Pada setiap peringatan Hari Soempah Pemoeda tanggal 28 Oktober, orang Indonesia selalu diingatkan betapa herois dan nasionalistis para pemoeda dulu tatkala mereka bersumpah untuk—selain bertanah air dan berbangsa satu— terutama djuga berbahasa nasional satu: bahasa Indonesia. Heroisme matjem ini, membuwat kita buta pada politik bahasa penguasa kolonial Belanda. Londo dulu sebenarnja memang tidak pernah berminat untuk membuat segenap warga Hindia fasih berbahasa mereka. Londo kolonial itu membiarkan sadja kita berbahasa Melajoe, tjikal bakal bahasa Indonesia sekarang. Politik bahasa kolonial inilah jang harus djuga kita pahami, sebelum terus2an membanggakan bahasa nasional kita. Klow berminat, silahken menjimak tulisan jang versi bahasa Prantjisnja sudah terbit pada berkala Le Banian edisi Desember 2013.
SPANJOL MELAKUKANNJA DI FILIPINA, PORTUGAL DI TIMOR LESTE, PRANTJIS di Indochine dan Inggris djuga berbuat begitu di Birma: (bekas) pendjadjah ini mengharuskan warga (bekas) djadjahan untuk menggunakan bahasa mereka. Tetapi Belanda tidak melakukannja di Hindia Timur. Warganja terus ber-tjakap2 dalam bahasa Melajoe, het Maleis dalam bahasa Belanda jang merupakan tjikal bakal bahasa Indonesia sekarang. Menariknja, warga djadjahan Belanda lain, misalnja Suriname dan Antila, djustru diwadjibkan berbahasa Belanda, bahkan bahasa Belanda diadjarkan di sekolah2 Hindia Barat itu. Bagaimana perbedaan ini bisa didjelaskan?
Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin didominasi oleh bahasa2 Inggris, Prantjis, Portugis dan Spanjol. Begitu merdeka, negara2 jang bebas dari pendjadjahan ini ternjata tetap menggunakan bahasa (bekas) pendjadjah. Bahasa2 Inggris, Prantjis, Portugis dan Spanjol bukan sadja mendjadi bahasa pemerintahan di sana, tetapi djuga diadjarkan di sekolah2 bekas wilajah djadjahan itu. Atau, kalaupun sudah punja bahasa nasional seperti Aldjazair dan Maroko jang berbahasa Arab, bahasa Prantjis mendjadi bahasa nasional kedua, sehingga negara2 magreb ini tetap mudah berhubungan dengan dunia internasional. Mengapa Belanda tidak berbuat serupa di Indonesia, mengapa orang Indonesia tidak berbahasa Belanda?
Para pakar, misalnja Kees Groeneboer, direktur (Pusat Bahasa) Erasmus Taalcentrum di Djakarta, menegaskan bahwa begitu tiba pada achir abad 16, Belanda berpendapat bahwa bahasa Melajoe sudah merupakan lingua franca kepulauan Nusantara. Karena itu lebih mudah bagi mereka untuk beladjar bahasa Melajoe sadja, apalagi karena bahasa ini dianggap tidak terlalu rumit. Mereka djuga memutuskan untuk tidak mewadjibkan penduduk Nusantara berbahasa Belanda.
Pengalaman orang Spanjol di Filipina lain lagi. Begitu pula pengalaman Prantjis di Indochine, sekarang Vietnam, Laos dan Kambodja. Wilajah2 ini dianggap tidak memiliki lingua franca, sehingga pendjadjah2nja merasa perlu untuk memberlakukan bahasa mereka sebagai bahasa pengantar. Jang djelas di Hindia, orang Belanda tidak memanfaatkan kesempatan ini. Di beberapa daerah, bahasa Belanda bahkan harus bersaing dengan bahasa Melajoe dan bahasa Portugis (jang tiba lebih dahulu di Nusantara). Djelas bahasa Belanda kalah.
Groeneboer djuga menegaskan begitu Belanda tiba, mereka mendapati sebagian besar Hindia Timur sudah beragama Islam. Ketika pada achirnja wilajah ini diduduki, warganja tetap dibiarkan sadja menggunakan bahasa Melajoe. Politik kolonial Belanda memang tidak ingin mengganggu wilajah ini lebih landjut, supaja warganja tidak begitu merasakan pendjadjahan.
Di lain pihak, bahasa Belanda djustru digunakan untuk menjebarkan agama Nasrani, karena bahasa Melajoe dan bahasa daerah dianggap tidak tjotjok. Tapi itu hanja dilakukan di Maluku, Minahasa dan Batak dan hanja pada awal mulanja, sekitar pertengahan abad 19. Begitu tersebar, warga pribumi jang beragama kristen kembali berpaling pada bahasa Melajoe atau bahasa daerah, misalnja dengan menerdjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Djawa atau bahasa Melajoe. Alhasil umat Nasrani tetap merasa diri orang Indonesia dan mereka termasuk kalangan nasionalis awal.

Jang sebenarnja djuga harus diperhitungkan adalah bahwa Belanda datang ke Nusantara sebagai sebuah perusahaan dagang, itulah VOC jang di Belanda dan negeri barat lain selalu di-sandjung2 sebagai multinasional pertama dunia. Pendapat seperti ini antara lain dilontarkan oleh Indonesianis senior Benedict Anderson (pensiunan gurubesar pada Universitas Cornell, New York), dalam wawantjara dengan televisi Belanda VPRO, April 1994. VOC djelas hanja memburu laba jang diperolehnja melalui monopoli dan kekerasan. Sebagai perusahaan dagang, VOC djuga perlu menekan ongkos serendah mungkin. Bagi mereka lebih murah beladjar bahasa Melajoe ketimbang menjebarkan bahasa Belanda. Pendirian VOC ini ternjata sangat berpengaruh dan terus membajangi setiap politik bahasa jang dilantjarkan penguasa kolonial terhadap Nusantara sesudahnja.
Tapi itu tidaklah berarti VOC tidak menjebarkan bahasa Belanda. Di Ambon, pada abad 18, VOC membuka sekolah berbahasa Belanda dan djuga geredja jang menjelenggarakan kebaktian dalam bahasa Belanda. Ternjata bahasa Belanda para siswa ini tidak madju2, maklum di luar sekolah mereka kembali berbahasa Melajoe atau bahasa tanah jaitu bahasa setempat. Apalah manfaat pengadjaran bahasa Belanda? Karena itu sekolah berbahasa Belanda itu ditutup.
Ketika VOC bangkrut dan Nusantara diambil alih oleh pemerintah Belanda di Den Haag, (dan setelah lima tahun interregnum Inggris) pada pertengahan Abad 19, Batavia melantjarkan politik bahasa chusus terhadap orang2 Eropa. Mereka wadjib berbahasa Belanda. Ada dua tudjuan jang ingin ditjapai. Pertama mengkikis habis bahasa Portugis jang waktu itu, di Batavia misalnja, merupakan bahasa kedua setelah bahasa Melajoe. Kedua, memurnikan bahasa Belanda, melenjapkan bentuk kreol jaitu penggabungan bahasa Belanda dengan bahasa Melajoe atau bahasa Djawa. Kalangan Indo jang berdarah tjampuran Indonesia Belanda sebenarnja sudah mentjiptakan bahasa Petjook. Bagi penguasa kolonial jang penting adalah kemurnian bahasa. Ini sedjalan dengan politik ras mereka jang tidak mengakui kalangan Indo sebagai ras tjampuran.
Tak perlu diragukan lagi: seperti VOC, pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak pernah benar2 berminat membuat koloninja berbahasa Belanda. Berlainan dengan Prantjis jang waktu itu mendjalankan politik kolonial jang disebut mission civiliçatrice jaitu upaja membudajakan warga djadjahan melalui penjebaran budaja (termasuk bahasa) Prantjis, Belanda tidak sudi menjediakan anggaran untuk politik serupa. Lagi2 dalihnja di Hindia sudah ada lingua franca, tapi djelas: buat apa buang uang, jang penting djustru mengeruk kekajaan dari koloni, misalnja melalui Tanam Paksa. Padahal dengan kekuasaan kolonial jang begitu perkasa Belanda bisa memaksa warga Hindia berbahasa Belanda, seperti mereka mewadjibkan petani Djawa untuk menanam indigo, tebu, teh dan kopi selama periode cultuurstelsel.
Di sini djuga terlihat watak kolonialisme Belanda jang lebih merupakan kolonialisme pengerukan ketimbang kolonialisme industri seperti jang diterapkan Inggris di India. India didjadikan pasar industri Inggris jang pada abad 19 mengalami revolusi industri. Supaja bisa membeli hasil industri Inggris, orang India harus punja mata pentjarian, harus kaja, harus punja selera. Tidaklah mengherankan kalau India lebih memiliki kelas menengah katimbang Indonesia.
Pada abad 20 terdjadi perubahan ketika Belanda melantjarkan Politik Etis, antara lain membuka sekolah untuk pribumi maupun kalangan vreemde oosterlingen (Tionghoa, Arab atau India). Maka dibukalah HIS (Hollandsch Inlandsche School) untuk kalangan pribumi dan HCS (Hollandsch Chinese School) untuk kalangan Tionghoa. Tapi itu tidaklah berarti bahwa bahasa Belanda diadjarkan setjara luas.

Pertama karena jang bisa masuk HIS atau HCS hanjalah kalangan bangsawan serta kaum elit dan terpandang. Artinja: pada pendidikan itu tidak ada tempat bagi rakjat biasa. Kedua, bahasa Belanda jang diadjarkan ternjata masih dibedakan antara bahasa Belanda sebagai bahasa asing (untuk HIS dan HCS) dan bahasa Belanda sebagai bahasa ibu (untuk ELS, Europese Lagere School jang tentu sadja bermurid kulit putih Eropa).
Sebagai kalangan jang tidak berbahasa Belanda, kalau masuk ELS, maka murid2 pribumi maupun Tionghwa dichawatirkan akan menurunkan mutu pendidikan ELS, paling sedikit kefasihan bahasa Belanda mereka. Karena itu dibukalah HIS dan HCS. Tentu sadja kemampuan berbahasa Belanda murid2 HIS maupun HCS kalah djauh dibandingkan dengan murid2 ELS. Tidaklah mungkin mereka bisa mengedjar kemampuan seorang penutur asli. Selain itu, peladjaran bahasa Belanda sebagai bahasa asing itu djuga baru dilakukan ketika ada permintaan dari kalangan murid2 pribumi. Penguasa kolonial memenuhi permintaan ini karena Batavia sekaligus djuga ingin menindak pelbagai kursus bahasa Belanda jang diselenggarakan oleh kalangan swasta. Kursus2 itu dinilai tidak baik.

Lagi2 di sini terlihat mentalitas VOC: penguasa kolonial mendjalankan politik bahasa jang sama sekali tidak bertudjuan untuk menjebarkan bahasa Belanda. Bahkan mereka chawatir semakin banjak warga Hindia jang bisa berbahasa Belanda, makin banjak pula kalangan intelektual jang menghendaki kemandirian, kebebasan dan achirnja kemerdekaan wilajah koloni. Kalangan seperti ini dichawatirkan akan mudah “mendjadi mangsa” kaum nasionalis revolusioner.
Walau begitu, djumlah pribumi jang fasih berbahasa Belanda tetap meningkat djuga, sampai awal tahun 1920an peningkatan itu mentjapai 10 kali lipat lebih. Ini memang terasa banjak, tapi njatanja, ketika pada tahun 1940an pendjadjahan Belanda berachir, djumlah pribumi jang fasih bahasa Belanda mentjapai 1,4 djuta orang, tidak lebih dari dua persen seluruh penduduk Hindia Belanda.
Sebaliknja, politik bahasa jang dilantjarkan Belanda di Hindia Barat, jaitu di Suriname dan Antila Belanda, didasarkan pada faktor djumlah penduduk ini. Demikian Kees Groeneboer. Pada awal abad 20 djumlah penduduk wilajah ini tidaklah banjak, tidak sampai 200 ribu orang. Djumlah seperti ini tidak memberatkan penguasa kolonial untuk menjediakan pendidikan berbahasa Belanda. Tapi ini djuga berarti bahwa djumlah penduduk jang sedikit itu sama sekali tidak membuat bahasa Belanda mendjadi bahasa internasional.
Jang djelas untuk Hindia Belanda penguasa kolonial tidaklah berandjak dari pendirian VOC jang bermotif laba. Karena itu tjitra orang Belanda sebagai bangsa kikir tidak pernah hilang. Dalam soal bahasa ini mereka djuga tidak terlalu punja wawasan masa depan. Kalau Indonesia djuga berbahasa Belanda, maka sekarang bahasa ini akan digunakan oleh sekitar 300 djuta orang, sementara sekarang djumlah mereka jang berbahasa Belanda tidak sampai 100 djuta orang. Di Indonesia sendiri njaris sudah tidak ada lagi jang bisa berbahasa Belanda, atau, kalaupun ada djumlah mereka tidaklah signifikan. Inilah dampak mentalitas VOC jang tidak berwawasan masa depan. Lagi pula ini djuga menjebabkan bahasa Belanda tetap merupakan bahasa ketjil jang tak berarti di dunia. Watak seperti ini djelas menguntungkan orang Indonesia, ketika merdeka mereka tidak kesulitan dalam memilih bahasa nasional: bahasa Indonesia, bukan bahasa Belanda.
Lebih dari itu kebanggaan orang Indonesia terhadap bahasa nasionalnja djuga bisa ditempatkan pada konteks jang djelas. Kebanggan itu muntjul hanja karena orang Indonesia merasa punja bahasa nasional, dan melihat bahwa ternjata ada negara2 Asia lain jang tidak punja. Djadi bahasa nasional itu dianggap sebagai keunggulan Indonesia. Tapi setjara historis bahasa nasional itu ada di Indonesia karena memang politik bahasa penguasa kolonial tidak menghendaki Hindia Belanda berbahasa Belanda. Dengan begitu, sebagai lingua franca, bahasa Melajoe tidak pernah menghadapi saingan, karena segenap warga Nusantara memang tidak diwadjibkan berbahasa Belanda. Maka dari itu, ketika orang Indonesia mentjibir Filipina atau India sebagai negara2 jang tidak punja bahasa nasional, maka djelas dia tidak punja wawasan sedjarah. Jang tidak dipahami oleh orang Indonesia seperti itu adalah bahwa politik bahasa pendjadjah Spanjol dan Inggris dulu memang mengharuskan warga Filipna dan India untuk berbahasa pendjadjah.

Di lain pihak konteks serupa djuga bisa diterapkan pada kebanggaan Belanda terhadap politik kolonialnja. Selama menguasai Nusantara dulu, Belanda bangga karena membiarkan warga terdjadjah terus berlandjut dengan bahasa dan adat istiadat mereka. Bahkan pada achir abad 19 dan awal abad 20 politik membiarkan warga djadjahan mendjalankan adat istiadat (termasuk bahasa) mereka ini dianggap sebagai kolonialisme teladan jang patut ditiru oleh pendjadjah2 Eropa lain. Konon Prantjis dan Inggris sampai sempat iri terhadap tjara Belanda ini. Tapi jang sebenarnja terdjadi adalah bahwa Belanda memang tidak mau membiajai wilajah djadjahannja. Penguasa kolonial tidak sudi menjisihkan anggaran pengadjaran bahasa Belanda di Nusantara, karena itu dianggap terlalu mahal. Menariknja, ketika mendjabat perdana menteri Belanda dari 2002 sampai 2010, Jan Peter Balkenende sempat men-dorong2 orang Belanda supaja kembali bersikap seperti VOC jang berpetualang ke mana2. Tak pelak lagi, kelakuan seperti ini membuktikan bahwa walaupun dirinja seorang guru besar sedjarah, Balkenende pada dasarnja memang bangga dengan politik pendjadjahan Belanda jang disebutnja mentalitas VOC itu. Tak perlu diragukan lagi di balik utjapan seperti itu, sebagai pendjadjah, Belanda lebih suka mengeruk wilajah djadjahannja ketimbang mendidik bangsa jang mereka djadjah itu, paling sedikit membuat mereka fasih berbahasa Belanda. Politik kolonial seperti ini memang berdampak tidak digunakannja bahasa Belanda di Indonesia, padahal Nusantara pernah merupakan djadjahan terbesar Belanda.