Kalow bisanja tjuman batja daripada versi EYDnja (kerna sudah kemakan orde bau), dipersilahken mengeklik di sini
Zaman sekarang sulit dibajangken ada sebuwah album rekaman jang berisi lagu2 dalem bahasa2 Sunda, Indonesia, Belanda, Djerman dan Prantjis. Dua bahasa Timur dan tiga bahasa Barat dalam satu album rekaman. Bagaimana itu mungkin?
Itulah hasil rekaman Bernadeta Astari, soprano Indonesia jang tahun lalu meraih gelar master pada Konservatorium Utrecht, Belanda tengah.

2012 memang tahun istimewa bagi Deta, panggilan akrab soprano jang lahir dan dibesarkan di Djakarta ini. Selain lulus dengan pudjian, dia djuga berhasil menggondol edisi pertama piala Dutch Classical Talent Award. Lebih dari itu, Deta djuga berhasil meraih hadiah Propinsi Noord Brabant dalam kedjuaraan bergengsi Kompetisi Vokal Internasional di kota Den Bosch, Belanda selatan.
Album CD jang terbit achir tahun lalu merupakan puntjak penghargaannja, selain kesempatan tampil pada pelbagai gedung konser di kota2 besar Belanda.
Perdjalanan
Deta memilih djudul dalam bahasa Indonesia: Perdjalanan untuk albumnja ini. Maklum dia ingin mengadjak pendengar melakukan perlawatan seni suara dari Barat ke Timur. Titik awal di Barat karena baginja komponis Austria Franz Schubert [1797–1828] adalah tokoh pertama jang mentjiptakan Lieder, lagu seni. Titik achir di Timur dengan tjiptaan Mochtar Embut [1934-1973] atas puisi2 Rendra.
Di Barat, setelah Schubert (zaman romantik awal) pendjeladjahan Deta berlandjut ke Hugo Wolf [1860-1903], komponis zaman romantik achir sampai Anton Webern [1883-1945], komponis moderen, pelopor musik 12 nada dan anggota apa jang disebut aliran Sekolah Wina Kedua. Itu untuk Lieder, musik vokal berbahasa Djerman.
Dalam dunia chanson, musik vokal Prantjis, Deta djuga mendjeladjahi zaman2 jang sama, melalui tjiptaan2 Ernest Chausson [1855-1899], Claude Debussy [1862-1918] dan Olivier Messiaen [1908-1992]. Jang menarik adalah Willem Pijper [1894-1947]. Dia memang komponis Belanda zaman romantik achir, tetapi Deta memilih dua tjiptaannja jang berbahasa Prantjis, La Maumariée tentang seorang gadis jang dipaksa kawin dengan seorang pria seusia ajahnja.
Melihat rentangan zaman jang begitu lebar, dari romantik dini pada awal abad 19 sampai modern di achir abad 20, orang tergoda untuk bertanja bagaimana sebenarnja daja vokal Deta? Mampukah dia mendjeladjahi karja2 dalam rentangan zaman jang begitu lebar? Bukankah seorang penjanji klasik selalu diandjurkan berspesialisasi pada karja zaman tertentu? Djarang ada seorang soprano jang all-round, menekuni musik dari pelbagai zaman. Djelas dibutuhkan kelenturan vokal luar biasa supaja benar2 menampilkan karja2 beragam zaman itu se-baik2nja, sehingga lajak diperhitungkan sebagai seorang soprano serius. Dan ternjata Deta berhasil!
Deta membuktikan bahwa suaranja bukan hanja mampu menampilkan nomer2 itu sebagaimana mestinja, tetapi dia djuga bisa mejakinken bahwa rentangan zaman jang begitu lebar itu ternjata tetap berada dalam djangkauan vokalnja. Kelenturan vokal itu djuga dilengkapinja dengan diksi atau lafal jang djelas serta taat pada penutur asli. Bukan hanja lafal bahasa Djerman atau Belanda jang tidak terlalu sulit, tetapi djuga lafal bahasa Prantjis jang lebih pelik karena mengandung sengau. Larik2 bahasa Prantjis dibawakannja dengan djelas, sehingga mereka jang faham bahasa ini pasti akan bisa mengertinja.
Kalaupun ada kritik, maka Deta rasanja harus menggarap lebih djauh register rendahnja. Terutama karja2 Webern jang berisi interval (londjakan) drastis antara lengkingan tinggi dengan geraman jang begitu rendah, mengharuskan Deta untuk mematangkan nada2 rendahnja. Seperti nada tinggi jang berhasil dilengkingkannja dengan tjemerlang, nada2 rendah djuga harus bisa ditampilkan lebih baik lagi, supaja lebih kentara getar dan gemanja.

Berdarah Indo
CD ini dibuka dengan Tembang Sunda, karja Paul Seelig [1876-1945], seorang komponis berdarah Indo, tjampuran Indonesia Belanda jang hidup dan berkarja di Bandung. Sebelum Djepang masuk, Seelig mengelola penerbitan musik Matatani di Bragaweg 19.
Di sinilah pesona jang ditampilkan Deta, terutama bagi para pendengarnja di Belanda. Sebagai seorang Indonesia dia membawakan nomer2 berbahasa Sunda dengan suara matang, lengkap dengan nada2 hiasan jang hanja terdengar singkat tetapi dalam djumlah jang tidak sedikit. Di awal ini suara Deta langsung terdengar tjemerlang, orang Djawa menjebutnja tjemengkling.
Selain Seelig, Deta djuga memilih dua karja Bernhard van den Sigtenhorst Meyer [1880-1953] jang berkaitan dengan Indonesia. Salah satunja, Morgen in Tenger (Fadjar di Tengger), ditjipta atas sjair karja pasangan hidupnja, Rient van Santen, berkisah tentang perdjalanan ke gunung Bromo dan alam sekitarnja nan permai.
Paul Seelig dan Bernhard van den Sigtenhorst Meyer memang tidak dikenal orang, tidak di Belanda, tidak pula di Indonesia, walaupun banak karja mereka mengandung anasir gamelan Sunda, Djawa, maupun Bali.
Inilah makna penting perdjalanan Bernadeta Astari. Dia tidak hanja membawakan karja2 jang sudah terkenal, tjiptaan komponis2 ternama seperti Debussy atau Messiaen. Perdjalanannja djuga menemukan karja2 para komponis Indo jang memang sudah dilupakan orang. Tapi karja2 mereka penting karena sesudah Debussy jang selalu dianggap komponis awal, kosanada gamelan terus mendjangkiti komponis2 lain.
Lebih chusus lagi, bagi kita di Indonesia, karja2 komponis Indo jang terpengaruh gamelan ini djelas merupakan pendahulu pelbagai lagu seriosa kita, misalnja tjiptaan Mochtar Embut. Inilah langkah berani Deta jang patut diatjungin djempol.
Sahut2-an
Langkah seperti ini sebenarnja sudah terlihat ketika Deta ikut dalam perlombaan Dutch Classical Talent Award. Begitu masuk babak final di panggung Concertgebouw Amsterdam —pentas musik klasik paling bergengsi Belanda— Deta langsung menggebrak. Dia tidak tampil kaku dengan tangan terpadu. Dalam membawakan nomer2 pilihannja Deta djuga ber-acting, mendjiwai benar nomer2 itu.
Langkah berani ini bukannja tanpa resiko. Di Barat orang selalu membedakan penampilan solo dari penampilan dalam opera, karena selain seni suara, opera djuga berisi seni peran. Sebaliknja, ketika tampil solo seorang penjanji hanja diminta menuturkan isi nomer2 jang dibawakannja. Penuturan itu biasanja datar, tak perlu pendjiwaan, karena ia membawakan lagu klasik/seriosa, bukan opera. Tapi Deta ternjata bernjali djuga menghapus pembedaan itu. Benar: ia membawakan lagu2 pilihannja seperti berperan dalam pementasan opera.
Dalam rekaman ini, tetap bisa kita dengar pendjiwaannja jang lebih dari sekedar penuturan datar. Deta memberi tekanan atau aksen pada sebuah kata jang baginja penting dalam larik lagu jang dibawakannja. Tentu ini djuga dilakukannja dengan lafal jang tepat. Alhasil, dewan djuri menggandjar keberanian Deta dengan pudjian bahwa “begitu tampil dia langsung membawa hadirin ke dalam penuturan kisah musiknja”.
Deta tidak sendirian dalam menempuh perdjalanan ini, sebagai soprano ia tentu butuh pengiring. Tugas ini dipertjajakan pada Inoue Kanako, seorang pianis Djepang jang permainannja mampu mengimbangi Deta. Kepiawaian Inoue-san tampak menondjol pada rangkaian lagu seriosa Bumi Hidjau karja Mochtar Embut. Dia tidak hanja mengiringi, tetapi djuga mendampingi, lewat sahut2an djenaka antara piano dengan vokal. Bagi pendengar Eropa, karja Mochtar Embut ini bisa djadi terdengar tidak terlalu asing, chazanah lagu klasik Eropa bisa didjadikan atjuhan. Mendengar nomor terachir jang berdjudul Angin Djahat, para pendengar Eropa pasti akan mengenalinja sebagai versi pentatonis Erlkönig tjiptaan Schubert atas sjair Goethe.

Dua gadis Asia tampil menjeruak dalam blantika musik klasik Belanda. Mereka tidak hanja undjuk virtuositas dalam membawakan karja2 komponis Eropa dari zaman romantik sampai moderen. Mereka djuga menampilkan musik karja komponis Indonesia. Sudah saatnja memang chalajak Barat tahu kualitas musik kita.
Kalow ngebet kepingin denger tjuplikan CD itu, silahken ngeklik di sini, maka walopun akan nongol situs web dalem bahasa Londo, masih bisa dilihat mana jang harus diklik lagi untuk bisa mendengarken njanjian Deta. Di situ aken bisa didenger nomer2 tjiptaan Willem Pijper, Ernest Chausson dan Mochtar Embut.