Versi EYD terbitnja di Suara Merdeka edisi 11 Djanuari halaman 23
Pulang karja Leila Chudori diterdjemahkan ke dalam bahasa Prantjis. Maka inilah djawaban seorang novelis Indonesia kepada seorang penulis Prantjis jang pernah menulis novel tentang Djawa.
PADA TAHUN 1832 terbit sebuah novel berdjudul Voyage de Paris à Java (Perdjalanan dari Paris ke Djawa) karja penulis Prantjis Honoré de Balzac. Walaupun dikenal sebagai penulis realis, Balzac sebenarnja belum pernah melawat ke Djawa. Novel itu se-mata2 fantasinja belaka tentang sebuah wilajah eksotis di belahan bumi lain. Balzac misalnja mentjatat bahwa di Djawa tumbuh pohon beratjun upa jang bisa menewaskan siapa sadja jang menghirup aromanja.

Novel chajalan ini ditulis waktu Eropa tengah bergulat menghadapi industrialisasi jang keras dan tak kenal welas asih. Akibatnja chalajak Eropa suka membajangkan dunia lain jang masih murni dan sutji. Pembatja disuguhi tjerita2 petualangan seperti Robinson Crusoe atau Sinbad. Tidaklah mengherankan kalau Balzac djuga berniat menulis kisah seperti itu. Pada achir novel dia mengaku mendasarkan bukunja pada penuturan seorang bangsawan Prantjis jang suka berpetualang, walau tidak djelas apakah sang bangsawan benar2 pernah ke Djawa.
Berkat imadjinasi Balzac, Djawa mulai dikenal chalajak Prantjis. Mungkin inilah jang mendorong penjair revolusioner Prantjis Arthur Rimbaud melawat ke Djawa. Pada 1876, dia sempat dua bulan tinggal di Salatiga. Sajang waktu itu Rimbaud sudah tidak menulis lagi, sehingga tak ada jang tahu bagaimana kesannja tentang Djawa. Tidaklah mengherankan kalau banjak penulis tergoda mereka2 perlawatan ini, termasuk Triyanto Triwikromo jang menulis tjerpen fantasi “Hantu di Kepala Arthur Rimbaud”.
Pada abad 19 itu, orang Paris achirnja berkesempatan djuga untuk menjaksikan Le village javanais (Desa Djawa), tatkala berlangsung l’Exposition universelle (pameran semesta) jang digelar di ibu kota ini pada 1889, untuk memperingati seabad Revolusi Prantjis. Paviljun Belanda jang bernama Desa Djawa itu “dihuni” oleh penabuh gamelan Sari Oneng jang didatangkan dari Desa Parakan Salak, dekat Sukabumi; penari Kraton Mangkunegara, Solo; dan beberapa pengradjin serta pembatik jang berasal dari Surabaja dan Djocjakarta.
Tidaklah berlebihan kalau disimpulkan Djawa sudah tertanam pada kalbu orang Prantjis. Sesekali, pada zaman lain, ingatan tentang Djawa itu muntjul lagi. Pada tahun 1963, misalnja, penjanji Serge Gainsbourg mentjipta sebuah lagu pop berdjudul “La javanaise” jang berarti perempuan Djawa.
Inilah konteks jang melatarbelakangi penerdjemahan novel Pulang karja penulis Indonesia Leila S. Chudori ke dalam bahasa Prantjis. Retour, begitu djudul bahasa Prantjisnja, diluntjurkan pertengahan Oktober lalu di Paris, saat berlangsung atjara dua tahunan Semaine de littérature Indonésienne alias pekan sastra Indonesia. Penjelenggaranja adalah Association franco-indonésienne (perhimpunan Indonesia-Prantjis) Pasar Malam. Bergerak di bidang sastra Indonesia, perhimpunan inilah jang djuga menerbitkan Retour.
Butuh waktu njaris dua abad (persisnja 182 tahun), sebelum achirnja novel imadjinatif Honoré de Balzac memperoleh djawaban dari seorang penulis Indonesia. Djawaban? Benar, bagi publik pembatja Prantjis Pulang adalah djawaban, karena di dalamnja Leila Chudori bertutur tentang orang2 Indonesia jang hidup dalam pengasingan di Paris. Kalau dulu Balzac menulis tentang Djawa maka sekarang Leila menulis tentang Paris. Bedanja, kalau si sastrawan Prantjis menuliskan imadjinasinja maka Leila mendasarkan novelnja pada penelitian jang seksama.

Dalam Pulang bertebaran uraian tentang Paris dan warganja, tak ketinggalan pula sedjarahnja, itulah sedjarah tahun 1960an tatkala protes mahasiswa mengguntjang ibu kota Prantjis. Uraian Balzac tentang perempuan Djawa menggugah imadjinasi pembatja, se-olah2 mereka menjaksikan sendiri ketjantikan perempuan Timur jang diliputi misteri.
Harus diakui Paris bukan satu2nja kota tempat kedjadian (setting) Pulang. Di bagian achir novelnja Leila djuga menulis tentang Djakarta Mei 1998 ketika rezim orde bau diruntuhkan. Tapi tak pelak lagi, Paris adalah alasan utama mengapa novel ini diterdjemahkan ke dalam bahasa Prantjis, mendahului terdjemahan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris jang baru akan terbit bulan2 mendatang.
Merasa tersandjung, Leila sangat bersjukur novelnja diterdjemahkan ke dalam bahasa Prantjis, hanja dua tahun setelah terbit pada 2012. Itu memang periode jang relatif pendek, apalagi karena ini baru novel pertamanja. Kumpulan tjerpen pertamanja, jang berdjudul Malam Terachir (1989) sudah diterdjemahkan ke dalam bahasa Djerman. Salah satu tjerpen dari kumpulan itu diterdjemahkan ke dalam bahasa Denmark. Sedangkan kumpulan tjerpen keduanja Sembilan dari Nadira (2010) sudah diterdjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Jang bagi Leila Chudori djuga istimewa adalah peluntjuran Retour (djudul Pulang dalam bahasa Prantjis). Pertama peluntjuran itu berlangsung di Paris, kota latar belakang sebagian besar novelnja. Leila menegaskan ibu kota Prantjis itu adalah kota jang punja arti penting bagi pentjiptaan Pulang. Kedua, peluntjuran Retour berlangsung dalam atjara chusus jang mengkadjinja dari pelbagai segi oleh pelbagai ahli. Pulang misalnja dibandingkan dengan fiksi2 Indonesia lain jang menggunakan setting Paris atau Prantjis. Dengan begitu Pulang tidak hanja menerima pudjian tapi djuga kritik.
Salah satu pudjian pada Leila adalah kelihaian dan ketelitiannja menggambarkan perasaan kaum pria. Banjak kalangan ber-tanja2 bagaimana mungkin seorang penulis perempuan bisa melakukan hal itu? Di lain pihak, pakar sastra Indonesia Philippe Granger jang setjara chusus mewawantjarai Leila, bertanja mengapa Pulang tidak djuga menampilkan G30S dalam versi orde bau. Dari awal Leila memang sudah menegaskan tidak berniat ikut2an menjebarkan sedjarah versi Orde jang sudah disingkirkan itu.
Tentu sadja Granger ingin tahu mengapa Pulang tidak menampilkan karakter jang mewakili orde bau. Dengan para korban sebagai tokoh utama, orde bau hanja tampil dalam diri tokoh2 figuran. Misalnja satu keluarga, tak penting bagi alur tjerita, jang begitu mendukung orde bau tapi salah satu anaknja ternjata berpatjaran dengan seorang anak tapol. Karakter (dan bukan versi) orde bau tetap penting karena dengan begitu bisa diungkap bagaimana penguasa tangan besi ini harus menghadapi keruntuhan sedjarah versinja.
Selain itu, karakter orde bau ini djuga penting untuk mengimbangi kisah Bambang Ekalaja jang dituturkan dengan begitu memikat oleh Leila. Mahabarata terdiri dari Pandawa dan Kurawa, demikian pula Ramajana jang memiliki sisi Rama maupun sisi Rahwana. Karena itu penampilan Ekalaja selalu diikuti dengan penampilan Adipati Karna. Keduanja merupakan karakter utuh jang tampil bersama dalam semalam pegelaran wajang kulit. Pulang bisa dibilang berat sebelah, karena hanja menampilkan Ekalaja. Dan sebagai korban Ekalaja memang sedjadjar dengan Hananto. Tapi siapa jang pantas disebut wakil Adipati Karna di dalamnja? Tampaknja tidak ada.
Sekarang tatkala Pulang sudah bisa dinikmati oleh publik pembatja Prantjis Leila berharap mereka tidak hanja akan berkenalan dengan Indonesia, tetapi terutama dengan periode kelam 1965/1966. Selama ini dari kalangan generasi muda pembatja Indonesia, Leila djuga mendapati bahwa novel pertamanja ini merupakan pintu gerbang jang membuka niat memahami G30S. Dia mendengar banjak pembatja muda mentjari batjaan lebih landjut mengenai peristiwa kelam ini, begitu selesai membatja Pulang.

Sambil menanti terdjemahan2 selandjutnja ke dalam bahasa2 Belanda, Djerman dan Inggris, Leila sudah mendengar selentingan tentang niat memfilmkan novelnja. Kalau itu benar2 terlaksana, ia berharap film itu akan merupakan produksi bersama Indonesia Prantjis.
Satu pemikiran pada ““Retour: sebuah novel djawaban” oleh Joss Wibisono”