“Berbahasa Mandiri dan Kreatif” oleh Joss Wibisono

Tempo edisi chusus 40 tahun
Tempo edisi chusus 40 tahun

Artikel “Bahasa Tempo, Bahasa Kita” dalam suplemen chusus 40 tahun Tempo,  mendjelaskan bagaimana madjalah mingguan ini bersusah pajah merawat bahasa Indonesia. Isinja bukan tjuma proses menemukan kata2 baru, tapi djuga bagaimana menghindari kata2 jang dianggap salah dan mengapa kata2 itu salah. Walau begitu ada satu hal penting jang luput. Mungkin karena medium tjetak, Tempo tidak terlalu berurusan dengannja. Itulah masalah lafal.

Sebelum itu perlu ditegaskan artikel “Bahasa Tempo, Bahasa Kita” djuga berkisar tentang perlawanan. Perlawanan karena, misalnja, Tempo menolak menggunakan bahasa birokrat atau penguasa. Tidak diuraikan lebih landjut bahasa seperti apa itu. Tapi kita mafhum: di mana2 bahasa birokrat selalu rumit dan tidak djelas. Lebih parah lagi, birokrat dan penguasa Indonesia paling getol mentjemari bahasa, memasukkan potongan2 bahasa Inggris dalam tutur kata mereka.

Bagi Tempo puntjak perlawanan tak pelak lagi adalah pembredelan Djuni 1994. Karena itu, djuga dalam berbahasa, sulit dibajangkan Tempo akan tunduk pada, katakanlah, sebuah kedutaan besar negara sahabat. Padahal, santer desas-desusnja, kedubes ini berhasil menekan medium tjetak lain supaja menulis nama negaranja dalam edjaan tertentu jang sebenarnja bukan edjaan bahasa Indonesia. Pernah mendjadi korban ke-sewenang2an, djelas Tempo tidak mempan lagi pada tekanan, siapapun penekannja.

Menuding birokrat dan penguasa Indonesia sebagai pihak jang paling suka mentjemari bahasa djelas tak bisa dihindari lagi, sajangnja dalam soal ini Tempo masih kurang tegas. Sekali lagi mentjemari berarti tidak berbahasa Indonesia sebaik dan semurni mungkin. Bahasa bagi media massa laksana air bagi ikan. Tak mungkin pers hidup di luar bahasa. Di sini sebenarnja Tempo punja peran unik jang bisa dikembangkan lebih djauh.

Pengembangannja adalah mendesak sumber berita, terutama para pedjabat, supaja hanja menggunakan bahasa Indonesia kalau mendjawab pertanjaan djurnalis Tempo. Bahkan SBY sendiri dalam wawantjara jang terbit pada edisi 29 Oktober 2007 djelas2 mentjemari bahasa Indonesia. Di situ terbatja presiden meluntjurkan kata2 performance, all out, hard issue, avian flu, benchmark dan why not. (Tempo sendiri sempat ketjeplosan ketika bertanja menggunakan kata happy.) Mudah2an di masa mendatang wartawan Tempo berani memperingatkan sumber beritanja, ketika si sumber seenaknja sadja memasukkan potongan2 bahasa Inggris dalam bertutur kata.

Kalau bukan kita orang Indonesia, siapa lagi jang akan berbahasa Indonesia murni, tanpa ditjemari bahasa asing? Kepala negara lain, termasuk pedjabatnja, selalu berbahasa mereka sebaik mungkin. Tak mungkin mereka berani mentjemari bahasa sendiri.

Untung sadja ada rubrik Bahasa! Sedjak 2005 selalu hadir setiap kali Tempo terbit. Djelas langkah istimewa karena tidak semua media punja rubrik serupa dan selalu tampil pada setiap edisinja. Itulah gagasan Goenawan Mohamad (disingkat GM oleh kalangannja), salah satu pendiri Tempo.

GM sendiri sekarang sepertinja sudah menemukan medium baru untuk mengumumkan gagasannja. Itulah twitter dan salah satu kitjauannja berbunji: “Kata ‘ajojing’ itu patut dirawat, krn plastis. Spt kata ‘ganyang’ yg justru lebih tua. Kosakata jangan dimiskinkan.”

Sebagai medium tjetak, Tempo paling banter hanja bisa menggunakan kembali kata, frasa atau istilah jang njaris lenjap itu. Tapi bahasa djelas bukan tjuma kata, bahasa djuga lafal: bagaimana sebuah kata harus diutjapkan. Dan lafal ini tampaknja memang di luar djangkauan Tempo.

Jang saja maksud adalah (njaris) lenjapnja lafal “kh”. Sekarang, dengan EYD jang sudah 40 tahun lebih (berlaku mulai 17 Agustus 1972), tidak kita bedakan lagi “k” dari “kh”. “K” pada khas tidak kita lafalkan beda dari “k” pada kasus. “K” pada khitan kita lafalkan sama dengan “k” pada kirim. “K” pada khusus kita lafalkan sama dengan “k” pada kurus. “K” pada khotbah tidak kita lafalkan beda pada “k” pada korban.

Sebelum 1972 tidak mungkin itu terdjadi. Alasan sederhana sadja, waktu itu “kh” masih diedja “ch”, djadi tidak mungkin chusus dilafalkan kusus. Huruf “c” jang digabung dengan “h” tidak mendorong orang untuk membunjikan “k”.

Jang terdjadi sekarang bukan hanja pemiskinan kosakata, tetapi djelas djuga pemiskinan lafal. Itulah salah satu dampak negatif EYD, edjaan jang, terus terang sadja, tidak saja sukai, bahkan sangat saja bentji! Dan, terus terang lagi, walaupun berprofesi penjiar, saja tidak tahu bagaimana harus merawat lafal.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.