“Seminar berkelas: debat terbuka murid dengan guru” oleh Joss Wibisono dan Arief Budiman

Dalam rangka mengenang 100 hari kepergian Arief Budiman jang kira2 berlangsung hari2 ini, berikut sebuah debat terbuka jang pernah aku lakukan dengan guru terkasih. Debat ini berlangsung dalam dua edisi Gita Kampus, medium internal Universitas Kristen Satya Watjana (UKSW), jaitu edisi 19 dan edisi 20, kira2 terbit pada achir tahun 1986, 34 tahun silam.

Dalam debat ini kukritik penjelenggaraan Seminar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan untuk itu aku gunakan istilah2 marxisme misalnja dengan menundjuk kelas. Di luar dugaan, gajung ternjata bersambut, dalam mendjawab kritikku guru terkasih djuga menggunakan istilah2 marxisme. Mumpung soal komunisme dan masjarakat berkelas sedang ramai2nja djadi pembitjaraan orang, silahken menjimak debat ini: sambil tersenjum. Perlu aku tegasken, debat ini berlangsung setelah sebelumnja aku berpolemik dengan guru terkasih di harian Kompas mengenai teori ketergantungan. Kalau dalam polemik aku aku sepenuhnja berada dalam bimbingan sang guru, maka dalam debat ini aku djalan sendiri.

Pada zaman itu tanah air masih berada dalam tjekeraman kuat otoriterisme orde bau, tapi ternjata debat murid dengan guru bisa berlangsung seperti dalam iklim politik bebas, walaupun achirnja harus kuakui telah kugunakan kata2 tidak pantas. Marahkah sang guru?

Sebuah seminar berkelas

Baru2 ini, dalam rangka dies natalisnja jang ke XXX, UKSW mengadakan sebuah seminar jang mengambil thema “Ilmu dan teknologi: harapan dan keprihatinan”. Seminar ini tampaknja termasuk seminar besar dengan biaja jang tentunja djuga tidak ketjil. Pada seminar ini, seperti sudah diketahui, terlibat pula banjak ahli dan praktisi. Mulai dari jang tiap hari bertekun di laboratorium (salah satunja tjalon astronot) sampai jang sudah deputi dirdjen: mulai dari jang berkulit tjoklat sampai jang berkulit putih.

Walaupun siapa sadja jang berminat sudah dipersilahken dateng, tetapi ternjata seminar ini hanja milik mereka jang telah terdaftar sebagai peserta. Hadirin lain yang dipersilahken dateng tjuman diperbolehken menonton para peserta beraksi, dengan angkuh memamerkan buah pikiran mereka. Selandjutnja hadirinpun dipersilahken mendetjakken lidah, ternganga dan bertepuk tangan mengagumi keangkuhan mereka jang sedang beraksi itu.

Tak pelak lagi, seminar jang mengatasnamakan diri punja kaitan dengan dies natalis UKSW ini bukanlah milik segenap civitas academica. Seminar ini tjuman milik segelintir orang jang gemar berpamer diri dengan gagasan2 wah mereka seraja menjuruh orang lain jang diundang (tapi hanja datang dan mendengar) untuk bersorak-sorai menjoraki kehebatan mereka. Mereka memang hebat, tapi sikap mereka, saja rasa, tidak lebih dari masturbasi ilmiah jang dilakukan di depan umum.

Maka jang kita saksikan adalah sebuah seminar dengan peserta jang terpilah dalem kelas dan hanja dinikmati oleh kelas elite. Anggota civitas academica lain lebih berperan sebagai massa periferal jang hanja boleh melongo dan menganga menjaksiken para elite ini mentjapai extase ilmiah mereka. Bukan main!

Ironisnja, dalam seminar ini banjak dibitjarakan bagaimana melihatkan massa rakjat dalam pengambilah keputusan jang berskala nasional. Misalnja sadja soal keterlibatan rakjat dalam pengambilan keputusan untuk membangun reaktor nuklir. Sedangkan seluruh pembitjaraan seratus persen berlangsung dalam situasi exklusif elitis.

Saja kira semua ini adalah pentjerminan watak komplex rendah diri (minderwaardigheidscomplex) jang diidap oleh para pengorganisir dan peserta seminar. Mereka jang sebagian besar adalah staf pengadjar UKSW tampaknja chawatir: kalau mahasiswa sepenuhnja dilibatkan, anak-anak bawang ini akan berpolah tingkah “tidak karuan”. Kalau ini terdjadi, bukan main mereka akan dipermalukan! Itulah keputusan mereka jang berwatak komplex rendah diri, mereka jang tidak bisa menaruh kepertjajaan kepada anak didik sendiri (dan achirnja mereka jang tidak pertjaja pada diri sendiri).

Alhasil, saja meragukan perlunja seminar ini memakai embel2 “dalam rangka dies natalis UKSW jang ke XXX”.

Joss Wibisono, mahasiswa Fakultas Ekonomi 2180016 (Gita Kampus XIX, halaman 7)

Yang nyata dan yang lamunan

Tulisan Saudara Joss Wibisono, “Sebuah Seminar Berkelas” (Gita Kampus No. 19) terdiri dari dua unsur: unsur kenyataan dan unsur lamunan. Yang merupakan unsur kenyataan adalah:

Memang seminar tersebut merupakan seminar berkelas. Ada tiga kelas peserta di sana. Pertama: Peserta penuh yang terdiri dari pembawa makalah, pembahas dan peserta biasa. Mereka mendapat semua makalah yang ada, penginapan serta hak bicara. Kedua Peninjau resmi, yang mendapat makalah, dan boleh ikut minum kopi, tapi tak boleh ikut makan dan tak punya hak bicara. Ketiga Peninjau tak resmi, yang tidak punya hak apapun juga kecuali mendengarkan.

Memang elitis dan tidak adil. Tapi marilah kita lihat sejarah terbentuknya “kelas-kelas” ini.

Seminar ini, yang direncanakan sejak satu tahun yang lalu, mula-mula dimaksudkan sebagai seminar kecil yang diikuti oleh ahli-ahli saja. Kecil, supaya persoalan yang dibicarakan bisa mendalam dan bukan sekadar hura-hura saja.

Tapi kemudian timbul pikiran, sayang sekali alau para ilmuwan yang bertaraf nasional dan internasional ini tidak juga memberi manfaat bagi masyarakat kampus yang berminat, baik dosen maupun mahasiswa. Karena itu, di samping peserta, dibuka kesempatan untuk menjadi peninjau resmi. Supaya diskusi tidak terganggu, mereka tidak diberi hak bicara. Tapi mereka diberi hak minum kopi supaya bisa bicara secara pribadi dengan tokoh-tokoh ilmuwan yang ada. Untuk makan, sorry, biaya tidak cukup.

Ternyata, pendaftaran peninjau meledak. Banyak orang (terutama mahasiswa) yang mau ikut. Kami dari panitia merasa senang, di samping kecut. Senang karena bangga melihat perhatian yang begitu besar para mahasiswa UKSW terhadap masalah-masalah ilmu dan teknologi. Kecut, karena biaya sangat terbatas sehingga tidak mungkin kumpulan makalah yang tebalnya lebih dari 200 halaman itu dibagikan kepada mereka. Juga, kalau mereka diundang minum kopi bersama, ruang makan akan menjadi sesak. Bayangkan, peserta saja sudah lebih dari 50 orang, peninjau resmi 80 orang, dan masih banyak orang yang mau mendaftar.

Maka, panitia lalu membuka kesempatan untuk menjadi peninjau tidak resmi. Jumlahnya tak dibatasi, sepanjang loteng atas BU masih sanggup untuk menampungnya. Semua ini demi supaya seminar ini tidak menjadi eksklusif. Kesempatan dibuka seluas-luasnya untuk masyarakat kampus, meski dengan hak yang berbeda. Tentu saja panitia juga tidak ma menjadikan seminat ini sebagai pasar bebas di mana semua orang bisa bicara, ikut ngopi dan makan, serta masing-masing dapat memperoleh kumpulan makalah yang tebal. Biaya tak memungkinkan.

Sayangnya, ternyata dugaan panitia, tentang antusiasme mahasiswa UKSW terhadap ilmu dan teknologi meleset. Ternyata, para mahasiswa yang jumlah banyak ini hanya mau melihat (dan kalau bisa bersalaman atau potret besama dengan) Dr. Pratiwi Sudarmono saja. Segera setelah Pratiwi pulang, seminat menjadi sepi, dihadiri oleh “elit” kampus saja. (Saya pribadi cuma berharap supaya kumpulan makalah yang telah dibagikan kepada peninjau resmi yang sangat “entusias” itu tidak menjadi bungkus kacang di rumah). Tapi tak apalah, itu ‘kan merupakan konsekuensi dari sikap yang mau terbuka dan demokratis dari panitia.

Potret bersama dengan Pratiwi Soedarmono sadja

Unsur kedua dari tulisan Saudara Joss Wibisono, unsur lamunannya adalah kesimpulannya yang mengatakan bahwa pihak panitia mengidap rasa rendah diri, bahwa seminar ini “tjuma milik segelintir orang jang gemar berpamer diri dengan gagasan wah mereka seraja menjuruh orang lain jang diundang (tapi hanja datang dan mendengar) untuk bersorak-sorai menonton kehebatan mereka” sehingga hal ini “tidak lebih dari masturbasi ilmiah jang dilakukan di depan umum”. Tentang lamunan-lamunan ini, panitia tidak bisa berkata apa-apa. Bukankah melamun yang merupakan kegiatan asyik-masyuk sendiri tidak terlarang di kampus tercinta ini?

Arief Budiman a/n Panitia Seminar Iltek (Gita Kampus XX, halaman 3)

Emosi dan menulis

Lima tahun lalu, ketika kami jang sudah lulus akan meninggalkan SMA tertjinta, direktur SMA kami mengadakan pertemuan chusus. Tudjuannja sederhana sadja: memberi nasihat terachir sebelum kami hengkang.

Tidak banjak jang dinasehatkan, tapi itu semua benar2 ada manfaatnja. Salah satunja, jang belakangan saja sadar harus selalu diperhatikan adalah wanti2nja supaja kalau menulis surat tidak dalam keadaan marah. Kalau direktur kami mengatakan menulis surat, maka sebenarnja jang dimaksudkannja adalah menulis pada umumnja. Disebutnja menulis surat karena memang kami waktu itu baru bisa menulis surat, belum menulis jang lain.

Ternjata pesan direktur itu benar2 bermanfaat. Sebaiknja memang orang tidak menulis (apapun itu) ketika ia sedang marah. Menulis dalam kondisi marah tidak apa2, tapi djangan menundjukkan hasilnja pada orang lain, apa lagi mengumumkannja.

Saja sadar betapa nasihat ini berharga ketika membatja surat saja, jang saja kirim terbuka dalam Gita Kampus edisi no. 19. Dengan memasang djudul “Sebuah seminar berkelas”, saja memasukkan surat terbuka itu dalam kondisi dongkol, lantaran tidak diberi kesempatan bitjara dalam seminar. Di situlah saja merasakan betapa seminar itu tidak adil.

Djustru di situlah fatalnja, karena ketika saja membatjanja kembali, saja merasa telah membumbui kritik itu dengan kata2 kasar dan mungkin kedji; sehingga kritiknja tidak kelihatan. Saja sadar ini sebuah kesalahan. Dan sambil memohon pembatja supaja menganggap semua kata kasar jang ada pada surat saja itu tidak ada, saja djuga ingin mengenang pesan direktur SMA dulu. Betapa saja menghargai pesan beliau.

Joss Wibisono, mahasiswa Fakultas Ekonomi (Gita Kampus XX, halaman 3)

Ini debat keduaku dengan guru terkasih. Debat sebelumnja, dalem bentuk polemik, bisa disimak dengan mengklik ini.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.