
Semula, semua itu tjuma berita di media massa: para rohaniwan Katolik terlibat peletjehan sexuil terhadap anak2. Geredja Katolik kesulitan, ada beberapa jang harus membajar santunan ganti rugi pada korban jang sekarang sudah berumur 60an tahun. Bahkan di beberapa negara bagian Amerika konon sudah ada geredja jang bangkrut.
Di tengah kritik jang ber-tubi2, Tahta Sutji Vatikan tetap sadja diam seribu bahasa. Beredar banjak desas-desus, dan karena tidak dibantah, makin gentjar sadja desas-desus itu. Ada jang bilang Paus Benediktus XVI melindungi seorang pastur jang melakukan peletjehan. Begitu kira2 berita jang sempat kubatja.
Tapi hari itu, dengan email jang menindaklandjuti telpon seorang sohib karib, semua perkara jang semula begitu djauh djadi begitu dekat, seolah bisa diraba. Quirijn, begitu kusebut sadja si sohib, dengan terperintji menunturkan pengalamannja dalam seputjuk surat. Surat itu ditulisnja untuk Komisi Deetman, komisi independen jang menjelidiki tuduhan peletjehan sexuil terhadap anak2 Belanda sedjak tahun 1940an.
Kisah sedihnja dimulai pada tahun 1960 ketika Quirijn, kelahiran 1948, masih berumur 11, mendjelang 12 tahun. Waktu itu dia adalah siswa seminari ketjil di sebuah kota Belanda timur. Dia memperoleh perlakukan “chusus” dari kepala seminari ketjil, seorang pastur jang, sebutlah, bernama Pater Johannes. Begini Quirijn menulis lebih landjut:
“Lama kelamaan Pater Johannes seperti punja kebiasaan baru. Kalau aku datang menemuinja minta kuntji bangsal tidur karena sudah begitu mengantuk, aku akan terlebih dahulu dipangkunja. Baru sesudah itu dia mengadjakku ke bangsal tidur dan mengulurkan kuntjinja padaku. Aku tidak hanja dipangkunja, tapi djuga dipeluknja, dielus2nja bahkan tidak djarang dia mendaratkan bibirnja di pipiku atau dahiku.”
Begitu Quirijn dengan teliti menuliskan perlakuan jang dialaminja dan itu tjuma tjuplikan, karena perintjian lebih landjut mendjadi sangat pribadi dan tidak terlalu pantas untuk diungkap di sini.
Pertengahan Desember lalu, njaris setahun setelah Qurijn menulis suratnja, Komisi Deetman mengungkapkan hasil penelitian mereka. Dan chalajak ramai Belanda terpana mendengar bahwa ribuan anak2 selama empat dekade mendjadi korban peletjehan sexuil dengan pelaku kalangan rochaniwan jang sangat dipertjaja oleh orang tua mereka.
Laporan itu berisi perintjian jang mengedjutkan tentang penjalahgunaan kekuasaan dan kekerasan sexuil dalam pelbagai lembaga Katolik Belanda. Deetman memperkirakan, sedjak 1945, djumlah anak jang mendjadi korban mentjapai 10 sampai 20 ribu. Mereka mengalami pelbagai matjam peletjehan, mulai dari belaian tidak senonoh pada bagian tubuh tertentu sampai perkosaan. Djumlah anak jang mendjadi korban perkosaan kedji diperkirakan mentjapai seribu.
Mungkin ada baiknja kalau diungkap satu kasus lagi jang bisa dibatja pada laporan itu. Ini menjangkut seorang putri (penggugat) dan seorang rohaniwan pria (tergugat).
“Ketika bekerdja pada liburan musim panas, penggugat diadjak orang tergugat ke ruangan lain. Di sana penggugat dipaksa membuka tjelana dalamnja dan berbaring. Tergugat kemudian mendaratkan lidahnja di antara kaki penggugat. Sesudah itu peletjehan ini masih berulang beberapa kali.”
Dalam laporan Komisi Deetman djuga tertera bahwa peletjehan sexuil itu tidak hanja terdjadi di lingkungan geredja Katolik, tapi tersebar di masjarakat luas. Menurut angket jang dipesan oleh Komisi Deetman, hampir 10 persen responden menjatakan sebelum mentjapai 18 tahun pernah dipaksa melakukan hal2 intim jang tidak mereka sukai oleh orang dewasa jang bukan anggota keluarga.
Itu berarti satu dari 10 orang Belanda mendjadi korban peletjehan sexuil. Menurut Deetman, di dalam maupun di luar geredja Katolik berlangsung budaja diam. Mengapa? Karena mereka tidak ingin mentjoreng geredja, tidak pantas menggantung pakaian kotor di luar. Sex adalah barang tabu. Selain itu banjak orang tidak bisa pertjaja bahwa kalangan rohaniwan bisa berbuat demikian.
Quirijn tumbuh mendjadi pria pendiam. Dia sulit memilih pasangan hidup, dan itu bukan karena tidak ada perempuan jang mau bersanding dengan pria bertubuh tegap, bermata biru dan rambut pirang ini. Dia tidak tahu harus memilih pasangan hidup pria atau wanita. Sampai sekarang dia tidak menikah.

Sekarang bagaimana harus merajakan Natal? Bisa dibajangkan kalau Quirijn dan 10 sampai 20 ribu korban peletjehan sexuil di Belanda punja perasaan sendiri. Di satu pihak mungkin mereka lega karena achirnja penderitaan mereka terungkap dan diketahui umum. Di lain pihak, seperti jang sekarang ramai diberitakan, para korban ini ingin supaja mereka jang bertanggung djawab dihukum. Tapi menurut hukum Belanda, perkara ini sudah kadaluwarsa. Tidak mungkin lagi memperkarakan mereka.
Quirijn sendiri sebenarnja sudah lama meninggalkan geredja. Tidak ada lagi jang ingin ditjarinja di rumah ibadat itu. Setiap kali mengindjakkan kaki di geredja, sekudjur tubuhnja serasa kedjang membajangkan Pater Johannes jang me-maksa2nja untuk berbuat tidak senonoh. Dia sekarang mendirikan apa jang disebutnja “taman sunji”, mereka jang berminat bisa merenung dan bersemedi.
Itu tadi sebuwah kebetulan belaka: pers mahasiswa Satya Wacana Scientiarum minta tulisan Natal. Berhubung bukan pendeta dan udah lama enggak natalan (djuga enggak lebaran lho jach), achir1nja aku nulis soal skandal sex di geredja. Inilah pertama kalinja dalem 25 tahun kembali nulis untuk pers mahasiswa
Peristiwa ini mendakan bahwa pastur, pendeta, ulama, atau apa pun jabatan agamawi bukan merupakan jaminan kesucian hidup. Orang-orang yang memangku jabatan itu adalah manusia juga. Manusia normal dengan perlengkapan eksistensial sempurna seperti manusia lainnya. Mereka memiliki emosi, citacara, keinginan, dan nafsu. Dalam keadaan normal, Kelalaian mengelola unsur-unsur ini merupakan pemicu timbulnya rupa-rupa tindakan yang dalam kaca mata agamawi terlarang. Maka benar kiranya nasehat yang mengatakan “jangan percayakan hidupmu sepenuhnya kepada manusia karena manusia adalah tempat bersemayamnya rupa-rupa kemanusiaan.”
Betul pak Moderator, setuju.. “jangan percayakan hidupmu sepenuhnya kepada manusia karena manusia adalah tempat bersemayamnya rupa-rupa kemanusiaan.”…….. jadi kita. “terpaksa” percaya bahwa ada yang lebih baik dari manusia.. Harapan bagi kemanusiaan di dalam peristiwa Natal adalah bahwa Yang Ilahi itu mau menjadi manusia, bekerja dengan caranya yang Ilahi … sehingga orang-orang seperti Yoss dapat menulis betapa kejinya peristiwa yang diceritakannya…
@Moderator: Bagi saya ini justru tidak bisa dikatakan sebagai ‘manusia normal’ apapun jabatannya. Apalagi anda katakan sebagai manusia normal dng perlengkapan eksistensial sempurna seperti manusia lainnya. Memang mereka memiliki emosi, cita rasa, keinginan dan nafsu. Tapi bukannya kita manusia ini juga punya ‘akal’? Akal inilah yg seharusnya bisa dijadikan sebagai pengendali nafus kita sebagai manusia. Apalagi kalau kita menjadi seorang pemuka agama. Harus mampu mengendalikan diri. Kalau ndak mampu lagi, ya mundur dari biara atau pesantren. Jadi preman saja. Mau ngentotin sejuta manusia lainnya ya sak karepmu sana. Wong jiwamu sudah sakit. Soal harus berhadapan dng hukum nantinya, ya itu resikonya.
Refleksi yang luar biasa. Pengungkapan yang sungguh “terang benderang”. Sebuah trend komunikasi era zaman kecanggihan teknologi informasi yang dimotori oleh berbagai situs sosial. Ini namanya era keterbukaan. Pada saat kita merayakan Natal saat ini..memberikan bobot makna baru bagi saya yaitu…”Natal Membuka AIB”. Dan memang harus demikian adanya. Sebab apa yang dilakukan dalam kegelapan akan di buka dalam terang. Semua kebohongan dan kemunafikan tidak bisa lagi disembunyikan dan ditutup-tutupin. Semuanya harus di terangin. “Kelahiran Bayi Yesus” adalah membawa dan memberikan terang bagi dunia yang dipenuhi oleh prakatek kegelapan yang semakin gelap. Gereja harusnya melihat hal ini sebagai sisi yang baru untuk ditantang perannya dalam kehidupan umat manusia diseluruh dunia..daripada ikut mengurusin hal-hal lain seperti politik yang bukan areanya. Joss..thanks ya tulisannya. Selamat Natal 2011 dan Selamat menyambut Tahun Baru ! GBU. Yup
joss torang bakoe toelis politik sex dan geredja djo, sedjarah agama mentjoba tak berkelamin