“Enaknja jang mana: pilkada atau pemilukada?” oleh Joss Wibisono

Versi sedikit lain dan dalem EYD alias edjaan orde bau bisa dibatja klow mengklik ini

Dulu —tatkala DPR meloloskan UU pemilihan kepala daerah tak langsung— orang sudah memperbintjangkannja. Sekarang —mendjelang serempak berlangsungnja pemilihan kepala daerah— lagi2 perbintjangan itu kembali terdengar. Dulu itu orang tidak hanja membahas apakah pemilihan kepala daerah sebaiknja dilakukan langsung oleh warga daerah atau pemilihan tidak langsung jang, atas nama rakjat daerah, didjalankan oleh dewan perwakilan rakjat daerah tertentu. Sekarang orang tidak hanja membitjarakan pelbagai politisi jang mentjalonkan diri pada pemilihan kepala daerah jang akan digelar serempak pada beberapa daerah. Bersamaan dengan itu baik sekarang maupun dulu djuga tetap dibahas istilah mana jang lebih tepat: pemilihan kepala daerah disingkat “pilkada” atau pemilihan umum kepala daerah disingkat “pemilukada”.

Pemilukada jang hanja terdjadi di Madjalengka
Pemilukada jang hanja terdjadi di Madjalengka

Pendukung istilah pemilukada berargumen: karena rakjat langsung memilih kepala daerah mereka maka istilah itulah jang harus digunakan. Pilkada dianggap menjesatkan dan kurang tegas, karena masih mungkin pemilihan seperti itu tidak dilakukan langsung oleh rakjat, melainkan oleh dewan perwakilan daerah. Djadi kata “umum” dianggap perlu untuk menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah itu dilakukan langsung oleh warga daerahnja.

Pertama2 perlu ditegaskan di sini kita berurusan dengan pemilihan jang berlangsung di daerah tertentu, bukan di seantero negeri. Maka segera terlihat makna kata “umum” jang sebenarnja. Umum berarti siapa sadja, karena itu berlangsung di seluruh negeri. Pemilihan umum berarti pemilihan jang berlangsung di seantero negeri, dan djelas tidak hanja di daerah tertentu.

Kalau digunakan istilah pemilukada, kepandjangan pemilihan umum kepala daerah, maka kita akan terdjebak dalam apa jang disebut contradictio in terminis jaitu gabungan beberapa kata jang maknanja saling bertentangan satu sama lain. Di satu pihak pemilihan umum menundjuk pada pemilihan jang berlangsung di seantero negeri, tetapi di lain pihak pemilukada merudjuk pada pemilihan jang hanja berlangsung di daerah tertentu. Dengan kata lain pilihan kata “umum” tidak tepat kalau digunakan untuk menundjuk pada pemilihan langsung kepala daerah. Kalau pilkada dimaksudkan sebagai pemilihan langsung kepala daerah, maka paling tepat menggunakan istilah pilkada langsung, bukan pemilukada.

pemilukada tak djelas di mana
pemilukada tak djelas di mana

Pemilukada sedjatinja sederadjat dengan istilah “lingkaran segi empat” jang djelas tidak mungkin karena memang tidak masuk akal. Lingkaran pasti bundar, tidak mungkin ada lingkaran segi empat. Maka dari itu, bagaimana mungkin kita bisa bitjara tentang pemilihan jang umum kalau ternjata hanja diikuti oleh pemilih daerah tertentu? Keterlibatan rakjat pemilih sebaiknja dipertegas dengan kata “langsung” itu dan bukan dengan kata “umum”, karena “umum” djustru mengkaburkan lokasi pemilihan. Sekali lagi, pemilihan jang bersifat umum adalah pemilihan jang berlangsung di seluruh negeri. Selain itu, kalau ingin memberi ketegasan pada istilah tertentu (dalam hal ini pilkada), bukankah sebaiknja tidak menimbulkan kekaburan lain?

Bahasa Inggris mengenal istilah general elections (pemilihan umum) sebagai lawan local elections (pemilihan daerah). Begitu djuga bahasa Belanda jang mengenal istilah algemene verkiezingen versus locale verkiezingen. Tidak mungkin bahasa Inggris menggunakan general local elections atau bahasa Belanda algemene locale verkiezingen. Itu djelas istilah rantju jang djustru membingungkan, karena tidak djelas lagi mana jang dimaksud: pemilihan daerah atau pemilihan umum.

Pemilu(kada) kok tjuman di Bandjarbaru?
Pemilu(kada) kok tjuman di Bandjarbaru?

Pemilihan jang benar2 bermakna rakjat memilih memang baru ada setelah orde bau tersingkir. Itu terdjadi baik di pusat dengan presiden jang dipilih langsung maupun di daerah dengan pemilihan langsung kepala daerah. Pada kedua pemilihan rakjat berperan aktif, mereka langsung memilih. Untuk membedakan keduanja, muntjul istilah “pilpres” dan “pilkada”. Dan sesuai urut2an sedjarahnja, pilpres langsung baru terdjadi setelah terlebih dahulu berlangsung pilkada. Selain keduanja djuga masih ada pemilihan legislatif jang berarti pemilihan anggota dewan, pusat maupun daerah.

Ketika sempat berketjamuk perdebatan pilkada, apakah langsung jang berarti dilakukan oleh warga daerah atau tidak langsung karena jang memilih kepada daerah adalah dewan perwakilan daerah, maka sebenarnja inti perdebatannja bukan pada istilah pilkada itu sendiri. Perdebatan itu berkisar pada peran rakjat dalam memilih kepala daerahnja: langsung atau tidak. Dalam keadaan seperti ini istilah pilkada sebaiknja tidak diganggu gugat, tapi diberi tambahan sadja agar tidak menimbulkan tafsir lain. Pilkada itu harus tetap langsung, seperti jang sudah2. Kalau toh istilahnja mau diganti, maka djangan sampai membuat istilah baru jang djustru tidak masuk akal karena menjalahi logika. Nalar harus didjaga tetap lurus, djangan di-bengkok2kan lagi, karena itu bisa2 kembali mundur ke zaman orde bau.

Satu pemikiran pada ““Enaknja jang mana: pilkada atau pemilukada?” oleh Joss Wibisono

  1. Pemilukada (pemilihan umum kepala daerah). Asumsi saya sih gini om ; umumnya kepala daerah tu tak lepas dari KKN, dan umumnya lagi memang minjem nama rakyat untuk kepentingan golongan/pribadi dengan dalih mewakili aspirasi rakyat namun umumnya lagi-lagi malah mengkhianati. Ujungnya rakyat pun akan sakit hati, seperti halnya saya yang merasa dibodohi dengan tata negara yang penuh hirarki penuh gincu yang terkesan solusi.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.