“Pers Kampus: Jang terhempas dan Jang Kandas” Oleh Joss Wibisono*

Ini tulisan djaman baheula bener, terbit di Basis Edisi Djuni 1986, halaman 227-234 (Tahun XXXV, nomer 6). Bisa djadi inilah tulisan “ngilmiah”ku pertama jang diumumken oleh sebuwah medium massa. “Ngilmiah” karena ini tulisan pandjang komplit dengen tjatatan kaki serta referensi segala matjem. Maklum tulisan2 sebelonnja jang nongol di pelbagai media massa kebanjakan tjuman artikel pendek jang tida paké referensi.

I

Sebagai orang jang sudah agak lama berketjimpung dalam pers kampus izinkan saja mengawali tulisan ini  dengan sebuah berita. Berita jang akan saja turunkan berikut hanjalah kutipan, bukan hasil perburuan sendiri. Saja mengutip Sinar Harapan, edisi 25 Februari 1986, halaman V, tentang terjungkalnja Ferdinand Marcos dari kekuasaannja.

Alkisah, tiga djam setelah pembelotan Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile serta Wapangab Fidel Ramos, Presiden Marcos muntjul di saluran IV, djaringan televisi pemerintah. Kepada rakjat Filipina, Marcos memaklumkan adanja “kudeta” jang didalangi oleh dua orang bekas anggota redjimnja. Dengan leluasa Marcos mendjelaskan bahwa “kudeta” itu berhasil digagalkannja. Ia sengadja memakai kata “kudeta”, karena tahu bahwa bagi orang Filipina jang sudah begitu melek politik, kudeta, apalagi jang dilakukan oleh militer, terdengar amat mengerikan, djauh dari prinsip demokrasi jang selalu mereka djundjung tinggi dan tjita2kan. Dengan begitu, mobilisasi dukungan massa, paling sedikit untuk sementara, diharapkan bisa kembali terarah kepada kekuasaan Marcos jang waktu itu sudah mulai gojah.

Saat itu Marcos menang selangkah. Dengan pandai ia memanfaatkan televisi jang bisa diikuti oleh sekian djuta warga ibukota Manila. Ketika siaran berlangsung, hanja sekitar seribu orang jang tahu persis mengapa Marcos tiba2 muntjul di televisi. Tidak ada penduduk lain jang tahu bahwa tiga djam sebelumnja, Enrile dan Ramos mengadakan konperensi pers hanja untuk menjatakan pengunduran diri mereka dari kabinet Marcos. Memang, mereka hanja berbitjara kepada wartawan medium tjetak jang hasilnja baru akan diketahui orang paling tjepat 10 djam kemudian.Banner-Ramos-Enrile1

Tentu sadja Enrile dan Ramos menolak mentah2 tuduhan Marcos. Mereka, jang ketika mengikuti siaran televisi Marcos mendjadi seperti orang jang terikat tangannja (tidak bisa berbuat apa2), segera menegaskan kepada wartawan media tjetak jang ada bahwa tidak ada maksud pada mereka untuk merebut kekuasaan Marcos dan membentuk sebuah junta militer. Bersamaan dengan itu, mereka menjatakan dukungan penuh kepada Cory Aquino, pihak oposisi.

Belum tjukup dengan “pukulan pertama”, rakjat jang pikirannja telah dikuasai oleh pendapat jang keliru, keesokan harinja masih didjedjali siaran televisi Minggu pagi. Waktu itu Marcos kembali tampil untuk mempertegas keterangan mengenai rentjana “kudeta”, sambil menampilkan dua saksi, orang2 jang “terlibat kudeta”. Tentu sadja ini utuk menangkis bantahan Enrile dan Ramos jang belum lagi diketahui orang banjak.

Sekali lagi Marcos “menang waktu”. Karena beberapa koran jang terbit hari Minggu tidak sempat memuat sanggahan jang disampaikan Enrile dan Ramos mengenai tidak adanja “kudeta”, ketidakinginan mereka untuk membentuk pemerintahan militer dan dukungan mereka kepada Cory Aquino.

enrile_then_webJang relevan bagi kita adalah bahwa kutipan di atas dengan djelas menundjukkan serunja perang tanding antara dua bentuk media massa untuk menarik simpati dan dukungan rakjat. Marcos dengan televisi, medium eletronika mutachir, melawan Enrile-Ramos dengan pers tjetak, medium jang sudah tidak lagi mutachir.

II

Perang tanding media di atas paling sedikit menundjukkan tiga hal penting.

Pertama, keampuhan media elektronika untuk membentuk opini masjarakat. Kalau sadja Marcos masih mendapat dukungan massa, penampilannja di lajar televisi akan memojokkan Enrile dan Ramos. Pengaruh media massa pada opini masjarakat akan membuahkan sikap memihak jang selandjutnja akan berarti penolakan terhadap lawan pihaknja. Media elektronika, apalagi televisi/radio, tidak mensjaratkan apa2 ketjuali telinga dan mata jang sehat serta penguasaan bahasa (jang dipakai) penguasa, atau kesebahasaan[1] antara penguasa dan rakjat. Bagi majoritas rakjat jang masih buta huruf, media elektronika adalah media jang paling efektif untuk memobilisasikan opini mereka.

Melalui medium elektronika, seperti kasus Filipina, hal jang tidak benar mendjadi benar, hal jang tidak logis mendjadi logis. Dan, barang tentu, selera serta djenis budaja elit penguasa, ketika ditransferkan melalui medium jang ampuh ini, akan terinternalisasikan dengan mudahnja ke dalam tiap2 pribadi rakjat. Dengan begitu massa rakjat akan lega lila untuk dikuasai. Maka bisalah dimengerti mengapa penguasa sebuah negara jang tidak demokratis sulit membagi akses penguasaan media elektronika mutachir kepada pihak lain di luar rezimnja.

Kedua, terlihat bahwa medium tjetak akan kalah tjepat dan dengan begitu kalah dalam perlombaan membentuk opini masjarakat. Proses produksi medium tjetak butuh waktu jang tidak sedikit, tidak seperti media elektronika (radio atau televisi). Apalagi medium tjetak biasanja tidak bisa diperoleh dengan gratis[2] dan masih pula mensjaratkan kemampuan membatja. Jang lebih parah lagi adalah pers kampus jang biasanja sulit untuk melepaskan diri dari eksklusivisme (ketjongkakan?) ilmiah, baik melalui rentetan djargon2 disiplin tertentu, maupun tipe dan format/gaja penulisan serta kebakuan bahasa (jang bertentangan dengan bahasa “atjak2an” rakjat djelata) sesai dengan “tuntutan” dan “kaidah ilmiah”.

BasisKetiga, terbukti pula bahwa bahasa, pers, televisi/radio, bukanlah barang2 netral. Semua itu adalah “hasil budaja” kelompok manusia tertentu jang penggunaannja, oleh siapapun, tidak akan bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok itu djuga. Benda2 “netral” itu ternjata membentuk kenjataan baru dari obyek jang disorotinja. Oleh karena itu sudah saatnja kalau saja bertanja, bisakah nilai2 keadilan, kedjudjuran dan obyektivitas tampil dalam pers, bahasa, radio dan televisi jang tidak pernah netral itu? Adakah obyektivitas jang obyektif, kedjudjuran jang djudjur dan keadilan jang adil[3] di tengah media jang selalu berpihak itu? Karena tidak ingin terdjebak dalam romantisme dan keluguan dungu (ini djelas akan menguntungkan pihak lain), maka di sini pula saja akan berseru TIDAK ADA! Upaja untuk menemukan nilai2 itu saja kira akan sia2 belaka.

III

            Dinamika politik mahasiswa sekarang memudar, begitu keluhan Raden Jusuff (1984). Ia menundjuk pelaksanaan NKK/BKK sebagai penjebab mundurnja mahasiswa dari keterlibatan politik kemasjarakatan. Kegiatan mahasiswa sekarang digantikan dengan banjak kreativitas “manis”, lewat berbagai proyek kegiatan. Pada kegiatan itu peran mahasiswa bagaikan anak2 jang “bermain ayunan” di Taman Ria. Pengadaan lembaga sematjam ini tak ubahnja seperti penukaran hak berpolitik dengan prosperity dalam arti materi. Benar, bagi Raden Jusuff, mahasiswa sekarang telah mendjual (dipaksa mendjual?) hak berpolitiknja demi proyek2 jang “menjenangkan” itu.

Dinamika politik mahasiswa jang memudar ini barang tentu membawa akibat jang tidak ketjil bagi pers kampus. Didasarkan pada konsep bahwa mahasiswa dilarang berpolitik praktis dan pers mahasiswa dianggap sebagai satu kesatuan dengan politik praktis mahasiswa, maka sudah logis, demikian St. Sularto (1983) kalau pers mahasiswa dilarang. Masa kedjajaan pers kampus, seperti kata Drs. Achmad Mudatsir, Rektor STIK Semarang, sudah berlalu.

Pendapat2 tentang politik di atas sebenarnja hanja menganggap politik dari satu sisi: sisi kritis terhadap penguasa. Padahal, seperti jang bisa dibatja pada kutiban di awal tulisan ini, politik pada hakekatnja ada pengakuan dan kemudian keterhubungan antara rakjat jang terkuasai dengan negara atau penguasa jang menguasai. Di mana seseorang harus berhubungan dengan kekuasaan (dan penguasa), pada tingkat apapun kekuasaan (dan penguasa) itu, di situlah dia sudah berpolitik. Adakah di antara kita di sini jang merasa tidak berhubungan dengan negara dan pemerintah? Makan sadja sudah berpolitik karena beras jang nasinja kita makan sebelumnja harus disalurkan kepada BULOG, badan pemerintah pemegang monopoli beras di Indonesia. Mungkin ada jang membantah, “Tidak, saja makan nasi jang berasnja hasil sawah sendiri”. OK! Tapi bagaimana dengan padjak sawah (Ipeda) jang harus Anda bajarkan kepada pemerintah? Bermahasiswa djelas djuga berpolitik, karena kita berhubungan dengan Depdikbud, badan pemerintah.

Djadi, berpolitik bukan melulu bersikap kritis terhadap penguasa. Menjetudjui penguasapun djelas berpolitik. Semuanja memang berpautan dengan politik.

Pers kampus tidak berpolitik? Tunggu dulu! Siapa pengelolanja? Apakah mahasiswa jang sebagai pihak jang dalam eksistensinja sudah berpolitik djuga terlibat sebagai pengelola?

Dengan demikian masalahnja bukan lagi redefinisi politik seperti jang dikatakan oleh Suwidi Tono (1983), tetapi djustru penjempitan definisi politik. Kalau sering di-sebut2 bahwa mahasiswa tidak boleh berpolitik, maka itu berarti bahwa mahasiswa hanja boleh memahami politik dari segi kritisnja. Segi lain, misalnja pernjataan sependapat, setudju dan memudji tindakan penguasa bukan dan tidak dianggap sebagai politik. Ibaratnja seorang jang hanja ingin dipudji dan tidak mau dikritik (atas perbuatannja jang tidak djarang malah berakibat buruk bagi orang lain), saja kira sudah djelas watak pihak jang menjempitkan definisi politik ini.

IV

Achir2 ini kampus kedengaran begitu riuh rendah. Ada pendjiplakan skripsi, ada penelitian fiktif dan tampaknja masih akan ada “kehangatan” lain lagi di sana. Apa makna ini semua? Bagaimana “kegiatan2” itu bisa dipahami?

Untuk memahami situasi kampus achir2 ini, perlulah disadari bahwa kampus bukan lembaga steril jang bebas dari pengaruh dunia luar. Walaupun sekarang sering disebut bahwa kampus makin mendjadi elit, itu sama sekali tidak berarti bahwa civitas academica —disadari atau tidak, dimaui atau tidak— membawa masuk dinamkia jang terdjadi di dunia luar kampus.

Dengan begitu, mahasiswa sekarang jang lebih suka bersikap untung2an dalam studi (lulus udjian sjukur, tidak djuga tidak apa2; beladjar tjukup dilembur semalam), djuga merupakan pentjerminan apa2 jang bergejolak dalam masjarakat. Umum kita rasakan dalam kehidupan se-hari2 bahwa masjarakatpun dalam mentjapai tudjuannja banjak melakukan djalan pintas.

Karena itulah muntjul pendjiplakan skripsi (skripsi banjak jang mirip2); muntjul pula penelitian fiktif; kreativitas djadi almarhum; mahasiswa jang suka beladjar nglembur dan banjak tindakan lain untuk lulus setjepatnja. Pendidikan dengan begitu telah bergeser dari proses pendewasaan dan pematangan mendjadi proses pengkarbitan. Semua ini djelas bertentangan dengan keilmiahan sebuah civitas academica.

Di lain pihak, melimpahnja barang2 mewah di masjarakat sebagai konsekuensi logis bangunan perekonomian jang digerakkan oleh modal, semakin mengipasi hasrat hedonisme, konsumerisme berlebihan dan keserakahan. Pada gilirannja muntjullah situasi di mana kesadaran orang hanja digerakkan oleh rangsangan ekonomis. Pilihan untuk mendjadi mahasiswa, seperti kata Fahry Ali (1985: 33) hanja didorong oleh djandji2 jang diberikan oleh struktur sosial, budaja dan ekonomi. Dengan kesardjanaannja, kesempatan2 ekonomis, karier, status sosial dan berbagai djenis kehormatan lainnja terbuka setjara lebih luas bagi para mahasiswa. Dalam djaman moderen jang adalah djaman kemenangan modal ini, djelas terlihat bahwa pendidikanpun telah mengabdi padanja.

Dalam situasi demikian, bagaimana pers kampus bisa mendjadi adil, djudjur, dan obyektif? Bukankah kekuatan raksasa jang bersimaharadjalela dalam masjarakat itu djuga mengkleim diri telah bertindak adil, djudjur dan obyektif? Salah2 dengan mengobarkan slogan jang sama (batja: hanja ikut2an/latah), pers kampus bisa terdjebak untuk melakukan hal2 jang “adil”, “djudjur” dan “obyektif”.

V

Saja sudah berbitjara mengenai faktor2 jang tidak menguntungkan eksistensi pers kampus.

Pertama, soal kalah unggulnja pers kampus, termasuk medium tjetak lain, ketika harus berhadapan dengan medium massa mutachir jang ternjata lebih ampuh untuk memobilisasi opini masjarakat. Medium massa mutachir biasanja dimonopoli oleh elite pembuatnja atau elite jang bisa dan “berhak” membelinja. Itu berarti bahwa elite ini punja kesempatan besar untuk menjebarluaskan nilai2 kelompoknja, mendjadikan nilai2 itu “universal”, “diakui” dan “dimiliki” dan djuga “obyektif” bagi orang banjak. Dengan begitu dominasi elitisme mereka akan semakin mapan.

Basis2Dalam situasi begini, saja kira sudah saatnja bagi pers kampus untuk mentjurigai dan mempertanjakan kembali nilai2 universal jang sekarang dianut masjarakat, kalau perlu malah menjangkalnja sama sekali. Dengan lain perkataan, obyektivitas pers kampus akan harus berarti sesuatu jang tidak djudjur; keadilan pers kampus akan harus berarti sesuatu jang tidak adil terhadap nilai2 jang mapan itu. Sebuah tindakan jang menidakkan/menolak universalisme nilai2 itu.

Kedua, soal penjempitan makna politik. Di sini pers kampus tidak menghadapi pilihan lain ketjuali “tidak berpolitik” dan dengan begitu hanja memandang politik sebagai tindakan kritis (batja: tidak menjenangkan) terhadap penguasa. Sisi lain, jaitu tindakan jang menjenangkan penguasa bukan dianggap sebagai politik. Penjempitan makna politik ini memang bertudjuan untuk memobilisasi pers kampus ke arah sisi politik jang satunja itu.

Saja kira djalan keluar jang paling enak untuk melampaui situasi ini adalah mendudukkan kembali politik pada makna jang sebenarnja. Politik adalah keterkaitan seseorang pada kekuasaan. Keterkaitan jang bisa membuahkan sikap setudju pada tindakan penguasa, atau menolaknja sama sekali. Lagi pula, sebagaimana “tidak berbuat” adalah djuga “berbuat”, maka situasi “a-politis” mahasiswa sekarang adalah djuga wudjud dinamika politik mereka jang djustru ditunggangi oleh kepentingan pihak lain.

Ketiga, soal situasi kampus belakangan ini. Dalam situasi jang “a-politis”, kampus telah tampil sebagai skrup ketjil dari sebuah mesin raksasa jang senantiasa siap menggulung apa sadja, me-lumat2kannja sama sekali. Kampus jang “a-politis” ini mendjadi tidak berdaja untuk bisa berdiri dalam djarak dari semuanja, ia terhanjut sama sekali. Akibatnja sekarang muntjul banjak hal jang paradoksal bagi eksistensi sebauh civitas academica, djustru di dalam civitas academica itu sendiri.

Inikah hasil kampus jang “tidak berpolitik” itu? Inikah hasil mahasiswa jang duduk manis dalam ruang kuliah, radjin beladjar dan tidak lagi turun ke djalan itu? Benar, pers kampus harus bisa mempertanjakan kembali ruang lingkup kemahasiswaan jang kini telah begitu mapan dan dominan. Proporsionalitas masalah hendaknja dipegang teguh dalam usaha memahami situasi lingkungan jang ada. Ketidakdjelian dan ketidaktelitian akan menjebabkan pers kampus terdjebak untuk melihat masalah jang ada se-mata2 hanja sebagai persoalan pribadi jang terlbat, tanpa memperhatikan bangunan sistem jang melingkupi gerak2 pribadi itu. Adalah tidak benar djuga kalau bangunan sistem didjadikan kambing hitam bagi ketidakberesan kampus itu. Jang paling tepat adalah pemikiran dialektis jang mengkaitkan keduanja: pribadi jang terlibat berada dalam ruang lingkup sistem dan pribadi jang terlibat djuga menentukan tjorak sistem. Permasalahan akan tampak djelas kalau dilihat saling tindak di antara sistem dan pribadi.

Pada titik ini saja akan berhenti menulis seraja bertanja, Pers Kampus, adalah engkau “jang terhempas dan jang kandas”?

Salatiga 1 April 1986

Daftar Pustaka

Achdiat K. Mihardja (1984), “Dari Mahasiswa ke ‘University Student’”, dalam Kompas 9 November (halaman IV)

Ariel Heryanto (1984), “Sastra and Social Justice”, Ann Arbor: University of Michigan. Thesis M.A. yang tidak dipublikasikan.

Ariel Heryanto (1984), “Ganasnya Bahasa, Ganasnya Kekuasaan”, dalam Kompas 30 April (halaman IV).

Ariel Heryanto (1985), “Kritik untuk Politik Bahasa ‘Baik’ dan ‘Benar’” dalam Sinar Harapan, 24 Oktober (halaman VI).

Ariel Heryanto (1985), Kebahasaan, Kekuasaan dan Perubahan Sosial, mimeo.

Burgerlin, O (1972), “Structural Analysis and Mass Communication,” dalam Sociology of Mass Communication, McQuail, D. (ed.), Harmondworth: Penguin Books (halaman 313-328).

Daoed Joesoef (1978), “Normalisasi Kehidupan Kampus,” dalam Kompas 20 April (halaman IV)

Djajalaksana, S. (1985), “Kejayaan Pers Kampus,” dalam Suara Merdeka 17 Djanuari (halaman 2).

Emha Ainun Nadjib (1984), “Sastra Independen di Tengah Konditioning Struktur Makro Kenegaraan dan Kemasyarakatan,” dalam Sastra yang Membebaskan, Yogyakarta: PLP2M (halaman 24-38).

Enzenberger, H.M. (1972), “Constituents of a Theory of the Media,” dalam Sociology of Mass Communication. McQuail, D. (ed.) Harmondsworth: Penguin Books (halaman 99-116).

Fahry Ali (1985), “Membentuk Kesadaran Eksistensial Pemuda dan Mahasiswa,” dalam Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara. Djakarta: Penerbit Inti Sarana Aksara (halaman 31-38).

Gans H. J. (1972), “Politics of Culture in America: A Sociological Analysis,” dalam Sociology of Mass Communication. McQuail D. (ed.) Harmondsworth: Penguin Books (halaman 372-385).

Koendjono, Th, (?), ‘Studens A Non studendo’ dan Hambatan Lan” dalam Kompas.

Mardiatmadja, B. S. (1983), “Pers Mahasiswa: Pemacu Kontekstualisasi Perguruan Tinggi”, dalam Kompas, 8 Desember (haaman IV).

Noorca M. Massardi (1983), “Masa Depan Sastra dan Media Cetak,” dalam Kompas, 4 November (halaman IV).

Raden Jusuff (1984), “Memudarnya Dinamika Politik Mahasiswa,” dalam Kompas, 26 November (halaman IV).

Sinar Harapan (1986), “Detik Demi Detik Peristiwa Jatuhnya Marcos: Ya Tuhan, Ini Sudah Keterlaluan…” 28 Februari (halaman V).

Sularto, St (1983), “Pers Mahasiswa, Andaikan Boleh Terbit,” dalam Kompas 7 November.

Suwidi Tono (1983), “Sisi Lain Padamnya Pers Mahasiswa,” dalam Kompas, 23 November (halaman IV).


* Versi awal (jang lebih pendek) tulisan ini pernah disampaiken sebagai makalah pada “Seminar Pers Kampus Mahasiswa Wilajah III Jateng-DIY” jang diselenggarakan dalam rangka HUT majalah Hayam Wuruk, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, pada tanggal 8 Maret 1986.

[1] Upaja2 membakukan bahasa bisa pula dipahami dalam kerangka ini. Pembakuan bahasa jang hanja bisa dilakukan oleh penguasa memang bertudjuan untuk membuat rakjat “paham” bahasa penguasa. Tegasnja dengan bahasa jang sama, maka penguasa akan mendapat kemudahan untuk mendjarahkan kekuasaannja ke dalam (hampir) semua sendiri kehidupan masjarakat. Tidak adanja atau tidak efektifnja lembaga2 demokrasi jang bisa berfungsi sebagai kontrol djelas merupakan djaminan bagi berhasilnja “projek” ini.

[2] Walaupun Noorca M. Massardi (1983) menjebut bahwa mesin tjetak lebih mampu menjebarluaskan informasi setjara massal dan murah, tapi saja hampir pasti bahwa sebagian besar rakjat negeri ini akan lebih senang nonton televisi tetangga/televisi umum katimbang harus merelakan Rp. 100 – Rp. 300 untuk membeli Kompas, Sinar Harapan atau Suara Merdeka.

[3] Pertanjaan jang kontan timbul dalam benak saja, setelah membatja tema pertemuan (“Menggali Nilai Keadilan, Kedjudjuran dan Obyektivitas Pers Kampus”) kita pagi ini, lengkapnja demikian: Adakah keadilan jang adil? Adakah kedjudjuran jang djudjur? Adakah obyektivitas jang obyektif? Kalau ada, dengan apa kia bisa menggalinja? Dan bila dalam menggali itu kita berhasil menemukannja, kepada siapa mesti kita serahkan  hasil penemuan itu? Atau akan kita pakai sendiri? Kalau begitu, adakah tindakan memakai sendiri itu adil, djudjur dan obyektif? Kalau ja, bisakah dalam memakai itu kita tetap berlaku adil, djudjur dan obyektif? Saja kira, tidak ada sebuah obyektivitaspun jang b isa disampaikan oleh sebuah subyek. Begitu jang obyektif itu ditransfer melalui subyek, ia akan tidak obyektif lagi. “Obyektivitas” jang muntjul daripadanja adalah kenjataan baru jang sama sekali berbeda dengan aslinja. Demikian pula dengan dua nilai lain jang naga2-nja djuga berbau obyektivitas itu. Tidak ada satu subyekpun, baik itu orang maupun sekelompok orang, jang seratus persen bisa obyektif.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.