Klow maunja batja versi EYD (jang enggak didemenin sama Oom Ben) silahken ngeklik ini.
Aku kenal pribadi Ben Anderson, dikenalkan oleh Sidney Jones, wektu melawat ke Freeville tahun 1991. Dengannja aku biasa ngobrol tentang banjak hal: bahasa, politik, tentara, masak memasak (dia ternjata suka sajur kale bahasa Inggris atau boerenkool bahasa Belanda masak teri dan lombok, buwatanku) dan terutama musik klasik. Ben Anderson paling suka salah satu karja terachir Richard Strauss berdjudul Vier Letzte Lieder (empat lagu terachir) dibawakan oleh mendiang soprano Suisse Lisa della Casa, tapi paling bentji Beethoven. Berikut kenanganku tentang sobat jang satu ini.

Benedict Richard O’Gorman Anderson (1936-2015) kita kenal sebagai seorang Indonesianis, pakar Indonesia pertama jang —dalam apa jang disebut Cornell Paper— mempertanjakan versinja harto orde bau terhadap peristiwa G30S. Karena itu Ben sempat seperempat abad lebih ditjekal oleh rezim tangan besi ini, ia tidak boleh lagi masuk ke negeri jang ditjintainja. Lantaran, atau lebih tepat lagi berkat pentjekalan itu, Ben Anderson melebarkan sajap, dia beralih menekuni Thailand dan Filipina. Kepakarannja atas tiga negara Asia Tenggara ini terbukti dengan bukunja jang terbit tahun 1998, berdjudul The Spectre of Comparisons.
Dalam buku ini Ben membentangkan bukan sadja keahlian tapi terutama djuga kedjeliannja atas tiga negara Asia Tenggara, masing2 Indonesia, Thailand, dan Filipina. Bab2 dalam buku itu menguraikan hal2 jang belum pernah dipikirkan dengan matang oleh pakar Indonesia (tentang berachirnja pendudukan orde bau atas Timor Leste), pakar Filipina (tentang apa jang disebutnja cacique demoracy jang merupakan warisan kolonialisme Spanjol) dan pakar Thailand (tentang lemahnja bordjuasi negeri itu walaupun Thailand tidak pernah mengalami pendjadjahan). Salah satu tulisan terachirnja jang diterbitkan setjara posthumus adalah analisa tadjem djitu dan super menarik tentang Thailand jang, paling sedikit bagiku, belum pernah kubatja di manapun djuga.
Tidak ketinggalan dalam buku itu Ben Anderson tentunja djuga berkisah tentang nasionalisme, topik lain jang begitu digandrunginja. Dan memang dia mendjadi terkenal di seluruh dunia karena kadjian nasionalisme jang sangat berpengaruh. Bukunja Imagined Communities sudah diterdjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, terachir pemimpin Kurdi Abdullah Öçalan konon sangat tertarik pada buku ini.
Kemudian Ben Anderson setjara chusus djuga menulis buku tentang tiga negara jang dipeladjarinja itu. Tentang Indonesia, kita tahu dia menulis Revoloesi Pemuda, buku pertamanja jang terbit pada tahun 1972 (terdjemahan Indonesia terbit 1988). Tentang Thailand dia menulis The Fate of Rural Hell (2012) dan tentang Filipina Anderson menulis Under Three Flags (terbitan 2005) jang tahun ini terbit terdjemahan bahasa Indonesianja berdjudul Di Bawah Tiga Bendera. Termasuk salah seorang jang men-desak2 Ben Anderson supaja menerbitkan buku itu, aku punja tjerita chusus jang mudah2an menarik untuk diungkapkan. Tetapi sebelum itu ada satu hal jang menurutku merupakan dasar penting bagi Ben Anderson untuk bisa benar2 mendjadi pakar Indonesia, Thailand dan Filipina setjara bersamaan. Apalagi karena di mana2 tak ada satupun ilmuwan jang bisa memiliki kepakaran dobel2 seperti itu.

Menurutku dasar kepakaran Ben Anderson jang tak tertandingi oleh siapapun ini adalah kefasihannja berbahasa Indonesia, Thai dan Tagalog. Dalam hal ini Ben memang seorang polyglot tulen, apalagi kalau mengingat bahwa selain tiga bahasa itu dia djuga masih fasih berbahasa Inggris (bahasa ibu), bahasa Belanda, bahasa Djerman, bahasa Prantjis dan terachir jang dipeladjarinja sendiri, bahasa Spanjol. Dia djuga mengaku pernah beladjar bahasa Rusia. Di Bangkok, kalau keluar makan berdua (atau bertiga tapi jang Asia tjuma aku), maka pelajan restoran selalu langsung mendekatiku, tanja mau pesan apa. Itu lantaran mereka menganggap di antara bule jang ada akulah jang bisa berbahasa Thai. Pada saat itu Ben akan njeletuk dalam bahasa Thai jang lutju bahwa pelajan rumah makan harus datang ke dia, karena aku jang didekati oleh sang pelajan, begitu katanja dalam bahasa Thai, adalah Thai gadungan. Tentu sadja si pelajan ter-pingkal2. Dari sini aku paham betapa fasih Ben berbahasa Thai.
Satu ketika aku pernah bertemu dengannja di Bangkok (kami tidak pernah bertemu di Indonesia) ketika dia baru tiba dari Manila. Pada saat itu dia berkata dirinja harus hati2 berbitjara bahasa Indonesia, karena banjak miripnja dengan bahasa Tagalog. Setelah beberapa saat di Manila tentu sadja dia lebih terbiasa dengan bahasa Tagalog. Tapi hanja sekali dia salah omong, dan segera dikoreksinja sendiri dengan berudjar “wrong language”, salah bahasa. Sedjak itu tak sekalipun dia salah dalam berbahasa Indonesia denganku.
Kami paling sedikit menggunakan tiga bahasa, selain bahasa2 Inggris dan Indonesia, dia selalu minta disegarkan bahasa Belandanja. Nah, kefasihan Ben akan bahasa2 Thai, Indonesia dan Tagalog itu merupakan dasar jang kokoh baginja untuk menekuni tiga negara itu lebih landjut. Dan selalu dalam penekunannja Ben Anderson menemukan topik2 baru jang belum pernah ditekuni oleh ilmuwan2 setempat.
Jang istimewa adalah bahasa Spanjol, ini tampaknja merupakan salah satu bahasa terachir jang ditekuninja. Istimewa karena dia beladjar sendiri, tanpa guru resmi dan kalaupun guru itu ada, maka itu tjuman teman bitjara, kebanjakan para penutur asli Spanjol, dari Eropa maupun Amerika Latin. Ben mengaku beladjar bahasa Spanjol untuk membatja dua novel karja José Rizal (1861-1896), jaitu Noli Me Tangere dan El Filibusterismo. Maklum Rizal menulis kedua novelnja dalam bahasa pendjadjah awal Filipina, jaitu Spanjol. Jang lebih penting lagi Ben tidak puas dengan terdjemahan bahasa Inggris kedua karja bapak bangsa Filipina itu.
Beberapa kali Ben mengirim artikel2nja tentang Filipina kepadaku sebelum artikel itu terbit di manapun. Aku hanja bisa membatjainja dan bertanja sana sini, bukan berkomentar karena apalah jang kuketahui tentang negara tetangga sebelah utara ini. Tapi diriku memberanikan diri untuk menulis kepadanja bahwa artikel2nja tentang Filipina itu lajak dihimpun djadi buku. Tentu sadja harus dipikirkan satu kerangka teori tertentu jang bisa merupakan pajung untuk mentjakupkan beberapa artikel itu dalam satu buku.

Aku memahami pokok pembahasan Ben Anderson dalam masalah Filipina itu sebagai bagaimana orang terdjadjah di Asia Tenggara beladjar teori kiri anti kolonialisme di negeri induk Eropa. Kalau mulai abad 16 orang Eropa sudah berdatangan ke Asia Tenggara (ketjuwali Thailand) untuk mendjadjahnja, maka pada abad 19 djustru sebaliknjalah jang terdjadi: orang Asia Tenggara (dalam hal ini Rizal) berangkat ke Eropa untuk beladjar teori2 anti kolonialisme jang kebanjakan adalah teori2 kiri, baik itu marxisme, anarchisme maupun lainnja. Tapi di sini ada perketjualian jang menarik, karena ternjata ada orang kiri Eropa jang ke Asia Tenggara pada abad 19 itu. Tokoh itu tidak lain adalah penjair Prantjis Arthur Rimbaud (1854-1891) jang sempat mendjadi penghuni komune Paris jang terkenal itu. Sebagai pradjurit bajaran jang harus menaklukkan Atjeh, Rimbaud pernah mendjalani latihan militer di Salatiga hanja untuk, achirnja, melakukan desersi.
Di sinilah terdjadi adu pendapat jang tjukup seru antara diriku dengan Ben Anderson. Pertama karena dia tidak pertjaja Rimbaud pernah ke Hindia Belanda. Djadi aku harus terlebih dahulu membuktikan kepadanja bahwa memang ada tulisan tentang Rimbaud ke Salatiga. Waktu itu aku tak punja tulisan apapun tentang ini, perlawatan Rimbaud ke Djawa aku ketahui dari sebuah siaran Radio Nederland seksi bahasa Prantjis. Dokumenter radio itu dengan teliti bertutur bagaimana Rimbaud sampai mau djadi pradjurit bajaran ke Hindia Belanda dan melakukan perdjalanan ke Batavia terus ke Semarang sampai achirnja ke Salatiga. Waktu itu hampir sadja aku merasa harus merekam dalam kaset siaran itu untuk dikirim kepada Ben Anderson, kalau seorang teman Belanda tidak menundjukkan biografi Arthur Rimbaud dalam bahasa Inggris, karja Graham Robb. Untung di situ ada satu bab chusus jang membahas perlawatan Rimbaud ke Salatiga. Segera bab itu kufotokopi dan kukirim melalui fax kepada Ben jang waktu itu ada di Bangkok. Di salah satu sudut halaman masih kutambahi kattebelletje (tjatetan singkat) dalam bahasa Inggris, “I am afraid I was right”, kira2 artinja, tampaknja aku jang bener deh.
Sedjak itu pembitjaraan kami tentang rentjana bukunja makin asjik. Jang djelas kalau Revoloesi Pemoeda ditudjukan kepada pembatja Indonesia, maka Di Bawah Tiga Bendera ditulis chusus untuk pembatja Filipina. Dan bisa dibilang Di Bawah Tiga Bendera itu dimulai dari artikel2 Ben Anderson tentang Filipina dan Rizal jang sudah ada, bukan dari gagasan besar awal, seperti Imagined Communities, buku klasiknja jang sampai sekarang, 30 tahun lebih sesudah terbit, masih tetap dibatja orang terus. Maka sempurnalah kepakaran Ben Anderson, paling sedikit tiga buku sudah ditulisnja untuk chalajak pembatja Indonesia, Filipina dan Thailand.
Sajang perlawatan Arthur Rimbaud ke Salatiga tidak begitu tjotjok dengan kerangka umum Di Bawah Tiga Bendera. Karena itu artikel tentang perbandingan kolonialisme Prantjis dan Spanjol tidak bisa diikutkan. Tapi Ben menjediakan satu tjatatan kaki tentangnja dan di situ dengan murah hati dia berterima kasih padaku. Dan aku boleh berbangga ketika mendapati bahwa di antara puluhan nama pada utjapan terima kasih di halaman depan, hanja punjaku jang satu2nja nama Indonesia. Terima kasih jang abadi karena tertera di dalam buku, apalagi karena Ben sekarang sudah menghadap sang chalik.
Terima kasih Ben Anderson, aku benar2 telah menerima kasihmu. Djuga terima kasih atas semuanja, mulai dari perkenalan di Freeville pada musim panas 1991 sampai persahabatan selama hampir seperempat abad ini.
Satu pemikiran pada ““Mengapa Benedict Richard O’Gorman Anderson berterima kasih padaku dalam ‘Tiga bendera'” oleh Joss Wibisono”