“Perlawanan dan perdjuangan keluarga Soejono” oleh Joss Wibisono

Sepandjang tahun 2021 ini aku menekuni satu keluarga jang luar biasa tapi sajangnja tidak banjak dikenal di tanah air. Irawan Soejono, anak ketiga keluarga Soejono, sekarang sudah mulai ada jang tahu. Terutama karena namanja mendjadi nama djalan di Osdorp, Amsterdam barat. Tapi ajah Irawan jaitu Radèn Ario Adipati Soejono, sedikit sekali jang tahu. Belum lagi Mimi, kakak Irawan, lebih banjak lagi orang jang tidak tahu tokoh jang bernama lengkap Soetiasmi Soejono ini. Suami Mimi jaitu Maroeto Daroesman mungkin ada jang sudah tahu, maklum dia diexekusi mati di Madiun pada 19 desember 1948.

Soejono, Mimi, Irawan dan Maroeto, empat orang jang sepandjang tahun ini aku tekuni dan teliti. Ke-empat2nja sudah tiada, tinggal nama, tapi sebagai warga masjarakat zaman sekarang kita wadjib tahu dan mengenang serta menghargai mereka.

Jang pertama dan utama mereka berdjuang melawan fasisme, rezim kedjam tiada tara jang pernah ada di muka bumi. Sekedar perbandingan: salah seorang algodjo orde bau pernah berkata korban rezim tangan besi ini mentjapai tiga djuta djiwa. Mungkin algodjo itu tjuman mem-besar2kan djumlah ini, tetapi korban nazi, rezim fasis jang pernah berkuasa di Djerman dan wilajah Eropa lain, mendjangkau dua kalinja: enam djuta djiwa. Rezim ini membuat kematian mendjadi industri jang melibatkan banjak sektor, antara lain sektor pengangkutan dan sektor kimia. Djauh lebih kedjam ketimbang harto orde bau jang membunuhi orang2 komunis atau jang diduga komunis ‘tjuman’ dengan tjara kekerasan fisik.

Hebatnja, di balik kekedjaman itu keempat orang tadi tetep berani djuga untuk melakukan perlawanan. Soejono melakukannja setjara terbuka dari London, tempat pengasingan pemerintah Belanda di bawah perdana menteri Pieter Sjoerds Gerbrandy. Waktu Negeri Belanda diduduki nazi Djerman pada 10 mei 1940, ratu Wilhelmina dan pemerintahannja menjingkir ke London. Dengan gelar “pangéran ario“, Soejono diangkat mendjadi menteri tanpa portofolio dalem kabinet PM Gerbrandy.

Berbeda dengan ajahnja di London, di Belanda, Irawan dan Mimi serta Maroeto (jang sesudah perang berachir menikahi Mimi) melakukan perlawanan bawah tanah. Kalau tertarik pada apa jang mereka lakukan silahken batja tulisan Bre Redana pada foto keempat.

Tapi mereka berempat (dan banjak orang Indonesia lain) tidak hanja memperdjuangkan pembebasan negeri induk Belanda dari pendudukan nazi-Djerman. Sebagai orang Indonesia mereka djuga memperdjuangkan masa depan Indonesia, tanah air harus lepas dari kolonialisme. Dalam djabatan menteri (walau tanpa portofolio), Soejono sampai tiga kali mendesak kabinet Belanda supaja mengakui hak orang2 Indonesia untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sampai tiga kali pula sidang kabinet Belanda menolak usul itu. Mungkin karena penolakan ini Soejono terkena serangan djantung, ia tutup usia di pengasingan London pada bulan djanuari 1943.

Di sini djelas bahwa Soejono adalah orang Indonesia pertama jang berunding dengan Belanda tentang masa depan Indonesia. Sjahrir atau Hatta misalnja (Belanda tidak sudi berunding dengan Bung Karno jang dianggepnja berkolaborasi dengan Djepun), baru berunding setalah proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945. Liwat pelbagai perdjandjian, misalnja perdjandjian Linggardjati, pihak Indonesia berusaha mendesak Belanda supaja menerima kenjataan bahwa Indonesia sudah merdeka dan Belanda mengakui proklamasi itu. Sebenarnja, sebelum proklamasi, Soejono sudah sedikit banjak mengadakan perundingan dengan Belanda. Perundingan itu gagal, karena Belanda tidak bersedia mengakui hak orang Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.

Irawan jang berada di Belanda harus membajar mahal perlawanannja: dengan njawanja sendiri. Ia ditembak mati ketika berlangsung razia Wehrmacht (pasukan pendudukan Djerman) di Leiden pada 13 djanuari 1945, 11 hari sebelum mengindjak usia 25 tahun. Mimi mengurus penguburan (sementara) adiknja di makam Groenesteeg, Leiden. Setelah perang, sebagai pasangan suami istri Mimi dan Maroeto melandjutkan perdjuangan. Semula mereka menulis, tapi dirasa kurang, mereka berdua pulang kampung, untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air jang diserbu Belanda. Inilah perbedaan perdjuangan orang Belanda dan orang Jahudi dengan orang Indonesia selama Perang Dunia Kedua. Perdjuangan orang Belanda dan Jahudi berachir begitu nazi Djerman tekuk lutut, pada musim semi 1945. Perdjuangan orang Indonesia harus terus berlandjut sampai achirnja Belanda mengakui kemerdekaan kita pada achir desember 1949.

Memandangi potret Soejono jang merupakan karja perupa Anton Abraham van Anrooy. Lukisan ini dipasang di Rijksmuseum mulai november 2020, persisnja di ruang 3.1 (tingkat paling atas)
Artikelku dalam bahasa Belanda tentang keluarga penting ini jang dimuat dalam berkala »Pindah«, edisi 2020. Berkala ini diterbitkan oleh orang2 Indo (berdarah tjampur Belanda-Indonesia) jang progresif.
Setelah 30 tahun achirnja kesalahan itu diperbaiki pula oleh pemkot Amsterdam. Semula ketika nama djalan Irawan Soejonostraat dipasang pada 4 mei 1990, tertera bahwa Irawan lahir pada 1919. Ini salah, dan baru diperbaiki awal tahun ini. Sekarang tertera bahwa Irawan Soejono lahir pada 1920 di Pasoeroean.
Ini kolom Udar rasa karja Don Sabdono jang lebih dikenal dengan nama pena Bre Redana. Kolom ini terbit di harian Kompas edisi ahad 5 desember 2021, halaman 10.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.