“G30S dan akal bulus orde bau: dari Malang lewat Salatiga sampai Amsterdam” oleh Joss Wibisono

LAHIR DI PENGHUDJUNG dekade 1950an, saja tidak begitu sadar akan prahara 1965-1966. Baru belakangan saja batja bahwa di Malang, kota kelahiran dan tempat saja dibesarkan, djuga terdjadi pembunuhan massal. Sungai Brantas, misalnja, dikabarkan sempat merah karena darah dan tak djarang pula terlihat majat2 mengapung. Tapi itu semua tak pernah saja saksikan. Selain karena rumah kami djauh dari sungai jang membelah kota Malang itu, pasti orang tua djuga menentukan sekali apa jang boleh dilihat oleh anak2 mereka.

Walau begitu, karena hal ketjil2, saja sadar djuga bahwa saat itu saja hidup di zaman jang tidak normal. Misalnja seorang paman, adik ibu, selalu datang mendjaga kami djika ajah tugas keluar kota. Dalam bersepeda ke rumah kami di wilajah Blimbing, saja tahu sang paman selalu membawa kapak. Kemudian lampu djuga sering mati. Kalau listrik tidak padam, tidaklah berarti kami boleh bermandi terang. Ibu selalu menutup tirai djendela dan pintu, sehingga rumah tetap tampak gelap, dari luar tidaklah tampak kegiatan di dalam. Sebagai anak ketjil saja merasa pada waktu itu ada jang tidak beres. Dibesarkan selama dekade 1960an dan 1970an, hanja itu jang tersisa dalam ingatan.

Pengetahuan tentang korban2 G30S saja peroleh dari dua sumber. Pertama, pemberitaan media massa jang djelas2 memodjokkan PKI dan semua gerakan kiri Indonesia — kesadaran tentang hal ini saja peroleh belakangan ketika bermahasiswa di Salatiga. Kedua, dari para korban jang kebetulan tetangga kami di wilajah Blimbing, Malang utara.

Di antara tetangga kami ada dua keluarga korban langsung. Keluarga pertama tetangga sebelah. Dari ibu saja dengar bahwa pak Djono, begitu nama kepala keluarga itu, kena tjiduk. Dia tidak kembali, istrinja sendirian membesarkan dua anak. Lama kelamaan sang istri, bu Djono, memperoleh suami baru, seorang asal Madura jang bernama pak Samadhin. “Sekarang nama tetangga itu adalah bu Samadhin,” kata ibu kepada kami pada suatu hari. Tak lama kemudian pak Samadhin jang tentara itu mendapat tugas ke Timor Timur. Malangnja, seperti pendamping ibu tetangga terdahulu, pak Samadhin djuga tidak kembali. Kami dengar dia tewas di Timor Timur.

Keluarga kedua agak djauh dari rumah kami, tapi kenalan ibu djuga. Suaminja jang tentara konon mendjabat walikota di salah satu kota di Kalimantan. Sang suami terindikasi G30S, sehingga bukan sadja dia kehilangan djabatan, tetapi djuga harus sekian lama mendekam di pendjara. Beberapa anak keluarga ini adalah teman sekolah, baik di SMP maupun SMA, sehingga saja lihat sendiri bagaimana ibu mereka mati2an berdjuang hidup, menerima djahitan, menerima masakan dan seterusnja. Ketika achirnja ajah mereka dibebaskan, keluarga itu mengadakan kenduri, dan kami mendapat hantaran berkat, sjukuran karena suami telah bebas.

Waktu SMA (paruh kedua dekade 1970an) film Pengchianatan G30S/PKI masih belum diproduksi, sehingga generasi saja boleh dikatakan selamat dari indoktrinasi orde bau ini. Tapi berkat peladjaran sedjarah dan pemberitaan media massa saja termakan djuga, waktu itu saja anggap PKI dan gerakan kiri lain sebagai pendjahat jang memang pantas diganjang. Entah kenapa, saja tidak mengkaitkan nasib dua tetangga dengan anggapan bahwa PKI pantas dibasmi.

Film indoktrinasi arahan sutradara Arifin C. Noer ini keluar tahun 1984 ketika saja sudah mahasiswa. Di kampus Universitas Kristen Satya Watjana, Salatiga, saja benar2 dididik mendjadi kritis dan melek politik. Baru tiba dari Amerika Serikat, dosen saja Arief Budiman (kakak Soe Hok Gie) jang waktu itu terkenal sebagai “eksponen 1966” antara lain menggebrak dengan tudingan bahwa apa jang disebut “Angkatan 66” itu tjuma mitos belaka. Angkatan itu tidak lebih dari rekajasa tentara untuk mendjatuhkan Bung Karno dan membasmi PKI. Lalu dia bongkar banjak ulah litjik orde bau dalam pelbagai kelompok diskusi mahasiswa jang waktu itu mendjamur dalam kehidupan mahasiswa Indonesia. Kami misalnja berdiskusi tentang apa jang disebut “Cornell Paper”, risalah pertama jang mempertanjakan G30S versi orde bau, seperti jang bisa ditonton pada film Pengchianatan G30S/PKI. Praktis waktu film itu beredar, di Salatiga kami bongkar kebohongannja. Cornell Paper mendorong kami pada kesimpulan bahwa G30S adalah konflik internal tentara jang tidak berkaitan dengan PKI.

Pada saat itu saja mulai mentjoba mengkaitkan nasib dua keluarga, tetangga di Malang, dengan orde bau. Tak pelak lagi: penderitaan mereka merupakan politik djahat jang sengadja dilantjarkan harto dan antek2nja jang bersekongkol dalam apa jang menjebut diri orde bau. Sajapun sadar bahwa ibu tetangga sebelah di Malang itu sampai harus dua kali mendjanda, dua2nja —malapetaka 1965 serta aneksasi Timor Timur— adalah ulah politik orde bau.

Di lain pihak, pelanggaran hak2 asasi manusia di Indonesia pada dekade 1980an terus berlandjut. Di Salatiga kami menjaksikan pembunuhan para gali, pembatasan djalur dokar di tengah kota, serta, jang paling gempar, pembangunan bendungan Kedung Ombo. Belum lagi Golkar jang selalu menang pemilihan umum.

Lamat2, dari pelbagai sumber, saja djuga mendengar aktivitas anti orde bau di luar negeri, antara lain di Negeri Belanda. Menjusul “Cornell Paper” jang merupakan kadjian sardjana2 universitas Amerika, dalam menekuni G30S, pada tahun 1980an itu seseorang pasti akan diarahkan pada pemikiran profesor Wim Wertheim, pakar Indonesia pada Universiteit van Amsterdam. Karena kemampuan membatja bahasa Belanda belum bagus, saja tjuma mendengar pendapat gurubesar terkenal ini dari sumber2 kedua. Antara lain Wertheim bertanja mengapa harto tidak djuga dibunuh oleh pasukan Tjakrabirawa seperti Yani, Suparman, Soetojo dan perwira2 lain?

Baru pada achir 1987 ketika tiba di Amsterdam untuk bekerdja pada Radio Nederland, saja memperoleh kesempatan menekuni teori2 lain tentang G30S. Misalnja pendapat Wertheim jang merupakan djawaban atas pertanjaannja sendiri mengapa harto tidak djuga dibunuh, seperti pahlawan revolusi lain. Dalam bahasa Indonesia Wertheim menulis tentang hubungan dekat harto dengan para pelaku pembunuhan dini hari 1 Oktober 1965. Misalnja harto hadir pada perkawinan Oentoeng di Kebumen, setahun sebelumnja. Kemudian kolonel Latief bertemu harto di rumah sakit ketika Pangkostrad ini tengah mendjaga anaknja, Tommy, hanja empat djam sebelum Latief beraksi membunuhi para pahlawan revolusi. Itulah alasannja mengapa harto tidak diapa2kan! Nama Wertheim djelas begitu menondjol, termasuk Komitee Indonesië jang waktu itu begitu sibuk mengurusi pelbagai pelanggaran hak2 asasi manusia di tanah air.

Ada satu hal lagi jang saja peladjari setiba di Belanda dan bukan hanja membatja tapi djuga berkenalan bahkan sempat mewawantjarai profesor Wertheim. Dalam salah satu kesempatan tokoh ini menjebut istilah bahasa Belanda straffeloosheid jang di tanah air kemudian terkenal sebagai impunitas, alias keadaan tanpa hukuman, walaupun sudah melakukan kedjahatan berat. Kembali mata saja terbuka, “Oh, djadi karena impunitas ini di tanah air terus2an terdjadi pelanggaran hak2 asasi manusia. Sekali melakukannja pada 1965-1966, maka orde bau bebas berlenggang kangkung untuk terus2an melanggar hak2 asasi manusia — bahkan Indonesia sadja tidak tjukup, kekedjian serupa mereka ulang di Timor Portugis jang kemudian disebut ‘provinsi termuda’ itu.” Saja semakin memahami upaja gigih profesor Wertheim untuk melawan rezim tangan besi ini.

Di Belanda saja djuga bersua dengan kalangan jang terhalang pulang karena malapetaka 1965 — profesor Wertheim banjak bergaul dengan mereka. Kembali pemahaman saja bertambah, karena di sini segera terlihat segi lain kekuasaan tangan besi harto. Selain membunuh dan menindas, rezim bengis ini djuga memaksa orang dalam djumlah tak terhitung untuk hidup di pengasingan. Tanah air sendiri mendjadi berbahaja bagi mereka. Tatkala sesama orang komunis ditjabuti njawanja atau dipendjara, orang2 ini sedang berada di luar negeri, untuk studi landjut atau tugas lain. Waktu orde bau naik kuasa mereka terpaksa terus tinggal di luar negeri, kalau tidak bisa2 mereka senasib dengan, misalnja, pak Djono, tetangga di Malang jang tidak pulang. Tidak bisa pulang karena paspor ditjabut, mereka hidup ter-lunta2 di luar negeri. Terpaksa mereka minta suaka atau mendjadi orang tanpa warga negara, padahal sebagian besar ikut berdjuang bagi Indonesia merdeka. Lagi2 saja makin terjakinkan soal kekedjian ‘daripada’ harto dan gerombolan orde baunja.

Tahun 1998, achirnja harto dan orde bau terdjungkal djuga. Waktu itu saja lihat profesor Wertheim diwawantjarai televisi Belanda. Dia tampak lega melihat rezim jang terus2an dilawannja ini achirnja tersingkir! Besar kemungkinan tokoh ini menghembuskan nafas terachir dengan lega pula pada november 1998, usia 91 tahun. Jang djelas di kalangan aktivis hak2 asasi manusia Indonesia di Belanda, Wertheim adalah nama jang harum.

Tidaklah mengherankan kalau dari awal pembentukan IPT65 sampai penjelenggaraannja nama Wertheim selalu disebut orang. Saja memang ikut IPT65 sedjak awal, ketika bertemu Joshua Oppenheimer di Den Haag menjusul pemutaran filmnja The Act of Killing alias Djagal. Waktu itu banjak kalangan merasa harus berbuat sesuatu, karena tak lama lagi bandjir darah 65 akan memasuki usia setengah abad. Dibutuhkan keterbukaan supaja semuanja bisa diungkap dan apa jang sebenarnja terdjadi diketahui umum.

Ketika diputuskan menjelenggarakan International People’s Tribunal atau tribunal rakjat internasional jang disingkat IPT65, saja sempat ber-tanja2 apa jang bisa saja sumbangkan? Tidak punja bekal akademis maupun juridis dan paling banter hanja tahu bidang jurnalistik, saja semula berkesimpulan pasti tidak ada jang bisa saja kerdjakan. Tapi keinginan untuk berbuat sesuatu tetap memburu, paling sedikit supaja pengetahuan jang terhimpun dari Malang lewat Salatiga sampai Amsterdam tadi bisa dimanfaatkan. Untung sadja langkah pertama IPT65 adalah membuka situs web. Kalau untuk itu saja bisa berbuat sesuatu! Begitu saja bersorak dalam hati, dan benar, ketika diadjak bergabung dalam tim media segera adjakan itu saja terima dengan tangan terbuka.

Salah satu tugas tim media adalah mengingatkan orang pada pentingnja peran profesor Wertheim sebagai peletak dasar perhatian besar Belanda terhadap masalah hak2 asasi manusia Indonesia sedjak orde bau berkuasa melalui bandjir darah 65. Untuk mengenang tokoh ini, di sela2 siaran streaming live YouTube pada hari2 digelarnja IPT, diselenggarakan wawantjara dengan empat tokoh Belanda. Mereka bukan hanja mendjelaskan peran profesor Wertheim tetapi djuga sedikit membeberkan aktivitas Komitee Indonesië dalam menjebarluaskan pelanggaran hak2 asasi manusia di tanah air.

***

MENGIKUTI AKTIVITAS ajahnja dari dekat, Anne-Ruth Wertheim, putri profesor Wertheim, merasa sangat terkesan mendengar penuturan para saksi mata di depan sidang IPT tentang pengalaman mereka jang mengerikan semasa pemerintahan Soeharto[1]. Perhatiannja setjara chusus terarah pada kesaksian tentang keadaan pulau Buru. Di sana lebih dari 10 ribu orang Indonesia disekap selama lebih dari 10 tahun. “Di Belanda kami njaris tidak bisa membajangkan betapa mengerikan hal itu,” tutur Anne-Ruth. “Karena itu saja djuga sangat menjesalkan bahwa pemerintah Belanda jang tahu tentang Buru tidak berbuat apa2 untuk menghindari hal itu.”

Inilah jang oleh profesor Wertheim dilihat sebagai wudjud kongkrit pelanggaran hak2 asasi manusia begitu orde bau tampil berkuasa. Itu dimulai ketika berlangsung pembunuhan dalam skala besar jang dibiarkan terus terdjadi oleh rezim orde bau, atau dilakukan oleh kalangan militernja. “Harus ada seseorang jang menjibukkan diri dengan apa jang tengah terdjadi di sana,” demikian Anne-Ruth Wertheim mengenang ajahnja.

Wertheim berharap kalau dunia tahu apa jang waktu itu terdjadi di Indonesia, maka di negara lain orang akan melakukan protes. Di Indonesia sendiri protes tidak mungkin karena, sesuai watak rezim diktator, orang dibuang ke Buru atau dibunuh.

Anne-Ruth djuga membenarkan anggapan orang bahwa ajahnja memang seperti ber-teriak2 di padang pasir. Setiap kali mengundjungi orang tuanja di Wageningen, Belanda tengah, Anne-Ruth selalu diberitahu soal pelbagai kekedjaman jang terdjadi di Indonesia. Sampai2 ia berani menjimpulkan keadaan sungguh telah memburuk. Dan dilihatnja betapa ajahnja semakin putus asa, demikian pula ibunja jang djuga tak mau ketinggalan mengikuti perkembangan Indonesia.

Anne-Ruth Wertheim djuga bertutur bahwa setiap kali ada perkembangan baru ajahnja berusaha menulis untuk koran atau menjatakan bersedia diwawantjarai radio maupun televisi. Kalau semula orang masih memperhatikan pendapat Wertheim, lama kelamaan ahli Indonesia ini kesulitan untuk mengutarakan pendapatnja. Menurut putrinja, chalajak Belanda sudah tidak mempermasalahkan lagi situasi Indonesia. “Mereka anggap baik2 sadja jang terdjadi.”

Marijke Wertheim, kakak Anne-Ruth, membenarkan bahwa setelah peristiwa G30S, perhatian kedua orang tuanja, terutama ajahnja, hanja terpusat pada pelanggaran hak2 asasi manusia di Indonesia. Tidak banjak jang bisa dilakukannja ketjuali menulis dan menjebarkan berita mengenai Indonesia. Di balik ini Wertheim berharap ada kalangan jang terpanggil untuk membantu para korban, demikian Marijke mengenang kegiatan ajahnja.

Mengapa Indonesia memperoleh perhatian chusus dalam keluarga Wertheim? Marijke paham zaman sekarang sudah semakin sedikit orang jang tahu latar belakang serta kaitan chusus keluarganja dengan Indonesia. Mereka lama menetap di sana dengan menjenangkan. “Semula kami adalah kolonial, tetapi pada zaman Djepang kami sadar bahwa selama ini Indonesia telah mengalami pendjadjahan”. Sedjak saat itu keluarga Wertheim jang masuk interniran Djepang menghendaki kemerdekaan Indonesia. Sebagai mantan gurubesar sekolah tinggi hukum RHS Batavia, Wertheim punja andil djuga dalam membangun sistem hukum Indonesia merdeka.

“Luar biasa. Fantastis,” Marijke meluapkan kegirangannja bagi penjelenggaraan IPT65. Ia berharap IPT65 akan djuga membawa dampak di Indonesia. Anne-Ruth sendiri jang aktif di dunia maya menekankan bahwa dengan tersebarnja djedjaring sosial sekarang sudah tidak mungkin lagi menjembunjikan semua kebohongan Soeharto dan orde bau tentang malapetaka 65. Dua film dokumenter Joshua Oppenheimer jaitu Djagal dan Senjap sudah ditonton kalangan luas Indonesia. Ditambah dengan IPT65 maka tidak mungkin lagi terus2an membohongi generasi muda dengan indoktrinasi rekajasa orde bau. Demikian Anne-Ruth Wertheim jang segera disambut dengan anggukan kakaknja, Marijke Wertheim.

Sepeninggal orang tua mereka tidaklah berarti kedua putri Wertheim melupakan Indonesia. Marijke jang gembira dengan terpilihnja Jokowi tetap berharap suatu ketika Presiden RI akan mengakui pelanggaran hak2 asasi manusia pada zaman orde bau dan meminta maaf kepada korban jang menurutnja masih mengalami diskriminasi.

Tentang masih berpengaruhnja kekuatan lama ini djuga disinggung oleh Peter Paul van Lelyveld[2], aktivis hak2 asasi manusia Belanda lain jang djuga pernah bergabung dalam Komitee Indonesië dan Amnesty International. Dalam beberapa aspek, Van Lelyveld bahkan melihat kekuatan lama ini sekarang seolah lebih kuat lagi, terbukti dengan pelbagai pembatasan terhadap pengungkapan malapetaka 1965. Tapi dia menduga itu adalah langkah terachir kekuatan lama ini. “Saja berharap ini sematjam politik simbul sadja,” katanja.

Puluhan tahun mengikuti masalah hak2 asasi manusia Indonesia, Peter Paul van Lelyveld melihat bahwa generasi muda Indonesia sekarang lebih terbuka. “Kalau berkundjung ke Indonesia saja terharu dengan terbukanja pikiran kaum muda,” tegasnja. Pengamatan djitu ini didasarkan bukan hanja pada kundjungan2 terachirnja setelah orde bau tersingkir, tapi djuga karena Van Lelyveld pernah lama menetap di Indonesia pada dekade 1970an, sebagai rohaniwan di Jogjakarta. Karena itu dia awas bahwa pada setiap keluarga korban G30S, muntjul generasi muda jang ber-tanja2 ada apa dengan kakek, ada apa dengan paman? Generasi muda ini terus2an mempertanjakan apa jang tidak klop dalam keluarga mereka.

Peter Paul tidak jakin IPT65 akan langsung membawa perubahan di Indonesia. Baginja jang penting adalah bahwa sudah ada adjang untuk mengungkap pelanggaran hak2 asasi manusia tahun 1965-1966. Ia menaruh harapan pada internet jang merekam, menjimpan serta menjebarkan pelbagai sidang IPT65 ini. Menurutnja ini akan memperluas wawasan chalajak Indonesia.

Dia sendiri optimis akan menjaksikan tribunal seperti IPT65. Termasuk pendukung awal, Van Lelyveld menundjuk pada Russel Tribunal jang sekarang merupakan rudjukan bagi setiap upaja penjelesaian masalah Palestina. Optimismenja djuga mendjalar pada IPT65 jang bagi Peter Paul akan memperoleh perhatian, baik dari pelbagai pemerintahan Indonesia mendatang maupun dari dunia internasional. Di masa depan, pemerintah Indonesia akan mengakui kesalahan jang dibuat oleh orde bau, demikian Peter Paul van Lelyveld jang tutup usia pada Februari 2016, sebelum madjelis hakim IPT65 mengumumkan keputusan.

Welmoed Koekebakker bergabung dalam Komitee Indonesië sekitar tahun 1972. Sebagai wakil generasi muda, Welmoed ingin melibatkan kalangannja sendiri. Maka didekatinja pelbagai organisasi kawula muda Belanda, selain kalangan serikat buruh, organisasi perempuan dan semua organisasi di pedesaan. Setelah pelbagai aksi, pada tahun 1978 di banjak desa Belanda berdiri kelompok aksi ketjil2 jang aktif untuk Komitee Indonesië. “Aksi kami adalah menjebarkan pelbagai berita tentang pelanggaran hak2 asasi manusia di Indonesia jang kami terima,” Welmoed mengenang aktivitasnja 40 tahun silam.

Pada awalnja Komitee Indonesië bergabung dengan aksi solidaritas Vietnam, buletin jang mereka terbitkan berdjudul Indonesië Informatie (informasi Indonesia) merupakan lampiran Vietnam Bulletin. Kemudian muntjul IFM singkatan Indonesië Feiten en Meningen artinja Indonesia: fakta dan pendapat. Sekitar 20 tahun IFM menjebarkan berita tentang pelbagai pelanggaran hak2 asasi manusia di Indonesia. “Kami menjebarkannja bukan hanja kepada chalajak umum pembatja, tetapi djuga kepada anggota parlemen Belanda, para pengambil keputusan, para politisi dan dunia internasional,” demikian Welmoed.

Ketika achirnja digelar IPT di Nieuwe Kerk, Den Haag, Koekebakker per-tama2 menjatakan hormat kepada pelbagai aktivis hak2 asasi manusia Indonesia. Dia melihat sekarang perdjuangan hak2 asasi manusia dilakukan oleh orang2 Indonesia sendiri. Menggelar IPT adalah sesuatu jang berat dan dibutuhkan keberanian luar biasa.

“Saja sangat senang sekali,” demikian Welmoed Koekebakker tentang IPT65. Walaupun sudah terlambat 50 tahun, “Tapi djustru dalam peringatan 50 tahun G30S ini kita bisa berkata, inilah saatnja untuk menjelenggarakannja”. Dengan begitu kebenaran akan terungkap, djuga akan muntjul keputusan tentang siapa jang bertanggung djawab. Maka mereka jang bersedih dan berduka karena kehilangan anggota keluarga, berpeluang mengadakan rudjuk.

Tak pelak lagi, ketika keadaan Indonesia masih belum memungkinkan, Belanda memang tempat jang paling masuk akal untuk menjelenggarakan IPT65. Tidak ada negeri lain jang begitu lama dan seksama memperhatikan serta mengikuti pelanggaran hak2 asasi manusia Indonesia selain Belanda. Di balik masa lampau kolonialnja, di Belanda djuga ada profesor Wertheim jang dari awal sudah sangat memperhatikan pelangaran hak2 asasi manusia di Indonesia. Lajak disimpulkan bahwa IPT65 merupakan buah bahkan puntjak kerdja keras profesor Wim Wertheim.

 

 

Amsterdam musim dingin 16-17

[1] https://www.youtube.com/watch?v=ooUXf7nHxPg&t=610s&spfreload=10

[2] https://www.youtube.com/watch?v=b_jkfrOlYsw&spfreload=10

Satu pemikiran pada ““G30S dan akal bulus orde bau: dari Malang lewat Salatiga sampai Amsterdam” oleh Joss Wibisono

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.