“Habibie Berdjudi di Timor Timur” Oleh Joss Wibisono

Habibie dengen Timor Leste: sekarang orang selalu melihat bahwa keduanja berkaitan karena, sebagai presiden Indonesia ketiga, Habibie menggandjarkan referendum kepada wilajah jang di zaman orde baru selalu disebut sebagai propinsi ke 27 itu. Bahkan sampai2 seorang pedjabat Malaysia mendamprat Habibie soal ini. Tapi, ulah Habibie di propinsi termuda itu (sebutan lain ketika Timor Timur mingsih memperdjuangken kemerdekaannja) sebenernja sudah lebih awal lagi dari 1999. Ketika misih mendjabat menristek, Habibie ternjata sudah pernah main djudi di Timor Timur. Berikut sebuwah tulisan lama tentang perdjudian Habibie di Timor Timur itu.

Ketika pada bulan Desember 1995 Presiden Soeharto menjataken bersedia bertemu seorang tokoh Fretilin jang bernama Abilio Araujo, maka jang paling bersorak gembira menjambut pertemuan ini adalah Menristek B.J. Habibie. Tak pelak lagi, inilah puntjak keberhasilan kelompok Habibie jang selama ini berupaja “merudjukken” kelompok2 Timtim jang bertentangan, mereka jang berada di luwar negeri dan di Timor Timur. Lebih dari itu, ini djuga berarti bahwa pertentangan antara kelompok Habibie melawan ABRI telah memasuki medan baru: Timor Timur. Tjuma tjatatannja, berlainan dengan kasus2 terdahulu, untuk masalah Timor Timur ini masih sangat dipertanjakan seberapa djauh kelompok Habibie bisa mentjetak kemenangan dari kelompok ABRI.

Habibie bertukar tjindera mata dengan Abilio Araujo (foto2 diambil dari situs web Abilio Araujo: http://www.abilioaraujoapr.com/p/arquivo-fotografico_07.html
Habibie bertukar tjindera mata dengan Abilio Araujo (foto2 diambil dari situs web Abilio Araujo: http://www.abilioaraujoapr.com/p/arquivo-fotografico_07.html

Selain berupaja mendjabarken pertentangan antara Habibie melawan ABRI dalam medan baru Timor Timur tadi, tulisan ini djuga berupaja menundjukkan berbagai kelemahan pendekatan jang digunakan Menristek B.J. Habibie dalam menggarap masalah Timor Timur di pentas internasional. Lebih dari itu, kalau dengan ikut tjampur dalam soal Timor Timur ini kelompok Habibie berupaja menggebuk ABRI, maka dengan begitu miskin dan tidak bergagasannja langkah2 jang ditempuhnja, kelompok Habibie pasti tidak akan pernah sampai pada hasil jang ingin ditjapainja. Selain itu, dalam kesempatan ini djuga ingin didjelaskan betapa pihak ABRI sama sekali tidak memiliki satupun gagasan dan kebidjakan jang bisa diterapkan untuk menjelesaikan masalah Timor Timur. Oleh karena itu, pada uraian di bawah ini diharapkan djuga bisa mendjadi djelas bahwa berlainan dengan dulu2 ketika mulai menguasainja, Timor Timur kini telah berbalik mendjadi titik kelemahan ABRI belaka.

Habibie versus ABRI

Sepak terdjang kelompok Habibie kini sudah mendjarah masuk Timor Timur, titik lemah kalangan ABRI, saingan beratnja. Kelompok Habibielah jang berada di belakang apa jang disebut rudjuk Timor Timur di London. Menariknja, tentang pertemuan ini Menteri Luar Negeri Ali Alatas misalnja sempat mengatakan bahwa biar sadja orang2 Timor Timur ini rudjuk, bahkan berunding dalam bahasa mereka, bukan bahasa Indonesia atau bahasa Portugis. Di balik utjapan jang se-olah2 tulus dan rendah hati ini, Ali Alatas djelas tahu bahwa dalang di belakang apa jang disebut “rudjuk London” itu tidak lain adalah pihak Indonesia djuga. Resminja bertudjuan merudjukkan orang2 Timor Timur jang ada di luar negeri dan di Timor Timur, sebenarnja bukanlah kebetulan kalau pertemuan ini diadakan di London. Di situlah Fanny Habibie, adik Rudi (B. J.) Habibie, mendjabat duta besar Indonesia. Semua fasilitas diselenggarakannja pertemuan ini datang dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di London.

Mendjarahnja sepak terdjang kelompok Habibie ke dalam masalah Timor Timur hanja bisa dipahami kalau hal ini dilihat dalam kerangka pertentangan jang sudah berlangsung lama antara kelompok Habibie melawan kalangan ABRI. Habibie jang begitu berambisi mendjadi wakil presiden djelas sangat tergebuk ketika pada Sidang Umum MPR 1993, Pangab Jenderal Try Sutrisnolah jang diangkat sebagai wakil presiden. Tentu sadja ini berkat kesigapan dan kenekatan Kassospol Letdjen Harsudiono Hartas jang waktu itu buru2 mengumumkan bahwa ABRI mendjagokan Try Sutrisno. Sebaliknja ABRIlah jang kemudian harus menelan pil pahit ketika mendapati bahwa sebagian besar anggota kabinet adalah tokoh2 jang dekat dengan Habibie. ABRI masih harus melongo lagi ketika menjaksikan kursi Ketua Umum Golkar djatuh ke tangan seorang sipil, Harmoko, jang djuga dekat dengan Habibie. Ketika Munas Golkar berlangsung, Habibie dikabarkan marah sekali mendengar seorang wartawan jang sempat njeletuk, “Wah, kalau Harmoko ketua Golkar, maka pada Sidang Umum MPR mendatang Habibie akan djadi presiden!” Pemberangusan Editor, Detik dan Tempo djuga dilakukan dalam rangka melindungi Habibie jang njaris terbongkar antjaman kebangkrutan jang dihadapi IPTN dan semua projek mertju suarnja. Ini di lain pihak djuga membuktikan, paling sedikit waktu itu, betapa dekatnja hubungan Habibie dengan Harmoko. Jang djuga perlu ditjatat adalah sikap ABRI terhadap Aliansi Jurnalis Independen AJI. Harmoko jang djelas sangat membentji saingan PWI ini, lewat PWI Djaja berhasil menekan pimpinan harian The Jakarta Post supaja memPHK wartawan Andreas Harsono, salah seorang penandatangan piagam pendirian AJI. Sementara itu, ketika AJI melaksanakan berbagai kegiatan mendjelang KTT APEC, ABRI djustru membiarkan sadja. Bahkan ketika achirnja anggota AJI ditangkapi, jang bergerak bukanlah tentara tapi polisi.

Timor Timur: Sebuah Medan Baru

Tjampur tangan kelompok Habibie ke dalam masalah Timor Timur mulai berhasil ketika putri Presiden Soeharto, Tutut (dalam kapasitasnja sebagai ketua badan persahabatan Indonesia Portugal), bersedia bertemu —bahkan berpeluk-pelukan— dengan Abilio Araujo, tokoh Timor Timur dalam pengasingan, sasaran utama apa jang disebut rudjuk London itu. Sesudah ketemu mBak Tutut, berarti Abilio Araujo tinggal butuh selangkah lagi untuk bisa mendjabat tangan ajahanda Tutut, Presiden Soeharto. Tetapi di sini muntjul satu masalah besar dan penting: sebelum berlangsung pertemuan rudjuk ini, Abilio Araujo ternjata sudah ditjopot dari Fretilin, salah satu kelompok perlawanan Timor Timur jang oleh Djakarta selalu disebut sebagai kelompok anti integrasi. Makanja, patut dipertanjakan apakah pertemuan rudjuk ini akan membawa hasil seperti jang semula diharapkan.

Sebenarnja apa hasil jang diharapkan Djakarta dari pertemuan rudjuk ini? Tak lain adalah terpetjahbelahnja kalangan perlawanan Timor Timur. Abilio Araujo jang dulu begitu anti Djakarta, kini telah berhasil dibudjuk untuk memihak Indonesia. Pasti akan banjak kalangan perlawanan Timor jang menentang Abilio. Dengan posisi jang tjukup prominen dalam Fretilin, maka penjeberangan Abilio Araujo diperhitungkan akan membawa perpetjahan dalam tubuh Fretilin. Dengan begitu, perlawanan mereka makin tidak terkoordinir dan selandjutnja pengaruh mereka di pentas internasional djuga bisa dikurangi. Djakarta djelas melihat bahwa belakangan, selain tjenderung makin bersatu, kelompok2 perlawanan Timor Timur djuga makin besar sadja, artinja makin banjak sadja kalangan jang anti kehadiran Indonesia di bekas djadjahan Portugal itu. Ini djelas harus dipatahkan, dan langkah jang ditempuh adalah memetjah belah orang Timor Timur.

Jang tampaknja kurang mendapat perhatian adalah resiko besar jang bisa muntjul dari langkah kuno devide et impera ini. Zaman sekarang adalah zaman rudjuk dan zaman perundingan, baik itu antara Israel dengan Palestina, antara penganut agama2 Katolik dan Protestan di Irlandia Utara, maupun antara orang kulit putih dengan kulit hitam di Afrika Selatan. Dan jang disebut rudjuk itu adalah konsesi dari dua pihak jang bertentangan. Dengan kata lain, sulit dibajangkan tjara2 kuno dan litjik jang didjalankan Djakarta ini akan berhasil. Memetjah belah dan bukannja mengadjak rudjuk djelas sudah ketinggalan zaman. Dengan begitu, di pentas internasional bisa dipastikan tidak ada pendukung jang bisa memperkuat posisi Djakarta.

Untuk masalah Abilio Araujo ini situasinja makin menggelikan lagi, karena jang disulut untuk memetjah belah kelompok perlawanan Timor Timur ternjata sudah dikeluarkan dari gerakan perlawanan itu sendiri. Maka jang dilakukan Djakarta tidak lain adalah memetjah belah kalangan jang sebenarnja sudah terpetjah belah. Di sini tampak betapa kelompok Habibie tidak punja tjukup visi untuk mendjalankan rentjananja. Pertama, seperti jang diuraikan, tjara memetjah belah itu sebenarnja sudah ketinggalan zaman. Kedua, dalam memetjah belah itu dikerahkan seseorang jang tidak mungkin lagi bisa melakukan tugasnja karena sudah dikutjilkan dari kelompok perlawanan Timor Timur.

Habibie akrab dengen Abilio Araujo
Habibie akrab dengen Abilio Araujo

Dalam 19 tahun usia masalah Timor Timur, pemerintah Djakarta, baik pihak Departemen Luar Negeri, kalangan ABRI maupun Habibie sendiri selalu menundjukkan kesan bahwa satu2nja kalangan jang anti integrasi hanjalah Fretilin. Walaupun tahu bahwa kelompok perlawanan sekarang makin besar sadja, Djakarta djelas tidak punja pilihan lain ketjuali mempertahankan pendiriannja jang sudah ketinggalan zaman ini. Kalau Djakarta sampai mengakui bahwa sekarang kalangan jang anti integrasi sudah makin banjak sadja, maka itu berarti bahwa baik ABRI maupun Deplu mengakui bahwa kebidjakan mereka di Timor Timur, termasuk diplomasi mereka di luar negeri, sudah gagal. Tidaklah mengherankan kalau baik tentara maupun Habibie menjamaratakan sadja Abilio Araujo, João Carrascalão, Xanana Gusmão, José Guterres, José Ramos-Horta, Mari Al Katiri, dan banjak lainnja lagi. Pada tahun 1970-an, anggapan sematjam ini barangkali benar, karena memang tokoh2 ini masih, selain bergerak sendiri2, mereka djuga bersaing satu sama lain. Bandjir darah di makam Santa Cruz, November 1991, mendorong mereka untuk bersatu dalam sebuah organisasi pajung jang menamakan diri CNRM. Di dalam CNRM, mereka sekarang makin mengobarkan perlawanan terhadap Indonesia, padahal dulu kebanjakan di antara mereka jang anti Fretilin itu djustru memudji integrasi. Jang lebih menarik lagi adalah pernjataan seorang pedjabat Indonesia terhadap aksi para mahasiswa Timor Timur masuk kedutaan besar Amerika di Djakarta ketika berlangsung KTT APEC, “Provokasi Fretilin!” Tanpa menjelidiki apakah Fretilin benar2 terlibat, pedjabat bersangkutan langsung asbun sadja. Di sini djelas bukan lagi salah anggapan, tapi lebih merupakan keras kepala. Di balik semua itu Djakarta djelas tahu bahwa unsur2 jang dulu “menghendaki” integrasi sekarang telah berubah mendjadi anti integrasi. Itu berarti bahwa makin banjak sadja mereka jang menghendaki kemerdekaan Timor Timur dari pendjadjahan Indonesia.

Kenjataan bahwa rudjuk London berada di luar djangkauan PBB sebenarnja makin mempersulit statusnja. PBB —jang tak pernah mengakui pempropinsian Timor Timur— sampai kini tetap merupakan satu2nja lembaga jang wewenangnja diakui dan diterima, baik oleh Portugal maupun Indonesia dan masjarakat internasional pada umumnja. Dengan demikian, hanja dengan melibatkan PBBlah upaja mentjari penjelesaian masalah Timor Timur harus dilakukan, sehingga achirnja bisa diterima oleh semua pihak. Dengan perkataan lain, bisa sadja Portugal atau Indonesia atau orang Timor Timur di luar negeri dan di daerah itu, mentjari penjelesaian sendiri2. Tetapi kalau rantjangan rudjuk dan penjelesaian itu tidak diakui PBB, maka ketjil kemungkinan akan bisa diterima semua pihak jang bersangkutan.

Walaupun melakukan perundingan rahasia di Oslo dan itu di luar PBB, tetap harus ditjatat bahwa rudjuk Israel Palestina mempunjai kerangka jang lebih djelas jaitu Konperensi Timur Tengah di Madrid. Selain tidak mempunjai kerangka jang djelas dan berlangsung di luar PBB, ternjata rudjuk di London ini djuga tidak melibatkan seorang Yasser Arafat dan seorang Shimon Peres. Rudjuk London ini tidak djuga melilbatkan tokoh2 kuntji perlawanan Timor Timur. Djangankan Xanana Gusmão, Uskup Carlos Felipe Ximenes Belo sadja tidak dilibatkan. Jang diadjak rudjuk hanjalah seorang tokoh jang sudah dipetjat. Dengan lain perkataan, sebenarnja dengan memilih Abilio Araujo, kelompok Habibie sudah salah langkah. Kalaupun berniat memetjah belah kelompok perlawanan Timor Timur di luar negeri, merangkul Abilio jang sudah dipetjat dari kelompok perlawanan tetap merupakan satu langkah jang salah. Kenapa tidak langsung sadja merangkul José Ramos-Horta misalnja? Perlu ditjatat, sebagai pentolan CNRM, bisa dipastikan José Ramos-Horta tidak akan bersedia rudjuk dengan Indonesia, sepandjang Indonesia tidak memberi konsesi besar. Kini dalam pentas diplomasi internasional CNRM sedang naik daun, sehingga tidak ada alasan baginja untuk rudjuk dengan Djakarta. Pendek kata, kalau sekarang Djakarta memilih untuk rudjuk dengan Abilio Araujo maka itu, sekali lagi, djelas merupakan langkah memetjah belah kalangan jang sebenarnja sudah terpetjah belah.

Apa jang masih bisa dilakukan oleh Abilio Araujo setelah —pada suatu ketika— bertemu Presiden Soeharto? Bukankah ia akan makin terkutjil sadja dari kelompok perlawanan Timor Timur di luar negeri, jang nota bene tjukup berhasil membatasi ambisi diplomasi Indonesia? Di sini djelas bahwa djustru karena dikeluarkan dari Fretilin maka Abilio Araujo rudjuk dengan Indonesia. Tetapi, dengan gerakan perlawanan Timor Timur jang makin kuat dalam berdiplomasi di luar negeri, maka tak pelak lagi, kerikil Timor Timur pasti akan makin menggandjal sadja dalam sepatu diplomasi Indonesia. Dan jang lebih penting lagi, bukankah dengan demikian gerakan perlawanan Timor Timur di luar negeri makin bersatu sadja untuk makin terus merepotkan ambisi diplomasi Indonesia? Setelah pertemuan itu paling banter Abilio Araujo hanja bisa melandjutkan bisnisnja di Timor Timur. Dan memang inilah jang tampaknja ingin ditjapai Araujo setelah bertemu dengan Presiden Soeharto nanti: membuka usaha di Timor Timur. Sehingga tidak akan pula mengherankan kalau ia kemudian berkongsi dengan mBak Tutut.

Satu2nja hasil jang bisa dipetik oleh Habibie ketika sekarang berhasil mempertemukan Presiden Soeharto dengan Abilio Araujo, salah seorang tokoh Fretilin jang sudah dipetjat, hanja ada di dalam negeri, bukan di pentas internasional. Dan itupun sebenarnja djuga semu belaka, sama sekali tidak mengandung kebenaran. Seperti terlihat dari bagaimana selama ini pers Indonesia memberitakan masalah Timor Timur, pertemuan ini djelas se-mata2 bertudjuan bagi publikasi dalam negeri. Dengan pers jang sudah begitu djinak, maka nanti rakjat Indonesia akan dipersilahkan menonton para pedjabat jang beronani, “Kita berhasil merangkul (tokoh) Fretilin.” Tentu sadja tidak akan ada satu mediapun jang berani mempertanjakan siapa sebenarnja Abilio Araujo ini dan sesungguhnja apa perannja dalam Fretilin. Forum Keadilan edisi 22 Desember 1995 bahkan memasang djudul “Sajalah pemimpin Fretilin” untuk wawantjaranja dengan Abilio Araujo, tanpa setjuilpun menjoroti kenjataan bahwa ia sudah dikeluarkan dari Fretilin.

Di lain pihak harus diakui, dengan aktif berdiplomasi di luar negeri, bisa dibilang Kelompok Habibie sudah lumajan madju katimbang kelompok ABRI. ABRI hanja bisa mengangkat sendjata dan menembaki orang2 Timor Timur (djadi bukan musuh jang datang dari luar negeri). Peristiwa besar terachir terdjadi pada bulan November 1991, ini membuat orang tjenderung berpikir, djangan2 ABRI hanja bisa menimbulkan masalah pada sepak terdjang diplomasi Indonesia di luar negeri.

Kalaupun ABRI sudah menempuh langkah diplomasi internasional, seperti jang dikerdjakan oleh Atase Pertahanan KBRI di Den Haag, Negeri Belanda, jaitu Kolonel Rusdi bersama anak buahnja wartawan harian Suara Pembaruan Petrus Suryadi, maka itu tidak lebih dari kasak-kusuk atau main intel2an jang tidak membawa hasil kongkrit. Selain itu djuga patut dipertanjakan apakah langkah2 jang selama ini ditempuh Rusdi mentjerminkan garis kebidjakan ABRI. Kalau melihat begitu amatiran dan improvisatorisnja tindakan mereka, orang memang djadi ber-tanja2, djangan2 ini tjuma langkah pribadi Rusdi untuk mentjari selamat ketika kembali ke Djakarta. Apalagi karena BAIS, tempat asal Rusdi, sudah disederhanakan menjadi BIA, dengan banjak kolonel kehilangan pekerdjaan. Tapi sjukurlah, seperti kemudian terbukti, dengan diangkat mendjadi direktur B BIA, langkah2 Rusdi itu sudah menjelamatkan dirinja. Tapi masalah Timor Timur sialnja belum djuga beres.

Tiga Projeksi

Sampai di sini ada tiga hal jang lajak ditarik sebagai projeksi. Pertama, dengan merangkul Abilio Araujo, kelompok Habibie memang bisa dikatakan kembali mengungguli kelompok angkatan bersendjata. Di mata Soeharto, untuk ke sekian kalinja, kelompok Habibie kembali naik daun. Tindakan ini —sekalipun tampaknja melangkahi wewenang Ali Alatas sebagai menteri luar negeri— memperlihatkan ada pergerakan dalam diplomasi soal Timor Timur, jang ingin memperbaiki tjitra internasional Indonesia.

Karena langkah ini masih harus dipertanjakan efektivitasnja, maka terdapat dua hal lagi dalam projeksi kedua: jang optimis dan jang pesimis. Jang optimis: Presiden Soeharto hanja akan bertemu dengan seorang tokoh perlawanan jang sebenarnja sudah tidak punja peran lagi dalam pertjaturan gerakan perlawanan Timor Timur di luar negeri. Sampai di sini bisalah dikatakan bahwa walaupun pertemuan ini tidak akan efektif, tetapi djuga tidak akan membawa kerugian jang berarti bagi Habibie dan kawan2nja. Dengan kata lain, walaupun kelak pertemuan ini akan membawa hasil jang tidak diharapkan, jaitu tidak terpetjah belahnja kelompok perlawanan Timor Timur di luar negeri, tetapi akibatnja djuga tidak akan terlalu merugikan Habibie dan kelompoknja. Oleh karena itu, walaupun kelak gagal, bisa diperhitungkan bahwa Presiden Soeharto sendiri tidak akan diketjewakan. Kepertjajaannja kepada Habibie dan kawan2 bisa djadi malah makin meningkat.

Jang pesimis. Perlu ditegaskan pesimisme ini djuga berkaitan dengan berbagai projek mertju suar Habibie. Patut dipertanjakan, mengapa Habibie harus menaikkan harga kapal eks Djerman Timur dari 12,7 djuta menjadi 800 djuta dolar? Mengapa pula Presiden Soeharto memerintahkan untuk memindahkan dana penghidjauan sebesar 400.000 dolar kepada IPTN? Djangan2 ini bukti jang makin djelas bahwa semua projek mertju suar Habibie itu menumbuk kebangkrutan. Ketika nanti makin terungkap bukti2 bangkrutnja semua projek mertju suar ini (bersama projek IPTNnja) dan diperparah dengan kenjataan bahwa pertemuan dengan Araujo tidak membawa hasil, patut diragukan apakah presiden Soeharto akan terus memihak Habibie. Dengan perkataan lain, tjampur tangan Habibie dalam masalah Timor Timur bisa djadi malah merupakan djudi jang tjukup riskan, dengan taruhan kedudukan sebagai anak emas Soeharto jang selama ini dinikmatinja.

Jang djustru makin tampak tidak berbuat apa2 atau tidak bisa berbuat apa2 dalam memperbaiki tjitra Indonesia di luar negeri adalah ABRI. Ini projeksi ketiga. Kalangan jang paling terpodjok sedjak bandjir darah di makam Santa Cruz Dili, November 1991, tak pelak lagi adalah ABRI. Dari Markas Besar Tjilangkap djuga tidak tampak langkah2 jang tjukup berarti untuk memperbaiki tjitra ABRI, terutama di pentas internasional. Ada kesan ABRI malah membiarkan “tugas kotor”  diplomasi dalam menghadapi ketjaman internasional itu ke tangan Departemen Luar Negeri sadja. Di pihak lain, ABRI harus menanggung ditjopotnja Pangdam Udajana Majdjen Sintong Panjaitan dari Pangkolakops Timor Timur Brigdjen Rudolf Warouw tanpa bisa berbuat apa2.

Soal Timor Timur jang paling achir, terdjadi November lalu, djuga membawa korban di pihak ABRI. Pangdam Djaja, Majdjen Hendropriyono jang baru memegang djabatan selama 18 bulan —normalnja dua tahun— ditjopot hanja 10 hari setelah para mahasiswa Timor Timur melontjat masuk ke dalam gedung Kedutaan Besar Amerika. SK Pangab tentang pentjopotan Hendro bertanggal 22 Nopember, itu berarti bahwa ketika SK itu keluar, para mahasiswa Timor Timur belum lagi meninggalkan Kedubes Amerika. Maklum, pemberitaan aksi mereka sempat mem-bajang2i KTT APEC jang seharusnja menaikkan gengsi internasional Indonesia. Dan wartawati harian The New York Times begitu kurang adjar ketika mengadjukan pertanjaan soal Timor Timur kepada Presiden Soeharto. Timor Timur kembali terbukti merupakan titik kelemahan ABRI. Lebih dari itu kini ABRI tidak bisa lagi menjembunjikan ulahnja di Timor Timur. Seperti ketika terdjadi bandjir darah di Santa Cruz, dunia internasional tetap mewaspadai gerak gerik ABRI.

Hendropriyono bukan perwira ABRI terachir jang tersungkur djatuh karena soal Timor Timur. Sebelumnja masih ada Adolf Sahala Radjagukguk jang tidak berhasil mendjadi duta besar di Amerika Serikat dan djuga ditolak oleh Djepang. Baik Washingotn maupun Tokyo keberatan dengan djenderal jang pernah memberikan instruksi tertulis (batja: ada bukti hitam putihnja) untuk menjiksa kalangan perlawanan Timor Timur[1]. Sahala Radjagukguk achirnja harus puas dengan djabatan duta besar di New Delhi. Kemudian masih ada lagi Herman L. Mantiri, mantan Pangdam Udajana (pangdam jang wewenangnja djuga mentjakup Timor Timur), jang ditolak oleh Australia ketika diusulkan mendjadi duta besar Indonesia untuk Canberra. Adang Ruchiatna, pengganti Herman Mantiri dan Theo Syafei pada djabatan Pangdam Udajana djuga kandas kariernja, bahkan tidak sampai dua tahun menduduki djabatan itu. Waktu Adang mendjabat terdjadi pembunuhan di Liquiça. Walaupun setjara formal jang dianggap bersalah dalam soal pembunuhan ini adalah pradjurit kelas teri, jaitu Letnan Satu Jeremias Kase, tetapi Majdjen Adang Ruchiatna ternjata tidak meladju djuga kariernja.

Inilah menariknja, perlawanan Timor Timur berhasil mentjapai hal2 jang tidak pernah ditjapai oleh kelompok pro-demokrasi Indonesia lainnja: mendjatuhkan djenderal2 jang bertanggung djawab bagi berbagai peristiwa berdarah. Hendropriyono misalnja terdjungkal bukan lantaran pembunuhan di Talangsari Lampung, posnja sebelum sampai di Djakarta, tetapi karena para mahasiswa Timor Timur melontjat masuk pagar kedutaan besar Amerika di Djakarta, ketika di Bogor tengah berlangsung KTT APEC. Begitu pula berbagai perwira militer lainnja. Tidak seorang djenderalpun rontok karena harus bertanggung djawab bagi peristiwa bandjir darah di tempat lain. Hanja karena soal Timor Timurlah karier para perwira ini kandas. Dengan begitu Timor Timur bukan lagi sekedar titik lemah, tetapi lebih merupakan kutuk terhadap ABRI. ABRI jang dulu menjerbu Timor Timur kini harus memetik buah tindakan mereka, banjak perwira djatuh terdjungkal lantaran berlandjutnja masalah Timor Timur. Melihat masih banjaknja perwira jang pernah meniti karier di Timor Timur —salah satunja adalah Prabowo Subianto jang menggegerkan Timor Timur dengan pasukan nindjanja— maka tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa masih akan ada sadja perwira jang djatuh tersandung masalah Timor Timur.

Di Timor Timur sendiri, makin terbukti bahwa para pemudanja tetap gigih melawan kehadiran ABRI. Di sini terlihat bahwa langkah jang ditempuh ABRI di Timor Timur dengan mengandalkan kekerasan, intimidasi dan sedjenisnja, ternjata gagal total. Seperti sudah terbukti dalam kurun waktu 19 tahun Timor Timur dipropinsikan (mereka bahkan menolak disebut sebagai orang Indonesia), ternjata generasi mudanja bukannja bangga sebagai generasi muda Indonesia, tetapi mereka malah terus berdemonstrasi dengan berbagai matjam tuntutan jang membawa dampak djauh bagi wilajah mereka ketimbang sekedar sebagai propinsi Indonesia jang ke-27. Ini djelas tantangan serius terhadap tekad ABRI sebagai satu2nja pendjaga gawang persatuan Indonesia. Segenap dana pembangunan jang konon telah dikutjurkan ke Timor Timur tahun2 belakangan djelas pertjuma sadja dengan berlandjutnja kekerasan, dalam pelbagai bentuknja jang benar2 kedji.

Seandainja dalam 19 tahun itu ABRI melantjarkan pendekatan jang sama sekali tidak menggunakan kekerasan atau intimidasi (jang tentunja banjak matjamnja), bisa djadi pemuda Timor Timur sudah merasa tidak perlu lagi atau tidak ada gunanja memasalahkan status daerah mereka. Seolah tidak sadar bahwa kebidjakan terornja sudah gagal, ABRI terus2an sadja meng-ulang2 tjara jang terbukti tidak djalan ini. Kekerasan sudah lama terbukti tidak djalan, baik itu di dalam negeri, apalagi di hadapan chalajak internasional karena berbagai matjam kritik, sampai2 Menteri Luar Negeri Ali Alatas sendiri menjebut Timor Timur sebagai kerikil jang menggandjal sepatu diplomasi Indonesia, sebutan jang bisa ditafsirkan —walaupun mungkin tidak langsung— sebagai sindiran tehadap kalangan tentara.

Ali Alatas bertjengkerama dengen Abilio Araujo
Ali Alatas bertjengkerama dengen Abilio Araujo

Sebagai penutup, paling menarik sekarang adalah terus mengamati langkah apa jang akan diambil baik oleh ABRI maupun oleh kelompok Habibie dalam melanjutkan persaingan mereka. Persaingan jang tampaknja akan membawa dampak atau bahkan menentukan masa depan politik Indonesia.

Leiden achir Desember 1995


[1] Uraian terperintji mengenai metoda penjiksaan jang didjalankan A. Sahala Radjagukguk di Timor Timur bisa dibatja pada tulisan Richard Tanter “The Totalitarian Ambition: Intelligence Organisations in the Indonesia State” dalam buku jang disunting oleh Arief Budiman State and Civil Society in Indonesia, terbitan Centre of Southeast Asian Studies, Clayton, Australia 1990.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.