“Meliput Timor Timur untuk Radio Nederland serta ‘menggilir’ uskup Belo di Oslo dan Dili” oleh Joss Wibisono

Kalau seorang penjiar radio berpapasan di djalan dengan salah seorang pendengarnja, bagaimana mereka bisa saling mengenali? Penjiar radio bukan penjiar televisi, pendengar paling banter hanja mengenali swaranja. Wadjah seorang penjiar radio tidak tersiar dan karena itu djuga tidak terkenal seperti swaranja. Menariknja, untuk kasus Timor Timur sebagai bekas penjiar Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum, Negeri Belanda, saja punja pengalaman unik dalam berdjumpa dengan pendengar. Berikut dua peristiwa jang benar2 telah saja alami sendiri.

Oslo, awal desember 1996. Ketika pada hari sabtu tanggal 7 desember saja tiba di ibukota Norwegia ini, tjuatja sudah agak “menghangat”. Udara beku jang membuat djalan2 litjin tiba2 berlalu, tapi suhu tetap tidak sampai lima deradjat Celcius. Begitu mendaftarken diri di press centre, kami mendapat peringatan supaja ber-hati2, bukan sadja karena djalan2 jang mungkin mingsih litjin, tetapi djuga lantaran ternjata ada sadja kalangan jang tidak senang bahwa pada tahun itu hadiah Nobel Perdamaian dianugerahken kepada uskup diosis Dili, monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo dan “menteri luar negeri Fretilin” José Ramos-Horta. Konon, kalangan itu djuga berniat hadir di Oslo.

José Ramos-Horta dan Monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo tatkala menerima anugerah Nobel Perdamaian, Oslo 10 desember 1996José Ramos-Horta dan Monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo tatkala menerima anugerah Nobel Perdamaian, Oslo 10 desember 1996
José Ramos-Horta dan Monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo tatkala menerima anugerah Nobel Perdamaian, Oslo 10 desember 1996

Terus terang saja tidak begitu paham mengapa kami harus ber-hati2 terhadap mereka jang tidak senang itu. Sebagai wartawan, paling banter tugas saja adalah meliput djalannja upatjara penganugerahan, dan itu akan sangat berhasil kalau saja bisa mewawantjarai kedua pemenang. Kalau mau saja djuga siap mewawantjarai mereka jang tidak setudju itu. Tapi di mana bisa berdjumpa mereka, untuk diwawantjarai, di Oslo ini? Wawantjara dengan José Ramos-Horta memang bukan masalah. Tokoh ini begitu ramah pada wartawan dan senang publisitas, sehingga pada hari pertama itu, bersama George Junus Aditjondro, saja berhasil menemui dan memperoleh wawantjara dengannja. Tetapi dengan uskup Belo?

Begitu diumumkan bahwa Amo (sebutan terhormat untuk bapa uskup) Belo menang hadiah Nobel Perdamaian, sekitar sebulan sebelumnja, Radio Nederland termasuk media pertama jang menelpon beliau. Saja ingat sekali bagaimana Amo Belo begitu gembira dalam pembitjaraan telpon antar benua itu. Kepada beliau saja berdjandji akan membawa champagne (sematjam tuak Prantjis) ke Oslo sebagai hadiah, mengiringi utjapan selamat segenap karjawan Radio Nederland, bukan hanja kami di siaran Indonesia, melainkan djuga rekan2 siaran2 lain, seperti siaran bahasa Inggris, bahasa Portugis dan bahasa Spanjol. Dan memang pada hari ketika nama beliau diumumkan sebagai pemenang itu, kami djuga langsung mewawantjarai bapa uskup; tidak hanja dalam bahasa Indonesia, tetapi djuga dalam bahasa2 Inggris, Portugis dan Spanjol. Kami “menggilir” monseigneur Belo, karena chawatir kalau tiap siaran sendiri2 menelpon, maka akan susah menghubungi beliau lagi, maklum pemenang Nobel terbaru ini pasti akan dihubungi banjak kalangan. Alhasil pada hari itu pembitjaraan telpon internasional Hilversum Dili berlangsung selama hampir sedjam.

Tentu sadja di Oslo ini wawantjara dengan Amo Belo kembali harus bisa terlaksana. Tapi bagaimana? Bagaimana pula harus menjerahkan sebotol champagne jang sudah saja djandjikan ini? Rasanja sangat tidak mungkin. Bukan sadja karena beliau begitu sibuk dengan pelbagai atjara dan resepsi, tetapi sebagai tamu kehormatan beliau djuga didjaga ketat oleh aparat keamanan Norwegia. Bagaimana mungkin saja bisa menghubungi beliau dan meminta kesediaan untuk diwawantjarai. Njaris mustahil! Ketidakmungkinan ini mendjadi kepastian ketika panitia penjelenggara mengumumkan bahwa kedua pemenang jaitu José Ramos-Horta dan uskup Belo akan menjelenggarakan jumpa pers setjara serempak, dan itu satu2nja kesempatan bagi pers internasional untuk mewawantjarai mereka, bukan setjara pribadi tetapi setjara umum dan terbuka.

Dua putra Timor Leste berdjabat tangan di gedung komite Nobel Oslo
Dua putra Timor Leste berdjabat tangan di gedung komite Nobel Oslo

Senin 9 desember, malam hari berlangsung arak2an untuk meng-elu2kan kedua pemenang. Saja ikut iring2an itu, berharap bisa merekam sorak sorai para peserta dan mewawantjarai salah seorang di antara mereka. Untuk itu saja keluarkan mikofon Radio Nederland, dengan penutup berbentuk bola berwarna kuning. Sorak sorai berhasil saja rekam, tetapi sulit menemukan peserta pawai jang bisa berbahasa Indonesia.

Ketika iring2an tiba di Grand Hotel Oslo dan keduwa putra Timor Timur keluar menjambut elu2an di balkon, tiba2 seorang pria mendekat. Rupanja dia melihat tutup mikrofon Radio Nederland. Ia bertanja dalam bahasa Indonesia apakah saja datang langsung dari Hilversum. Saja djawab ja, dan dia bertanja lagi apakah saja ingin mewawantjarai Amo Belo. Tentu sadja! Begitu djawab saja sambil melihat penampilan orang itu. Ia djelas orang Timor Timur, tapi Timor Timur jang mana? Jang menjambut gembira penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian atau jang tidak? Sementara itu sudah tersiar berita bahwa dari Dili djuga bertolak beberapa pemuda jang tidak setudju dengan penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian kepada duwa putra Timor Timur. Bisa2 saja sekarang tengah ber-hadap2an dengan salah satunja.

Saja ganti bertanja, memangnja dia siapa? Djawabannja tidak mengusir keraguan saja, karena ia hanja berudjar dapat mengatur wawantjara jang begitu saja dambakan itu. Langsung saja tegasken sulit mempertjajainja karena saja tidak tahu siapa dia sebenernja. Apakah dia berasal dari kalangan jang setudju atau jang tidak setudju dengan penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian 1996 kepada dua putra Timor Timur? Semua ini saja utarakan sambil mengingat peringatan panitia supaja ber-hati2 dalam mendjalankan tugas. Pada saat itu saja baru ngeh alias sepenuhnja paham mengapa panitia sampai perlu2nja mengeluarkan peringatan.

Mendengar keraguan saja dia tampak merasa terdesak. Dan saja terus menegaskan bahwa di Oslo ini ada djuga mereka jang anti penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian. Bisa sadja kan dia termasuk jang tidak setudju itu, bagaimana saja bisa tahu? Ia tampak makin terdesak lagi.

Achirnja dia mengaku bernama Amandio de Araujo Soares, sekretaris pribadi Amo Belo. Saja belum terlalu jakin pada pengakuannja. Kepadanja saja mendesak supaja dipertemukan dengan Amo Belo. Amandio meminta saja datang ke Grand Hotel Oslo, tempat uskup Belo menginap. Bukan esok harinja 10 desember karena hari itu berlangsung upatjara penganugerahan, melainkan sehari sesudahnja, rebo pagi 11 desember. Saja diundang sarapan bersamanja dan uskup Belo. Terus terang selasa malamnja saja tidak terlalu njenjak tidur, sebentar2 bangun sambil bertanja2 bagaimana kalau semua ini bohong belaka? Dan saja terperangkap dalam djebakan kalangan jang tidak setudju hadiah Nobel Perdamaian 1996 dianugerahkan kepada duwa putra Timor Timur?

Kartu pers Nobels fredspris 1996
Kartu pers Nobels fredspris 1996

Rabo pagi, tatkala suasana musim dingin masih gelap tapi waktu sudah menundjukkan djam 7:30, saja siap di depan Grand Hotel Oslo. Dengan kartu pers saja boleh masuk, walaupun harus menunggu. Lumajan, batin saja, tidak perlu ber-dingin2 di luar. Pada saat itu saja melihat banjak wadjah Timor Timur, sedikit sadja jang saja kenal karena sering kami wawantjarai (misalnja Manuel Carrascalão), dan lebih banjak jang tidak saja kenal, misalnja Mari Al-Katiri jang datang dari Mozambik. Kembali saja mendjadi paham: penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian ini sekaligus djuga merupakan reuni antara orang2 Timor jang selama ini terpisah karena alasan politik. Manuel Carrascalão sempat berkisah bahwa di Oslo ini untuk pertama kalinja ia kembali bertemu adiknja João, setelah terpisah lama, karena si adik memutuskan untuk menetap di Portugal. Manuel dan João Carrascalão pasti tidaklah sendirian, di ibukota Norwegia ini saja jakin ada kakak adik, sanak saudara, dan handai taulan lain jang kembali bertemu, setelah sekian lama berpisah.

Terdengar orang memanggil nama saja, ketika menoleh terlihat George Junus Aditjondro bersama Romo Y. B. Mangunwijaya, dua tjendekiawan Indonesia jang terkenal selalu kritis terhadap harto orde bau, termasuk ulah rezim tangan besi ini di apa jang selalu disebut “provinsi termuda” Timor Timur. Ahad 8 desember, di gereja katedral Oslo tatkala berlangsung misa konselebrasi jang diundjukkan oleh uskup Oslo bersama Amo Belo, saja sudah bertemu Romo Mangun. Waktu itu kami bersepakat akan djalan bersama. Maklum Romo Mangun tidak memiliki tanda pengenal, dan saja bisa memanfaatkan kartu pers bersama kenalan lama ini. Dengan George Junus Aditjondro saja ingin bikin djandji wawantjara. Belum lagi kami sempat bersepakat, muntjul Amo Belo, dan benar, di belakangnja menjusul Amandio. Pemandangan jang melegakan, walaupun saja masih was2. Segera saja melangkah maju menemui uskup Belo, tetapi tanpa di-duga2 muntjul dua orang pengawal jang menghalangi saja. Untung Amandio segera melerai mereka dan berkata bahwa saja memang sudah djandji ketemu. Pagi itu saja berhasil bersepakat dengan Amo Belo untuk mewawantjarainja pada sore hari. Amandio akan mengurus supaja saja memperoleh izin masuk kamar jang ternjata didjaga ketat.

Uskup Belo segera melangkah ke medja sarapan, dan kembali saja dikedjutkan oleh tamu2 lain jang mengutjapkan “Bom dia” (selamat pagi dalam bahasa Portugis) seraja mendjabat tangan beliau. Semuanja orang2 terkenal, antara lain Danielle Mitterand, istri (bekas) presiden Prantjis François Mitterand. Betapa saja salah tingkah melihat madame Mitterand mengulurkan tangannja jang tertelungkup ketika diperkenalkan pada saja, sedjenak tertegun saja segera sadar tangan itu tidak untuk didjabat melainkan dieluskan ke pipi. Terlihat pula Desmond Tutu, uskup geredja Anglikan Afrika Selatan, pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1984. Terserang kikuk, saja sempat ber-tanja2 pada diri sendiri: djadi sekarang harus berbuat apa? Saja djelas bukan apa2 di antara nama2 besar dan terkenal ini. Sjukurlah Amandio kini tampil sebagai al-masih alias djuru selamat. Dia ternjata tidak melupakan saja, dipersilahkannja saja duduk di sampingnja pada medja jang lebih ketjil, tidak djauh dari medja besar bapa uskup. Pada medja itu djuga duduk Romo Mangun jang segera terlibat dalam pembitjaraan serius, dalam bahasa Djawa kråmå inggil, dengan Peter Carey, ilmuwan Inggris jang djuga menaruh perhatian chusus pada Timor Timur. Sedangkan George Junus Aditjondro tidak terlihat lagi, mungkin dia tidak diundang sarapan.

Tjukup lama djuga menanti pada sore harinja, untung begitu Amo Belo masuk hotel dan semua orang berdiri menjambutnja, segera dia mengenali saja. Kembali saja djabat tangannja seraja menjerahkan sebotol champagne, jang diterimanja dengan senjuman lebar. Saja diadjak masuk lift jang membawa kami ke suite, kamar besar di tingkat teratas jang beliau tempati. Sebelum masuk saja masih harus digeledah dulu oleh beberapa orang pendjaga jang dengan ketat mengawal uskup Belo. Wawantjara dengan Amo Belo, dalam bahasa2 Indonesia, Inggris, Portugis dan Spanjol (walaupun pertanjaannja saja adjukan dalam bahasa Indonesia), berlangsung selama sedjam lebih sedikit.

Mewawantjarai Amo Belo di suite Grand Hotel Oslo (foto diambil oleh Amandio)
Mewawantjarai Amo Belo di suite Grand Hotel Oslo (foto diambil oleh Amandio)

Alhasil, berkat Amandio, Radio Nederland Wereldomroep merupakan satu2nja medium (selain pemantjar televisi Amerika CNN) jang berhasil mewawantjarai uskup Belo di Oslo setjara tatap muka, dan bukan hanja djumpa pers umum belaka. Itu terdjadi karena Amandio, sekretaris pribadi Amo Belo, mengenali saja dari tutup kuning mikrofon Radio Nederland.

Dili, 20 mei 2002. Segenap masjarakat ibukota negara baru Timor Leste bertempik sorak meriah menjambut kemerdekaan negara mereka. Pagi hari djam 10 saja mengikuti pawai arak2an menjambut kemerdekaan. Seperti di Oslo lima tahun sebelumnja, lagi2 saja keluarkan mikrofon Radio Nederland, dengan tutup berbentuk bola berwarna kuning itu.

Udara dan tjuatja Dili bertolak belakang sekali dengan udara dan tjuatja Oslo. Dili tjerah bahkan tjukup gerah, sedangkan Oslo gelap dan dingin, njaris beku. Di Dili mudah mewawantjarai orang, karena siapa sadja (masih) bisa berbahasa Indonesia. Di Oslo sulit menemukan orang jang bisa berbahasa Indonesia, saja harus berani2 bertanja untuk bisa berdjumpa dengan orang itu. Tetapi di kedua kota terdjadi peristiwa jang hampir sama.

Di Dili, pagi itu, dua pria remadja mendekati saja. Dengan sangat sopan mereka bertanja apakah saja memang penjiar Radio Nederland di Hilversum, sambil menundjuk tutup mikrofon berwarna kuning jang saja genggam. Saja djawab ja, dan mereka bertanja bolehkah mereka menjampaikan tanda mata. Saja tergagap, tidak paham maksud mereka. Mengapa harus ada hadiah untuk Radio Nederland?

Sebelum mendjawab pertanjaan ini mereka terlebih dahulu memperkenalkan diri. Jang satu bernama Costavio Marques, mahasiswa Fakultas Peternakan Universidade Nacional de Timor Leste, jang lainnja Barsilio Dorosario, siswa Presecundario (setingkat dengan SMU) No. 3 di Dili. Keduanja berasal dari satu desa jang sama di wilajah Los Palos dan keduanja djuga tinggal pada satu pemondokan di Dili.

Tapi mengapa mereka membawa hadiah untuk Radio Nederland?

Keduanja hampir mendjawab serempak. Radio Nederland selama ini merupakan sumber berita utama mereka. Dan jang lebih penting lagi, menurut pengakuan mereka, adalah ketika berlangsung malapetaka setelah referendum 30 agustus 1999. Costavio dan Barsilio bersama teman2 lain mengungsi ke pegunungan. Mereka tidak membawa banjak barang, tetapi masih sempat membawa radio, dan melalui radio itu mereka mengikuti perkembangan di Dili, termasuk mendengarkan Radio Nederland. Bahkan, menurut mereka Radio Nederland merupakan satu2nja sumber informasi di pengungsian. Achirnja diputuskan untuk memuat tais, sematjam tenunan ikat tradisional Timor Leste jang setjara chusus ingin mereka sampaikan kepada Radio Nederland sebagai utjapan terima kasih.

Barsilio dan Costavio sadar bahwa menjampaikan tais itu kepada kami akan lebih sulit ketimbang membikinnja. Tapi, kembali berkat tutup mikrofon kuning kami, mereka berdua bisa berkenalan dengan staf Radio Nederland dan menjampaikan tais bikinan mereka sendiri. Obrigado barak Barsilio dan Constavio!

Mikrofon Radio Nederland dan motto siaran bahasa Inggris
Mikrofon Radio Nederland dan motto siaran bahasa Inggris

Soal Timor Timor jang sekarang menjebut diri Timor Leste itu tutup mikrofon kuning ternjata telah berperan penting sebagai tanda pengenal dan penghubung Radio Nederland dengan pendengarnja, apakah itu di Dili ataupun di Oslo. Sebagai fiksi hal2 jang serba kebetulan tadi tidak akan menarik, para kritisi sastra malah akan mentjap kebetulan2 itu sebagai unsur jang paling lemah. Sematjam deus ex machina alias sesuatu jang djatuh dari langit lantaran penulisnja main gampangan belaka. Untung sadja ini bukan fiksi jang lahir dari angan2. Ini adalah kisah njata jang, paling sedikit, saja alami sendiri.

Satu pemikiran pada ““Meliput Timor Timur untuk Radio Nederland serta ‘menggilir’ uskup Belo di Oslo dan Dili” oleh Joss Wibisono

  1. Obrigado Radio Netherland (terimakasih Radio Netherland) atas kerja kerasmu kami dapat mengikuti perkembangan dan proses pencapaian tujuan negara baru Timor Leste. Radio Netherland adalah pejuang kami di luar utk menyiarkan apa yg terjadi luar sana dan apa yang terjadi dalam (Indonesia) di Timor Portugis sekarng RDTL.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.