“Pemilukada, Ditjokok dan Pembina: Memaknai Bahasa Masa Kini” Oleh Joss Wibisono

Versi lain esei ini (dan dalem EYD) bisa dibatja di LKIP.

Perubahan zaman pasti akan tertjermin pada bahasanja. Begitu zaman berganti, kosakata jang digunakan masjarakat djuga ikut berubah. Tidak pernah terdjadi pada zaman baru orang tetap menggunakan istilah atau kata2 warisan zaman lama. Walaupun misalnja zaman lama begitu ngebet ingin menghibahkan bahasanja kepada zaman baru, sangat patut diragukan zaman baru sudi menerima warisan itu. Tidaklah berlebihan kalau ditegaskan bahwa zaman lama akan selalu gagal mewariskan bahasanja kepada zaman baru. Dan karena dalam 15 tahun terachir Indonesia terutama mengalami perubahan politik, maka jang mentjolok adalah perubahan bahasa politik.

Tergusur sudah istilah2 chas orde baru seperti “pembangunan” atau “stabilitas keamanan nasional” dan Pedoman Penghajatan dan Pengamalan Pantjasila jang lebih dikenal singkatannja: P4. Tidak terdengar lagi ungkapan “suksesi kepemimpinan nasional”, lantaran sedjak 1998 kita sudah sampai empat kali ganti presiden. Betapa waktu itu kita harus ber-belit2 hanja untuk mengungkapkan hasrat punja presiden baru! Penggusuran istilah2 orde baru ini memang duluan terdjadi di pusat, karena itu daerah bisa sadja masih ketinggalan.

Dengan menjebut “mufakat londjong versus mufakat bulat”, telundjuk seseorang pasti berkait. Istilah2 itu digunakan untuk menuding keretakan dalam kekuasaan mutlak orde baru jang tidak bisa mentjapai mufakat bulat. Pada Sidang Umum MPR Maret 1988, Fraksi ABRI menginterupsi pentjalonan Sudharmono sebagai wakil presiden. Itulah untuk pertama kalinja para pemirsa televisi seluruh tanah air dipersilahkan menonton siaran langsung jang dengan djelas mempertontonkan betapa sang Djenderal Besar tidak mampu lagi mengendalikan para djendralnja. Bukankah pada siaran itu terlihat seorang djenderal jang sibuk menginterupsi kemauan sang Djenderal Besar? Sudharmono disebut terpilih melalui “mufakat londjong”. Sementara si Djenderal Besar tetap terpilih dengan “mufakat bulat”. Terpilih? Lajakkah tjalon tunggal untuk masing2 djabatan disebut terpilih?Soeharto-Sudarmono

Seiring dihapusnja djabatan menteri penerangan, tidak terdengar lagi seorang pedjabat jang seolah me-nunduk2 melontarkan, “petundjuk bapak presiden”. Presiden RI jang sekarang dipilih langsung oleh rakjat djuga tidak perlu lagi disebut sebagai “mandataris MPR”. Bahkan MPR sekarang seperti sudah tak berkutik dan kehilangan makna, dibandingkan dengan tatkala sang Djenderal Besar dulu begitu sibuk merekajasa siapa2 jang boleh ikut sidang lima tahunan lembaga tertinggi negara ini.

Sebagai gantinja sekarang muntjul istilah2 baru seperti “pilkada” atau sering digunakannja kata “njaman”. Makin galak djuga pemakaian awal “ber” sebagai wudjud masjarakat jang tidak lagi pasif. Jang lebih penting, orang sekarang tidak lagi bitjara tentang “diamankan”, tapi langsung sadja “ditjokok”.

Bagaimana kita harus memaknai pergantian bahasa (politik) ini? Lebih dari itu bisakah perkembangan ini disebut positif dan bermanfaat? Kalau memang demikian, manfaat apa jang bisa dipetik daripadanja? Untuk menggiring pembatja pada djawaban rangkaian pertanjaan itu, berikut terlebih dahulu dibahas beberapa kata atau istilah jang belakangan sering digunakan orang Indonesia dalam menulis atau bertutur kata.

Pilkada atau pemilukada?

Seiring dengan zaman jang lebih terbuka dan demokratis, perubahan bahasa djuga harus bisa dikritik alias tidak perlu dituruti begitu sadja. Maklum, pada zaman jang disebut reformasi ini banjak orang makin sadar bahwa bahasa bukan lagi medium komunikasi semata, bahasa adalah pula wudjud dinamika masjarakat jang menggeliat dilanda perubahan. Kritik harus bisa dilantjarkan terhadap istilah baru, djika itu tidak sesuai dengan akal sehat berbahasa.

Pilkada“Pilkada” tidak lama beredar, belakangan istilah ini tergeser oleh “pemilukada”. Pergeseran terachir ini perlu dikritik, karena ini istilah baru jang kurang tepat dan sebaiknja djuga tidak digunakan sadja.

“Pilkada” seperti kita tahu merupakan singkatan pemilihan kepala daerah. Ini berarti rakjat daerahlah jang memilih kepala mereka. Lebih penting lagi, supaja ada jang dipilih, maka tjalon kepala daerah jang madju pemilihan harus lebih dari seorang. Kalau tjuma tjalon tunggal (seperti kebiasaan orde baru dulu) maka sia2 belaka pemilihan itu.

Sajang istilah jang sudah bagus ini belakangan digeser oleh “pemilukada” jang djustru sangat dipertanjakan maknanja. Betapa tidak? “Pemilukada” merupakan singkatan pemilihan umum kepala daerah. Istilah ini sebenarnja contradictio in terminis, jaitu gabungan kata jang maknanja bertentangan satu sama lain.Pemilu-kada

Per-tama2 di sini kita berurusan dengan pemilihan kepala daerah, djadi pemilihan jang hanja berlangsung di daerah tertentu, bukan di seantero negeri. Kalau begitu mengapa kemudian digunakan kata “umum”? Bukankah pemilihan umum merudjuk pada pemilihan jang berlangsung di seantero negeri dan tidak hanja di satu daerah tertentu? Dengan kata lain “pemilihan umum kepala daerah” merupakan istilah jang mengandung pertentangan. Pemilihan umum berlangsung di seluruh negeri sedangkan pemilihan daerah hanja berlangsung di daerah tertentu, tidak di seantero negeri.

Pemilukada bisa dikatakan sederadjat dengan “lingkaran segi empat” jang djelas tidak mungkin karena memang tidak masuk akal. Karena itu, walaupun mungkin istilah baru, pemilukada sebaiknja tidak dipakai lagi. Mari kembali menggunakan pilkada! Istilah awal ini lebih tepat dan lebih masuk akal serta tidak mengandung pertentangan.

Dalam bahasa Inggris dikenal general elections (pemilihan umum) sebagai lawan local elections (pemilihan daerah). Sedangkan bahasa Belanda mengenal algemene verkiezingen versus locale verkiezingen. Tidak mungkin bahasa Inggris menggunakan general local elections atau bahasa Belanda algemene locale verkiezingen. Itu djelas istilah rantju jang malah membingungkan, karena tidak djelas lagi mana jang dimaksud: pemilihan daerah atau pemilihan umum.

Selain pemilukada, lajak pula disebut satu perkembangan lain jang kira2 senada: alias tidak terlalu menggembirakan. Ini berkaitan dengan “di”: sebagai awalan atau sebagai kata depan? Perkembangan ini dilatarbelakangi oleh semakin populernja facebook dan twitter. Begitu populernja djedjaring sosial ini membuat mengutarakan pendapat dalam bentuk tulisan sudah seperti bernafas sadja. Siapa sadja melakukannja, bukan tjuma aktivis, tapi djuga para artis jang djadi tjaleg dan TKI jang bekerdja di luar negeri. Walau begitu tidak semua tulisan pada djedjaring sosial gampang dipahami, misalnja hanja karena penulisnja sering rantju dalam menggunakan “di”: “di” jang dipisah (kata depan) atau “di” jang harus disambung dengan kata berikutnja (awalan). Tidak semua orang mampu membedakannja. Ada jang memisahkannja, padahal sebagai awalan, “di” itu harus disambung dengan kata berikutnja. Lalu ada pula jang menggabungkan “di” dengan kata berikutnja, padahal sebagai kata depan “di” itu harus dipisah dari kata berikutnja.

Tentu sadja kesalahan memukul rata “di” ini paling sering dipergoki pada djedjaring sosial, karena di situ tidak ada tjampur tangan editor atawa redaktur bahasa. Merekalah jang biasanja memperbaiki kesalahan itu. Di manapun editor tidak turun tangan (misalnja di surat atau undangan) maka kerantjuan “di” sebagai awalan atau sebagai kata depan ini ini pasti akan terdjadi.

Diamankan versus ditjokok

wiji-thukulPerkembangan lain jang djuga lajak disebut adalah kata “diamankan” jang terpaksa turun panggung untuk menjerahkan tempat kehormatannja kepada kata “ditjokok”. Tentu sadja dalam hal ini kedua kata itu berkaitan dengan diri seseorang, bukan dengan benda mati. Dulu, kalau ada jang sampai “diamankan” maka orang djustru akan mengchawatirkan keselamatan mereka jang terkena langkah itu. Maklum “diamankan” waktu itu berarti seseorang ditangkap, paling sedikit berurusan dengan aparat keamanan. Dan lantaran aparat keamanan merupakan kepandjangan tangan orde baru jang berkuasa begitu se-wenang2 maka hampir bisa dipastikan orang itu djustru tidak akan aman (misalnja mengalami siksaan). Alih2 dia bisa kembali, karena sampai sekarang, seperti penjair Wiji Thukul, masih ada sadja jang belum djuga kembali. Mereka “diamankan”, tapi mereka tidak kembali. Bagaimana ini? Di sini tampak betapa makna kata “aman” telah dipermak oleh orde baru! Lebih dari itu kasus kata “diamankan” djuga membuktikan betapa besar kekuasaan orde baru. Bukan hanja dia berkuasa menahan orang atas alasan jang tidak djelas, dia djelas djuga undjuk kuasa dengan mengubah makna kata itu.

Untunglah, tatkala zaman berlalu, segera kita lupakan kata “diamankan”. Maka tatkala Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditahan oleh KPK, tidak ada lagi orang jang menggunakan istilah dia telah “diamankan”, walaupun orang jakin dalam tahanan dia tidak akan disiksa. Sekarang kita memilih menggunakan kata “ditjokok”, karena selain blak2an, kata ini djelas djuga tidak mengandung kemunafikan. Dengan menggunakan “ditjokok” kita berkesempatan untuk menundjuk betapa munafiknja Akil Mochtar, Chairun Nisa, dan tiga orang lain jang pada Rabu malam 2 Oktober itu ditangkap KPK. “Ditjokok” atau paling sedikit “ditangkap” adalah djuga wudjud dukungan umum pada KPK jang begitu tangkas menindak pelaku tindak kriminal korupsi. Di lain pihak kasus korupsi dalam tubuh Mahkamah Konstitusi djuga telah mentjoreng kepertjajaan masjarakat pada lembaga peradilan. Padahal sedjak orde baru tersingkir, lembaga peradilan sudah, sedikit demi sedikit, mulai mandiri dari tjampur tangan pihak exekutif atau legislatif. Kemandirian itu berarti peradilan dipertjaja hanja mendasarkan vonisnja se-mata2 pada hukum dan pasal2 undang2nja, tidak lagi melajani pesanan kalangan luar. Ketika kedapatan ternjata masih ada saja pihak jang mengchianati kepertjajaan itu, maka masjarakat tidak segan2 lagi menghundjamkan kata “ditjokok” (artinja diringkus atau diborgol) terhadap mereka jang djadi pesakitan.Akil Mochtar Dicokok

“ber” lawan “me”

Istilah lain jang sekarang banjak kita dengar adalah “beraktivitas”. Sering kita dengar utjapan “selamat beraktivitas”. Istilah ini tidak dikenal pada zaman orde baru, tapi djelas merupakan perkembangan segar, djuga karena menggunakan awalan “ber”.

Selamat-Beraktivitas

Dulu, di zaman orde baru, orang takut menggunakan kata “aktif”, mungkin karena berkaitan dengan “aktivis” jang waktu itu termasuk kata terkutuk. Maklum para “aktivis” adalah kalangan LSM jang sukanja mengganggu gugat pemerintah, bersikap oposan dan bahkan di luar negeri disebut anti Indonesia. Dulu awalan “ber” djuga djarang digunakan. Alasannja sederhana sadja: budaja orde baru menghasilkan manusia pasif, orang Indonesia waktu itu lebih suka tunggu perintah. Sekarang kata aktivis bermakna harum, njaris herois, berkat mereka lahir zaman reformasi. Lebih dari itu: masjarakat jang melek politik djuga mendjadi aktif, gemar berinisiatif, beraksi dan beraktivitas. Ini tertjermin pada makin digemari dan karena itu sering digunakannja awalan “ber”.

Dulu orang lebih sering menggunakan awalan “me”. Di zaman orde baru lebih sering terdengar orang menjebut “mentjeritakan” katimbang “bertjerita”, “menuturkan” katimbang “bertutur”, “mengutjapkan terima kasih” katimbang “berterima kasih”. Sekarang awalan “me” djustru makin djarang digunakan, karena, selain lebih aktif, awalan “ber” djuga lebih ekonomis lantaran tak perlu menggunakan achiran. Beda dengan “me” jang kadang2 memang perlu diachiri dengan “kan”. Tapi untunglah sekarang “beraktivitas”, sudah luas digunakan. Moga2 terus bermuntjulan kata2 lain jang berawalan “ber”! Kalau memang demikian maka djelas masjarakat kita memang lebih aktif.

Salah satu tjiri bentuk pasif bahasa Indonesia adalah tidak adanja kebutuhan mutlak untuk mentjantumkan pelaku. Dalam bentuk pasif kata “oleh” memang boleh dihilangkan, dan orang djuga tidak akan mempertanjakannja, alias tanpa pelaku kalimat pasif itu sudah benar. Dalam bahasa Indonesia bentuk pasif memang tidak mementingkan pelakunja tetapi mengutamakan perbuatan atau dampak perbuatan itu. Kalimat “Saja menghilangkan Wiji Thukul” djelas mementingkan pelakunja jang adalah saja. Sedangkan kalimat “Wiji Thukul dihilangkan” lebih mementingkan Wiji Thukul dan kenjataan bahwa dia tak ketahuan rimbanja karena telah dihilangkan. Pelakunja tidak begitu penting dan karena itu djuga tidak perlu disebut. Dan, sekali lagi, itu tidak menjalahi tata bahasa. Kedengarannja djustru aneh kalau kalimatnja dibuat lengkap, sehingga berbunji “Wiji Thukul dihilangkan oleh saja”. “Oleh saja” djelas tidak perlu disebut. Bahkan bentuk pasif itu djustru memberi kesempatan kepada pelaku untuk menjembunjikan diri, tidak perlu diungkapkan untuk diketahui orang. Karena itulah bentuk pasif ini sangat populer pada zaman orde baru. Dan bukan kebetulan kalau waktu itu sering digunakan kata “diamankan”. Bentuk pasif ini djelas bertudjuan utama untuk menjembunjikan pelakunja. Dia tak perlu disebut dan tak perlu diketahui.

Wiji Thukul

Sekarang, tatkala orde baru tersingkir, maka orang bukan sadja terbuka mata dan sadar akan kedjahatan mereka. Orang djuga seperti kehilangan selera untuk menggunakan bentuk pasif! Selain menjembunjikan pelakunja, djelas bentuk ini djuga melindungi kalangan jang suka berperilaku munafik. Tak pelak lagi, tatkala masjarakat sudah aktif berbahasa, maka masuk akal belaka kalau mereka sekarang djuga mengesampingkan bentuk pasif.

Mengulang orde baru?

Sulit dipungkiri: pelbagai istilah baru tadi hanja bisa muntjul setelah orde baru tergusur. Pilkada djelas tak terbajangkan di zaman itu. Djangankan kepala daerah jang dipilih langsung oleh warganja, pada zaman orde baru dulu kalau sampai ada jang berani berudjar “njaman” sadja, bisa2 dia akan diamankan setelah dituding membahajakan stabilitas keamanan nasional serta djalannja pembangunan. Bahasa memang selalu terkait dengan politik sebagai bangunan atasnja. Artinja bahasa tidak terlepas dan tidak bisa dilepaskan dari gedjolak masjarakat. Tidak kurang para ahli dan pengamat bahasa kita jang melepaskan bahasa dari kaitannja dengan masjarakat. Bagi mereka bahasa melulu persoalan bahasa, sehingga bahasa tidak lebih dari tata bahasanja semata. Pandangan sempit dan oportunistik chas orde baru itu djelas tidak dianut oleh penulis.

Djadi bagaimana kita bisa memaknai rangkaian perubahan ini? Per-tama2 kiranja djelas: hanja kekuasaan se-wenang2 jang merasa perlu untuk djuga merekajasa bahasa. Walaupun berkuasa se-mena2, seorang djenderal besar seperti Soeharto pasti tidak ingin disebut orang kuat atau diktator. Karena itu bahasa orang harus diatur, tegasnja harus dikendalikan. Bahasa, terutama kosakatanja, harus didjaga (dalam istilah mereka “dibina”) se-ketat2nja. Djangan sampai kata2 kurang adjar itu digunakan orang. Dan ini sudah terdjadi di Italia pada zaman Benito Mussolini, salah satu gembong fasis dunia. Tjontoh terkenal jang sangat sering diulang adalah bagaimana Mussolini melenjapkan kata “voi” jang artinja “anda”. Sebagai gantinja orang Italia sekarang menggunakan “lei”, padahal itu semula berarti dia laki2. Orde baru sudah melakukannja seperti terlihat pada kata “diamankan”, jang mereka ganti maknanja sama sekali.

Dengan mengendalikan bahasa maka pikiran orang djuga akan terkuasai, karena di manapun djuga orang selalu berpikir dalam bahasa. Tidak hanja di Indonesia, tapi djuga di Negeri Belanda, si bekas pendjadjah atau di Djepang, bekas pendjadjah jang lain: bahasa merupakan piranti berpikir machluk manusia. Begitu bahasa terkendali maka pikiran orang djuga terkuasai. Dalam keadaan seperti ini, tidak bakalan lagi dia menggunakan kata2 kotor jang tidak berkenan bagi seorang diktator. Kata2 matjam itu hilang dari kotakata, tentu sadja dihilangkan oleh sang penguasa, persis seperti ketika dia menghilangkan para penentangnja.

Selain dilakukan langsung oleh jang berkepentingan (dalam hal ini aparat keamanan seperti terlihat pada kasus kata “diamankan”), pada zaman orde baru dulu pengendalian bahasa djuga dilakukan oleh Pusat Bahasa. Pusat itulah jang merantjang, mengendalikan dan menjebarkan bahasa jang sesuai dengan selera pemerintah. Mereka djuga tak henti2nja mentjela kosakata, edjaan, pendeknja apapun jang tidak sesuai dengan kaidah jang, setjara sepihak, mereka sebut “bahasa Indonesia jang baik dan benar”. Tentu sadja mereka mengaku melakukan rekajasa ini demi modernisasi dan kemadjuan bahasa Indonesia, tapi dalam iklim politik jang begitu ketat dan terlalu djauh dari kebebasan, tidaklah mengherankan djika apa jang disebut modernisasi dan kemadjuan itu baru akan terdjadi kalau sudah tjotjok dengan penguasa punja selera.

Pusat Bahasa

Sekarang, sepeninggal kekuasaan se-wenang2 itu, bahasa tak perlu lagi direkajasa. Orang sudah aktif berbahasa sendiri. Bahkan mereka melakukannja tanpa butuh pengarahan, tanpa perlu tunggu perintah dan tanpa kampanje “bahasa Indonesia jang baik dan benar”. Istilah2 baru seperti “pilkada” atau “ditjokok”, muntjul tanpa tjampur tangan Pusat Bahasa jang pada achir 2010 ganti nama mendjadi Badan Bahasa. Di balik alasan resminja (jang masih harus diteliti lebih djauh selain reorganisasi dalam tubuh kemdiknas), pergantian nama itu pasti dilakukan karena jang bersangkutan ingin membersihkan diri dari tjitra Pusat Bahasa sebagai lembaga penguasa otoriter jang punja tugas tidak lebih dari sekedar melajani kehendak sang penguasa. Badan Bahasa ingin tampil bersih. Tidak boleh dilupakan Pusat Bahasa waktu djuga kena tuduhan mendjiplak Tesaurus Bahasa Indonesia karja Eko Endarmoko. Djadi tjukup alasan untuk bersih2 dan tjutji2 dan itu mereka dilakukan dengan tjara ganti nama!eko-endarmoko-pengarang-tesaurus-bahasa-indonesia

Walau pun nama sudah diperbarui, seandainja Badan Bahasa tetap sadja meneruskan tjara kerdja Pusat Bahasa dulu maka tidak usah heran kalau makin banjak lagi orang jang perduli pada lembaga pemerintah ini. Masjarakat sekarang sudah aktif berbahasa sendiri, pasti mereka tak butuh otoritas untuk menghakimi tjara mereka berbahasa. Zaman sudah lain, tidaklah mengherankan kalau keberadaan otoritas bahasa itu dipertanjakan. Mudah2an pergantian nama itu djuga membawa perubahan pada tjara kerdja dan posisi Badan Bahasa di tengah masjarakat.

Perubahan jang melanda Indonesia menjusul tersingkirnja orde baru bisa diringkas sebagai upaja untuk tidak kembali pada zaman otoriter itu lagi. Tapi harus diakui upaja ini berlangsung seperti tiga langkah madju dan dua langkah mundur. Walau begitu, upaja untuk tidak kembali ke zaman orde baru ini sebaiknja djuga diterapkan pada bidang bahasa. Artinja djangan sampai ada kekuasaan mutlak di bidang bahasa. Dengan begitu otoritas bahasa seperti zaman orde baru dulu sebaiknja djuga tidak diulang lagi. Djadi harus ada lebih dari satu otoritas. Selain otoritas tandingan, sebaiknja otoritas jang sudah ada (batja: Badan Bahasa) tidak diberi wewenang seperti zaman orde baru dulu. Bangkitnja pelbagai lembaga pegiat bahasa dan aktifnja pribadi pengamat bahasa patut disambut. Mereka djelas memperkaja kemadjemukan organisasi bahasa jang memang diperlukan pada zaman jang makin demokratis ini.

Dengan makin banjaknja kalangan jang aktif dalam bidang bahasa, termasuk masjarakat jang aktif berbahasa sendiri, maka pengaturan bahasa djelas tidak bisa dimonopoli oleh satu kalangan sadja. Kalangan lain djuga berhak mengatur bahasa. Biarlah terdjadi perdebatan terbuka mengenai istilah baru, misalnja mana jang benar: pilkada atau pemilukada. Dengan berdebat terbuka, maka akan terdjadi adu nalar berbahasa jang djuga akan bisa mengasah ketjerdasan dan ketadjaman berbahasa masjarakat.

Langkah mundur dalam bidang ini terlihat tatkala masih ada sadja kalangan jang berpendapat bahwa otoritas bahasa tetap dibutuhkan. Dan kalangan seperti ini biasanja ingin kembali ke zaman orde baru: mereka sangat mendukung Pusat Bahasa jang memonopoli otoritas. Bagi mereka, tanpa otoritas, bahasa akan amburadul. Djelas ini tjuma kechawatiran tidak riil, bahkan suatu chajalan belaka. Selain itu kalangan ini djuga menutup mata dari kenjataan bahwa djustru otoritas itulah jang memandulkan bahasa. Lagi pula djika memang masih benar2 dibutuhkan, haruskah otoritas bahasa itu seketat zaman orde baru jang dengan mengontrol bahasa, ternjata djuga mengendalikan pikiran orang?

Langkah mundur lain djuga bisa diamati pada beberapa partai politik jang tetap sadja menggunakan istilah “ketua dewan pembina” untuk menjebut pemimpinnja. Djelas partai2 ini tjuma copy paste istilah orde baru. Bukankah orang kuatnja dulu menjandang sebutan serupa pada posisi terdepan Golkar? Kenapa ketika orde baru sudah terdjungkal partai2 itu tidak langsung sadja menggunakan istilah pemimpin umum, misalnja? Kenapa harus membeo orde baru? Bukankah partai mereka dulu belum ada di zaman orde baru, sehingga mereka sebenarnja berkesempatan penuh untuk menggunakan istilah lain jang lebih asli, kreatif dan inovatif? Kenapa kesempatan kreatif itu tidak mereka manfaatkan? Bukankah sebagai “ketua dewan pembina” dulu Soeharto achirnja hanja mentjoreti nama orang2 kritis supaja tidak masuk lembaga legislatif karena itu bisa membahajakan kedudukannja? Tampaknja memang demikian: semakin dekat satu partai politik dengan orde baru, semakin mereka tidak enggan2nja mengulang kebiasaan rezim otoriter ini. Bahkan bisa djadi penggunaan istilah “ketua dewan pembina” itu mereka anggap sebagai penghormatan kepada orde baru. Tak ajal lagi kalau ada partai politik masih menggunakan istilah “ketua dewan pembina” untuk pemimpinnja, maka partai sematjam ini pasti disesaki oleh (bekas) kaki tangan orde baru. Mereka djuga tidak mendjaga djarak dengan zaman otoriter itu, bahkan mereka merindukan kembali ke zaman jang begitu djauh dari kebebasan itu.

Coda: Telan mentah2?

KBBI2005Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI, jang dihasilkan oleh Pusat Bahasa, satu2nja otoritas bahasa zaman orde baru, sebenarnja djuga masih djauh dari sempurna. Salah satu tjontoh adalah penggunaan “ch”, jang sebenarnja sudah diganti oleh “kh” oleh orde baru dengan EYDnja, ketjuali kalau itu menjangkut nama orang jang masih ditulis dalam edjaan Suwandi (Akil Mochtar atau Chairun Nisa). Tetapi ternjata KBBI mengedja Ceko, sebagai Cheska, padahal warganja menjebut negeri mereka Česká. Kenapa mereka kembali menggunakan “ch”? Bukankah “ch” sudah dihapus oleh EYD? Bagaimana pula Cheska itu harus dilafalkan? Djangan2 karena “ch” kembali digunakan ini, sekarang makin banjak orang mengedja Tiongkok sebagai China (tunduk2 pada bahasa Inggris), padahal warganja itu menjebut negeri mereka “Zhung guo”.

Djelas Pusat Bahasa tidak luput dari kesalahan, dan karena itu dalam soal bahasa sebaiknja kita berdebat setjara terbuka dan tidak menelan mentah2 apa jang dilontarkan oleh otoritas bahasa jang sekarang menjebut diri Badan Bahasa. Ini akan mengundang banjak orang untuk menjibukkan diri dengan bahasa. Dan bahasa baru bisa dikatakan bebas kalau mengundang kreativitas, atau kalau bisa mendorong orang mendjadi kreatif.

Amsterdam, musim rontok, Oktober-November 2013

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.