mata2 melihat antjaman terhadap persatuan Indonesia dari pelaku orang2 Indonesia sendiri. Penulisnja, Sunaryo Basuki Ks, dalam kolom berdjudul “Republik Pecah Belah,” mentjemaskan Indonesia tidak akan berusia lama. Bahkan katanja Indonesia akan kalah dengan Madjapahit jang bisa bertahan hampir selama 300 tahun. Banjak jang ditjemaskannja, tapi jang paling menondjol adalah niat daerah untuk berdiri sendiri2, keluar dari NKRI.

Saat ini, gejolak sosial dan politik di banyak daerah Indonesia amat mengkhawatirkan. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, semua daerah merasa berhak mengurus daerah masing-masing dan cenderung melupakan bahwa satu daerah punya rangkaian dengan daerah lain yang telah membentuk NKRI. Hanya kerekatan daerah-daerah yang kuat diharapkan dapat memperkuat posisi NKRI. Namun, terjadi arah yang kurang benar dalam mengendalikan daerah sehingga banyak daerah merasa bahwa daerah adalah milik warga asli daerah tertentu.

Dua tulisan jang diumumkan oleh harian Kompas tadi adalah tjontoh bagi begitu banjaknja tulisan di pelbagai media massa Indonesia (djadi bukan melulu harian Kompas) jang memandang antjaman perpetjahan NKRI hanja dari dalam negeri Indonesia belaka. Pandangan jang dianut oleh banjak kalangan ini tidak pernah melihat masalah antjaman persatuan bangsa lebih djauh dari pandjangnja hidung orang Indonesia sendiri (jang rata2 memang tidak pandjang apalagi mantjung). Se-olah2 hanja Indonesia jang menghadapi masalah ini. Benarkah demikian? Di sinilah sangat diperlukan perspektif internasional.

Proklamasi 17 Agustus 1945
Proklamasi 17 Agustus 1945

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 berlangsung di tengah gelombang nasionalisme jang melanda dunia. Waktu itu di Asia dan Afrika lahir negara2 baru jang bangkit dari belenggu pendjadjahan. Itulah zaman nasionalisme. Kelahiran Indonesia berlangsung di tengah gelombang nasionalisme jang melanda dunia.

Ketika sekarang negara dan bangsa sangat terantjam persatuannja, maka pertanjaan jang paling masuk akal adalah, pada zaman apa kita sekarang ini sebenarnja hidup? Gelombang matjam apa pula jang kini melanda dunia?

IV

Masih pada bulan djuni 2006, benua Eropa kembali menjambut sebuah negara baru di wilajahnja. Itulah Montenegro jang memisahkan diri dari Serbia. Sebagai hasil referendum jang digelar tanggal 21 mei, tatkala 55,4% dari 485 ribu warga Montenegro memilih tjabut sadja dari federasi dengan Serbia, ahad 5 djuni itu, Podgorica (ibukota Montenegro) menjatakan diri merdeka, resmi pisah dari Beograd (ibukota Serbia).

Sorak sorai kemerdekaan Montenegro
Sorak sorai kemerdekaan Montenegro

Maka tamatlah sudah Jugoslavia. Melalui perang saudara pada awal 1990an, pembersihan etnis, kamp konsentrasi, pembunuhan massal pihak sipil dan rangkaian peristiwa ber-darah2 lain, Jugoslavia petjah mendjadi Kroasia, Bosnia-Herzegowina, Slovenia dan Montenegro. Sekarang tinggal Kosovo jang naga2nja djuga akan merdeka, keluar dari Serbia.

Bubarnja Jugoslavia adalah djuga mimpi buruk Indonesia. Pidato Presiden Megawati Soekarnoputri memperingati Sumpah Pemuda ke 73, pada tanggal 28 oktober 2001 sarat dengan kechawatiran berulangnja Balkan di Nusantara. “Kita akan mendjadi Balkan di belahan bumi bagian Timur.” Demikian antara lain putri sang proklamator.

Begitu orde bau tersingkir, Timor Timur tjabut dari NKRI. Bukan itu sadja. Sampai djuli 2005, Atjeh masih menuntut merdeka. Papua setali tiga uang. Maluku dan Riau djuga disebut2 ingin ikut djedjak Timor Leste. Sesudah dua kali dibom orang luar, Bali djuga tidak njaman lagi dalam NKRI. Ditjemaskan Balkan akan berulang di Nusantara.

Tapi kenapa orang Indonesia hanja melihat Balkan untuk kemudian setjara intens mengchawatirkan negaranja akan bernasib serupa?

V

Dengan hanja berkutat di Balkan, djelas kita menutup diri dari pola perubahan lain jang djuga terdjadi di benua Eropa. Wilajah Eropa lain tidak se-mata2 mendjiplak pola Balkan jang sangat ber-darah2.

Pisahnja Tjeko dari Slowakia misalnja berlangsung tanpa pertumpahan darah. Demikian pula keluarnja negara2 Baltik: Estonia, Latvia dan Lithuania dari Uni Soviet.

Kudeta di Moskow 1991, achir Uni Soviet
Kudeta di Moskow 1991, achir Uni Soviet

Uni Soviet sendiri achirnja djuga hanja berusia 70 tahunan. Dari bekas adikuasa itu lahir 15 negara baru, tanpa masalah rumit apalagi pertumpahan darah. Selain Rusia dan tiga republik Baltik tadi, lahirlah Ukraina, Moldavia, Belarus, Georgia, Azerbaidjan, Armenia, Kazachstan, Uzbekistan, Kirgizia, Turkmenistan, dan Tadjikistan.

Sampai masa runtuhnja komunisme di Eropa Timur dan bubarnja Uni Soviet bisa disimpulkan bahwa bagian dunia ini mengenal dua pola perubahan. Perubahan ber-darah2 di Jugoslavia serta perubahan relatif damai di Tjekoslowakia dan Uni Soviet.

Harus diakui, dua pola tadi tidak bisa lagi mendjelaskan perkembangan wilajah ini selandjutnja. Karena ternjata negara2 jang sudah petjah terus sadja menghadapi masalah persatuan bangsa dan negara. Rusia misalnja masih dihantui oleh masalah Tjetjnja jang ber-darah2 dan terus meminta korban djiwa serta belum djuga terselesaikan. Begitu pula Georgia. Abchazia djuga ingin merdeka dari Tbilisi, Djakartanja Georgia.

VI

Tapi djangan dikira perubahan hanja melanda bekas negara2 tirai besi. Eropa Barat jang tidak seketat Eropa Timur di zaman komunis dulu, ternjata djuga dilanda perubahan.

Tjontohnja Britania Raja dan Belgia. (Tjatatan: karena menjesatkan kata “Inggris” tidak digunakan. Inggris tampaknja diambil dari England jang tjuma merupakan salah satu wilajah Britania Raja selain Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara. Tampak betapa kosakata bahasa Indonesia sudah ketinggalan dari kenjataan se-hari2.)

Di Britania Raja berlangsung apa jang disebut devolution. Dalam proses ini, ketjuali England, wilajah2 United Kingdom lain jaitu Skotlandia (ibukota Edinburgh), Wales (ibukota Cardiff) dan Irlandia Utara (ibukota Belfast) memperoleh parlemen sendiri2. Tiga wilajah itu tidak lagi diperintah langsung dari London.

Lembaran 5 Scottish Pound
Lembaran 5 Scottish Pound

London tinggal mengurusi hubungan luar negeri, pertahanan, pembasmian obat bius dan padjak. Skotlandia bahkan punja sistem pengadilan dan mata uangnja sendiri, scottish pound. Menariknja, selain memperoleh parlemen, baik Skotlandia, Wales mau pun Irlandia Utara (jang belum djuga selesai masalahnja) kini tidak hanja menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi pemerintahan. Parlemen wilajah2 itu kini djuga menggunakan bahasa mereka sendiri2.

Di Belgia terdjadi federalisering (bahasa Belanda) atau féderalisation(bahasa Prantjis). Belgia jang ketjil itu masih dibagi lagi dalam empat wilajah dengan pemerintah sendiri2, wilajah Vlaanderen (berbahasa Belanda), wilajah Wallonie (berbahasa Prantjis), wilajah metropolitan Brussel (resminja berbahasa Belanda tetapi bahasa Prantjis lebih merupakan majoritas) dan wilajah Eupen-Malmédy-St. Vith jang berbahasa Djerman.

Wilajah berbahasa Djerman di Belgia: Eupen, Malmédy dan St. Vith
Wilajah berbahasa Djerman di Belgia: Eupen, Malmédy dan St. Vith

Selain memiliki kepala pemerintahan sendiri2, empat wilajah jang berdasarkan bahasa ini djuga punja hak berhubungan dengan luar negeri. Maklum Vlaanderen merasa dekat dengan Negeri Belanda, Wallonie dengan Prantjis dan Eupen-Malmédy-St. Vith dengan Djerman.

Kalau negara2 lain petjah, maka Djerman djustru bersatu setelah bobolnja Tembok Berlin. Sebagai tuan rumah kedjuaraan piala dunia sepak bola, musim panas 2006, Djerman membanggakan diri sebagai negara baru. Pada tahun 1974 jang mendjadi tuan rumah adalah Djerman Barat, itu djelas bukan Djerman jang bersatu di bawah Angela Merkel, kanselir perempuan pertama asal Djerman Timur.

Djuga patut ditjatat, Eropa Barat terus dihantui separatisme. Spanjol dengan Baskia, Prantjis dengan Korsika dan Britania dengan Irlandia Utara jang belum djuga terselesaikan.

VII

Di atas semuanja, kalau Tjekoslowakia, Jugoslavia dan Uni Soviet petjah, maka 15 negara Eropa Barat djustru menjatu dalam Uni Eropa. 12 dari 15 negara itu memberlakukan mata uang tunggal euro mulai 1 djanuari 2002.

Sedjak 1 mei 2004 Uni Eropa mekar beranggotakan 27 negara, ditambah 10 negara baru, delapan negara bekas Blok Timur dan dua negara Mediterania. Rentjana makin mempererat persatuan tertumbuk djalan buntu ketika, melalui referendum pada tahun 2005, rantjangan konstitusi Eropa ditolak oleh Prantjis dan Belanda.

Bagaimana kita harus mendjelaskan semua ini? Mengapa misalnja terdjadi pola Uni Soviet-Tjekoslowakia dan pola Jugoslavia di Eropa Timur? Mengapa pula perubahan di Eropa Barat malah berlawanan dengan Eropa Timur, karena di sana tidak sampai lahir negara2 baru? Di atas semuanja, bagaimana memahami Eropa jang menjatu dalam Uni Eropa?

Mata uang euro di Malta
Mata uang euro di Malta

Memang sulit mendjelaskan semua perubahan tadi. Jang djelas tidaklah tepat untuk hanja menjebut pola Balkan sebagai satu2nja perubahan Eropa pasca perang dingin. Pelbagai variasinja membuktikan bahwa Eropa djuga masih punja pola2 lain.

VIII

Sampai di sini djelas bahwa Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi antjaman persatuannja. Melihat pengalaman Uni Soviet, Jugoslavia dan Eropa Timur bisa dikatakan kita sekarang hidup di zaman kebangkitan wilajah2 jang sudah terlalu lama ditindas dan tidak diakui hak2 mereka. Inilah zaman regionalisme.

Memang itu bisa berarti malapetaka, seperti di Jugoslavia. Tetapi, seperti Uni Soviet dan Tjekoslowakia, hilangnja kendali pusat tidak harus mendatangkan kerunjaman.

Zaman kebangkitan wilajah ini djelas merupakan tekanan berat bagi persatuan bangsa kita. Karena itu orang harus berpikir dan bertindak sangat bidjaksana. Djangan sampai persatuan itu berachir dengan alasan jang kemudian disesali. Apalagi kalau hanja melahirkan negara2 gagal jang tjuma mendjadi sarang terorisme internasional.

Gadjah Mada, mahapatih Madjapahit
Gadjah Mada, mahapatih Madjapahit

Di lain pihak, harus dengan djudjur pula diakui bahwa NKRI sendiri sebenarnja djuga merupakan kelandjutan pelbagai bentuk pemerintahan dan negara jang pernah ada di bumi Nusantara. Sebelum Indonesia pernah ada Sriwidjaja atau Madjapahit. Nusantara djuga pernah dikuasai Portugal, Belanda maupun Britania, pada awal abad XIX. Kemudian didjadjah Belanda lagi dan achirnja, semasa Perang Dunia Kedua, didjadjah Djepang. Baru sesudah itu muntjul Indonesia.

Setelah pelbagai bentuk negara dan pemerintahan ini, beranikah kita berkata bahwa Indonesia dengan NKRInja adalah bentuk achir jang tidak akan ber-ubah2 lagi, sementara perubahan djustru terdjadi di bagian dunia jang lain?

Satu pemikiran pada ““NKRI + Uni Eropa = terantjem bubar?” oleh Joss Wibisono

  1. intinya adalah tanya pada rakyat itu sendiri dan hormati hak asasi manusia prinsip dasar dari demokrasi itu. dan semuanya dibicarakan dengan baik2 serta hati nurani yang bersih tanpa ada maksud sesuatu dan apapun. pasti semuanya menjadi baik. kalo mau bersatu bersatulah baik2 dan adil. kalo mau pisah pisahlah dengan baik2 dan adil juga. banyak contoh soal didunia ini. sebagai orang kristen. di alkitab juda sudah tertulis bahwa didunia ini tidak ada yang kekal. yang kekal hanya jerusalem baru nanti / sorga kelak. dan juga sudah tertulis akan bertambahnya bangsa bangsa baru / negara2 baru. [ tertulis dalam kitab wahyu kalau tidak salah. ].

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.