“Merdeka lebih dulu” oleh Joss Wibisono

17 Agustus lebih dahulu bermakna bagi Soewardi Suryaningrat ketimbang bagi bangsa Indonesia setjara keseluruhan. Kok bisa? Kenapa? Karena pada tanggal 17 agustus 1917 menteri koloni Belanda Thomas Pleyte memutuskan untuk mentjabut keputusan pengasingan Soewardi jang dikeluarkan oleh gubernur djenderal Alexander Indenburg. Pada tahun 1913, menggunaken apa jang disebut »exorbitante rechten« (hak2 luar biasa), Idenburg mengasingkan Soewardi ke Bangka. Ini menjusul insiden “Als ik eens Nederlander was” artikel sinis Soewardi jang mengedjek penguasa kolonial ketika berniat mengadakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda (dari pendjadjahan Napoléon) di hadapan rakjat Indonesia jang mereka djadjah.

Surat pemberitahuan bahwa menteri koloni telah mentjabut keputusan pengasingan Soewardi

Soewardi sendiri pada tanggal 17 agustus 1917 itu berada di Belanda, bersama keluarga dia menetap di Copernicuslaan 17, Den Haag. Dia memilih pengasingan di Belanda ketimbang Bangka, supaja lebih bisa mengembangkan diri. Selain mendalami ilmu pendidikan (kemudian berguna untuk mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922), dia djuga aktif berpolitik: menulis, mengadakan rapat, bahkan menari (bersama Noto Soeroto, saudara sepupunja) di hadapan publik Belanda. Karena memilih sendiri tempat pengasingannja (ini diperolehkan oleh ketentuan “exorbitante rechten” penguasa kolonial) maka dia djuga harus membajar sendiri perdjalanan dan hidupnja di Belanda. Inilah pilihan jang berat, karena dia sempat ter-lunta2.

Pada oktober 1913, Soewardi tiba di Belanda bersama Ernest Douwes Dekker (Setiabudi Danudirdja) dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tapi tak lama kemudian Douwes Dekker meninggalkan Belanda, dan Tjipto pulkamp. Tinggallah Soewardi jang bersama istri menjaksikan kelahiran dua orang anak mereka di negeri pendjadjah. Dia mati2an berupaja mentjari nafkah menghidupi keluarga.

Tapi kenapa achirnja penguasa kolonial mentjabut keputusan mengasingkan Soewardi? Untuk itu bisa disimak tukar menukar telegram antara menteri koloni Pleyte dengan gubernur djenderal jang waktu itu sudah didjabat oleh Johan Paul van Limburg Stirum. Bertelegram ria dalam bahasa Inggris, kedua politisi sepakat untuk membebaskan Soewardi, karena kalau tidak maka dichawatirken dia akan semakin populer dan mendapat banjak dukungan rakjat Hindia.

Sajangnja, Soewardi masih harus menanti sampai dua tahun lagi sebelum achirnja bisa pulkamp. Pada 1917 itu Perang Dunia pertama masih berketjamuk di Eropa, sehingga tidak ada satu kapalpun jang berlajar dari Belanda ke Hindia dan sebaliknja. Baru pada 1919, setelah kapal kembali berlajar, Soewardi dan keluarga bila berangkat pulang ke Djocjakarta, setelah enam tahun menetap di negeri pendjadjah.

Berikut surat pentjabutan keputusan gubernur djenderal Hindia Belanda jang mengasingkan Soewardi ke Bangka. Jang menarik adalah alesan pengasingan itu “in het belang der openbare rust en orde” (demi kepentingan ketenangan dan tata). Di zaman harto, penguasa se-wenang2 orde baru itu sering nerotjos gini: “demi mendjaga stabilitas keamanan nasional dan lantjarnja roda pembangunan”. Engga beda deh dari utjapan pendjadjah Belanda.

Oh ja, pada gambar di atas bisa disimak tanggal keluarnja surat pentjabutan keputusan pengasingan, jaitu 17 agustus 1917, persis 103 tahun lalu.

*Salam merdeka!*

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.