Klow bisanja tjuman batja versi edjaan orde bau, EYD, silahken ngeklik ini:
Achirnja keputusan itu keluar djuga. Djum’at 2 desember 2016, dalam djumpa pers mingguan, perdana menteri Mark Rutte mengumumkan bahwa pemerintah Belanda akan membiajai penelitian menjeluruh dan mandiri terhadap kekerasan tentara Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Keputusan jang tidak terlalu mengedjutkan, walaupun empat tahun lalu pemerintah masih menolak seruan mengadakan penelitian matjam itu. Apa pasal? Kenapa sekarang Den Haag berubah pendirian?
Mark Rutte menegaskan penjebab kabinetnja mengambil keputusan ini adalah disertasi doktor sedjarawan Rémy Limpach jang septembar lalu terbit sebagai buku berdjudul De brandende kampongs van generaal Spoor (Kampung2 djenderal Spoor jang terbakar). Dalam penelitiannja Limpach berhasil menundjukkan bahwa kekerasan ekstrim jang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia bersifat strukturil, menjebar, dan tertantjap dalam struktur militer waktu itu. Selama ini pemerintah Belanda berpendapat bahwa kekerasan itu hanja ekses belaka, ulah beberapa oknnum dan bukan beleid resmi Den Haag.
“Tentara Belanda telah setjara strukturil dan dalam skala besar2an menerapkan kekerasan ekstrim terhadap orang Indonesia pada periode 1945-1950 setelah proklamasi kemerdekaan, 70 tahun silam senin mendatang. Sesudah itu para pelakunja bebas berlenggang kangkung, karena pihak otoritas me-nutup2i pelanggaran hukum itu.”
Berita itu bisa dikatakan baru itjip2 pendahuluan bagi isi penelitian Limpach jang baru terungkap september lalu. Sedjak itu chalajak ramai Belanda seperti memanaskan diri untuk menjambut berita jang lebih menjeramkan lagi.
Achir september itu, setelah setahun penantian, achirnja disertasi Limpach terbit. Dalam bukunja Limpach lebih landjut menelandjangi koalisi para pelaku kekerasan di dalam struktur militer dan sipil jang dalam semua djadjaran bertanggung djawab melakukannja. Tiga wakil tertinggi kekuasaan di Hindia Belanda ber-sama2 bertanggung djawab terhadap kekerasan extrim itu.
Mereka adalah panglima tentara djenderal Simon Spoor, amtenar sipil tertinggi Huib van Mook dan amtenar puntjak kehakiman Henk Gelderhof. Rémy Limpach menjebut ketiganja melakukan “djudi militer, dengan taruhan njawa puluhan ribu orang Indonesia dan Belanda”. Bagaimana djalannja djudi militer oleh para pembesar tadi belum pernah diungkap sampai sekarang.
Kesimpulan ini berlawanan dengen pendirian pemerintah Den Haag. Nota Exses tahun 1969, menjebut kekerasan itu tjuma pelanggaran insidentil jang dilakukan oleh oknum2 militer tententu.
Dari penelitian itu terbukti bahwa panglima militer djenderal Spoor jang membawahi 200 ribu pasukan telah menerapkan tudjuan militer jang tidak mungkin bisa tertjapai. Begitu kekerasan militer itu terdjadi, Spoor menerimanja sadja, demikian Limpach. Tanggung djawab penguasaan sebuah wilajah “digeser ke atas atau ke bawah, seperti kentang panas”.
Selain itu, “troika kolonial” ini djuga beranggotakan kekuasaan sipil tertinggi, letnan gubernur djenderal Van Mook, jang menurut Rémy Limpach, “dalam mendjalankan kebidjakan selalu melangkahi majat”, dan djaksa agung Henk Felderhof. Tokoh terachir ini ikut menentukan perlindungan juridis militer terhadap pasukan Belanda.
Tanggung djawab achir berada di Den Haag dan bukan Djakarta jang bagi Belanda waktu itu masih bernama Batavia. Limpach, “Pemerintah Den Haag bertugas mengawasi para pemimpin tertinggi di Batavia, dan mereka tidak hanja lalai lantaran djarak jang begitu djauh, tetapi djuga djelas2 tidak mau bertindak”.
Dalam pernjataannja djum’at 2 desember perdana menteri Mark Rutte menegaskan dirinja sadar bahwa penelitian baru ini bisa “menjebabkan sakit hati di kalangan para veteran Hindia”. Walau begitu tetap penting untuk memperhatikan “keadaan sulit jang membatasi operasi para veteran, kekerasan jang dilantjarkan kalangan Indonesia, kemungkinan tidak dilakukannja kekerasan, serta tanggung djawab para pemimpin pemerintahan, politik maupun militer”.
Ini berarti bahwa penelitian jang dikehendaki pemerintah Belanda tidak akan hanja berpusat pada sisi militer, melainkan djuga latar belakang politik serta kebidakan pemerintah pada umumnja.
Selain itu djuga akan diteliti kekerasan jang dilantjarkan kalangan Indonesia. Di sini Rutte menjuarakan keinginan partainja, partai konservatif VVD. Dalam apa jang disebut “Periode Bersiap” ini, setelah Djepun bertekuk lutut, berlangsung kekerasan terhadap kalangan Belanda, kalangan Indo jang berdarah tjampuran serta kalangan Tionghwa atau kelompok lain jang oleh para pemuda revolusioner Indonesia ditjurigai bekerdjasama dengan kalangan Belanda.
Penelitian terhadap ulah pihak revolusioner Indonesia inilah jang merupakan sjarat partai konservatif VVD, salah satu mitra pemerintah koalisi Belanda, sebelum mereka setudju dengan usul mengadakan penelitian menjeluruh. Selain itu VVD djuga hanja akan setudju djika kalangan veteran Belanda dilibatkan dalam penelitian.
Partai konservatif VVD memang selalu membela kepentingan para veteran, walaupun suara mereka tidak sekuat dulu lagi karena djumlah mereka terus berkurang ditelan zaman. Sampai achir 2004 masih ada satu tokoh lagi jang selalu membela kalangan veteran Belanda, itulah Pangeran Bernhard, ajah putri Beatrix, kakek radja Willem-Alexander jang sekarang bertahta. Sepeninggal Bernhard, tampaknja hanja tinggal partai VVD jang ber-sibuk2 merawat kepentingan para veteran jang semakin gaek.
Di balik lobi jang kuat itu sampai 1990an para veteran Belanda jang pernah bertugas di Hindia djuga terus aktif membela kepentingan mereka. Tidak segan2 mereka berdemonstrasi turun ke djalan atau menggugat di pengadilan. Pada 1988 mereka memprotes profesor Loe de Jong jang dalam naskah buku sedjarah Belanda semasa Perang Dunia II menggunakan istilah oorlogsmisdrijf alias kedjahatan perang untuk menggambarkan ulah pradjurit Belanda di Indonesia. Pada 1993, mereka djuga tak segan2 berdemonstrasi memprotes kundjungan aktivis hak2 asasi manusia Indonesia Poncke Princen ke negeri kelahirannja Belanda, maklum pada zaman perang kemerdekaan Princen berbalik memihak Indonesia. Para veteran ini djuga menggugat penulis Graa Boomsma jang dalam novel De laatste typhoon menjamakan pradjurit Belanda jang bertugas di Indonesia dengan SS, jaitu tentara elit Djerman jang pernah menduduki Belanda. Tidak terima atas persamaan ini pada 1995 para veteran menggugat Boosma di pengadilan, gugatan jang gagal, karena pengadilan menolaknja.
Tahun 1995 itu para veteran Belanda ternjata bisa memetik keberhasilan. Mereka berhasil menggeser kundjungan kenegaraan ratu Beatrix ke Indonesia, bukan tanggal 17 Agustus 1995, pada perajaan 50 tahun proklamasi kemerdekaan, melainkan beberapa hari kemudian jaitu pada tanggal 21 Agustus. Banjak kalangan menduga keras Pangeran Bernhard berada di belakang pengunduran tanggal ini. Konon Beatrix hanja akan tunduk pada kehendak ajahnja. Pada pidato perdjamuan makan ratu Beatrix djuga tidak minta maaf, seperti dikehendaki banjak kalangan, tetapi hanja menjesalkan “perpisahan Indonesia Belanda jang berkepandjangan dan menjebabkan rasa sakit dan peperangan pahit”.
Lebih dari itu, beberapa rombongan veteran jang dulu bertugas merebut kembali Indonesia, ikut dalam rombongan ratu. Inilah jang mengherankan beberapa wartawan Djerman jang bertugas di Den Haag. Karena sangat tidak mungkin para pensiunan SS jang semasa Perang Dunia II bertugas menduduki Belanda, akan ikut dalam rombongan kundjungan kenegaraan presiden Djerman ke Belanda, 50 tahun kemudian.
Itulah prestasi gemilang terachir para veteran Belanda. Sedjak itu suara mereka tidak terdengar lagi. Pada tahun 2005 misalnja, ketika menteri luar negeri Belanda Bernard Bot jang pernah ikut ibunja mendekam dalam kamp Tjideng semasa pendudukan Djepang, menjatakan bahwa selama perang kemerdekaan Indonesia Belanda telah berada pada sisi sedjarah jang salah, tidak terdengar protes para veteran. Pada abad 21 ini suara kalangan veteran makin sepi sadja.
Sekarang diperkirakan masih terdapat sekitar 18 ribu veteran Belanda jang dulu pernah dikirim ke Indonesia. Hein Scheffer, ketua het Veteranen Platform, salah satu organisasi veteran Belanda, menjambut keputusan pemerintah mengadakan penelitian. Kepada harian Trouw dia menjatakan ingin organisasi dan anggotanja diwawantjarai tentang pengalaman mereka di Indonesia. “Selain itu para veteran djuga dapat menjediakan dokumen2 atau foto2,” demikian Scheffer. Baginja jang penting penelitian ini harus berangkat dari sudut pandang dan norma2 jang berlaku pada zaman itu.
Tidak semua veteran Belanda menjambut baik niat pemerintah ini. Kepada harian Trouw Leen Noordzij, ketua Vomi (singkatan bahwa Belanda untuk persatuan veteran Hindia) menjatakan tidak me-nanti2 penelitian matjam ini. Tapi dia maklum bahwa penelitian seperti itu tak bisa dibendung lagi. Dia tjuma bisa berharap penelitian ini berlangsung objektif, dalam arti pelanggaran jang dilakukan pihak Indonesia djuga diteliti.
Konon kabarnja dalam upaja meneliti ulah pihak Indonesia ini, perdana menteri Mark Rutte sudah terlebih dahulu berbintjang dengan presiden Joko Widodo. Dalam kundjungan ke Djakarta november lalu, ada sentilan bahwa Jokowi tidak keberatan dengan penelitian sematjam ini. Tapi itu tidak berarti bahwa Indonesia setudju membuka arsipnja bagi para peneliti jang akan berdatangan dari negeri kintjir angin.
Walau begitu Gert Oostindie, direktur KITLV, merasa ini bukan hambatan. Kepada harian Trouw dia menjatakan tahun2 belakangan sudah banjak arsip Indonesia jang dibuka. “Selain itu kami djuga akan mewawantjarai orang2 jang mengalami sendiri perang kemerdekaan Indonesia,” demikian Oostindie. Ditambahkannja, di kalangan sedjarawan Indonesia sendiri sudah terdjadi pergeseran pendapat, mereka lebih objektif dalam meneliti periode perang kemerdekaan.
Penelitian menjeluruh jang dikehendaki pemerintah Belanda ini akan berlangsung selama empat sampai enam tahun, dan menelan biaja ber-djuta2 euro.