“800 tahun universitas Salamanca: menang tapi tak mejakinkan” oleh Joss Wibisono

La Universidad de Salamanca, dalam bahasa Latin ‘Universitas Studii Salmantini’, didirikan pada tahun 1218 oleh radja Alfonso IX jang waktu itu bertahta di wilajah León (Spanjol barat). Inilah universitas tertua Spanjol. Sebelum itu sudah ada universitas lebih tua lagi di Eropa: di Bologna (Itali) didirikan 1180, di Oxford (Inggris) 1200, dan djuga Cambridge (1209). Sebagai pembanding, Ken Arok mendirikan keradjaan Singhasari di Djawa Timur pada tahun 1222, empat tahun setelah univeritas Salamanca berdiri. Walau begitu, gedung2 universitas jang sekarang ada di Salamanca dibangun pada abad 14, tahun 1580an. Bisa djadi, pada waktu didirikan, gedung2 universitas masih terlalu sederhana misalnja terbuat … Lanjutkan membaca “800 tahun universitas Salamanca: menang tapi tak mejakinkan” oleh Joss Wibisono

“Kuburan massal di Spanjol: San Fernando di Sevilla versus San Rafael di Málaga” oleh Joss Wibisono

Setelah kuburan djenderal besar Francisco Franco dibongkar kemis 24 oktober, maka keturunan para korban diktator militer Spanjol ini beralih menuding dua gembong tentara lain yang masih enak2an nongkrong di dalem kuburan terhormat. Maklum keluarga para korban itu masih banjak jang tergeletak dalam kuburan massal, tak tahu di mana pastinja. Mereka masih harus digali dan diindentifikasi melalui udji DNA. Tentu keturunan korban ini tidak rela melihat para pembunuh jang terus enak2an nongkrong di dalem geredja alias kuburan terhormat, sementara nenek mojang mereka bergeletakan di kuburan massal, tidak dalam makam jang djelas dan djuga tidak teridentifikasi. Salah satu kontroverse itu menjangkut makam … Lanjutkan membaca “Kuburan massal di Spanjol: San Fernando di Sevilla versus San Rafael di Málaga” oleh Joss Wibisono

“30 tahun bobolnja tembok Berlin” oleh Joss Wibisono

Ini hari, 9 november 2019, tepat 30 tahun silam tembok Berlin bobol. Aku sempat menjaksiken peristiwa bersedjarah ini dengen mata kepala sendiri. Tapi sebelum nulis lebih landjut perlu ditegeskan bahwa aku tidak berada di Berlin tepat pada tanggal 9 november 1989 itu. Aku baru ke sana 10 hari sesudahnja, tepatnja tanggal 18 november 1989, seperti bisa dilihat pada visa DDR (Djerman Timur) jang itu wektu aku peroleh dan tertera pada salah satu paspor lamaku. Tapi tidak ke Berlin azha, 30 tahun silam aku djuga ke Leipzig. Tentu azha aku mengirim laporan untuk Radio Nederland, tempatku bekerdja waktu itu, sebagai repoter … Lanjutkan membaca “30 tahun bobolnja tembok Berlin” oleh Joss Wibisono

“‘Broederliefde’: Kehangatan kakak beradik Vincent dan Theo van Gogh” oleh Joss Wibisono

Versi pendekan dan dalem edjaan orde bau bisa dibatja di sini. Perubahan terbesar dalam hidup Vincent van Gogh (1853-1890) diawali oleh usul adiknja, Theo van Gogh (1857-1891). Theolah jang men-dorong2 kakaknja supaja mendjadi seniman perupa. Selandjutnja, dalam hidup Vincent jang serba kekurangan, Theo selalu tampil sebagai adik jang penuh pengertian. Mengapa Theo membiajai hidup kakaknja? Adakah si adik punja intuisi masa depan, atau dia tjuma terdorong oleh tjinta pada kakak? Sebagai anak sulung, Vincent van Gogh dibesarkan dalam keluarga pendeta, bersama lima orang adiknja, dua laki2 dan tiga perempuan. Vincent dan adik2nja dididik dalam norma kelas menengah Belanda abad 19: … Lanjutkan membaca “‘Broederliefde’: Kehangatan kakak beradik Vincent dan Theo van Gogh” oleh Joss Wibisono

“Meliput Timor Timur untuk Radio Nederland serta ‘menggilir’ uskup Belo di Oslo dan Dili” oleh Joss Wibisono

Kalau seorang penjiar radio berpapasan di djalan dengan salah seorang pendengarnja, bagaimana mereka bisa saling mengenali? Penjiar radio bukan penjiar televisi, pendengar paling banter hanja mengenali swaranja. Wadjah seorang penjiar radio tidak tersiar dan karena itu djuga tidak terkenal seperti swaranja. Menariknja, untuk kasus Timor Timur sebagai bekas penjiar Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum, Negeri Belanda, saja punja pengalaman unik dalam berdjumpa dengan pendengar. Berikut dua peristiwa jang benar2 telah saja alami sendiri. Oslo, awal desember 1996. Ketika pada hari sabtu tanggal 7 desember saja tiba di ibukota Norwegia ini, tjuatja sudah agak “menghangat”. Udara beku jang membuat djalan2 litjin … Lanjutkan membaca “Meliput Timor Timur untuk Radio Nederland serta ‘menggilir’ uskup Belo di Oslo dan Dili” oleh Joss Wibisono

“Irawan Soejono: roh pembebasan” oleh Joss Wibisono

• Versi EYD alias edjaannja orde bau bisa dibatja dengen mengklik ini: • Djangan lupa untuk djuga membatja artikel terdahulu jang merupakan bagian pertama. Pingin batja? Silahken ngeklik ini. Di pemakaman bersaldju jang lengang berdiri sekelompok orang mengelilingi salah satu liang lahatnja. Sebagian besar perempuan dan pria di atas 40 tahun, hanja beberapa orang jang belum mentjapai usia itu berani menantang amarah nazi. Sebenarnja masih banjak sahabat almarhum jang ingin memberi penghormatan terachir, tapi mereka harus tinggal di rumah menahan duka. Hari jang sedih, pemakaman jang sedih. Begitulah alinea pertama berita duka berdjudul “Irawan Soejono” buah pena R. M. Soeripno … Lanjutkan membaca “Irawan Soejono: roh pembebasan” oleh Joss Wibisono

“Irawan Soejono dan pengakuan setelah 71 tahun” oleh Joss Wibisono

Versi lain, dalem EYD alias edjaannja orde bau, bisa dibatja dengen mengklik ini. Djedjak2 Belanda di Indonesia sudah banjak diketahui orang, jang sedikit diketahui adalah djedjak2 orang Indonesia di Belanda. Lebih dari 70 tahun silam, semasa Perang Dunia Kedua, para pemuda Indonesia ikut berperan dalam verzet, perlawanan terhadap nazi jang saat itu menduduki negeri pendjadjah. Peran jang tidak ketjil, tapi tak banjak diketahui orang. Salah seorang mahasiswa Indonesia itu adalah Irawan Soejono. Dengan heroik, dia melawan pendudukan nazi lewat tulisan dan gerilja bawah tanah, hingga kematian menghentikan langkahnja. Pada tanggal 4 mei lalu, atas kegigihan perdjuangan dan pengorbanannja, Leiden setjara … Lanjutkan membaca “Irawan Soejono dan pengakuan setelah 71 tahun” oleh Joss Wibisono

“Asosiasi Pasar Malam dan Sastra Indonesia di Prantjis” oleh Joss Wibisono

Klow maunja batja versi EYD, silahken ngeklik ini. Kamis sore 16 Oktober itu Auditorium INALCO (singkatan bahasa Prantjis untuk Institut Nasional Bahasa dan Kebudajaan Timur) di Paris tenggara, tampak mulai ramai. Seperti air menetes, pengundjung berdatangan menghadiri seminar bertadjuk “Paris vu de Djakarta” alias “Paris dipandang dari Djakarta”. Atjara utama seminar bienale (dua tahunan) ini adalah peluntjuran Retour, terdjemahan bahasa Prantjis novel Pulang karja penulis Indonesia Leila S. Chudori. Dari sela2 pengundjung jang mulai memadati ruangan menudju auditorium, sesekali menjembul seorang perempuan jang begitu sibuk mengurusi ini itu. Sore itu Johanna Lederer bergaun tjoklat kemerahan dengan selendang songket biru berdjuntai … Lanjutkan membaca “Asosiasi Pasar Malam dan Sastra Indonesia di Prantjis” oleh Joss Wibisono

“Ich bin parteilos” oleh Joss Wibisono

Ini tulisan lama. Hasil reportase pertamaku ke luwar negeri. Dalam hal ini ke Leipzig di Djerman Timur, dua minggu setelah Tembok Berlin bobol, November 1989. Diumumkan oleh Madjalah Editor, No. 13/Thn. III/2 Desember 1989, halaman 89-90 Leipzig, kota industri, pusat perlawanan kaum pembangkang, tak pernah sepi dari demonstrasi. Leipzig, Djerman Timur, 21 November 1989. Pedagang kristal Walter Dreyers tampak ter-buru2 melajani pengundjung tokonja. Di seberang toko itu, lontjeng Geredja Thomas –tempat komponis Johann Sebastian Bach 200 tahun silam mementaskan karja2nja–  berdentang empat kali. Mengapa ter-buru2 tutup? Pak tua itu mendjawab singkat, “Demo!” Leipzig, tak pelak lagi, merupakan pusat perlawanan rakjat … Lanjutkan membaca “Ich bin parteilos” oleh Joss Wibisono

“Festival, istana, kuil dan hotel tjinta di Kyoto” oleh Joss Wibisono

Versi lain tjatatan perdjalanan ini diumumkan oleh Majalah Historia No. 2 Tahun 1, 2012 pada rubrik Time Traveler jang nongolnja pada halaman2 14 sampé 19. Kalau Chairil Anwar hanja bisa menjatakan mau hidup 1000 tahun lagi, Kyoto sudah pernah selama itu mendjadi kota nomer satu Djepang. Bisalah dimaklumi belaka kalau pada tahun 1869, ketika Kaisar Meiji jang masih ABG (16 tahun) memindahkan ibukota ke Edo (sekarang Tokyo), ratusan ribu warga Kyoto meratap. Dengan sesenggukan bertjutjuran air mata mereka melambaikan tangan pada iring2an kaisar jang bergerak ke arah timur. Para warga berduka: kota tertjinta kehilangan status sebagai ibukota. Dan seolah klaju … Lanjutkan membaca “Festival, istana, kuil dan hotel tjinta di Kyoto” oleh Joss Wibisono