“Schetsen met Woorden (Kata2 sebagai Sketsa): Menjimak Esai2 Manunggal K. Wardaya” oleh Joss Wibisono

Ini kata pengantarku untuk buku Nada Tjerita karja Manunggal Kusuma Wardaya. Aku pasang di sini untuk sedikit mengiklanken buku menarik ini.

Nada Tjerita
Nada Tjerita

Membatja esai2 Manunggal Kusuma Wardaya serasa seperti mendengar seseorang mendongeng dalam tutur bahasa jang sederhana, baik, djelas, runtut dan kadang2 djuga berisi sentilan jang mengedjutken. Hanja karena itu sadja, saja sudah terpikat untuk membatja dan terus membatjanja.

Menulis dengan baik, dengan kalimat2 sederhana jang tidak rumit dan djelas, apalagi masih disertai dengan tata penulisan jang tepat, sedjatinja merupakan ketrampilan chusus jang hanja dimiliki oleh kalangan tertentu. Padahal dengan bertambah populernja djedjaring sosial seperti twitter atau facebook, mengutarakan pendapat dalam bentuk tulisan sudah seperti bernafas sadja, zaman sekarang. Siapapun melakukannja, bukan tjuma aktivis, tapi djuga para artis jang djadi tjaleg dan TKI jang bekerdja di luwar negeri. Walau begitu tidak semua tulisan pada djedjaring sosial itu gampang dipahami, misalnja hanja karena penulisnja sering rantju dalam menggunakan “di”: sebagai awalan atau sebagai kata depan; “di” jang dipisah atau jang harus disambung dengan kata berikutnja. Tidak semua orang mampu membedakannja.

Kesalahan remeh jang mendjengkelkan seperti itu tak saja djumpai pada esai2 Manunggal jang terbit dalam buku ini. Dengan tepat dia membedakan “di” sebagai awalan dari “di” sebagai kata depan. Karena itu saja tetarik membatja tulisan2nja. Dan jang saja dapatkan adalah pelbagai sketsa, apakah itu tentang perlawatan, pertemuan, pergaulan atau tentang musik pop Indonesia. Kalau dalam melakukan perdjalanan seseorang banjak mengambil foto untuk kemudian, misalnja, menerbitkannja dalam djedjaring sosial, maka dalam melakukan perdjalanan keluar negeri, selain bikin foto, Manunggal djustru menulis esai2 singkat, berisi apa jang dilihat dan dialaminja selama melakukan perlawatan. Ia merekam kesan2nja djuga dalam tulisan. Alhasil tulisan2 itu laksana rangkaian foto jang lumajan menarik dan enak dibatja.

Dalam himpunan esai ini, Manunggal tampil sebagai seorang pelukis sketsa. Ia memang belum dan tidak berpretensi untuk menghasilkan lukisan jang lengkap, megah, besar atau ber-lapis2 dari segi skema, warna maupun komposisinja. Tapi itu tidak berarti bahwa Manunggal tak membawa bekal dalam melukiskan objek2 jang ditemuinja, tidak djuga berarti bahwa ia tidak berangkat dari titik pangkal jang djelas atau tidak melukis dengan gaja jang chas. Bekal dan titik pangkalnja kentara sekali: ia adalah orang Indonesia jang bertandang keluar negeri, entah itu Australia atau Eropa. Itu artinja ia melukiskan pelbagai tempat jang disinggahinja sebagai orang Indonesia, walaupun baginja Indonesia tidak harus berkiblat pada negara2 madju jang dikundjunginja. Inilah jang menarik, paling sedikit bagi saja, karena memang tidak lajak membandingkan Indonesia dengan Belanda, ketika kita tahu bahwa, besar atau ketjil, keterbelakangan Indonesia itu djuga akibat kolonialisme Belanda. Dalam membandingkan Indonesia dengan Belanda Manunggal tampil tegar, ia tidak mudah terpeleset dalam perbandingan dangkal jang achirnja tjuma mendesak Indonesia supaja meniru Belanda.

Dalam hal ini, sekali lagi, Manunggal tetap setia sebagai pelukis sketsa, ia tidak berpretensi membuat sebuah lukisan jang lengkap. Itu sudah bisa kita batja pada awal tulisannja ketika ia berkisah tentang kebiasaan orang Belanda naik sepeda. Manunggal tidak terdjerembab dengan andjuran supaja orang Indonesia meniru kebiasaan bersepeda orang Belanda. Tentang satu keluarga Belanda jang bersepeda ber-sama2 ke kota, dia tjuma menulis bahwa “di tanah air, pemandangan seperti itu tak pernah aku lihat.” Manunggal djustru meragukan orang Indonesia akan suka bersepeda, karena alam Indonesia lain dari Belanda. Betapa Manunggal benar belaka! Belanda adalah negeri rendah jang tak mengenal gunung. Djalan2 Belanda tidak naik turun, ini membuat bersepeda di Belanda djuga djauh lebih gampang ketimbang di Indonesia. Tradisi bersepeda jang sudah begitu mendarah daging djuga tertjermin pada djalur chusus sepeda jang selalu kita temui di mana2 di negeri kintjir angin ini.

Dalam menulis, ini jang djuga menondjol dari sketsa2nja, Manunggal tidak menghakimi. Ketika bertjerita tentang De Wallen, jaitu lokalisasi pekerdja sex di djantung Amsterdam, tak satupun makian atau sumpah serapah dilontarkannja, begitu pula kutukan atau ketjaman. Padahal terhadap hal2 sematjam itu orang zaman sekarang selalu tjenderung main hakim (walaupun masih dalam bentuk utjapan) apalagi kalau bertemu hal2 jang mereka nilai melanggar susila, terutama jang melanggar kaidah agama. Seolah tak perduli dengan apa jang disebut susila maupun agama, Manunggal terus sadja menulis dan menulis tentang Roze buurt (kawasan lampur merah Amstedam). Hasilnja? Sebuah esei jang informatif, terbatjanja djuga simpatik. Di sini terlihat betapa setia Manunggal pada kepenulisannja. Ia seorang penulis, bukan pengchotbah, bahkan djuga ketika menulis tentang gandja jang legal di Belanda!

Tentu sadja Manunggal tidak hanja menulis soal luar negeri, hal2 jang Indonesiawipun tak dilupakannja. Salah satu jang menondjol adalah hobinja mengumpulkan rekaman pelbagai grup band Indonesia. Di sini pembatja bisa mendapati segi lain tulisan Manunggal: segi kotjaknja. Silahkan menjimak bagaimana lutjunja ketika dia mendapati akal bulus di balik tjara orang mengkoleksi kaset, pita rekaman lagu2 pop Indonesia.

Dalam satu esainja Manunggal djuga mengungkap kesibukannja sebagai kolektor rekaman grup band Dara Puspita jang beranggota tjewek2 asal Surabaja. Dara Puspita populer pertengahan 1960an sampai awal 1970an. Kelompok ini bubaran pada 1972, sebelum Manunggal lahir. Djangankan menonton pertundjukan mereka, kelahiran 1975, saja hampir pasti Manunggal djuga tidak pernah mendengar Dara Puspita di radio. Tapi dia berhasil mendapatkan rekaman kelompok jang sempat melawat ke Eropa ini. Kisah ini dituturkannja dengan menarik. Selain itu ia djuga tampil sebagai penulis resensi anumerta bagi Dara Puspita. Antara lain tulisnja, “Walau memainkan lagu orang, mereka bisa mendapatkan ruh setiap lagu, dan membawakan dengan penuh semangat dan pendjiwaan a la mereka sendiri.” Lebih menarik lagi, di Belanda, Manunggal ternjata sempat bertemu dengan Titiek A.R. pemain gitar utama Dara Puspita. Djangan lewatkan kisahnja jang memukau ini!.

Radio jang selalu didengarnja, tak pelak lagi, adalah Radio Nederland Siaran Indonesia (RANESI) di Hilversum jang sekarang sudah mundur dari udara, akibat penghematan tanpa wawasan jang dilakukan pemerintah Belanda. Radio inilah jang mempertemukan Manunggal dengan saja, walaupun pertemuan itu pada mulanja bersifat sepihak. Sebagai penjiar RANESI saja memang tidak mungkin bisa bertemu dengan semua pendengar saja. Tapi achirnja ketika Manunggal studi landjut di Belanda, nasib mempertemukan kami, walaupun tidak di Hilversum. Ia sudah setia mendengarkan RANESI sedjak 1990an, waktu itu saja sudah siaran, karena saja diterima pada bulan November 1987. Kenapa Manunggal setia mendengar RANESI? Begini tulisnja: “Terutama waktu era Orde Baru, RANESI merupakan sumber informasi alternatif akan banjak hal sensitif di tanah air. Isu Timor Timur, Atjeh, wawantjara dengan para tokoh oposisi dan mereka jang bersuara kritis terhadap pemerintah adalah hal jang mendjadikannja menarik terlebih pada masa lalu, media dan pers Indonesia tidak bebas.” Bisa saja maklumi kalau ketika berkundjung ke studio RANESI Manunggal menulis: “Buatku ini adalah kesempatan jang sangat berarti, terlebih menengok ke belakang pada masa2 remadjaku, studio ini hanjalah mendjadi bagian dari angan2 belaka.” Sajang waktu itu saja tidak bertemunja. Pertemuan kami berlangsung di Den Haag, menjusul perkenalan di dunia maja.

Manunggal di Ranesi
Manunggal di Ranesi

Selesai membatja esai2 berikut orang pasti akan, seperti saja, mengharapkan lebih banjak lagi dari Manunggal. Setelah sketsa2 dalam buku ini, sebagai pembatja kita menantikan tulisan2 lain Manunggal. Bisa esai jang lebih mendalam, tapi bisa djuga fiksi. Kelihaian Manunggal dalam bergumul dan mengolah kata saja rasa merupakan bekal baginja untuk terus berkelana dalam rimba raja penulisan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.