“Seorang pahlawan telah tiada: Evy Siantoeri-Poetiray: Soerabaja 3 djuli 1918 – Jakarta 27 agustus 2016” oleh Herman Keppy

Versi asli (dalem bahasa Belanda) bisa dibatja dengen mengklik ini.

“Rakjat Nederland, bersediakah kalian sepenuhnja mengakui hak rakjat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri?” Demikian pertanjaan Evy Poetiray, anggota pengurus Perhimpoenan Indonesia, pada tanggal 2 februari 1946 di Markthallen, Amsterdam. Dengan lantang tanpa keraguan hadirin memperdengarkan djawaban “ja”. Sajang kenjataannja lain lagi.

Evy Poetiray berpidato di Markthal, Amsterdam, 2 februari 1946
Evy Poetiray berpidato di Markthallen, Amsterdam, 2 februari 1946

Evy Poetiray datang ke Amsterdam untuk studi landjut, tapi Perang Dunia Kedua berkobar. Seperti semua mahasiswa Indonesia jang menempuh pendidikan tinggi di Belanda, dia anti fasisme dan melantjarkan perlawanan terhadap Djerman jang waktu itu menduduki negeri pendjadjah, Belanda. Setjara ilegal ia bekerja sebagai kurir untuk menjebarkan harian2 de Waarheid dan het Parool.

Walau Belanda achirnja bebas dari pendudukan, Evy terus sadja berdjuang, kali ini bagi kemerdekaan Indonesia jang sudah tak bisa dibendung lagi. Kalangan komunis Belanda jang berdjuang bersamanja terus mendukung; tetapi kalangan sosialis jang seminggu setelah pidato di atas mendirikan Partij van de Arbeid alias partai buruh, mengabaikan Evy dan teman2 Indonesianja. Evy pulang ke tanah air dan membangun hidup baru bersama suaminja Margin Siantoeri.

Tatkala pada 2008 kulewatkan beberapa hari di Djakarta, kudengar orang2 (Maluku) me-njinggung2 nama ‘tante Evy’. Sambil lalu kutanja, “Ini tante Evy jang mana sih?” Mereka mendjawab, “Evy Poetiray.” Hah, masih hidupkah dia? Jaaa, mereka lalu bertanja apakah aku ingin menemuinja? Lalu telpon itu ditaruh di tanganku. Betapa bulu kuduk berdiri dan tangan ini gemetaran ketika aku berbitjara dengan seseorang jang bagiku benar2 pahlawan. Kusebut namaku dan ingin kudjelaskan siapa diriku serta aku ingin mewawantjarainja. Djawabannja mendatangkan ketenangan, “Herman, aku tahu kau ini siapa, kau menulis di koran.” Wow.

Banjak terurai kenangan manis masa lampau waktu dia kuwawantjarai dalam bahasa Belanda sempurna. Misalnja bahwa Joop den Uyl jang masih muda (perdana menteri Belanda tahun 1970an, JW) waktu itu berupaja mematjarinja. Dan tentang hongerwinter (kelaparan di musim dingin) dia bertutur dengan senjum:

Ketika Irawan Soejono (seorang mahasiswa jang bekerdja untuk berkala ilegal, HK) dibunuh di Leiden, kami bersepeda ke sana: tiga pria dan tiga perempuan. Kami membontjeng sepeda tanpa ban. Salah seorang perempuan, Elly Soumokil, belum lama melahirkan, bajinja baru berusia tiga bulan, tapi dia ingin ikut ke Leiden. Karena itu bajinja dititipkan di rumah sakit Wilhelmina Gasthuis, Amsterdam, lalu ia ikut ke Leiden.

Kami memperoleh penginapan di Oegstgeest. Di situ terdapat delapan orang Indonesia jang bersembunji. Salah satunja bernama Frits Harahap. Mereka ikut dalam verzet (perlawanan terhadap nazi), dengan tugas menjergap kantor distribusi untuk mentjuri bon distribusi (bisa digunakan untuk beli sembako, JW).

Para pemuda ini diberi makan oleh seorang perawat, Juju namanja, djuga oleh salah seorang di antara kami. Tatkala masuk, Elly harus segera ke dapur untuk mengosongkan susu karena pajudaranja sudah mengeras. Suster melihat itu dan berkata, “Djangan, susumu djangan dibuang”.

Air susu Elly ditampung di sebuah pantji, dan para pemuda malam itu memperoleh kopi susu. Tentu sadja mereka bertanja, “Susunja dari mana?” Sang suster mendjawab, “Ditukar dengan beberapa lembar sprei, susu itu kuperoleh dari seorang peternak sapi!”

Kami menetap selama seminggu di Oegstgeest, para pemuda memperoleh kopi susu dua kali sehari. Ketika kami pergi, tidak ada susu lagi di Oegstgeest. Para pemuda itu bertanja, “Mengapa tidak barter lagi dengan tukang susu?” Suster mendjawab, “Tidak bisa, lantaran sapinja sudah kembali ke Amsterdam!” Mereka kaget, dan karena terus ngomel, suster berkata, “Ja, tapi selama seminggu kalian sudah mendapat susu penuh!” Lelutjon ini tak pernah kulupa.”

Evy Siantoeri-Poetiray pada usia landjut di Djakarta, foto Hilde Jansen
Evy Siantoeri-Poetiray pada usia landjut di Djakarta, foto Hilde Jansen

Sabtu pagi, 27 agustus, Evy Siantoeri-Poetiray duduk2 di terasnja di Djakarta untuk menikmati fajar. Diam2 pada saat itu dia tiada, pergi untuk selamanja pada usia 98 tahun. Selamat jalan, tante Evy. (alih bahasa Joss Wibisono).

Tjatatan Joss Wibisono (penerdjemah)

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.