Versi pendekan dan dalem edjaan orde bau bisa dibatja di sini.
Perubahan terbesar dalam hidup Vincent van Gogh (1853-1890) diawali oleh usul adiknja, Theo van Gogh (1857-1891). Theolah jang men-dorong2 kakaknja supaja mendjadi seniman perupa. Selandjutnja, dalam hidup Vincent jang serba kekurangan, Theo selalu tampil sebagai adik jang penuh pengertian. Mengapa Theo membiajai hidup kakaknja? Adakah si adik punja intuisi masa depan, atau dia tjuma terdorong oleh tjinta pada kakak?
Sebagai anak sulung, Vincent van Gogh dibesarkan dalam keluarga pendeta, bersama lima orang adiknja, dua laki2 dan tiga perempuan. Vincent dan adik2nja dididik dalam norma kelas menengah Belanda abad 19: kerdja keras, bermakna bagi masjarakat dan mendjundjung tinggi kehormatan keluarga. Perilaku Vincent jang sering menjimpang dari kaidah itu menjebabkan hubungan dengan orang tuanja seret.

Untunglah Vincent bisa mendjalin hubungan erat dengan Theo, adiknja. Sebagai teman jang selalu mendengar, sebagai penjedia biaja hidup, Theo tak pelak lagi adalah sosok terpenting dalam hidup Vincent. Theo bekerdja sebagai makelar seni di Paris dengan gadji bagus. Selama 10 tahun dia terus membiajai kakaknja dengan mengirim uang saku bulanan. Theo mengagumi Vincent karena tekatnja jang begitu meng-gebu2 serta kepertjajaannja jang begitu besar pada seni rupa. Sebaliknja Vincent tidak djarang menjeret adiknja, Theo, ke dalam rentjananja untuk mempromosikan seni masa depan. Dalam berhubungan erat ini kedua kakak beradik menghimpun banjak karja seni dengan tudjuan membuka galeri seni di masa depan. Banjak karja seni mereka peroleh sebagai hadiah dari sesama seniman sahabat mereka, atau Vincent berbarter dengan seniman lain temannja.
“Sebenarnja saja ini tidak punja teman, ketjuali Anda, dan kalau saja merasa begitu pedih, maka Andalah jang selalu muntjul dalam ingatan”, demikian selarik kalimat dari surat Vincent kepada adiknja, Theo. Dikirim dari Den Haag pada tahun 1883, surat itu bernada resmi, Vincent menjapa adiknja dengan “u” jang berarti “Anda” dan bukan “jij” alias “kamu” atau “kau”.
Vincent van Gogh dikenal sebagai orang jang sangat suka menulis surat. Sampai sekarang berhasil dihimpun sekitar 820 putjuk suratnja, sebagian besar, sekitar 650 putjuk, ditulis kepada Theo, adik dan orang jang paling dipertjajanja. Kepada sang adik Vincent tidak hanja menulis surat, tapi djuga kartu pos jang dikirimnja untuk menghemat biaja perangko. Dalam surat menjurat mereka tidak selalu menggunakan bahasa Belanda, bahasa ibu kedua Van Gogh bersaudara. Tidak djarang Vincent menulis dalam bahasa Inggris dan tentu sadja bahasa Prantjis. Kakak beradik Van Gogh djuga fasih kedua bahasa itu, lisan maupun tulisan.
Dari ratusan suratnja, dunia bisa mengenal Vincent van Gogh sebagai seorang pria jang tjerdas dan penuh gelora, dengan tjinta jang begitu meluap untuk seni rupa dan seni sastra. Tapi pada surat2nja djuga bisa dibatja pandangan Vincent tentang kehidupan dan kematian, tentang tjinta dan kemanusiaan. Dengan begitu ratusan putjuk surat Vincent van Gogh merupakan sumber terpenting untuk bisa memahaminja, baik sebagai seniman maupun manusia.
Baik Vincent van Gogh maupun adiknja Theo mulai mentjari nafkah dengan bekerdja pada galeri seni Goupil & Cie. Vincent mulai bekerdja tahun 1869 di Den Haag, sedangkan Theo mulai bekerdja pada galeri seni jang sama tahun 1873, untuk kantor di Bruxelles, Begia. Dengan surat menjurat jang amat sering, keduanja saling berkabar tentang perdjalanan hidup masing2.

“Aku senang kita berdua sekarang bekerdja untuk galeri jang sama. Tapi kau djuga harus sering ke museum, sebaiknja kau djuga berkenalan dengan karja2 lama. Dan kalau ada waktu sebaiknja djuga kau batjai buku2 seni. Tapi djangan lupa pelbagai madjalah seni,” begitu terbatja pada surat Vincent van Gogh kepada adiknja, Theo, dikirim dari Den Haag pada tanggal 19 november 1873.
Vincent bekerdja untuk galeri seni Goupil & Cie selama tudjuh tahun sampai keluar tahun 1876. Semula dia bekerdja di Den Haag, tetapi kemudian djuga di London dan Paris.
Setelah beberapa tahun di Bruxelles, Theo van Gogh pindah ke Paris. Mulai 1881 ia mendjadi manadjer pada tjabang Boulevard Montmartre (salah satu bilangan di Paris). Dia bekerdja di sana sampai tutup usia tahun 1891. Karier Theo memang menandjak. Sebaliknja Vincent, kakaknja, djustru tidak merasa njaman bekerdja sebagai pedagang seni. Pada 1876 dia dikeluarkan, maka Vincent terpaksa mentjari pekerdjaan lain.
“Mari kita saling mendukung satu sama lain, mari kita tjari broederliefde, tjinta kakak beradik”, demikian surat Vincent kepada Theo pada bulan april 1877.
Begitu diberhentikan dari galeri Goupil & Cie, Vincent jang waktu itu berada di London, memperoleh pekerdjaan sebagai guru gambar lepas dan asisten seorang pendeta. Selain mengirim surat kepada Theo, dia mulai menjertakan beberapa lukisan karjanja sendiri, antara lain lukisan Ramsgate, kota peranginan Inggris jang ramai pengundjung.
Sekembalinja dari Inggris, Vincent bekerdja pada sebuah toko buku di Dordrecht. Sebelum surat tentang “tjinta kakak beradik” di atas, dari kota dekat Rotterdam ini, Vincent, pada bulan februari 1877, kepada adiknja menulis, “Theo jang kuhargai, saat2 kita bersama dulu begitu tjepat berlalu, djalan ketjil di belakang stasiun tempat kita lihat matahari terbenam ke balik lapangan, akan saja lalui lagi dengan ingatan kepada Anda”.
Setelah tiga bulan bekerdja sebagai pembantu di toko buku, Vincent berniat mendjadi pendeta. Untuk ini dia pindah ke Amsterdam, ber-siap2 mendjalani pendidikan supaja bisa mendjadi rohaniwan. Tetapi dalam setahun dia sudah bosan, dan membatalkan niat studi landjut, walau tidak berarti dia benar2 mengesampingkan tjita2 mengikuti djedjak ajahnja.
Theo van Gogh sementara itu semakin berhasil dalam bekerdja sebagai makelar seni. Vincent memutuskan untuk langsung sadja mentjari kerdja sebagai pendeta. Walau semangat tetap membara, karier Vincent sebagai pendeta tidak berhasil. Kepada Theo, Vincent menulis bahwa dirinja ingat pada kesepakatan jang pernah mereka tjapai jaitu memperoleh pekerdjaan dalam bidang jang bisa ditjurahi semangat. Sajangnja ia tidak djuga berhasil memperoleh pekerdjaan bergadji untuk bisa menjambung hidup.
Achirnja dia diterima untuk mendjalani masa pertjobaan sebagai pendeta. Kepada Theo, Vincent berkabar, “Di Belgia selatan ada sebuah wilajah jang bernama Le Borinage. Sebagian besar penduduknja bekerdja di beberapa tambang batubara jang ada di sana. Dengan senang hati aku berangkat ke sana sebagai pendeta”.

Vincent hidup bersama para buruh tambang jang kebanjakan miskin. Mereka mendjulukinja “Kristus pertambangan”. Vincent menjumbangkan semua barang miliknja dan membatjakan Indjil tatkala mengundjungi buruh tambang atau keluarga mereka jang sakit. Walau begitu geredja jang mempekerdjakannja menganggap Vincent tidak tjotjok sebagai pendeta. Sesudah masa pertjobaan kontraknja sebagai pendeta tidak diperpandjang lagi. Akibatnja Vincent harus mentjari pekerdjaan lain.
Kembali ia kesulitan memperoleh pekerdjaan dan kini ia djuga tidak merawat diri sendiri dengan baik. Sebaliknja dengan karier jang terus menandjak dan gadji jang baik, Theo sementara itu mulai berperan sebagai adik jang memberi petuah kepada kakaknja. Menurutnja Vincent harus mentjari pekerdjaan lain. Mungkinkah karena petuah ini hubungan kedua kakak beradik merenggang? Jang djelas selama ber-bulan2 keduanja tidak berkorespondensi. Vincent sementara itu kembali ke rumah orang tuanja di Belanda.
Achirnja pada musim panas 1880 (persisnja tanggal 20 agustus 1880), Vincent kembali menulis surat kepada adiknja. “Karena bagimu lebih baik kalau aku berbuat sesuatu ketimbang tidak berbuat apa2, maka sekarang kutulis surat ini padamu. Mungkin ini kesempatan baik untuk memulihkan saling pengertian dan kehangatan kita, sehingga kita akan saling bermanfaat satu sama lain”.
Awal 1881 Vincent kembali hidup bersama orang tuanja di Etten, Brabant utara di Belanda selatan. Di Paris, sementara itu, Theo sudah sampai pada posisi manadjer pada galeri seni Goupil & Cie. Gadjinja besar, karena itu ia dapat mengirim uang kepada Vincent. “Dari ajah kudengar bahwa tanpa kuketahui, telah kau kirim uang untukku. Itu akan membuatku mampu bertindak tegas dalam merentjanakan masa depan. Harap kau terima ungkapan terima kasihku,” demikian Vincent menulis surat kepada adiknja. Dalam hubungan jang kembali membaik di antara keduanja, pantas ditanjakan siapa sebenarnja adik dan siapa pula kakak?
Akibat pertengkaran dengan ajahnja (pasti lantaran tidak djuga memperoleh pekerdjaan) pada hari Natal 1881, Vincent van Gogh pergi ke Den Haag. Ia sewa sebuah atelier di kota pusat pemerintahan Belanda itu, walaupun belum tentu ia akan benar2 melukis. Sedjauh dia mampu, Theo membantu kakaknja. Tetapi Theo tidak menjembunjikan pendapatnja tentang kelakuan Vincent terhadap orang tua mereka. “Vincent jang kuhargai, betapa dirimu telah begitu ke-kanak2an dan tak tahu malu dalam memperlakukan ajah dan ibu, sehingga hidup mereka pahit dan njaris tidak mungkin lagi”.
Vincent bergelut dengan tekatnja untuk mendjadi orang bermakna bagi masjarakat — sesuatu jang selalu ditanamkan oleh orang tuanja sedjak ketjil. Mengikuti andjuran Theo, adiknja, achirnja Vincent memutuskan untuk mendjadi seniman perupa. Dalam surat kepada adiknja ia menulis tentang proses beladjarnja, bahkan, seolah menerima kenjataan bahwa adiknja lebih bidjak, Vincent djuga minta nasihat. “Aku ingin sekali mempeladjari lukisan sosok ini. Bagaimana menurutmu sketsaku ini? Ini baru gagasan, baguskah menurutmu?” Di sini terlihat bagaimana Vincent memperlakukan adiknja sebagai orang jang lebih tahu seni rupa. Walaupun tidak lagi menggunakan “u” (Anda), surat ini djelas menundjukkan betapa Vincent menghargai adiknja, bahkan menganggapnja lebih berpengetahuan di bidang seni rupa.
Pada achir 1883 Vincent memutuskan untuk pulang kampung, dan kembali hidup bersama orang tuanja, kali ini di Nuenen, Belanda selatan. Ia mengarahkan perhatian untuk melukis petani dan mengradjin. Theo berpendapat bahwa lukisan2 jang diterimanja dari kakaknja agak gelap — sangat berbeda dengan lukisan2 modern Paris jang tiap hari digaulinja. Vincent mendjawab, “Tampaknja benar djuga apa jang kau katakan. Karja2ku harus lebih baik lagi, tetapi begitu djuga energi Anda untuk mendjualnja seharusnja djuga lebih besar lagi”.
“Walau begitu, Theo, tak perlulah kau berhemat sepandjang itu berkaitan dengan uang. Asal sadja, sebagai teman dan adik, kau dapat bersimpati pada hasil kerdjaku, pantas didjual atau tidak. Kalau benar ini jang terdjadi, bahwa dalam hal ini aku boleh memperoleh simpati Anda, maka jang lainnja tidak penting lagi bagiku”. Demikian surat hangat Vincent kepada adiknja jang ditulis pada musim panas 1883.

Tetapi tidak sampai setahun kemudian ia mengirim surat jang bernada pahit. “Belum pernah berhasil kau djual satupun karjaku. Belum pernah sekaipun kau djual dengan harga mahal atau dengan harga murah. Sebenarnja djuga belum pernah kau tjoba. Lihat sadja, aku tidaklah marah, tetapi kita tidak perlu saling merendahkan”. Demikian surat Vincent kepada Theo, maret 1884.
Pada suatu hari Theo mengirim surat jang berisi usul supaja kakaknja datang ke Paris. Dengan begitu sang kakak bisa berkenalan dengan dunia senirupa Prantjis jang djauh lebih berwarna warni. Tapi sebelum itu, Theo ingin terlebih dahulu mentjari apartemen jang lebih besar. Sebaliknja Vincent memutuskan tidak menanti lagi.
“Theo jang kuhargai, maafkan aku bahwa aku langsung datang. Sudah lama ku-timbang2 dan aku pertjaja dengan tjara ini kita dapat berhemat waktu. Aku sempat ke Louvre sedjak djam 12 siang atau sebelum itu. Tolong djawablah, untuk memberi tahu djam berapa aku bisa datang ke Salle Carée”.
Hidup bersama Vincent jang datang ke apartemennja pada maret 1886, ternjata bukan sesuatu jang mudah bagi Theo van Gogh. Menurutnja, kakaknja memiliki dua kepribadian. Kepribadian pertama “sangat berbakat, halus dan lembut”, sedangkan kepribadian kedua “mentjintai diri sendiri dan keras hati”. Tapi achirnja kedua kakak beradik dapat djuga saling menerima. Vincent mengagumi pekerdjaan Theo sebagai makelar seni rupa modern, sementara Theo melihat karja2 kakaknja mengalami perkembangan. Ber-sama2 kedua kakak beradik mengumpulkan banjak gambar tjetakan dari Djepang. Untuk Vincent, gambar tjetakan Djepang ini merupakan sumber inspirasi penting bagi karja2nja.
Tidak sampai dua tahun di Paris, awal 1888, Vincent ditimpa bosan hidup di kota besar. Ia menempuh perdjalanan kereta api sedjauh 750 kilometer ke Prantjis selatan dan meninggalkan adiknja di Paris. Dari Arles, dekat Avignon, Vincent menulis, “Selama perdjalanan paling sedikit aku berpikir sama banjaknja tentangmu maupun tentang lingkungan baru jang kulihat”.
Setelah kepergian Vincent, kepada Willemien, salah satu adik mereka, Theo berkabar, “Ketika dua tahun silam dia datang, tidak kusangka bahwa kami berdua bisa begitu dekat; karena sekarang benar2 kehampaan jang kualami ketika aku kembali hidup sendirian di apartemen ini.”

Sebaliknja, Vincent merasakan dorongan jang semakin besar untuk terus berkarja. Kepada Theo dia menulis, “Kurasakan hasrat untuk bekerdja jang mendera batin dan melelahkan badan. Aku pertjaja suatu hari karja2ku akan laris. Tapi terhadapmu aku djelas ketinggalan dan kubelandjakan uang jang sebenarnja bukan hasilku bekerdja. Perasaan itu kadang2 membuatku sedih”.
Impian Vincent van Gogh adalah mendirikan kampung seniman di Prantjis selatan. Di rumah kuning di Arles, dia ingin hidup dan bekerdja bersama sekelompok seniman lain. Achirnja tjuma satu seniman jang datang: Paul Gauguin (1848-1903). Kedatangannja dibiajai oleh Theo van Gogh, seperti tertera pada surat tanggal 19 oktober 1988 kepada Vincent, “Gauguin datang, hidupmu akan sangat berubah. Aku harap akan berhasillah upajamu membangun sebuah tempat bagi seniman jang akan kerasan hidup di sana”.

Vincent van Gogh menerima Paul Gauguin dengan tangan terbuka. Kerdjasama dua seniman ini berawal dengan penuh harapan. Tapi tak lama kemudian muntjullah ketegangan. Baru pada awal desember 1888, Gauguin sudah ber-pikir2 untuk pindah. Kepada adiknja, Vincent menulis, “Gauguin dan aku bitjara tentang Delacroix, tentang Rembrandt dan seterusnja. Diskusi2 itu semakin membuat kami tegang. Kadang2, setelah berachir, kepala ini terasa kosong, seperti baterei jang tidak bisa dipakai lagi”.
Pada malam hari tanggal 23 desember 1888 Vincent van Gogh tertimpa krisis kedjiwaan. Dia begitu kebingungan sampai2 telinga kirinja dipotong. Keesokan harinja Gauguin mengirim telegram kepada Theo. Malam harinja Theo naik kereta api ke Arles. Kepada tunangannja, Jo Bonger, Theo menulis, “Kutemui Vincent di rumah sakit Arles. Ketegangan jang terlalu besar membuatnja tampak seperti orang jang terserang penjakit jang begitu gawat, gangguan djiwa, disertai demam jang begitu tinggi telah menjebabkannja melukai diri sendiri, sehingga dia harus dilarikan ke rumah sakit. Akankah dia gila terus?”
Vincent sementara itu djuga menulis surat kepada adiknja, “Aku masih akan dirawat di rumah sakit selama beberapa hari lagi. Walau begitu aku berani beranggapan bahwa dengan pelan2 aku akan bisa pulang. Kepadamu sekarang kuminta satu hal: djangan lagi gelisah, karena itu akan terlalu banjak menjebabkan gelisah padaku”.
Djanuari 1889, Vincent meninggalkan rumah sakit Arles. Luka di telinganja sembuh, tetapi djiwanja tetap gojah, belum djuga pulih. Karena itu kembali dia harus mendjalani perawatan di rumah sakit. Chawatir terkena krisis baru, dia minta dirawat di rumah sakit djiwa Saint-Rémy, dekat kota besar Avignon. Tentang ini, Theo bersurat kepada kakaknja, “Aku sedih karena kau belum djuga sembuh. Walaupun djiwamu jang lemah itu tidak terbatja pada suratmu, tetapi kenjataan bahwa kau sampai merasa perlu dirawat di rumah sakit djiwa, itu sadja sudah tjukup gawat”.

Pada bulan april 1889, Theo van Gogh menikahi tunangannja Jo Bonger. Surat pertama Jo, si adik ipar kepada Vincent, dibuka dengan, “kakak tertjinta”. Jo berlandjut, “Di rumah ini terlalu banjak hal jang mengingatkan kami padamu. Kalau kutemukan teko lutju atau vas jang tjantik selalu kudengar, itu Vincent jang beli, atau Vincent sangat suka itu. Pokoknja tiada hari berlalu tanpa kami bitjara tentangmu. Di atas piano di kamar tamu djuga tergantung lukisanmu — lukisan besar jang sangat kutjinta. Itulah pemandangan Arles”.
Dalam seputjuk surat kepada Theo, Vincent berkabar tentang dirinja, “Kuharap kabarmu baik, begitu djuga istrimu, dan kalian nikmati tjuatja njaman. Di sini matahari bersinar indah. Kesehatanku membaik dan soal kepalaku, marilah kita berharap supaja ini hanja merupakan masalah waktu dan kesabaran”. Demikian isi surat jang dikirim pada awal djuni 1889. Kalau sempat, Vincent masih melukis suasana rumah sakit djiwa tempat dia dirawat. Hasilnja, seperti biasa, dikirimnja kepada Theo.
Pada achir djanuari 1890, Jo melahirkan seorang anak laki2. Baji itu diberi nama seperti pamannja, Vincent Willem van Gogh. Kabar kelahiran keponakannja sangat menggembirakan Vincent. Dibuatnja sebuah lukisan besar untuk keponakan tertjinta, tangkai2 bunga amandel jang baru mekar dengan latar belakang biru menjala. Bunga2 jang mekar di awal maret itu merupakan simbul hidup baru.
Hampir pada hari jang sama Theo menerima surat dari dokter Peyron jang merawat Vincent. Langsung Theo bersurat kepada kakaknja, “Vincent jang kuhargai, dokter Peyron menulis bahwa kau kembali terkenal aanval penjakitmu. Kasihan sekali kau, kakakku. Duka laraku ber-tumpuk2 bahwa keadaanmu tidak membaik seperti seharusnja. Itulah satu2nja bajangan hitam jang meliputi kebagiaan kami, karena, kakak jang kuhargai, saat2 jang berat bagi Jo sudah berlalu. Dia telah melahirkan seorang anak laki2 jang ganteng dan banjak menangis, tetapi sehat”.
Sementara itu, dengan sedikit keraguan, dunia seni Paris mulai memberi penghargaan kepada karja2 Vincent van Gogh. Theo mengirim 10 lukisan kepada Salon des Indepéndants — jang setiap tahun mengadakan pameran sebagai reaksi terhadap Salon akademis.
“Aku akan senang djikalau kau dapat hadir pada pameran di Salon des Indepéndants. Lukisan2mu terpampang dengan megah dan laku keras. Banjak orang minta supaja meneruskan pudjian mereka kepadamu”. Demikian surat Theo kepada kakaknja jang dikirim pada pertengahan maret 1890.
Pada musim semi 1890 Vincent van Gogh meninggalkan rumah sakit djiwa Saint-Rémy. Ia menudju Auvers-sur-Oise, sebuah kampung seniman di dekat Paris. Dalam perdjalanan dia sempat mampir menemui Theo dan Jo serta keponakan jang baru lahir, Vincent Willem. Jo berkabar betapa Vincent berlinangan air mata melihat keponakannja sedang tidur njenjak. Takut membangunkan si baji, dia tidak berani bersuara ketika menangis.
Semuanja tampak pulih seperti sedia kala. Vincent begitu menikmati melukis alam di sekitar Auvers. Dia djuga senang menerima kundjungan Theo, Jo dan si ketjil Vincent Willem. Dalam surat kepada keluarganja, Jo menulis betapa Vincent hidup dalam kedamaian dan penuh kebahagiaan. Tak seorangpun menduga bahwa dalam beberapa minggu ke depan kebahagiaan itu akan hantjur berantakan.
Di kampung seniman Auvers-sur-Oise, Vincent van Gogh menginap di ‘Auberge Ravoux’. Itulah alamat terachirnja. Dari penginapan ini dia berkeliaran mentjari objek2 untuk dilukisnja.
Pada awal djuni 1890, mendjelang musim panas, Vincent sekali lagi mengundjungi Theo dan Jo di Paris. Ketika pulang dia dirundung ketjewa. Theo menghadapi masalah di tempat kerdjanja, dan berniat mendirikan galeri sendiri. Rentjana jang penuh resiko, Vincent chawatir rentjana ini akan berpengaruh pada situasi keuangannja.
Setibanja di Auvers Vincent menulis kepada adiknja, “Aku djuga merasa terpukul, badai jang mengantjam hidup kalian djuga menekanku. Harus berbuat apa? Aku takut, tidak sangat takut, tapi sedikit takut. Takut bahwa aku akan merupakan antjaman bagi kalian karena kalian membiajai hidupku. Tapi surat Jo merupakan bukti hidup bahwa kalian sendiri sangat sadar bahwa aku di sini djuga bekerdja keras, sekeras kalian bekerdja di Paris”.
Ternjata masih ada bagian lain surat itu jang tidak dikirim Vincent kepada adiknja. Di situ antara lain tertera: “Sekali lagi ingin kukatakan kepadamu bahwa aku selalu berpendirian, kau itu lebih dari sekedar pedagang seni biasa di Corots. Melalui aku, dirimu sudah ambil bagian dalam tertjiptanja beberapa karjaku. Karja2 itu akan tetap tenang di tengah keputusasaan menjeluruh. Karena memang begitulah kita berdua. Dan itu adalah semua, atau paling sedikit bagian terpenting jang akan kukatakan padamu pada saat krisis”.
Pada tanggal 27 djuli 1890, Vincent van Gogh menembak diri sendiri di dada. Mendengar berita upaja bunuh diri kakaknja, Theo langsung pergi ke Auvers. Di penginapan Auberge Ravoux, Theo termenung menghadapi kakaknja jang tengah meregang njawa.
“Maka berachirlah sudah. Aku begitu kehilangan, se-olah2 semuanja mengingatkanku padanja,” demikian isi telegram Theo kepada istrinja Jo.
Theo van Gogh sendiri tutup usia pada awal 1891 di Utrecht, Belanda tengah, setengah tahun setelah kematian kakaknja. Pada tahun 1914, Jo, istri Theo, menerbitkan buku jang berisi surat menjurat kedua kakak beradik. Pada tahun itu djuga Jo memindahkan djenazah suaminja. “Kedua kakak beradik sekarang beristirahat bersebelahan di antara padang gandum Auvers”, demikian Jo menulis kepada keluarganja.

Di sini aku merasa terharu dengan cerita kakak beradik ini. Aku jadi bertanya apakah karya Vincent ini laku karena keprihatinan masyarakat Paris saat itu kepada kondisi Vincent sehingga karyanya dibeli? Atau atas dasar selera mereka membelinya? “Sementara itu, dengan sedikit keraguan, dunia seni Paris mulai memberi penghargaan kepada karja2 Vincent van Gogh. Theo mengirim 10 lukisan kepada Salon des Indepéndants — jang setiap tahun mengadakan pameran sebagai reaksi terhadap Salon akademis”