Tiga tahun berlalu sedjak dikau menghadep sang Chalik, mengachiri 25 tahun persahabatan kita. Tiga tahun atau sekitar seribu hari merupaken peringatan terachir jang dilakuken orang Djawa untuk mengenang mereka jang ‘berangkat duluan’ (mestinja peringatan seribu hari kepergianmu sudah harus dilakukan awal september lalu). Sebelum itu orang Djawa sudah harus empat kali mengenang handai tolan jang berpulang: pada hari ketiga, ketudjuh, keempatpuluh dan keseratus kepergiannja.

Tradisi Djawa ini sengadja kusebut, walaupun sekarang kuikuti langkahmu bertamasja ke utara, ke negerinja Lolo José. Di achir hidup memang perhatianmu lebih terpusat ke Filipina, padahal kau sudah boleh dateng lagi ke tanah air, tjinta pertamamu. Setelah artikel tentang gagasan kekuasaan dalem budaja Djawa, artikel tentang Serat Tjenthini dan terdjemahanmu atas Suluk Gatholotjo serta banjak tulisan tentang hal2 Djawa lain, negeri kelahiranku ini tak lagi menggugah minatmu. Filipina jang didjadjah Spanjol telah membuat Lolo José menulis dua novel satirenja untuk mengerdjain kolonialisme Ibéria itu. Inilah asal usul nasionalisme jang begitu kau gandrungi. Nasionalisme jang berawal dari sastra ini djelas lebih berarti bagimu, daripada nasionalisme jang muntjul dari rasa iri ketika mendapetin adanja perbedaan besar dalem tingkat gadji antara dokter Belanda dengen dokter Djawa. Lagian Djawa sebagai koloni Belanda ‘hanja’ menghasilkan sebuah pamflet, itupun baru terbit tahun 1913, sedangken ‘berkat’ kolonialisme Ibéria, Lolo José berhasil menulis dua novelnja pada achir abad 19, persisnja tahun2 1887 dan 1891. Kartini sadja baru mulai menulis surat kepada sahabat pena di Belanda tahun 1899. (Ngomong2 kenapa sih tak ada tulisanmu tentang Kartini? Padahal ada tiga artikelmu tentang Wardi, dan kau djuga tahu sinisme Wardi punja asal usul pada Kartini, karena ada hlo kalimat2 edjekan sinis Kartini!). Tentulah kau pilih Lolo José. Tanah air, tulismu pada salah satu artikel tentang sang Filipino pertama itu, harus nunggu sampai 1950an sebelum Pramoedya dateng. Aku paham itu. Darimu aku djuga beladjar tentang perbedaan kolonialisme Belanda dengan kolonialisme Ibéria (misalnja lewat tulisan super tadjem dan djeli tentang ‘Tjino’ Djawa versus Sangley Filipina).

Tahun lalu, mendjelang dua tahun kepergianmu kutemukan terdjemahan bahasa Belanda novel pertama Lolo José. Menariknja terdjemahan ini terbit tahun 1912 di Surabaja. Aku heran, kenapa tak pernah kau sebut terdjemahan bahasa Belanda ini? Bisa2 kau tidak tahu bahwa terdjemahan itu ada. Achirnja akupun tergelitik, segera kubatjai pelbagai tulisanmu tentang Lolo José dan Filipina, termasuk jang satu itu, ketika kau berterima kasih padaku setelah debat sengit kita soal penjair Prantjis Arthur Rimbaud. Dulu itu aku sempat sebel, tapi sekarang bangga djuga hlo namaku kau terimakasihi, satu2nja nama tanah air lagi di antara sederetan nama luar negeri! Penemuanku itu kutjoba untuk kutulis, ini memang langkah awal, aku masih me-raba2 (sedjarah) Filipina. Ah, seandainja sadja kau masih ada, pasti aku akan bisa banjak bertanja dan terus bertanja, seperti biasanja.

Untuk mengenang tiga tahun kepergianmu berikut ini kupasang tjoret2anmu pada buku2mu jang kumiliki. Tjoret2an itu selalu dalem bahasa tanah air, padahal setahuku kita kebanjakan omong dalem bahasamu. Oh ja, ternjata tidak semua bukumu jang kumiliki sudah kau tandatangani. Itu termasuk otobiografimu, maklum buku itu terbit setelah kepergianmu. Jang djelas tandatanganmu itu berawal tahun 1991, ketika kita pertama kali ketemu dan berkenalan di rumahmu di djalan kenikmatan hampa, di kota merdeka.





