Versi sedikit lain nongol Tirto, untuk mengenang tiga tahun kepergian Benedict Anderson.
Awal desember 2017, mendjelang dua tahun kepergian Benedict Anderson, kudjeladjahi internet dan kudapati bahwa Noli me tángere, novel pertama José Rizal (1861-1896), bapak bangsa Filipina, ternjata sudah diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Penerdjemahnja bernama A. A. Fokker. Memang tidak ditegaskan dari bahasa apa terdjemahan ini dilakukan: apakah langsung dari bahasa Spanjol atau dari bahasa lain. Menilik beberapa tjatetan kaki dan tjara pelafalan jang tertjantum pada beberapa tjatetan kaki itu, bisalah dipastikan bahwa penerdjemahan itu dilakukan dari bahasa Spanjol, bahasa novel itu ditulis. Sebenernja ini tidaklah begitu mengheranken, maklum dunia sastra Belanda memang selalu melakukan terdjemahan sebuah karja sastra langsung dari bahasa aslinja. Sampai di sini djelas tidak ada jang istimewa, karena banjak karja sastra dunia jang diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Jang bikin mata terbelalak adalah bahwa ternjata novel terdjemahan itu diterbitkan di Surabaja pada 1912 oleh penerbit harian Soerabajasch Handelsblad. Tampaknja sebelum terbit sebagai buku, Noli me tángere sudah terlebih dahulu terbit sebagai tjerita bersambung dalam harian itu. Tapi belum berhasil ditemukan edisi2 harian Soerabajasch Handelsblad jang memuatnja sebagai tjerita bersambung. Nationaal Archief jaitu arsip nasional Belanda memiliki koran ini untuk edisi 1865-1908 dan 1929-1942. Dengan begitu, edisi tahun 1909, 1910, 1911 dan 1912 masih harus ditemukan. Pada sekitar tahun2 itulah terdjemahan Noli me tángere ini dimuat oleh harian Soerabajasch Handelsblad, sebagai tjerita bersambung.

Benedict Anderson (1936-2015) dalam bukunja The Spectre of Comparisons (halaman 252) menjebut bahwa buah pena Rizal, termasuk novel jang berperan kuntji bagi bangkitnja nasionalisme Filipina ini sudah diterdjemahkan ke dalam bahasa2 Hindi, Prantjis, Indonesia, Inggris, dan bahasa Rusia. Anderson jang begitu mengagumi Rizal dan telah menggunakan istilah tjiptaan pahlawan Filipina ini untuk mendjuduli bukunja (bahkan menurutnja dia senang sekali berhasil mentjuri istilah ini), tidak menjebut bahwa Noli me tángere sudah pula diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Pasti mendiang Indonesianis ini djuga akan kaget2 senang kalau tahu bahwa terdjemahan bahasa Belanda sudah ada dan buku itu terbit di Surabaja. Djawa Timur memang penuh arti bagi almarhum. Begitu tutup usia di Batu (dekat Malang) pada tanggal 13 desember 2015, Anderson disemajamkan di Surabaja untuk achirnja diperabukan di ibukota Djawa Timur ini dan abunja dilarung di Laut Djawa, jaitu lepas pantai Surabaja. Salah satu desa jang disenangi dan karena itu djuga sering dikundjunginja adalah Rembangan, di dekat Djember. Kalau sadja Anderson masih hidup, pasti dia akan segera membatja terdjemahan bahasa Belanda ini, untuk tjari tahu kwalitasnja, apakah taat pada aslinja, atau djustru menjimpang seperti terdjemahan León María Gurrero (1915-1982) jang begitu diketjamnja. Jang pasti akan menarik bahkan membuat Ben menjeringai atau tertawa geli adalah bahwa dalam buku ini istilah2 bahasa Tagalog tidak diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda, melainkan ke dalam bahasa Melajoe. Misalnja sinigang diterdjemahkan sebagai pindang (ikan jang diawetkan), kemudian salákot diterdjemahkan sebagai toedoeng jang dalam edjaan sekarang ditulis sebagai tudung. Di dalam Spectre of Comparisons jaitu buku jang membentangkan pengetahuan mendalamnja tentang tiga negara Asia Tenggara, masing2 Indonesia, Muangthai dan Filipina, Anderson memuntjulkan tiga artikel jang setjara chusus membahas Filipina, dua di antaranja mengenai José Rizal, jaitu The First Filipino (bab 10: halaman 227-234) dan Hard to Imagine (bab 11: halaman 235-262).

Dua bab chusus tentang José Rizal! Satu bab tentang orangnja dan kehebatannja, satu bab lagi tentang karjanja dan betapa bermasalahnja terdjemahan kedua novel Rizal, masing2 Noli me tángere dan El filibusterismo. Tentang Filipino pertama ini (gelar kehormatan bagi Rizal) Anderson menegaskan jang paling hebat pada Rizal adalah istilah jang dikemukakannja “el demonio de las comparaciones” atau iblisnja perbandingan. Istilah itu muntjul dalam adegan tatkala Juan Crisóstomo Ibarra, tokoh utama Noli me tángere, kembali ke Manila, setelah lama menetap di Eropa; bukan hanja di Madrid, tapi djuga di Paris, Gent (Belgia) dan Berlin. Dalam perdjalanan menggunakan sado, Ibarra melihat kebun raja Manila dan segera dia teringat pada kebun2 serupa (tapi lebih indah) di Eropa. Dia mendjadi sedih melihat kebun raja Manila, sementara dibandingkan dengan Eropa, kota lama Manila tampak seperti gadis muda jang mengenakan gaun neneknja tatkala si nenek masih seusia di gadis. Perbandingan Eropa Manila inilah jang oleh Rizal disebut sebagai “el demonio de las comparaciones”. Menurut Anderson ungkapan ini membuktikan kesadaran Rizal bahwa tidak mungkin lagi dia berpikir tentang Berlin tanpa memikirkan Manila dan begitu pula sebaliknja, tidak mungkin lagi berpikir tentang Manila tanpa ingat Berlin. Pemikiran seperti ini muntjul karena Rizal pada achir abad 19 itu bisa berkeliling Eropa dan beladjar bahasa2 Djerman, Prantjis serta Inggris, selain kefasihannja berbahasa Spanjol dan Latin berkat sekolah di Manila. Sebagai seorang polyglot (fasih banjak bahasa) Rizal jang segera sadar terhadap keterbelakangan Spanjol dan Madrid djika dibandingkan dengan (ibukota) negara2 Eropa lain, djuga mampu mengedjek penguasa di Madrid persis seperti orang2 Spanjol mengedjek para indios, jaitu inlanders-nja Filipina. Ben Anderson berpendapat bahwa kemampuan Rizal membandingkan Filipina dengan Spanjol dan djuga membandingkan Spanjol dengan negara Eropa lain inilah jang merupakan asal usul nasionalisme — nasionalisme jang muntjul dan hidup berkat perbandingan.
Jang mungkin tidak terbajangkan oleh pembatja Indonesia zaman sekarang adalah bahwa nasionalisme Filipina itu djuga muntjul berkat edjekan sinis jang tak henti2nja dilontarkan Rizal terhadap kalangan rohaniwan. Dan memang tokoh2 djahat baik dalam Noli me tángere maupun El filibusterismo adalah rohaniwan: pastor2 ordo Fransiskan jang brutal, rohaniwan Dominikan jang hanja suka main2 dan pastor2 Jesuit jang haus kekuasaan. Menghadapi tokoh2 tjulas seperti itu Rizal dengan tadjem menulis edjekan sehingga Anderson mentjatat bahwa kedua karja fiksi bapak bangsa Filipina ini merupakan satire tanpa ampun terhadap kalangan rohaniwan.
Dalam artikel keduanja tentang José Rizal (berdjudul Hard to Imagine alias sulit membajangkan) Ben Anderson lebih memusatkan pembahasannja pada Noli me tángere, novel pertama Rizal, termasuk bagaimana novel jang wadjib dibatja oleh setiap siswa SMA Filipina itu ternjata telah setjara sistematik dibuat menjimpang dari aslinja tatkala diterdjemahkan ke dalam bahasa Amerika, jang mendjadjah Filipina setelah sempat merdeka dari pendjadjahan Spanjol. Aslinja ditulis dalam bahasa Spanjol, Noli (begitu sering disingkat) terbit pada tahun 1887 di Berlin, tatkala Rizal berusia 26 tahun dan mengembara di Eropa untuk, antara lain, mendalami ilmu kedokteran di Spanjol. 43 tahun kekuasaan Amerika (1899-1942) sampai kedatangan balatentara Dai Nippon, berhasil melenjapkan bahasa Spanjol dari bumi Filipina, ketjuali di kalangan segelintir keluarga kaja, baik mestizo (berdarah tjampuran) maupun creolles (orang Spanjol kelahiran lokal atau Amerika Latin). Sepeninggal Djepang, bahasa Amerika tetap bertahan dan bahasa Spanjol tidak kembali. Oleh karena itu buah pena Rizal harus diterdjemahkan ke dalam bahasa Amerika. Keharusan itu makin mendesak mendjelang perajaan 100 tahun kelahiran Rizal, pada 1961. Karena itu pada achir 1950an diselenggarakan sajembara bagi penerdjemahan itu, dan pemenangnja adalah León María Guerrero jang pada waktu itu masih mendjabat dutabesar Filipina untuk Inggris. Dalam posisi itu termasuk kefasihannja berbahasa Inggris dan Spanjol serta asal usul keluarganja jang begitu terpandang, maka sangat aneh kalau sampai begitu banjak penjimpangan dalam terdjemahan Guerrero jang djelas begitu bermasalah. Ben Anderson mendaftar tudjuh penjimpangan jang menurutnja begitu sistematis dalam terdjemahan Guerrero itu. Tudjuh penjimpangan itu masing2 adalah: demodernisasi, penjingkiran peran pembatja, penghilangan bahasa Tagalog, pembuangan istilah atau adegan jang dianggap tidak senonoh, penjingkiran lokasi, penjingkiran unsur maupun faktor Eropa serta jang terpenting: anakronisme. Jang terachir ini berarti bahwa penerdjemahan itu disesuaikan dengan perkembangan terachir jang terdjadi di Filipina, dan bukannja taat pada karja asli jang djelas mendahului perkembangan Filipina sesudah itu.
Tentu sadja Ben Anderson tidak berhenti pada tudjuh penjimpangan sistematis jang berhasil ditemukannja dalam terdjemahan Guerrero. Jang hebat dalam artikel ini, Anderson menganalisa lebih landjut bagaimana mungkin penjimpangan itu bisa terdjadi, bahkan dilakukan oleh seorang sekaliber León María Guerrero. Antara lain Anderson menundjuk dua faktor penting: perubahan fundamental dalam kesadaran nasional Filipina jang terdjadi antara 1890 dan 1950 dan jang tidak kalah pentingnja adalah dalam kurun waktu 70 tahun itu di Manila telah bangkit apa jang disebut “nasionalisme resmi”. Nasionalisme seperti ini melihat pahlawan sebagai tokoh jang harus dihormati dan bukan dikagumi; sebagai tokoh jang hanja untuk dilihat dan bukan didengar apalagi dibatja. Menurut Anderson, Rizal jang resmi seperti ini bisa dilihat sebagai patung lilin di museum Intramuros, dia berdiri tegak dan memegang kedua novelnja jang tertutup serta puisi terachirnja jang berdjudul Mi último adiós (selamat tinggalku jang terachir). Puisi ini ditulis mendjelang eksekusi Rizal pada bulan desember 1896, karena tuduhan jang tidak benar bahwa dia telah mengobarkan pemberontakan Andrés Bonifacio. Walau begitu Anderson tidak terlalu puas dengan dua faktor ini. Menurutnja perubahanan fundamental masjarakat Filipina serta tegaknja “nasionalisme resmi” tetap tidak bisa mendjelaskan penghilangan bahasa Tagalog, penjingkiran unsur maupun faktor Eropa serta anakronisme. Anderson ternjata masih punja sebab jang lebih penting lagi. Untuk itu dia berpaling pada imperialisme Amerika dan dampaknja. Dampak jang terpenting itu bagi Anderson adalah bergantinja bahasa pengantar Filipina dari bahasa Spanjol mendjadi bahasa Amerika. Pergantian bahasa ini menjebabkan orang Filipina punja djatidiri jang lain sebagai sebuah bangsa jang merdeka.
Pembeberan Ben Anderson tentang apa jang disebutnja sebagai politik terdjemahan (a politics of translation) ini djelas luar biasa, apalagi dalam buku Spectre of Comparisons dia tidak hanja berbitjara mengenai Filipina dan José Rizal tetapi djuga tentang Indonesia dan Soetomo, salah seorang bapak bangsa Indonesia. Hanja seorang Anderson jang mampu menulis buku seperti ini, dengan pengetahuan jang bukan sadja mendalam tetapi djuga terperintji tentang Indonesia, Filipina maupun Thailand.
Walaupun terdjemahan bahasa Belanda sudah terbit pada 1912 di Surabaja, tidaklah berarti bahwa publik Indonesia pada umumnja sudah bisa membatja novel karja bapak bangsa Filipina ini. Terdjemahan itu tidak ditudjukan kepada publik pembatja Indonesia, melainkan pembatja (bahasa) Belanda. Dan karena bahasa Belanda tidak tersebar bahkan tidak berakar di Nusantara, maka, persis seperti di negeri asalnja, Noli harus djuga diterdjemahkan ke dalam bahasa pengantar setempat jang tidak lain adalah bahasa Indonesia. Maka terbitlah terdjemahan bahasa Indonesia pada 1975, berdjudul Djangan sentuh aku. Penerbit Pustaka Jaya di Djakarta melengkapi terdjemahan itu dengan tjatatan bahwa penerdjemah Tjetje Jusuf menerdjemahkan Noli dari bahasa Inggris. Tidak disebut siapa penerdjemah ke dalam bahasa Inggris itu, tetapi bisa dipastikan dia adalah León María Guerrero jang hasil terdjemahannja diketjam keras oleh Ben Anderson. Di sinilah perbedaan terbesar Noli dalam terdjemahan bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Terdjemahan bahasa Belanda dilakukan langsung dari edisi aslinja, sementara terdjemahan bahasa Indonesia dilakukan dari bahasa Inggris dan terdjemahan bahasa Inggris itu, seperti ditulis oleh Anderson, sengadja dibuat begitu menjimpang dari aslinja.
Sekarang kita lajak bertanja, apa manfaat jang bisa diperoleh dari pengupasan Anderson jang tadjam dan djeli soal José Rizal dan kedua karjanja ini? Bukankah Indonesia tidak didjadjah Spanjol? Bukankah Indonesia didjadjah Belanda jang tidak mewariskan bahasanja kepada bekas djadjahan terbesarnja ini? Pertanjaan seperti itu memang benar, tapi tidak akan bisa mendjelaskan mengapa Kartini menulis bukunja dalam bahasa Belanda jang seharusnja tidak dikuasainja. Lebih dari itu ternjata terdjemahan Door duisternis tot licht, buku jang berisi surat2 Kartini itu amburadul belaka, sehingga generasi sekarang kesulitan membatjanja.
Buku Kartini itu paling sedikit sudah dua kali diterdjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pertama terdjemahan tidak begitu lengkap, karena tidak semua surat Kartini diterdjemahkan, hanja dipilih beberapa jang dianggap penting, dilakukan oleh sastrawan Armijn Pané pada 1922. Terdjemahan lengkap baru terbit pada 1979 dilakukan oleh Sulastin Sutrisno gurubesar filologi pada Universitas Gadjah Mada, Djogjakarta.
Terdjemahan Armijn Pané atas djudul buku itu mendjadi Habis gelap terbitlah terang sadja, sudah salah besar. Terdjemahan jang sudah begitu terkenal ini mengesankan peralihan jang berlangsung setjara otomatis dari gelap menudju terang, peralihan jang pasti akan terdjadi. Padahal djudul bahasa Belanda itu djustru mensjaratkan pergulatan di dalam gelap untuk bisa bisa mentjapai terang. Tidak berarti terang itu otomatis atau pasti akan tertjapai, bisa djuga perdjuangan dalam gelap itu gagal. Selain itu, jang penting di sini adalah pergulatan atau perdjuangan di dalam gelapnja, bukan terang jang kemungkinan akan bisa ditjapai sesudah itu. Terdjemahan jang lebih dekat dengan djudul aslinja mungkin begini: “Bergumul dalam gelap demi mentjapai terang”.
Bahasa Belanda Kartini bukan hanja sempurna dan tanpa satupun kesalahan, lebih dari itu dia djuga menulis dalam gaja sastrawi. Banjak orang Belanda ter-heran2 membatjanja: bagaimana mungkin seorang gadis Djawa jang hanja berpendidikan sekolah dasar Belanda, ditambah les privat bahasa Belanda, bisa menulis begitu sempurna, bergaja literer pula?
Bagaimana harus menerdjemahkan bahasa sastra Kartini? Ini bukan perkara gampang. Sebagai tjontoh berikut kalimat kedua pada alinea pertama surat pembuka (tanggal 25 mei 1899) jang dikirim Kartini kepada Stella Zeehandelaar: “Ik gloei van geestdrift voor de nieuwe tijd en ja, ik kan wel zeggen, dat wat denken en voelen betreft, ik den Indische tijd niet meeleef, doch geheel die mijner vooruitstrevende blanke zusters in het verre Westen.”
Menjusul djudul terdjemahan Armijn Pané, mari sekarang kita lihat terdjemahan Sulastin: Hati saja me-njala2 karena semangat jang menggelora akan zaman baru. Ja, bolehkan saja katakan, bahwa dalam hal pikiran dan perasaan, saja tidak turut menghajati zaman Hindia ini, tetapi saja sama sekali hidup sezaman dengan saudara2 saja perempuan berkulit putih di Barat jang djauh.
Terdjemahan saja: “Aku membara terbakar hasrat zaman baru, dan ja, dapat kukatakan, tentang berpikir dan berasa, aku tak lagi hidup di Hindia, tapi sepenuhnja bersama saudari2ku kulit putih jang berpandangan madju di Barat nun djauh di sana”.
Membatja terdjemahan Sulastin jang bergaja bahasa begitu lain dari Kartini, kita lajak bertanja, dari mana kata hati pada hati saja me-njala2? Kartini hanja menulis “ik gloei” jang saja terdjemahkan mendjadi “aku membara”; djelas tidak ada kata hati (bahasa Belanda hart) di situ. Maka terlihat bahwa dalam terdjemahan Sulastin hanja hati Kartini jang menginginkan zaman baru, bukan lagi pribadi Kartini setjara keseluruhan. Padahal bukan itu jang tertera dalam surat kepada mejuffouw (nona) Zeehandelaar. Tak pelak lagi sudah pada kalimat kedua ini Kartini berubah mendjadi tidak langsung, dia, dengan kata lain, telah disamarkan. Kemudian lajak djuga untuk bertanja mengapa gloei diterdjemahkannja sebagai “me-njala2” lajaknja lampu sadja?
Dan jang agak parah, ternjata Sulastin tidak menerdjemahkan satu kata kuntji: “vooruitstrevende” alias berpandangan madju. Kalau Kartini menulis mijner vooruitstrevende blanke zusters in het verre Westen (saudari2ku kulit putih jang berpandangan madju di Barat), maka menurut terdjemahan Sulastin itu mendjadi “saudara2 saja perempuan berkulit putih di Barat”. Dengan kata lain dalam terdjemahan Sulastin Kartini berubah djadi menundjuk pada semua perempuan kulit putih di Barat, bukan hanja mereka jang berpandangan madju sadja. Bagaimana ini mungkin? Terdjemahan seperti ini telah menjebabkan tulisan Kartini kehilangan nalar, sehingga tidak masuk akal lagi.
Dari tjontoh ini kita punja alasan untuk bukan sadja mempertanjakan ketelitian Sulastin Sutrisno tetapi djuga meragukan kemampuannja berbahasa Belanda. Adakah almarhumah gurubesar filologi fakultas sastra Universitas Gadjah Mada ini benar2 fasih berbahasa Belanda, lisan maupun tulisan?
Mungkin sadja tudjuh bentuk penjimpangan seperti jang ditemukan Anderson dalam terdjemahan Guerrero atas novel Rizal tidak sepenuhnja berlaku bagi terdjemahan buku Kartini. Begitu pula dalam menerdjemahkannja baik Armijn Pané maupun Sulastin Sutrisno tidak memiliki agenda tersembunji seperti León María Guerrero. Kalau bahasa Belanda sadja sudah tidak lantjar, bagaimana mungkin keduanja akan bisa menjiasati politik terdjemahan seperti jang dilakukan Guerrero? Bisa djadi Armijn maupun Sulastin datang dengan pengertian mereka sendiri tentang bahasa dan budaja zaman Kartini dan tidak berusaha memahami zaman itu. Paling2 Armijn Pané maupun Sulastin Sutrisno melakukan salah satu dari tudjuh penjimpangan Guerrero terhadap novel Rizal, besar kemungkinan itu adalah anakronisme (penerdjemahan jang disesuaikan dengan keadaan mutachir dan bukan dengan keadaan waktu Kartini menulis), tapi itu bukan merupakan taktik jang sengadja mereka lakukan. Itu lebih merupakan akibat ketidakfasihan mereka berbahasa Belanda.
Dalam keadaan seperti ini kritik Anderson terhadap terdjemahan Guerrero bisa berfungsi sebagai kompas untuk mentjari arah seperti apa sebenarnja terdjemahan buku Kartini. Jang djelas baik Armijn Pané maupun Sulastin Sutrisno tidak pernah mendjabat dutabesar, apalagi dutabesar di Belanda. Sulastin sendiri paling banter tjuma seorang gurubesar!
Amsterdam 13 desember 2017, dua tahun kepergian Ben Anderson
Referensi
- Benedict Anderson (1998), “The First Filipino” dalam Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World, London: Verso (halaman 227-234) ISBN 1-85984-184-8.
- Benedict Anderson (1998), “Hard to Imagine” dalam Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World, London: Verson (halaman 235-262) ISBN 1-85984-184-8.
- Benedict Anderson (2003), Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Pasig City: Anvil Publishing, Inc. ISBN 971-27-1303-2.