Versi jang sedikit lain nongol di mingguan Tempo, edisi 21 djuli 2019, halaman 38.
Pada abad 20 dulu, orang masih menggunakan arbei untuk menjebut buah merah tanaman perdu jang tumbuh di daerah pegunungan beriklim sedjuk. Sekarang kata ini sudah terlupakan, orang menjebut buah itu stroberi (dari kata Inggris strawberry). Abad lalu orang djuga masih menggunakan korting untuk menjebut potongan harga, sekarang digunakan diskon (dari kata Inggris discount). Dulu orang masih menggunakan persekot atau uang muka, sekarang ramai2 mereka gunakan DP (singkatan Inggris down payment).

Maka di sini kita saksikan betapa serapan bahasa Inggris telah mendesak serapan bahasa Belanda. Arbei berasal dari kata Belanda aardbei, begitu pula korting. Gedjala ini mungkin sadja baru terdjadi setjara lisan, belum tertulis. Tapi tampaknja itu hanja soal waktu, tak berapa lama lagi persekot dan uang muka akan tidak digunakan lagi; baik dalam bertutur kata maupun menulis orang hanja akan menggunakan DP. Mungkin sekarang singkatan bahasa Inggris ini djuga hanja dipergunakan di kota2 besar, tapi pertjajalah, tak lama lagi warga kota ketjil bahkan warga pedesaanpun akan melupakan persekot (dari kata Belanda voorschot), uang muka atau pandjar. Mereka pula akan berudjar dan menulis DP.
Anehnja, ketika kata2 Belanda kita serap ke dalam bahasa Indonesia, kata2 Portugis jang sudah terserap tidak lenjap. Sampai sekarang masih kita gunakan kedju (dari queijo, bahasa Portugis) dan tidak kita ganti mendjadi kaas (bahasa Belanda). Geredja djuga tetap kita gunakan (dari igreja) tidak kita ganti mendjadi kerk. Mentega (dari manteiga) djuga tetap terdengar dalam pertjakapan se-hari2, tidak diganti boter.
Bahasa Inggris bukan hanja mempengaruhi kosakata, tjara kita mengedja djuga terpengaruh. Dulu kita tulis kwalitas atau kwalitet, sekarang kualitas, dari tjara edja Inggris quality. Bahkan kwintal jang asli Indonesia kita inggriskan djadi kuintal. Djadwal djadi djadual.
Bagaimana harus mendjelaskan pengaruh besar bahasa Inggris ini? Mengapa bahasa Inggris lebih tega dan kedjam ketimbang bahasa Belanda? Berikut dua alasan jang moga2 merupakan pendjelasan memadai.
Pertama, bagaimanapun djuga bahasa Inggris memang perkasa. Bahkan tidak berlebihan untuk berkata bahwa sekarang bahasa ini mendominasi komunikasi internasional. Sebagian besar kontak internasional, bahkan di benua Asia sadja, berlangsung dalam bahasa Inggris. Berkat djedjaring sosial dan media elektronika, pengaruh bahasa Inggris tak terbendung lagi. Makin banjak serapan bahasa ini masuk dalam bahasa Indonesia. Tjontoh terbaru adalah bully, konten, posting dan komedian.
Tidak kalah pentingnja adalah rasa gengsi. Itu terlihat pada mereka jang gemar menjisipkan kata2 Inggris dalam bertutur kata. Konon tjampur baur bahasa ini meningkatkan martabat. Maka di sini kita berurusan dengan nasionalisme bahasa. Ini alasan kedua. Djelas kebanjakan orang Indonesia, apalagi mereka jang gemar menjisipkan kata2 Inggris dalam bertutur kata, tidak punja nasionalisme bahasa.
Ini bukan kesalahan mereka semata. Ini adalah djuga akibat kolonialisme Belanda. Dari tiga unsur Soempah Pemoeda: satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, Belanda dulu lebih dirasa mendjadjah tanah air dan bangsa, tidak (begitu) mendjadjah bahasa. Bukankah bahasa Indonesia tidak pernah tidak kita gunakan? Bukankah kita selalu menggunakan bahasa nasional ini? Bahasa Indonesia jang waktu itu disebut bahasa Melajoe selalu ada di Nusantara, bahkan tidak perlu bersaing dengan bahasa Belanda. Maklum Belanda memang tidak pernah berniat menjebarkan bahasanja di wilajah djadjahan terbesarnja ini.

Itu berarti bahwa nasionalisme jang kita kobarkan untuk mengusir Belanda dulu lebih terpusat pada tanah air dan bangsa, tidak menjangkut bahasa. Kita tidak perlu berdjuang untuk tetap berbahasa Indonesia, perdjuangan kita dulu hanja terpusat pada merebut tanah air dan pemerintahan ke arah Indonesia merdeka. Perdjuangan itu adalah mengusir Belanda, bukan mengusir bahasa Belanda, karena memang bahasa pendjadjah ini tidak kita gunakan setjara meluas. Alhasil, Indonesia adalah satu2nja negara jang merdeka dari pendjadjahan tapi sama sekali tidak menggunakan bahasa bekas pendjadjah. Negara2 lain jang merdeka dari pendjadjahan, apalagi pendjadjahan Spanjol, Portugal dan Prantjis, terus menggunakan bahasa bekas pendjadjah.

Maka djelaslah orang Indonesia tidak pernah punja nasionalisme bahasa, karena memang nasionalisme ini tidak diperlukan dalam perdjuangan kemerdekaan dulu. Itulah sebabnja mengapa kita gampang berganti pengaruh; begitu pengaruh bahasa Belanda lenjap, maka dengan mudah pula orang pindah pada bahasa Inggris. Suatu ketika, tatkala sudah tak terhitung lagi kata2 Inggris jang menghuni bahasa kita, maka kelak anak tjutju kita pasti akan menamai bahasanja Indoglish.