Versi awal tulisan ini diumumken oleh harian Sinar Harapan pada edisi 2 Oktober 2004. Sajang link-nja sudah mati, alias enggak bisa ditemuken lagi di situsnja koran itu.
ADAKAH orde baunja Djindral Besuar Purnawirawan Hadji Mohamad Soeharto jang resminja sampai 32 tahun begitu mutlak menguasai pentas politik Indonesia punja akar sedjarahnja sendiri di bumi Nusantara? Sebagai kekuatan kanan misalnja? Bukankah orde bau tampil setelah berhasil sampai ke akar2nja mengganjang PKI beserta antèk2nja, jaitu pelbagai gerakan kiri jang lain?
Dalam berupaja mendjawab pertanjaan di atas seorang peminat sedjarah Indonesia bisa dipastikan akan menumbuk anomali sedjarah atau sebutan mentèrèngnja: anomali historiografi Indonesia. Betapa tidak? Per-tama2 pertanjaan di atas sulit didjawab, bahkan hanja dengan ja atau tidak belaka. Kedua, PKI dan kalangan kiri lain masih belum djuga punja kedudukan jang djelas dalam historiografi Indonesia.
Di satu pihak, di dalam negeri, di balik upaja revisi sedjarah nasional jang masih harus ditunggu hasilnja, PKI tetap dianggap pengchianat bangsa. Dua TAP MPRS jang mendasari pelarangan PKI tetap sadja bertjokol dengan tjongkaknja, upaja mentjabutnja tak djua berhasil. Pendek kata PKI jang dulu termasuk partai pertama jang menggunakan nama Indonesia, dan kalangan pertama jang di abad XX melantjarkan pemberontakan terorganisir terhadap pendjadjah Belanda, tetap dianggap momok atau hantu, padahal di mana2, djadi djuga termasuk di Indonesia, komunisme praktis sudah mati.
Berlawanan dengan perasaan anti jang begitu mendarah daging di dalam negeri, di luar negeri PKI dan kalangan kiri Indonesia lainnja djustru dianggap korban orde bau jang patut dipulihkan peran historisnja. Sikap sematjam ini terlihat pada banjak buku sedjarah Indonesia di luar negeri jang begitu disesaki oleh sedjarah kalangan kiri. Tentang PKI sadja paling sedikit sudah ada dua buku standar, itulah karja Ruth T. McVey The Rise of Indonesian Communism dan karja Rex Mortimer Indonesian Communism under Sukarno.
Perbedaan tadjam tentang bagaimana PKI dan kalangan kiri Indonesia lain diperlakukan di dalam dan di luar negeri tadi, menggiring orang pada kesimpulan bahwa PKI belum punja kedudukan djelas dalam historiografi Indonesia. PKI dan kalangan kiri lain itu sebenarnja hanja pengchianat atau djustru korban? Di tengah ketidakdjelasan ini, jang sebenarnja luput dari perhatian para peminat sedjarah Indonesia adalah orde baunja si Djenderal Besar Soeharto sendiri.
Bagaimana sebenarnja latar belakang sedjarah sang Djenderal Besar? Lebih dari itu, adakah sebuah karja klasik tentang asal usul orde baunja sang Djenderal Besar jang bisa menandingi dua karja klasik tentang PKI tadi? Berani taruhan, di tanah air atau di luar negeri, para ahli sedjarah Indonesia pasti akan ramai berbeda pendapat soal asal usul orde bau. Artinja: memang tidak ada karja klasik sematjam itu!
Djurang Lebar
Lagi2 di sini kembali tampak djurang jang lebar menganga. Sebagai kekuatan kanan, ternjata orde bau tidak bisa ditelusur dalam historiografi Indonesia, padahal perannja begitu besar dan sangat menentukan, resminja selama 32 tahun lagi! Sementara kekuatan kiri jang sebenarnja sudah terganjang habis, ternjata masih hidup bahkan mendominasi historiografi Indonesia, paling sedikit di luar negeri. Kenapa misalnja tak ada satu studi klasik pun tentang kekuatan kanan jang bisa menandingi dua studi klasik tentang PKI di atas?
Historiografi jang mengutuk atau jang memudji peran PKI dan kalangan kiri lain serta tidak adanja historiografi kanan menjebabkan paling sedikit dua akibat gawat. Pertama asal usul orde bau mendjadi tidak djelas. Tentu sadja jang dimaksud dengan asal usul bukan tjuma si djindral besuar dan tentara sadja. Asal usul itu djuga berarti aliran dan ideologi jang melahirkannja.
Sekali lagi, pertanjaan jang lajak dikedepankan di sini adalah, dari mana sebenarnja akar sedjarah orde bau? Apakah se-mata2 dari tentara, seperti kadjian Salim Said, The Genesis of Power? Apakah, sebagai pembasmi kalangan kiri, tentara itu benar2 merupakan titik awal kekuatan kanan dalam sedjarah Indonesia? Ataukah asal usul orde bau sebenarnja masih bisa dilatjak lebih djauh lagi, misalnja sampai pada zaman pra-Indonesia?
Jang kedua, dari sini djuga terlihat betapa historiografi Indonesia sebenarnja tjuman amburadul belaka. Walau pun di satu pihak sedjarah kaum kiri sudah djelas bahkan berlimpah ruah, tetapi ternjata sedjarah golongan kanan tetap tidak djelas, bahkan tidak ada! Tanpa sistematika jang djelas ini, pemikiran para sedjarawan djuga tidak terpasang pada peta jang djelas. Bahkan tegasnja, sama sekali tidak ada peta historiografi Indonesia berdasarkan klasifikasi kiri dan kanan! Akibatnja bukan sadja sedjarah orde bau tidak ada, tetapi djuga karja seorang sedjarawan sering tidak djelas aspek kanan kirinja. Bisa djadi mereka ikut2an menggelapkan masa lampau si djindral besuar. Inilah anehnja, kalau peristiwanja begitu kongkrit dan njata (orde bau sudah malang melintang selama 32 tahun), tetapi ternjata sedjarahnja tetap kosong melompong!
Salah satu sebab tiadanja sedjarah sang djindral besuar itu adalah kenjataan bahwa selama tahun2 awal kemerdekaan, sedjarawan Indonesia terlalu asjik berkutat pada masalah nasionalisasi sedjarah.
Mereka menganggap lebih penting menulis sedjarah Indonesia dari segi orang Indonesia, bukan dari segi Belanda sebagai bekas pendjadjah. Lalu perkembangan penulisan sedjarah mendjadi aneh: di satu pihak ada jang mengikuti perkembangan zaman, seperti dua karja standar tentang PKI tadi, tetapi di lain pihak perkembangan itu djuga melèntjèng ke mana2, misalnja sedjarah daerah, sementara perkembangan zaman tidak ditekuni setjara komplit, karena ternjata tidak ada pelatjakan sedjarah sang djindral besuar itu tadi. Masak tidak ada jang merasa perlu untuk melatjak sedjarah djinderal besuar? Aneh bukan? Alhasil historiografi Indonesia mendjadi tidak fungsional, tidak bisa mendjelaskan perkembangan dan kondisi mutachir bangsa. Djadinja djuga sulit untuk mengharapkan chalajak ramai bisa melèk sedjarah, apalagi beladjar dari sedjarah bangsanja sendiri.
Sekarang sudah saatnja membuat sedjarah Indonesia mendjadi benar2 masuk akal sehat, sama seperti sedjarah bangsa2 lain, jaitu historiografi jang terdiri baik dari sedjarah golongan kiri mau pun sedjarah golongan kanan.
Harus diakui kanan dan kiri adalah pengertian relatif. Apa jang di satu zaman dikenal sebagai kiri bisa berubah mendjadi kanan pada zaman lain. Di zaman revolusi Rusia tahun 1917, Partai Komunis Bolsjewiki dikenal sebagai kekuatan kiri progresif. Mereka anti status quo kemapanan Tzar Nicholas. Tetapi di zaman Michail Gorbatsjov, di tahun 1980an, Partai Komunis Uni Soviet djustru tampil sangat kanan dan mapan. Selain itu, apa jang di satu tempat dikenal sebagai kiri, pada zaman dan waktu jang sama bisa berarti kanan di tempat lain. Dengan kata lain sulit dipastikan apa itu kanan dan apa pula itu kiri.
Maka dari itu seseorang harus terlebih dahulu datang dengan pembatasan jang djelas dan tegas sebelum bisa bitjara lebih landjut mengenai kanan dan/atau kiri. Djelas ilmu sedjarah sadja tidak akan tjukup untuk bisa memisahkan kanan dari kiri, ilmu fisafat djuga harus dikerahkan.
Menariknja untuk orde baru si djindral besuar, seseorang ternjata tidak perlu repot2 mentjari definisi tegas. Dengan hanja melihat ulahnja ketika tampil berkuasa, jaitu dengan ”mengganjang PKI dan segala antèk2nja,” bahkan terus2an mendjadikannja momok antjaman selama 32 tahun, orang bisa langsung berkata bahwa harto itu kanan. Selama berkuasa semua adjaran kiri djuga dilarangnja. Akibatnja, walau pun termasuk pihak pertama pentjetus gagasan negara merdeka, PKI dan kalangan kiri lain tidak dikenal lagi pada pentas politik Indonesia selama 32 tahun kekuasaan si Djindral Besuar itu.
Dalam situasi seperti ini bisa dimengerti kalau orang, terutama kalangan internasional, merasa sedih dan prihatin melihat korban jang berdjatuhan semasa kekuasaan mutlak si djindral itu. Mereka lalu ber-dujun2 menulis sedjarah kiri. Tapi kini sudah tiba saatnja untuk mempertanjakan hal itu, kenapa orang terus2an menulis tentang si korban? Bagaimana pula dengan si pelaku pembunuhan? Atau, seperti sering dikemukakan oleh para aktivis mahasiswa tahun 1980an jang tidak seradikal adik2 mereka dari tahun 1990an: bosen ach kalau mesti ikut2an nulis soal para korban pembunuhan! Kenapa kita enggak nulis tentang pembunuhnja sadja?
Achirulkalam
Karangan ini sengadja tidak ditulis dalam Ejaan Yang Disempurnakan oleh orde baunja Djindral Besuar Haji Mohamad Soeharto. Pasalnja, hampir bisa dipastikan kalau edjaan sesat itu terus2an digunakan, maka melatjak sedjarah Orde si Djinderal akan njaris djadi pekerdjaan pertjuma. Bukankah selama ini kita selalu merasa bahwa segala sesuatu jang ditulis bukan dalam edjaannja si Djenderal adalah barang kuno jang tidak perlu di-sentuh2 lagi? Bahkan ada jang sampai bilang, ”enggak ngarti ach bahasa begituan!” Sebaiknja kita memang perlu tjuriga, djangan2 dengan memberlakukan edjaan barunja, sang Djenderal Besar itu memang bermaksud menghilangken daripada djedjaknja!
Mas Joss, ini anomali, atawa ambiguitas?
Baik anomali maupun ambiguitas bisa dipakai, tergantung dari alasan/pendjelasannja. Aku makenja anomali kerna ada jang tak anggep aneh, kiri sudah enggak ada tapi kok sedjarahnja misih banjak. Sedangken kanan terus2an berkuwasa tapi sedjarahnja kok enggak ada. Itu jang menurut aku anomali. Kalow situ mengusulken ambiguitas jach silahken, tapi pigimanah tjeritanja kok djadi ambigu?