“Irawan Soejono dan pengakuan setelah 71 tahun” oleh Joss Wibisono

Versi lain, dalem EYD alias edjaannja orde bau, bisa dibatja dengen mengklik ini.

Djedjak2 Belanda di Indonesia sudah banjak diketahui orang, jang sedikit diketahui adalah djedjak2 orang Indonesia di Belanda. Lebih dari 70 tahun silam, semasa Perang Dunia Kedua, para pemuda Indonesia ikut berperan dalam verzet, perlawanan terhadap nazi jang saat itu menduduki negeri pendjadjah. Peran jang tidak ketjil, tapi tak banjak diketahui orang.

Salah seorang mahasiswa Indonesia itu adalah Irawan Soejono. Dengan heroik, dia melawan pendudukan nazi lewat tulisan dan gerilja bawah tanah, hingga kematian menghentikan langkahnja. Pada tanggal 4 mei lalu, atas kegigihan perdjuangan dan pengorbanannja, Leiden setjara chusus mengenang putra Indonesia ini.

Pieterskerk - Leiden, sewaktu musim saldju
Pieterskerk – Leiden, sewaktu musim saldju

Datang dari arah jang berlawanan dengan pintu gerbang, beberapa orang tjelingukan mentjari tahu bagaimana bisa masuk gereja Pieterskerk di Leiden, negeri Belanda, rabu sore 4 mei itu. Maklum baru dua kali geredja jang hampir berusia 900 tahun ini mendjadi tempat penjelenggaraan Dodenherdenking, upatjara mengenang para korban Perang Dunia Kedua. Sampai 2014 warga Leiden selalu menghadiri peringatan tahunan ini di Lammermarkt, dekat kintjir angin de Valk itu sedjak 1957 tegak monumen pembebasan untuk mengenang mereka jang gugur akibat perang. Dua tahun belakangan monumen ini mendjalani renovasi, sehingga upatjara peringatan berachirnja perang pindah ke Pieterskerk, geredja tertua Leiden.

Di dalam geredja seseorang jang awas pasti melihat satu hal jang tidak umum. Sekelompok orang Indonesia tampak duduk tenang, sesekali berbisik dalam bahasa jang segera kita pahami. Ini membedakan mereka dengan sebagian besar hadirin lain jang djelas terlihat dan terdengar sebagai orang Belanda. Mengapa orang Indonesia hadir dalam upatjara Belanda?

Djawabannja tak perlu lama dinanti. Dalam kata pembuka Ton Kohlbeck, ketua Jajasan Dodenherdenking Leiden, mendjelaskan bahwa untuk tahun ini Dodenherdenking mengenang perlawanan pihak Indo (berdarah tjampur Indonesia-Belanda) dan kalangan Indonesia selama Belanda diduduki nazi Djerman. Kohlbeck bahkan menjapa hadirin, antara lain Duta besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja, dalam bahasa Indonesia. Dalam buku atjara tertera selain musik, upatjara sore itu berisi dua pidato dan diachiri dengan peletakan karangan bunga.

Pemusik dan penulis Ernst Jansz sebagai spreker atau pengutjap pidato utama menjebut bahwa perlawanan orang Indonesia selama pendudukan nazi terorganisir dengan baik. Maklum sudah sedjak 1908 orang2 Indonesia jang ada di Belanda (kebanjakan mahasiswa) bergabung dalam Perhimpoenan Indonesia. Bertudjuan memperdjuangkan Indonesia merdeka, organisasi ini tersebar di Amsterdam, Utrecht, Delft, Rotterdam, Wageningen tapi terutama di Leiden, karena universitasnja memiliki fakultas Indologie, banjak mahasiswa Indonesia memilih kadjian negeri sendiri ini.

Ernst Jansz saat tampil sebagai 'spreker'
Ernst Jansz saat tampil sebagai ‘spreker’

Para mahasiswa Indonesia berpendapat, landjut Ernst Jansz, di bawah pendudukan nazi tidak mungkin wilajah djadjahan bisa merdeka. Dan memang beberapa sedjarawan mentjatat bahwa pada zaman pendudukan Djerman itu, mahasiswa Indonesia di Belanda sempat menghentikan perdjuangan Indonesia merdeka. Mereka memilih untuk bekerdjasama dengan pihak verzet jaitu kalangan perlawanan Belanda untuk menghadapi fasisme dahulu. Baru kalau Belanda bebas dari pendudukan nazi, mereka melandjutkan perdjuangan Indonesia merdeka.

Pidato Ernst Jansz memadu perlawanan mahasiswa Indonesia dengan pengalaman ajahnja jang keturunan Indo. Tiba di Belanda dari Semarang tahun 1934 untuk melandjutkan studi, ajah Jansz punja pendirian berbeda dari keturunan Indo lain. Menurutnja kalangan jang berdarah tjampur ini hanja akan memperoleh hak untuk menetap di Indonesia kalau mereka djuga memperdjuangkan kemerdekaan negeri kelahiran itu. Ini akan sedjalan dengan perdjuangan mereka membebaskan Belanda dari pendudukan nazi Djerman. Karena itu ajah Jansz berupaja mendjalin kerdjasama dengan perlawanan orang Indonesia. Sajang tjita2 ini tak terwudjud karena sang ajah jang sementara itu sudah aktif dalam gerakan ilegal, ditangkap nazi di Amsterdam pada musim panas 1944. Dikurung di kamp konsentrasi Amersfoort, Jansz senior bisa bertahan sampai Djerman kalah pada musim semi 1945.

Dia bisa pulang dan masih beruntung kalau dibandingkan dengan Irawan Soejono, mahasiswa Indonesia jang ditembak mati oleh Wehrmacht (tentara Djerman) di Leiden pada 13 djanuari 1945. Setjara chusus, dalam pidatonja, walikota Leiden Henri Lenferink menjebut nama mahasiswa sosiografi universitas Leiden ini. Sore itu Irawan Soejono memang merupakan titik pusat peringatan korban Perang Dunia Kedua di Leiden.

walikota Henri Lenferink saat berpidato
Henri Lenferink, walikota Leiden, saat berpidato

Leiden achirnja mengakui pengorbanan mahasiswa Indonesia selama Perang Dunia Kedua. Untuk itu walikota Lenferink mengutip pudjian profesor Rudolph Cleveringa: tokoh jang merupakan lambang perlawanan dunia akademis Belanda terhadap fasisme. Gurubesar ini terkenal karena protesnja memitju perlawanan terhadap nazi jang kemudian menutup universitas Leiden. Dalam pidato tanggal 25 mei 1945 (Djerman tekuk lutut tiga minggu sebelumnja: 5 mei) ketika berlangsung peringatan 37 tahun berdirinja Boedi Oetomo di Batavia dan Perhimpoenan Indonesia di Den Haag —waktu itu dikenal sebagai hari gerakan nasional— Rudolph Cleveringa antara lain menegaskan, “Tak perlu ditanja lagi di mana orang Indonesia ketika berlangsung pendudukan nazi. Mereka ada dan siap. Mereka telah berkorban. Mereka ada di kamp konsentrasi, ada di pendjara. Mereka ada di mana2.”

Kalau begitu, mengapa sekarang banjak orang tidak tahu menahu soal peran mahasiswa Indonesia selama Belanda diduduki nazi? Ernst Jansz datang dengan djawaban menarik.

Begitu Belanda bebas, orang2 Indonesia melandjutkan perdjuangan kemerdekaan negeri mereka. Ini menjebabkan amarah pemerintah Den Haag. Karena itu banjak jang dipulangkan, atau, seperti ajah Jansz, dimasukkan dalam daftar hitam. Beberapa malah harus bersembunji, persis seperti zaman pendudukan. Maka peran orang Indonesia selama perang terhapus dari ingatan umum chalajak Belanda.

“Sialan banget,” umpat Ernst Jansz, “Bukankah mereka sudah berdjuang bagi pembebasan Belanda, bahkan sampai berkorban djiwa?” Pemusik dan penulis ini mendesak pemerintah Belanda untuk setjara resmi mengakui peran orang Indonesia pada zaman pendudukan nazi. “Tjoba bajangkan,” desaknja lagi, “orang Indonesia jang kebanjakan beragama Islam semasa perang dulu mempertaruhkan njawa dengan menjembunjikan orang Jahudi jang diburu nazi. Ini tidak dipahami oleh orang Belanda sekarang”. Ernst Jansz tidak menutup kemungkinan bahwa di Indonesia orang djuga tidak tahu. Sambil mengingat peran ajahnja, Jansz berharap chalajak Indonesia djuga mengakui peran kalangan Indo bagi kemerdekaan Indonesia.

Duta besar I Gusti Agung Wesaka Puja
Duta besar I Gusti Agung Wesaka Puja

Selain pidato, dalam upatjara mengenang korban Perang Dunia rabu sore itu Ernst Jansz sebenarnja sudah mempersiapkan dua lagu. Sajang dia hanja bisa membawakan satu lagu tentang pengalaman ajahnja. Tidak ada waktu bagi lagu kedua karena hadirin harus bergegas ke halaman geredja, untuk mengheningkan tjipta tepat pada djam 20:00 dan meletakkan karangan bunga. Setelah walikota Leiden, pembawa atjara mempersilahkan duta besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja untuk meletakkan karangan bunga. Di bawah bendera merah putih biru, Dubes Puja membawa karangan bunga dan pita2 dua warna, merah dan putih: lambang Indonesia.

Masih ada satu lagi karangan bunga dwi warna rabu malam itu. Jang membawanja adalah Iwan Faiman dan Wati Dengkeng-Soenito. Mereka tergabung dalam Merapi Werkgroep (Kelompok Kerdja Merapi) jang selama ini bersusah pajah melobi Jajasan Dodenherdenking Leiden serta pemerintah kota supaja mengakui peran orang Indonesia. Mereka djuga menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia, KBRI, di Den Haag. Iwan Faiman adalah anak mendiang Slamet Faiman dan Wati Soenito adalah putri almarhum Djojowirono Soenito. Kedua almarhum jaitu Faiman serta Soenito adalah orang2 Indonesia jang dulu aktif dalam perlawanan terhadap nazi. Selain Iwan dan Wati, Merapi Werkgroep masih beranggotakan beberapa putra-putri kalangan verzet Indonesia.

Iwan Faiman tampak lega karena Leiden achirnja mengangkat thema peran kalangan Indo dan Indonesia dalam verzet, perlawanan selama Perang Dunia Kedua. Walau begitu tidaklah berarti kelompok kerdja Merapi bisa berlenggang kangkung. “Untuk Leiden paling sedikit masih ada dua kerdja lagi,” tutur Iwan.

Iwan Faiman dan Wati Soenito membawa karang bunga merah putih
Iwan Faiman dan Wati Soenito membawa karang bunga bersematkan pita merah putih

Pertama kelompoknja ingin supaja di Boommarkt, tempat Irawan Soejono ditembak oleh Wehrmacht (pasukan Djerman), dipasang plakat jang mengenang Irawan. Untuk ini Iwan Faiman ingin bekerdjasama dengan masjarakat Indonesia di Belanda, bukan hanja KBRI, tetapi djuga dengan PPI (Persatuan Peladjar Indonesia) bahkan dengan Sekolah Indonesia Nederland di Wassenaar, dekat Den Haag. “Moga2 mereka bersedia mengadopsi plakat itu, sehingga tertanam kesadaran bahwa dulu mahasiswa Indonesia bukan hanja memperdjuangkan kemerdekaan tetapi djuga melawan fasisme.” Kehadiran pengurus PPI pada upatjara Dodenherdenking rabu 4 mei itu membesarkan hatinja, apalagi kedatangan dubes Puja.

Taburan bunga di Irawan Soejonostraat. Osdorp. Amsterdam barat
Taburan bunga di Irawan Soejonostraat. Osdorp. Amsterdam barat

Selain itu, seperti Amsterdam, Iwan ingin supaja Leiden djuga menamai salah satu djalan kota itu dengan Irawan Soejonostraat. Amsterdam sudah melakukannja pada 1990. Dia berharap tahun depan Leiden akan berbuat serupa, saat upatjara mengenang korban Perang Dunia Kedua kembali berlangsung di Lammermarkt, lokasi aslinja.***

(Ngamsterdam 7 mei 2016, simak artikel landjutan tentang sosok Irawan Soejono. Siapakah orang Indonesia jang dipahlawankan oleh Belanda ini?)

2 pemikiran pada ““Irawan Soejono dan pengakuan setelah 71 tahun” oleh Joss Wibisono

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.