Klow demennja tjuman batja edjaan orde bau, silahken ngeklik ini.
Raden Saleh, pelukis abad 19, adalah salah satu simbul penting sedjarah bersama Indonesia Belanda. Tapi ada tanda2 Belanda ingin menjingkirkannja, seperti Multatuli jang sekarang djuga mulai diabaikan.
Siapakah sebenarnja Raden Saleh, perupa dengan karja jang berdjudul Boschbrand (kebakaran hutan) sempat menimbulkan keheranan karena telah didjual setjara tidak menguntungkan oleh para tjutju Ratu Juliana? Aneh djuga kalau pelukis jang terkenal dan banjak dipudji di pentas internasional dengan karja2 jang sekarang bernilai sampai djutaan dolar, djustru bukan nama jang dikenal pada setiap rumah tangga Belanda. Kembali meningkatnja penghargaan terhadap karja2 Raden Saleh terdjadi berkat djasa pengamat seni Prantjis dan terutama Djerman jang begitu fanatik memudjanja. Mereka berhasil mengorbitkan Raden Saleh pada pentas internasional sebagai salah satu seniman besar abad 19, tanpa setjuilpun keterlibatan Belanda. Itu djelas djanggal.

Masalahnja, Raden Saleh berasal dari bumi Hindia Belanda dan mendapat penghargaan sebagai perupa serta dukungan keuangan tiga radja Belanda, masing2 Willem I, Willem II dan Willem III. Jang kedua memberikan penghargaan (dalam Orde Eikenkroon) dan jang terachir bahkan mengangkatnja mendjadi Schilder des Konings, pelukis radja/istana. Karena penghormatan ini setjara teratur sang pelukis menghadiahkan karja2nja kepada keluarga keradjaan. Kemudian karja2 itu dengan bangga dipindjamkan oleh para sri baginda pada pelbagai museum dan pameran di luar negeri. Apa jang terdjadi dengan kebanggaan itu dan apa pula jang terdjadi dengan Raden Saleh sendiri?
Lahir sekitar 1810 dalam keluarga bangsawan Djawa Arab jang suka memberontak, dia ditemukan setjara tidak sengadja pada usia muda oleh pelukis Belgia A. Payen. Seniman ini merupakan anggota sekelompok penggambar dan perupa jang bertugas melukis flora dan fauna Djawa, atas pesanan penguasa kolonial. Waktu itu Raden Saleh Sarief Bustaman sedang indekos pada residen Robert van der Capellen, di sana dia bertemu Payen dan karena bakatnja diizinkan ikut Payen sebagai muridnja. Gubernur djenderal Godert van der Capellen —didjuluki radja muda Hindia dan saudara Robert— dibuat kagum oleh bakat seni Raden Saleh. Dia turun tangan sendiri supaja tjalon perupa ini bisa memperdalam bakat seninja di Eropa, tatkala mentjapai 18 tahun. Godert van der Capellen jang berperangai menarik sangat terpesona pada Hindia, sehingga tatkala kembali ke Belanda ia membawa seorang gadis Papua ketjil sebagai ‘kenang2an wilajah Timur’.
***
Setjara resmi Raden Saleh berangkat ke Nederland sebagai djurutulis kantor inspektur departemen keuangan, dan beberapa bulan kemudian dia akan kembali dalam kedudukan serupa. Tetapi dia memutuskan menetap lebih lama lagi, karena menurutnja ketrampilan melukisnja masih belum memadai, dan djuga karena dia ingin beladjar mentjetak dengan batu. Berkat bantuan keluarga di Hindia, achirnja itu berhasil djuga. Lebih dari itu, Raden Saleh djuga berkenalan dengan perupa Cornelis Kruseman jang kemudian mengangkatnja sebagai murid.
Sesudah itu, setiap kali Raden Saleh diberi tahu bahwa sudah tiba saatnja untuk pulang kampung, dia selalu menolak bekerdjasama. Karena memperoleh tundjangan jang mewah, maka dia djuga mampu berbuat demikian. Hidupnja selalu mandiri, tinggal di sebuah kamar di Den Haag, memiliki galeri sendiri dan mengikuti pelbagai kursus menggambar dan bahasa asing lain. Seorang direktur sirkus berhasil dibudjuk supaja memperbolehkan Raden Saleh mempeladjari singa2 jang dimilikinja, maklum dia begitu tertarik pada binatang liar.
Pada achirnja pemerintah Belanda tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan Raden Saleh. Sementara itu dia sendiri tidak hanja berkembang mendjadi seorang seniman penuh greget, tetapi djuga mendjadi seorang dandy Eropa jang berpakaian mentereng. Memulangkannja ke Hindia sudah bukan pilihan lagi. Dichawatirkan, karena baiknja pendidikan jang ditempuhnja, Raden Saleh akan bermanifestasi sebagai pemberontak anti kolonialisme — perang Djawa jang begitu ber-darah2 baru sadja berachir. Sekitar 1837 muntjul gagasan mengirim Raden Saleh ke luar negeri untuk tugas beladjar. Sang pelukis menentangnja dengan alasan dia tidak bisa berbahasa Prantjis, dengan begitu ada alasan untuk memperpandjang periode Eropa dengan kursus tambahan bahasa Prantjis selama dua tahun lagi.

Sementara itu sebagai pelukis, Raden Saleh berhasil tampil terpandang, antara lain karena melukis berbagai tokoh terkemuka; dan sebagai bangsawan dia malah menolak dibajar. Hampir semua waktu dan uangnja dihabiskan untuk seni. Galerinja konon disesaki kerangka dan tulang belulang binatang. “Tamu hampir tidak bisa menemukan kursi jang bisa diduduki,” keluh seorang pengundjung. Ia melukis harimau, singa, matjan tutul, kerbau, dan rusa — dalam keadaan saling berlaga, dibunuh oleh para pemburu, atau ditembak, atau tengah melarikan diri.
Tak lama setelah mulai mengadakan perlawatan ke luar negeri, Raden Saleh mendjadi terkenal di Djerman, Inggris dan Prantjis sebagai pelukis dan sosialista — sekarang dalam penampilan Djawa jang dandy, lengkap dengan tulban dan keris. Dengan tjepat dia berkenalan untuk berteman dengan kalangan bangsawan Inggris dan Prantjis pada pelbagai istana mereka, jang konon menimbulkan iritasi pihak otoritas Belanda.
Sampai lima tahun Raden Saleh menetap di pelbagai puri bangsawan Dresden di Djerman timur, setjara chusus dimandjakan oleh kaum perempuan, “walaupun kulitnja berwarna sawo matang” (demikian seorang pengamat jang kaget). Ia berpendapat berdansa itu tidak begitu bergengsi dan keheranan melihat para bangsawan jang berdansa dansi. Dansa itu menurutnja hanja untuk para budak.
Raden Saleh djuga senang singgah di Paris. Di ibukota Prantjis ini dia diterima dan memperoleh penghormatan di pelbagai istana. Di sana sang prince javanais (pangeran Djawa), menurut seorang pengamat, mengenakan pakaian fantasi Djawa jang sangat mentjolok. Di Paris ini Raden Saleh sampai beberapa kali berhasil melibatkan diri dalam beberapa hubungan asmara, sementara dia menjaksikan perubahan besar2an sistem politik Eropa jang pada 1848 berawal di Prantjis. Dia makin terkenal sadja, lalu mengadakan perlawatan seni ke Aldjirs (ibukota Aldjazair) bersama pelukis Prantjis Vernet. Tatkala kembali ke Belanda dia mendjadi anggota KITLV institut keradjaan jang waktu itu begitu bergengsi — keanggotaannja sangat membanggakan institut ini. Terhadap upaja2 untuk mendjadikannja pemeluk agama kristen aliran tertentu, Raden Saleh selalu datang dengan djawaban chas: “bersepakat dululah baru setelah itu kembali pada saja.” Sebagai seorang Muslim, agama Islam baginja bukan merupakan hambatan untuk bergabung dalam tarekat metselar bebas (mason bebas, jaitu vrijmetselaarij atau freemason).
Pada 1851 Raden Slaleh kembali ke Djawa sebagai seorang tokoh terkenal — dia tinggal bersama seorang perempuan Eropa keturunan Indo jaitu Constancia Winckelhaagen jang merupakan pengusaha batik. Namanja sebagai pelukis pemandangan aliran romantis sudah begitu terkenal. Lukisan Boschbrand (kebakaran hutan) jang berukuran tiga kali empat meter dan dihadiahkannja kepada radja Willem III tatkala berpisah karena pulang ke Djawa, merupakan tanda terima kasih untuk dukungan selama 23 tahun. Boschbrand merupakan puntjak dramatis rangkaian karja Raden Saleh, di situ terlihat binatang2 jang melarikan diri karena kebakaran hutan, harimau dan kerbau, njaris dalam ukuran asli, panik masuk djurang, di belakang terlihat matjan tutul dan rusa jang samar2 sadja.
***
Di Djawa sang perupa terus mendalami minatnja dalam dunia hewan dengan menggali tulang belulang ‘binatang dari dunia sebelum ini’ seperti mastodon dan megalodon. Selain itu Raden Saleh djuga mengumpulkan naskah2, tulisan tangan dan barang2 antik lain untuk ‘Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (masjarakat seni dan ilmu pengetahuan Batavia), lembaga ini djuga menugasi sang pelukis untuk melakukan perlawatan seni. Dia merantjang kebun binatang Batavia dan mengirim seekor gadjah jang sepandjang djalan minum anggur dan makan pisang dari Tjirebon kepada sunan Solo, sebagai hadiah kedjutan. (Di Djawa tidak ada singa atau gadjah. Minat besar Raden Saleh terhadap binatang2 ini muntjul dari hasrat modius seni orientalisme di Eropa).
Pada 1857 Raden Saleh mulai melukis karjanja jang paling terkenal, Penangkapan Pangeran Diponegoro, jang kini terpampang di Istana Merdeka. Pangeran Diponegoro jang diaku Raden Saleh sebagai keluarganja, adalah pedjuang anti kolonialisme pertama Indonesia, pada 1825 dia menjulut Perang Djawa. Ia merupakan tokoh jang menakutkan penguasa kolonial dan achirnja setjara pengetjut didjebak oleh djenderal Hendrik de Kock. Djuga karena Raden Saleh menggambar kepala orang2 Belanda lebih besar dari orang Djawa, maka banjak orang memaknai karja ini sebagai lukisan nasionalistis Asia Tenggara pertama. Sebelum melukisnja, Raden Saleh sudah melihat karja Nicolaas Pieneman jang, tentu sadja, menampilkan orang2 Belanda sebagai pemenang dan Diponegoro sebagai pihak jang kalah. Karena itu lukisan Raden Saleh dinilai sebagai ‘pembalikan’ radikal visi Belanda. Ternjata dia tidak memperoleh izin untuk berkundjung ke medan laga Perang Djawa.

Kenjataan bahwa Raden Saleh menghadiahkan lukisan ini kepada radja Willem III sebagai wudjud rasa terima kasih atas bantuan jang diterimanja mejakinkan banjak kalangan bahwa sang pelukis tidak punja setjuwilpun aspirasi nasionalistis atau bahwa karja ini merupakan sematjam peringatan bagi apa jang kemudian akan terdjadi. Tapi tidak ada jang meragukan bahwa ini adalah sebuah adi karja — sumber inspirasi bagi banjak pelukis kontemporer Indonesia.
Di Djawa kembali Raden Saleh tampil menondjol lantaran pakaian kelewat bagus jang djuga exentrik. Chususnja begitu banjak medali jang dipasang di djasnja menarik banjak perhatian. Ketika pada 1868 petjah pemberontakan rakjat di Bekasi, pelukis ini dituduh sebagai pemulanja — tuduhan jang mengedjutkan Raden Saleh sendiri. Tapi segera terbukti bahwa pemimpin pemberontakan, seorang warga desa, berhasil menjamar sebagai Raden Saleh, dengan tjara menjematkan bintang penghargaan palsu (dibuat dari uang logam) pada dadanja. Akibatnja sampai 1910, di kalangan warga Batavia Timur, perupa ini malah terkenal sebagai kepala perampok.
Raden Saleh sendiri punja hubungan baik dengan penguasa kolonial. Ia merantjang dan melukis empat lukisan kehormatan jang pada 1874 didirikan di kediamannja di Buitenzorg (sekarang Bogor) untuk menjambut setjara meriah kembalinja pasukan KNIL dari expedisi berdarah di Atjeh. Pekerdjaan terhormat dan karena itu bergadji tinggi jang dilakukannja adalah mengawasi galeri kehormatan jang berisi gambar2 para gubernur djenderal, sematjam pantheon kolonial.
Menjusul perkawinannja dengan seorang perempuan ningrat Djawa jang masih belia, pada 1875 Raden Saleh melakukan perlawatan kedua ke Eropa. Dia diterima oleh radja Willem III, menetap lama di Djerman dan berkundjung ke Italia, sebelum achirnja kembali ke Djawa pada 1878. Pada 1880 Raden Saleh meninggal mendadak, karena itu pelbagai koran berspekulasi bahwa dia diratjun (kematian itu karena emboli). Dari segi keuangan, pada waktu itu sang pelukis dalam keadaan tidak begitu baik. Karena itu gubernur djenderal membeli semua lukisannja jang masih tersisa di galeri sang perupa. Monumen atau makam jang sesuai tidak dibangun selama ber-tahun2. Temannja, bangsawan Ghana Pangeran Aquasi Boachi berupaja mengumpulkan dana dengan mendjual undian jang berhadiah utama senapan berlaras dua bekas milik Raden Saleh.
Jang tertulis pada nisan Raden Saleh achirnja adalah semua bintang dan penghargaan jang sempat tersemat di dadanja. Ridder der Orde van de Eikenkroon (Belanda); ridder met de ster van der Frans-Joseph orde; ridder der Kroonorde van Pruisen, ridder van de Witte Valk.
***
Di Indonesia, karja2 Raden Saleh baru memperoleh perhatian besar pada 30 tahun terachir. Lama sekali orang berpendapat dia bukan Djawa asli, seperti djuga dia tidak bisa dianggap sebagai pembaru dunia seni rupa Indonesia. Sementara ini kini kepadanja sudah tersemat gelar kehormatan “Bapak Seni Rupa Indonesia”. Perdjalanan lukisan Diponegoro jang begitu populer itu berperan dalam penganugerahan gelar ini. Dalam rangka kundjungan kenegaraan Ratu Juliana ke Indonesia pada 1971, sri baginda menghadiahkan beberapa lukisan Raden Saleh jang merupakan milik keluarga keradjaan, antara lain lukisan Diponegoro kepada negara Indonesia. Di Indonesia kondisi karja seni ini tjepat memburuk, lembaga kebudajaan Djerman Goethe Institut di Djakarta berinisiatif melakukan restorasi dan pelaksananja adalah konservator Djerman sekaligus pakar Raden Saleh: Susanne Erhards. Dia djuga menangani lukisan lain jang disia2kan, Harimau minum. Semua ini diberitakan pandjang lebar oleh pers Indonesia.
Sementara itu harga karja2 Raden Saleh sudah begitu meledjit setinggi langit. Pada 2012 lukisan berburu binatang dibeli seharga €1,6 djuta oleh seorang Indonesia petjinta lukisan. Ini djuga bersamaan waktunja dengan makin populernja pelukis2 Asia Tenggara di kalangan penggemar seni lokal sedjak tahun 1990an, akibat terhimpunnja kekajaan baru di Asia.
Pada 2012 digelar pameran lintasan karja2 Raden Saleh di Djakarta jang kembali diselenggarakan dan didanai oleh Goethe Institut. 23 ribu pengundjung dalam dua hari memadati pameran itu, djumlah tinggi untuk sebuah pameran di Indonesia. Di Djerman orang menjebutnja sebagai “ersten Blockbuster der südostasiatischen Ausstellungsgeschichte” (blockbuster pertama dalam sedjarah pameran lukisan di Asia Tenggara). Werner Kraus, kurator pertundjukan dan penulis biografi Raden Saleh, pada saat pemukaan pameran menjatakan, “Raden Saleh merasa paling kerasan waktu menetap di Djerman. Dia diterima di istana, terlihat sebagai tamu dalam pelbagai tempat pertemuan, dan mendapat djulukan ‘si pangeran hitam’. Karja2nja terdjual dalam harga mahal. Walau begitu di Belanda dia dianggap warga negara kulit tjoklat dari koloni dan tidak dianggap serius”. Djelas2 merupakan Zueignung alias pengambilalihan atau pengakuan ketika Kraus mengamati bahwa Raden Saleh itu “seorang Djawa tatkala tiba di Eropa dan Djerman ketika kembali ke Indonesia” (Padahal ia menetap di Paris antara 1845 dan 1851). Di tempat lain Kraus menjebut Raden Saleh sebagai anti Belanda, sesuatu jang tidak sepenuhnja benar.
Chususnja berkat lukisan Diponegoro jang begitu terkenal (kembali dipamerkan Kraus di Djakarta pada 2015) di Indonesia Raden Saleh dianggap seniman nasionalistis besar pertama. Pada saat jang sama dia adalah djuga perupa pertama Indonesia jang bekerdja menggunakan gaja serta teknik Barat. Selain itu dia djuga pernah mendjadi pelukis istana Belanda. Ini membuatnja mendjadi salah satu simbul penting bagi sedjarah bersama Indonesia Belanda — djuga, atau mungkin djustru karena sepandjang abad 20 di negerinja sendiri Raden Saleh dianggap tidak lebih dari ‘si Djawa pelukis binatang’. Karja2nja konon hanja tjotjok untuk digolongkan sebagai ‘tanpa tandingan’ dalam sedjarah seni rupa Belanda.
***
Tatkala pada oktober 2015 terungkap bahwa lukisan Boschbrand selajaknja dianggap hilang dari warisan budaja milik Belanda, maka gelombang schok menimpa segenap orang Belanda jang paham sedjarah dan budaja. Ini masih dipergawat dengan pengumuman bernada ketus RVD, dinas penerangan keradjaan, bahwa para pewaris Ratu Juliana sepenuhnja bebas menentukan apa jang diperbuat dengan warisannja. Dalam sebuah artikel di harian sore NRC Handelsblad (berdjudul Geen Oranje wilde twaalf vierkante meter tijgers artinja tak ada anggota dinasti Oranje jang mau matjan sampai 12 meter persegi), wartawan Arjen Ribbens mengungkap bagaimana 14 orang tjutju Ratu Juliana memperlakukan warisan budaja jang tak ternilai harganja ini. Lukisan itu sempat hilang selama 100 tahun: setelah sedjarawati seni Prantjis Marie-Odette Scalliet berhasil melatjaknja —nota bene atas inisiatif sendiri— lukisan jang diabaikan dan rusak berat ini direstaurasi. Itu adalah kerdja berat karena lukisan ini per-tama2 digulung kemudian dilipat pada bagian tengah dan pada tahun 1902 lenjap di gudang istana Het Loo, di Apeldoorn.

Setelah upaja pemulihan ini, lukisan Boschbrand ditawarkan setjara diam2 oleh wangsa Oranje kepada seorang kolektor Indonesia, karena upaja ini gagal maka pada 2014 lukisan ini dibeli oleh Galeri Nasional Singapura jang langsung memamerkannja sebagai koleksi paling top. Izin expor ternjata sudah keluar hanja seminggu setelah diadjukan, demikian ditemukan oleh Arjen Ribbens. Konon kabarnja transaksi ini berkisar antara tiga sampai lima djuta dolar, sulit mengetahui harga pastinja karena semua pihak jang terlibat wadjib merahasiakannja.
Tidak satupun tjutju Ratu Juliana, tidak djuga staf sri baginda sedjarawan radja Willem-Alexander, jang terbukti punja kesadaran sedjarah seni nasional. Dan bahwa ratu Máxima jang merupakan pelindung KITLV, Raden Saleh merupakan salah satu anggota awal institut keradjaan ini, ternjata tidak atau sama sekali tidak membawa dampak. Tidak satupun dari 13 lukisan jang pernah diserahkan Raden Saleh kepada tiga radja dinasti Oranje, sekarang masih mendjadi milik wangsa ini.
Idealnja Boschbrand merupakan milik bersama Amsterdam dan Djakarta, konstruksi saling tukar seperti jang baru sadja dilakukan dengan Paris bagi karja Rembrandt jang bernilai €160 djuta. Karja Rembrandt ini dipamerkan enam bulan di Paris dan enam bulan di Amsterdam. Pola ini djuga tjotjok bagi adi karja Raden Saleh. Tetapi sedjarah Hindia Belanda sudah sedjak dulu dipisah dari sedjarah Belanda — kalaupun sedjarah Belanda memang pernah mengakui sedjarah Hindia. Di Belanda tidak satu djalanpun menjandang nama Raden Saleh. Dan itu djuga tidak akan terdjadi.
***
Di alam baka Raden Saleh bisa berada dalam lingkungan terhormat. Bukannja tidak masuk akal kalau tokoh bengal abad 19 lain, Multatuli, tak lama lagi akan djuga terdesak ke pinggiran sedjarah Belanda. Kini semua masih tahu siapa dia. Patut dipertanjakan apakah Raden Saleh mengenal Multatuli —walaupun masa hidup mereka bertumpang tindih untuk waktu jang lama. Ketika Multatuli —nama lengkapnja Eduard Douwes Dekker— sebagai anak muda berangkat ke Hindia Belanda, Raden Saleh sudah beberapa tahun meninggalkan bumi kelahirannja, dan mereka berdua memang selalu telisipan (bersimpang djalan). Bisa dipastikan mereka saling mengenal karja masing2, Multatuli menjebut nama Raden Saleh dalam Max Havelaar; keduanja adalah anggota tarekat metselar bebas (vrijmetselaarij alias freemason), walaupun mereka bukan anggota lodji jang sama.
Seseorang jang mungkin sempat mengenal keduanja adalah seorang tokoh terkenal Mina Kruseman, pada abad 19 merupakan perempuan Belanda jang paling exentrik. Aktris dan penulis ini masih bersaudara dengan perupa terkenal Cornelis Kruseman jang pernah mendjadi guru Raden Saleh. Setelah novel feminisnja terbit pada 1873 (berdjudul Een huwelijk in Indië alias Pernikahan di Hindia), ia menggarap bukunja ini mendjadi naskah drama jang berdjudul De echtscheiding alias pertjeraian jang tatkala dipentaskan dia pegang peran utama. Sementara itu dia sudah berkenalan dengan Multatuli, jang memintanja untuk pegang peran utama dalam drama karja Multatuli jang berdjudul Vorstenschool (sekolah bangsawan) — sempat beredar desas desus santer bahwa Multatuli sempat ter-gila2 pada Mina Kruseman. Tentang perannja sebagai Ratu Louise keduanja berselisih berat. Sampai2 Multatuli membatalkan kontraknja, walaupun sandiwaranja sukses besar. Kruseman kembali ke Djawa, di sana Raden Saleh sudah kembali sebagai seorang Djawa sekaligus Eropa jang hidup bahagia dan, siapa tahu, keduanja saling berkenalan.
Multatuli jang meninggalkan Hindia Belanda pada 1857, pada waktu itu sudah hidup di pengasingan suka rela di Ingelheim, Djerman. Dalam hal ini djuga terdapat persamaan antara dia dengan Raden Saleh: dia lebih suka menetap di Djerman ketimbang Belanda. Tetapi berlawanan dengan sang perupa, Multatuli berhasil mengembangkan diri mendjadi pahlawan tak terbantahkan lagi dalam warisan sastra Belanda dan dengan begitu tampil sebagai suara hati bangsa Belanda. Pada 2002, novel Max Havelaar karja Multatuli dinobatkan sebagai karja sastra terpenting Belanda sepandjang masa, dan pada 2004 Multatuli sendiri terpilih menduduki peringkat 34 orang Belanda terbesar. Patung dadanja —karja Hans Bayens— begitu menondjol di Torensluis, Amsterdam, di atas kanal Singel.
Karena itu sangat mengagetkan dan tidak bisa dimengerti keputusan pemerintah kota Amsterdam pada 2013 untuk menghapus subsidi kepada Multatuli Huis (Rumah Multatuli). Rumah ketjil di Korsjespoortsteeg, dekat Singel, merupakan tempat kelahiran sang penulis (sampai sekarang ibu2 Belanda selalu melahirkan di rumah, tim penerdjemah) jang berfungsi sebagai museum, sedjak itu setjara simbolis disewa seharga satu euro per tahun dari pemkot Amsterdam oleh Stichting Multatuli Huis (Jajasan Rumah Multatuli). Tetapi perawatan rumah harus dibiajai oleh Stichting jang djuga bertugas merawat arsip dan mendjalankan kegiatan2 edukatif. Penutupan dichawatirkan akan terdjadi tidak lama lagi.
Ini semua berlawanan sekali dengan Museum Multatuli jang tidak lama lagi akan dibuka di Rangkasbitung, Lebak, provinsi Banten. Lokasi ini tidak akan merupakan kedjutan: di Indonesia ‘Pidato kepada para pemimpin Lebak’ djuga merupakan bagian Max Havelaar jang paling terkenal. Pada bagian ini sang penulis tanpa ampun membongkar pemerasan rakjat Lebak, jang dilakukan baik oleh penguasa pribumi maupun penguasa kolonial. Isi pesan dan pembawa pesan itu sekarang ditemukan kembali.
Di Lebak (1.620.000 djiwa pada 2015), sudah ada sekolah dan djalan jang bernama Multatuli. Jang sekarang hampir mendekati tahap penjelesaian adalah komplex budaja jang besar dan mentjolok, terdiri dari Museum Multatuli (renovasi rumah residen), perpustakaan Saidjah dan Adinda serta auditorium jang djuga berfungsi sebagai bangunan multifungsional untuk pelbagai tudjuan budaja. Direntjanakan setjara teratur akan berlangsung festival sastra Multatuli. Djuga akan ada progran writers in residence. Selain hidup dan karja Multatuli, museum djuga akan memamerkan pendjelasan bagi sedjarah kolonialisme di Indonesia dan perlawanan terhadapnja. Selain itu djuga dipikirkan untuk membuka café museum dan ruangan chusus jang menawarkan merchandising Multatuli. Dengan ini semua, maka Multatuli Huis di Amsterdam tampak begitu ketjil tak berarti.
***
Harian Koran Tempo edisi 29 april 2016, menerbitkan laporan jurnalis Joss Wibisono tentang perlawatan bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya ke Multatuli Huis pada tanggal 26 april. Dari tangan Winnie Sorgdrager, ketua Multatuli Genootschap (Masjarakat Multatuli) bupati Iti Jayabaya antara lain menerima lantai asli rumah residen Lebak dan portret lithografis Multatuli. Dalam pidatonja di hadapan bupati dan rombongan, Sorgdrager mengeluh soal antjaman jang dihadapi Multatuli Huis jang menurutnja “tak lama lagi mungkin akan berubah mendjadi toko kedju”, seperti banjak rumah kuno lain di Amsterdam pusat. “Beritahu kami pada waktunja,” kata anggota delegasi Lebak kepada hadirin. Dalam laporan di Koran Tempo djuga tertera gurauan Budi Santoso, Asisten Daerah bidang Perekonomian, “Kalau Multatuli Huis merasa kesulitan memperoleh dukungan dan dana, silahkan pindah sadja ke Lebak, kami sanggup menampung semuanja”.

Bahwa bupati Iti Octavia Jayabaya berhati sosial jang besar djuga terlihat dari rentjananja untuk menampung wisatawan jang diharapkan akan datang mengalir. Mereka tidak akan ditampung di resor mewah dan mahal, melainkan di rumah2 warga setempat. Dengan subsidi mereka didorong untuk membuka penampungan wisatawan. “Multatuli adalah sumber inspirasi bagi kami semua,” demikian ditekankan oleh Iti Jayabaya, “saja berada di sini atas nama rakjat Lebak.”
Bahwa Multatuli dan warisannja sekarang ‘diakui’ oleh pemerintah Indonesia, dan 150 tahun setelah kepergiannja oleh pemda ‘Lebak’ adalah ironi sedjarah jang maha hebat. Sang penulis sendiri pasti akan merasa perkembangan ini sebagai sesuatu jang hebat pula. Sudah sedjak awal, novel Max Havelaar memang gampang kena appropriation alias perangkulan oleh penulis lain. Sedjarawan Ulbe Bosma menegaskan bahkan sebelum terbit, Jacob van Lennep, kuasa usaha Multatuli, sudah memperoleh hak tjipta novel ini untuk kemudian melakukan perubahan pada naskahnja, dalam rangka melindungi teman2 konservatifnja. Dan setelah terbit, novel ini dipergunakan oleh kalangan liberal sebagai alat propaganda jang kuat untuk membuka Hindia bagi sistem pasar bebas liberal jang tak kenal belas kasih — dan mereka berhasil.
Masih merupakan tjita2 bahwa kalau kelak sudah selesai, Museum Multatuli akan dibuka bersama oleh presiden Joko Widodo dan radja Willem-Alexander jang konon kabarnja tengah merentjanakan kundjungan kenegaraan ke Indonesia untuk 2017 ini. Bukankah akan merupakan isjarat jang elok djika pada kesempatan itu sang radja dapat menghadiahkan lukisan besar Boschbrand atas nama rakjat Belanda kepada rakjat Indonesia. Hanja dari kesempatan berfoto pada saat penjerahannja sadja sudah akan muntjul isjarat jang fantastis. Hubungan pasca kolonial kedua negara di hadapan mata dunia akan meledjit untuk waktu jang lama, padahal biajanja paling banter akan menelan empat sampai lima djuta euro. Tapi untuk ini mutlak perlu adanja visi ke depan dan kerdjasama serta pengetahuan rintji, tak ketinggalan perasaan bagi perimbangan hubungan kedua pihak dan fantasi serta banjak hal lagi jang dituntut dari pemerintah. Itu semua djelas tidak ada.
Versi asli (bahasa Belanda) dimuat oleh mingguan De Groene Amsterdammer edisi 5 djanuari 2017, halaman 44-47 (alih bahasa JW)