“Orde bau — rezim kanan pelaku pembunuhan massal” oleh Joss Wibisono

Sekitar minggu kedua september 2015, seorang kenalan baik mengirim surat elektronik, mengabarkan niatnja menerbitkan buku tetang 50 tahun G30S. Apa aku punja tulisan jang bisa diikutkan di dalemnja? Aku tak punja tulisan baru, tapi bersedia menggarap tulisan lama supaja sesuai dengan perkembangan jang sudah terdjadi sampai 2015. Waktu itu di Belanda kami ber-siap2 menggelar IPT 65. Maka djadilah tulisan ini, tjuman sajangnja rentjana penerbitan buku itu batal. Penerbitnja gak pernah kasih kabar lagi, padahal sebelumnja mereka sudah setudju dan karena itu semua naskah djuga siap. Daripada disimpan, berikut esai itu.

Sebelas tahun sudah berlalu sedjak saja menulis artikel berikut jang versi awalnja diumumkan oleh harian Sinar Harapan dalam edisinja tanggal 2 oktober 2004. Dalam periode lebih dari satu dekade ini sudah adakah perubahan terhadap tjara kita mengupas masa lampau paling berdarah Indonesia ini? Saja tidak boleh pesimis, walaupun djawabannja masih belum begitu mejakinkan.

Versi awal esai »Anomali sedjarah« tatkala terbit di harian »Sinar harapan« edisi 2 oktober 2004, halaman 10

Berikut, per-tama2 bisa disimak karangan jang sebenarnja sudah selesai saja tulis tahun 2002 di Ithaca, New York, Amerika Serikat. Kemudian, sebagai pelengkap, akan diulas beberapa perkembangan jang belakangan terdjadi. Ingin diketahui seberapa djauh perkembangan itu sudah mengarah pada gagasan awal saja ketika menulis esai ini.

***

Adakah orde baunja djenderal besuar purnawirawan harto jang resminja sampai 32 tahun begitu mutlak menguasai pentas politik Indonesia punja akar sedjarahnja sendiri di bumi Nusantara? Sebagai kekuatan kanan misalnja? Bukankah orde bau tampil setelah berhasil sampai ke akar2nja mengganjang PKI beserta antèk2nja, jaitu pelbagai gerakan kiri jang lain?

Dalam berupaja mendjawab pertanjaan di atas seorang sedjarawan Indonesia bisa dipastikan akan menumbuk anomali sedjarah atau mentèrèngnja: anomali historiografi Indonesia. Betapa tidak? Per-tama2 pertanjaan di atas sulit didjawab, bahkan hanja dengan ja atau tidak belaka. Kedua, PKI dan kalangan kiri lainnja masih belum djuga punja kedudukan jang djelas dalam historiografi Indonesia.

Di satu pihak, di dalam negeri, di balik upaja revisi sedjarah nasional jang madju mundur (karena setelah dilepaskan sekarang PKI kembali dikaitkan dengan G30S), PKI tetap dianggap pengchianat bangsa. Dua TAP MPRS jang mendasari pelarangan PKI tetap ada, upaja mentjabutnja tidak djuga berhasil. Pendek kata PKI jang dulu termasuk partai pertama jang menggunakan nama Indonesia, dan kalangan pertama jang di abad XX melantjarkan pemberontakan terorganisir terhadap pendjadjah Belanda, tetap dianggap momok atau hantu, padahal di mana2, djadi djuga termasuk di Indonesia, komunisme praktis sudah mati.

Berlawanan dengan perasaan anti jang begitu mendarah daging di dalam negeri, di luar negeri PKI dan kalangan kiri Indonesia lainnja djustru dianggap korban orde bau jang patut dipulihkan peran historisnja. Sikap sematjam ini terlihat pada buku2 sedjarah Indonesia di luar negeri jang begitu disesaki oleh sedjarah kalangan kiri. Tentang PKI sadja paling sedikit sudah ada dua buku standar, itulah karja Ruth T. McVey The Rise of Indonesian Communism dan karja Rex Mortimer Indonesian Communism under Sukarno.

Perbedaan tadjam tentang bagaimana PKI dan kalangan kiri Indonesia lain diperlakukan di dalam dan di luar negeri tadi, menggiring orang pada kesimpulan bahwa PKI belum punja kedudukan djelas dalam historiografi Indonesia. PKI dan kalangan kiri lainnja itu sebenarnja hanja pengchianat atau djustru korban? Di tengah ketidakdjelasan ini, jang sebenarnja luput dari perhatian sedjarawan Indonesia adalah orde baunja harto sendiri.

Bagaimana sebenarnja latar belakang sedjarah sang djenderal besuar? Lebih dari itu, adakah sebuah karja klasik tentang asal usul orde baunja sang djenderal besuar jang bisa menandingi dua karja klasik tentang PKI tadi? Berani taruhan, di Tanah Air atau di luar negeri, para ahli sedjarah Indonesia pasti akan ramai berbeda pendapat soal asal usul orde bau. Artinja: memang tidak ada karja klasik sematjam itu.

Lagi2 di sini kembali tampak djurang jang menganga lebar. Sebagai kekuatan kanan, ternjata orde bau tidak bisa ditelusur dalam historiografi Indonesia, padahal perannja begitu besar dan sangat menentukan, resminja selama 32 tahun lagi! Sementara kekuatan kiri jang sebenarnja sudah terganjang habis, ternjata masih hidup bahkan mendominasi historiografi Indonesia, paling sedikit di luar negeri. Kenapa misalnja tak ada satu studi klasik pun tentang kekuatan kanan jang bisa menandingi dua studi klasik tentang PKI di atas?

Historiografi jang mengutuk atau jang memudji peran PKI dan kalangan kiri lain serta tidak adanja historiografi kanan menjebabkan paling sedikit dua akibat gawat. Pertama asal usul orde bau mendjadi tidak djelas. Tentu sadja jang dimaksud dengan asal usul bukan tjuma Soeharto dan tentara. Asal usul itu djuga berarti aliran dan ideologi jang melahirkannja.

Sekali lagi, pertanjaan jang lajak dikedepankan di sini adalah: di mana sebenarnja akar sedjarah orde bau? Apakah se-mata2 di pihak tentara, seperti kadjian Salim Said, The Genesis of Power? Apakah, sebagai pembasmi kalangan kiri, tentara itu benar2 merupakan titik awal kekuatan kanan dalam sedjarah Indonesia? Ataukah asal usul orde bau sebenarnja masih bisa dilatjak lebih djauh lagi, misalnja sampai pada zaman pra-Indonesia?

Jang kedua, dari sini djuga terlihat betapa historiografi Indonesia sebenarnja tjuma amburadul belaka. Walaupun di satu pihak sedjarah kaum kiri sudah djelas bahkan, di luar negeri, berlimpah ruah, tetapi ternjata sedjarah golongan kanan tetap tidak djelas, bahkan tidak ada! Tanpa sistematika jang djelas ini, pemikiran para sedjarawan djuga tidak terpasang pada peta jang djelas. Bahkan tegasnja, sama sekali tidak ada peta historiografi Indonesia berdasarkan klasifikasi kiri dan kanan! Akibatnja bukan sadja sedjarah orde bau tidak ada, tetapi djuga karja seorang sedjarawan sering tidak djelas aspek kanan kirinja. Bisa djadi mereka ikut2an menggelapkan masa lampau si djenderal besuar. Inilah anehnja, kalau peristiwanja begitu kongkrit dan njata (orde bau sudah malang melintang selama 32 tahun), tetapi ternjata sedjarahnja tetap kosong melompong.

Salah satu sebab tiadanja sedjarah sang djenderal besuar itu adalah kenjataan bahwa selama tahun2 awal kemerdekaan, sedjarawan Indonesia terlalu asjik berkutat pada masalah nasionalisasi sedjarah.

Mereka menganggap lebih penting menulis sedjarah Indonesia dari segi orang Indonesia, bukan dari segi Belanda sebagai bekas pendjadjah. Lalu perkembangan penulisan sedjarah mendjadi aneh: di satu pihak ada jang mengikuti perkembangan zaman, seperti dua karja standar tentang PKI tadi, tetapi di lain pihak perkembangan itu djuga melèntjèng ke mana2, misalnja sedjarah daerah, sementara perkembangan zaman tidak ditekuni setjara komplit, karena ternjata tidak ada pelatjakan sedjarah sang djenderal besuar itu tadi. Masak tidak ada jang merasa perlu untuk melatjak sedjarah si djenderal besuar? Aneh bukan? Alhasil historiografi Indonesia mendjadi tidak fungsional, tidak bisa mendjelaskan perkembangan dan kondisi mutachir bangsa. Djadinja djuga sulit untuk mengharapkan chalajak ramai bisa melèk sedjarah, apalagi beladjar dari sedjarah bangsanja sendiri.

Sekarang sudah saatnja membuat sedjarah Indonesia mendjadi benar2 masuk akal sehat, sama seperti sedjarah bangsa2 lain, jaitu historiografi jang terdiri baik dari sedjarah golongan kiri mau pun sedjarah golongan kanan.

Harus diakui kanan dan kiri adalah pengertian relatif. Apa jang di satu zaman dikenal sebagai kiri bisa berubah mendjadi kanan pada zaman lain. Di zaman revolusi Rusia tahun 1917, Partai Komunis Bolsjewiki dikenal sebagai kekuatan kiri progresif. Mereka anti status quo kemapanan Tzar Nicholas. Tetapi di zaman Michail Gorbachev, di tahun 1980an, Partai Komunis Uni Soviet djustru tampil sangat kanan dan mapan. Selain itu, apa jang di satu tempat dikenal sebagai kiri, pada zaman dan waktu jang sama bisa berarti kanan di tempat lain. Dengan kata lain sulit dipastikan apa itu kanan dan apa pula itu kiri.

Maka dari itu seseorang harus terlebih dahulu datang dengan pembatasan jang djelas dan tegas sebelum bisa bitjara lebih landjut mengenai kanan dan/atau kiri. Djelas ilmu sedjarah sadja tidak akan tjukup untuk bisa memisahkan kanan dari kiri, ilmu fisafat juga harus dikerahkan.

Menariknja untuk orde bau sang djenderal besuar, seseorang ternjata tidak perlu repot2 mentjari definisi tegas. Dengan hanja melihat ulahnja ketika tampil berkuasa, jaitu dengan “mengganjang PKI dan segala antèk2nja,” bahkan terus2an mendjadikannja momok antjaman selama 32 tahun, orang bisa langsung berkata bahwa si djenderal besuar itu kanan. Selama berkuasa semua adjaran kiri djuga dilarangnja. Akibatnja, walaupun termasuk pihak pertama pentjetus gagasan negara merdeka, PKI dan kalangan kiri lain tidak dikenal lagi pada pentas politik Indonesia selama 32 tahun kekuasaan si djenderal besuar itu.

Dalam situasi seperti ini bisa dimengerti kalau orang, terutama kalangan internasional, merasa sedih dan prihatin melihat korban jang berdjatuhan semasa kekuasaan mutlak si djenderal itu. Mereka lalu ber-dujun2 menulis sedjarah kiri. Tapi kini sudah tiba saatnja untuk mempertanjakan hal itu, kenapa orang terus2an menulis tentang si korban? Bagaimana pula dengan si pelaku pembunuhan? Atau, seperti sering dikemukakan oleh para aktivis mahasiswa tahun 1980an jang tidak seradikal adik2 mereka dari tahun 1990an: bosen ah kalau mesti ikut2an nulis soal para korban pembunuhan! Kenapa kita enggak nulis tentang pembunuhnja sadja?

***

Dalam sebelas tahun terachir mahasiswa angkatan 1980an ini tampaknja sudah tidak perlu bosan2 amat. Betapa tidak? Paling sedikit ada dua perkembangan jang tjukup menggembirakan. Pertama liputan chusus Mingguan Tempo edisi 1 Oktober 2012 jang berdjudul “Pengakuan Algodjo 1965” serta jang kedua, dan ini terdjadi sebelum itu, film dokumenter The Act of Killing karja sineas Joshua Oppenheimer jang dirilis pada September 2012. Memang keduanja tidak setjara langsung memahami sedjarah dari perspektif kanan versus kiri, tapi dengan setjara rintji menguraikan peran para pelaku pembunuhan massal itu, maka langkah pertama menudju perspektif ini sudah mulai ditapakkan.

The Act of Killing jang di Indonesia dikenal sebagai Djagal menampilkan Anwar Congo dan beberapa tokoh lain seperti Adi Zulkadri jang pada 1965-1966 begitu asjik masjuk membunuhi kalangan kiri Medan. Dengan riang penuh gelak tawa dan tari, dalam film dokumenter ini mereka menuturkan tindakan kedji itu setjara djudjur dan terbuka serta, hebatnja lagi, tanpa setjuilpun perasaan bersalah, paling sedikit pada bagian awal. Bukan hanja itu. Anwar Congo djuga memperagakan bagaimana dia menghabisi korbannja, mentjekik leher dengan kawat supaja korban tjepat mati kehabisan napas, sedangkan darahnja tidak tertjurah atau bertjetjeran di mana2.

Kalau Djagal hanja berpusat di Medan dan sekitarnja, maka mingguan Tempo edisi 1 Oktober 2012 menampilkan penuturan para pembunuh itu dari pelbagai daerah lain. Selain Anwar Congo (jang djuga diwartakan dalam liputan chusus ini), pembatja diadjak pula berkenalan dengan I Ketut Mantram di Djembrana, Bali; Bapak Tengkorak di Maumere, Flores; Burhan Zainuddin Rusdjiman (alias Buhan Kampak) jang pada 1965-1966 aktif membunuh di Jogjakarta dan Klaten; Mochamad Samsi di Lumadjang, Djawa Timur; dan beberapa algodjo lain. Dengan rintji mereka bertutur tentang tindakan kedjam pada zaman pembunuhan massal 1965-1966. Tidak semua bersedia menjebut nama dan memperlihatkan batang hidung mereka. Di Maumere, dalam laporan Tempo itu, djuga ada tokoh jang disebut Bapa Peter jang diberi keterangan “bukan nama sebenarnja”. Wadjah sang Bapa djuga tak tampak.

Dengan atau tanpa nama sebenarnja, (begitu pula dengan atau tanpa wadjah) penuturan para algodjo ini memang tjukup rintji, termasuk alasan mengapa mereka sampai bertindak kedji. Tak pelak lagi inilah sebuah sudut pandang baru dalam pendokumentasian bandjir darah 1965 sedjak orde bau bau bubaran. Kalau selama ini pengungkapan itu selalu berpusat pada korban, maka baru pertama kali ini tampil para pelakunja. Pelaku tidak kalah pentingnja karena keduanja —pelaku maupun korban— ambil bagian satu tindakan jang sama, walaupun peran mereka berlawanan. Dengan tampilnja sosok2 pelaku ini, mulailah tergambar sketsa lengkap dalam peta politik Indonesia, terutama kalau kita ingat bahwa selama ini hanja ada dua buku klasik tentang PKI, jaitu karja2 Ruth T. McVey dan Rex Mortimer jang sudah disebut di atas. Para pelaku sekarang sudah mulai tampak, walaupun masih belum dalam tahap kadjian teoretis jang bisa menandingi dua buku klasik tentang PKI itu.

Pengungkapan peran para algodjo ini paling sedikit memungkinkan kita untuk memahami bandjir darah 1965-1966 melalui dua pendekatan: pendekatan korban dan pendekatan pelaku. Pendekatan pelaku merupakan tjara awal bagaimana orang memahami peristiwa 1965, inilah tjara jang selalu digembar-gemborkan oleh orde bau bau. Setelah orde bau dan harto tersingkir, mulailah muntjul pemberitaan tentang para korban 1965, di sini pendekatan pelaku menghadapi tantangan.

Mereka jang mendekatinja dari segi pelaku biasanja berusaha memahami bahkan membenarkan kenapa bandjir darah itu harus terdjadi. Pengikut pendekatan pelaku ini djuga terus2an meng-ulang2 ideologi jang waktu itu bertjokol, misalnja saat itu adalah zaman Perang Dingin jang mau tak mau djuga berdampak pada politik Indonesia. Mereka djuga tidak segan2nja meng-ulang2 sadja propaganda orde bau bahwa PKI telah berchianat, tanpa sedikitpun menindjau pelbagai kadjian jang selama ini sudah terbit dan beredar tentang G30S dan bandjir darah sesudahnja. Dengan begitu tampak betapa pendekatan ini sebenarnja tjuma djalan di tempat sadja, se-olah2 zaman sekarang masih tetap seperti zaman dulu. Padahal bukankah pemahaman sedjarah itu seharusnja djuga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman? Perlu ditegaskan, bukan sedjarahnja jang berubah tapi pemahaman kita terhadap sedjarah itu jang terus menjesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Pengungkapan para pelaku, baik jang dilakukan oleh Joshua Oppenheimer maupun liputan chusus Mingguan Tempo memberi dimensi baru pada pendekatan pelaku ini. Maklum Oppenheimer maupun Tempo menanggalkan faktor2 ideologis jang selama ini selalu digunakan oleh para pelaku sebagai pembenaran bagi pembunuhan jang mereka lakukan. Faktor2 ideologis itu djelas merupakan sematjam tameng berlindung bagi para pelaku, sehingga bisa terus berdalih bahwa pembunuhan itu harus mereka lakukan karena memang PKI adalah pengchianat bangsa, PKI atheis dan, jang paling sering terdengar, kalau PKI tidak dibasmi kitalah jang akan mereka basmi. Ketika rangkaian dalih ini ditanggalkan dan itu memang mungkin berkat perubahan zaman, maka jang tertinggal hanjalah kenjataan telandjang bahwa mereka telah melakukan pembunuhan. Lebih dari itu para pelaku sepenuhnja sadar bahwa di manapun serta kapanpun pembunuhan adalah tindak kriminal jang djelas melanggar hukum. Karena itu mereka kembali meng-ulang2 dalih ideologis jang sudah ketinggalan zaman dan tidak dianut orang lagi. Tudjuannja ingin berlindung dan mentjari dalih jang bisa membenarkan tindak pidana mereka. Belum lagi kalau dipertimbangkan tidak sedikitnja pelaku pembasmian PKI jang mengalami gangguan djiwa, seperti diuraikan oleh Tempo maupun dengan djelas diperlihatkan oleh Oppenheimer pada bagian achir Djagal, tatkala Anwar Congo tanpa resah dan tak bisa tidur. Dihantui oleh perbuatan masa muda, pada usia gaek para djagal dan algodjo ini tak bisa lagi hidup tenang, tak bisa lagi menikmati masa tua.

Sesuai namanja, pendekatan dari segi korban langsung melihat nasib para korban, sehingga pembantaian itu tidak lain merupakan pelanggaran serius terhadap hak2 asasi para korban. Apalagi kalau djuga mempertimbangkan unsur perentjanaan dan kesengadjaannja, jang terdjadi 50 tahun silam bukan kedjahatan terhadap kemanusiaan belaka, melainkan djuga genosida, misalnja karena dilakukan terhadap kelompok etnis Tionghoa, dan djuga terhadap anggota partai tertentu atau mereka jang ditjurigai anggotanja. Walaupun mungkin pengguna pendekatan ini tidak sebanjak pengguna pendekatan pertama, tak dapat dipungkiri inilah pendekatan jang progresif, jang melihat masa lampau sesuai dengan perkembangan masa kini. Lebih dari itu, bukankah pembunuhan selalu merupakan tindak pidana, kapanpun dan di manapun, sehingga pelakunja harus diseret ke pengadilan untuk mempertanggungdjawabkan tindakannja?

Setelah dua pendekatan ini, memang masih dibutuhkan langkah2 lebih landjut untuk memahami politik Indonesia dari perspektif kanan-kiri. Walaupun tidaklah otomatis kanan itu pelaku dan kiri adalah korbannja, tapi dari sini bisa ditelusur garis besar pemikiran serta latar belakang ideologi mereka. Tentu sadja kebanjakan algodjo itu tjuma main bunuh sadja, mungkin didorong oleh dendam pribadi (jang sering djuga tjuma di-tjari2). Oleh karena itu seseorang harus terlebih dahulu melakukan apa jang disebut abstraksi untuk bisa sampai pada pendekatan kanan kiri ini.

Dalam koridor perspektif ini, dari pengungkapan peran para pembunuh itu kita sekarang bisa bertanja, bagaimana bisa menggolongkan atau mengelompokkan mereka? Ideologi mereka djelas anti komunis, tapi seperti apa kejakinan politik mereka? Apa alternatif mereka bagi komunisme jang mereka bentji itu? Bagaimana mereka bisa sampai begitu kedjam, begitu anti komunis, begitu anti kiri? Beladjar di manakah mereka? Siapa jang mempengaruhi mereka? Kalau kalangan komunis Indonesia djelas2 terpengaruh oleh gerakan serupa di Eropa (dengan salah satu tokohnja Henk Sneevliet), bagaimana dengan mereka jang anti komunis ini? Gerakan Eropa mana jang mempengaruhi mereka? Siapa pula jang memperkenalkan aliran matjam itu di Indonesia? Atau mungkinkah kejakinan serta kekedjian mereka asli dan chas Indonesia, walaupun sebenarnja Nusantara selalu menjerap pengaruh dari pelbagai pendjuru dunia?

Dengan mengadjukan rangkaian pertanjaan ini kita akan bisa menampilkan latar belakang jang lebih lengkap bagi para pelaku. Lebih dari itu akan tampil sosok kanan Indonesia sebagai lawan kalangan komunis, korban mereka. Langkah ini merupakan tindak landjut jang masuk akal sadja bagi pengungkapan2 jang berlangsung selama satu dekade lebih belakangan.

Joshua Oppenheimer sudah berlandjut dengan The Look of Silence atau Senjap jang mengikuti djedjak langkah Adi Rukun dalam melatjak para pembunuh kakaknja. Tempo djuga telah menerbitkan edisi chusus tentang Lekra, organisasi seniman onderbouw PKI. Mereka jang bergabung dalam IPT65 berupaja mendirikan tribunal rakjat bagi bandjir darah 1965-1966. Jang sekarang masih sangat dinanti adalah pengupasan sedjarah kanan Indonesia.

Amsterdam 29 september 2015

2 pemikiran pada ““Orde bau — rezim kanan pelaku pembunuhan massal” oleh Joss Wibisono

  1. Tulisan jang bagus dan tjukup memberiken rudjukan buwat rentjana menjusun kesaksian tapol…. Salam untuk mas Joss….

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.