Versi terdahulu ini esei jang ditulis dalem EYD diumumken sama Majalah Historia Online. Kalow gak dojan batja tulisan dalem Edjaan Suwandi, ja silahken klik MHO. Tjuman di situ gak lengkap dan tjonto2 karja musiknja djuga gak banjak.
Perupa Belanda Jasper de Beijer, 37 tahun, bikin kedjutan. Dia membuat lukisan Geert Wilders muda dalam tampang aslinja. Tampang asli? Ija, kerna ketika misih muda, usia awal 20an, Wilders belum berambut pirang seperti sekarang. Politikus anti Islam pemblonda rambut itu misih berambut warna kelam, sesuai latar belakang indischnja. Wilders, seperti kita tahu, memang punja nenek mojang jang berasal dari Hindia Belanda, tjikal bakal Indonesia. Djadi bisa dikataken sebenernja Wilders itu orang Indo, berdarah tjampuran Indonesia Belanda.
Jasper de Beijer mengaku selalu terpesona pada Wilders. Orang ini, kata Jasper pada koran Belanda de Volkskrant, selalu mengganggu gugat asal usul orang. Sebagai politikus anti Islam, Wilders memusuhi kaum pendatang jang beragama Islam. Di Belanda mereka kebanjakan berasal dari Turki atau Maroko. Kedjahatan seseorang misalnja, oleh Wilders selalu di-kait2kan dengan latar belakang etnis orang itu. Kalau Wilders sampai berkuasa, maka begitu ketahuan melanggar hukum, warga pendatang Turki dan Maroko itu pasti akan dideportasikannja, dipulangkan ke negeri asal. Di lain pihak, dengan memblonda rambutnja, Wilders sendiri djustru malah membuat kabur asal usulnja. Karena itu Jasper tergelitik untuk melukis Wilders jang misih asli, Wilders jang berambut kelam, bukan rambut pirang seperti sekarang.
Dan memang jang terlihat pada lukisan Jasper de Beijer adalah Wilders jang lebih alami. Bukan sadja karena rambutnja jang kelam, tapi terutama lantaran Jasper menampilkannja sebagai seorang pelukis jang sedang istirahat, tidak sibuk dengan kanvas atau kwasnja. Dalam tjatatan de Volkskrant, koran sedikit kiri jang dibentji Wilders dan PVV, partainja, Jasper de Beijer menampilkan Wilders sebagai perupa jang cool dan simpatik.
Tentu sadja itu tjuma edjekan sinis belaka terhadap Wilders. Mana mungkin politikus anti Islam jang lebih senang kalangan pendatang Maroko dan Turki hengkang dari Belanda itu bisa tampil simpatik? Belum lagi ketika ia harus menghadapi pegiat sektor seni jang memprotes niatnja mendukung rentjana pemerintah melakukan penghematan besar2an di sektor kesenian. Seni bagi Wilders dan PVV tjuma hobi kalangan kiri jang menghambur2kan anggaran negara.
Di sinilah makna sinisme jang ditjibirkan Jasper de Beijer. Sang perupa balik menggugat politikus sajap kanan Belanda, karena dia tak henti2nja mempermasalahkan asal usul orang, sementara, dengan memblonda rambut, Wilders sendiri djelas mengkaburkan asal usulnja.
Tapi, dalam soal pengkaburan asal usul ini, djangan dikira Wilders adalah tokoh pertama jang melakukannja. Dalam sedjarah paling sedikit ada dua tokoh jang lebih suka asal usulnja tidak diketahui orang. Dua orang itu adalah Adolf Hitler, der Führer, pemimpin besar Nazi jang berkuasa di Djerman sampai achir Perang Dunia Kedua; serta komponis Djerman Richard Wagner jang hidup antara tahun 1813 sampai 1883. Pasti ada tokoh2 lain jang djuga berbuat demikian, tapi Hitler dan Wagner lebih lajak dikedepankan kerna ideologi mereka memang paling deket pada ideologinja Wilders. Kejakinan politik Wagner dan Hitler, dengan kata lain, tidaklah terlalu djauh dari kejakinan politik Wilders.
Bagaimana bisa demikian? Bukankah Wilders sendiri selalu me-maksa2 supaja Al Qur’an dilarang, seperti djuga Mein Kampf, bukunja Hitler? Menurut pemimpin PVV ini, Al Qur’an djuga menjerukan kekerasan dan anti Jahudi, seperti Mein Kampf, satu2nja buku jang tidak boleh digandakan di Belanda. Bukankah lebih pantas disimpulkan Wilders anti Hitler, tokoh jang di Eropa dianggap perwudjudan angkara jang paling murka? Bagaimana Wilders bisa disedjadjarkan dengan Hitler?
Dalam soal mengkaburkan asal usul, Wagner memang berpeluang melakukannja. Maklum dia punja ajah biologis dan ajah legal. Keduanja bukan orang jang sama. Ajah legalnja memang bernama Carl Friedrich Wagner, sedangkan ajah biologisnja adalah Ludwig Geyer. Dalam akte kelahirannja tertera ia bernama Wilhelm Richard Wagner, tetapi sampai usia belasan tahun dia bernama Wilhelm Richard Geyer. Geyer adalah nama Jahudi dan ia memang dibesarkan di bilangan Jahudi Leipzig, kota kelahirannja. SDnja djuga sekolah Jahudi. Sekitar usia 15 tahun ia ganti nama mendjadi Wagner. Kelak, langkah ini terbukti penting dalam perdjalanan hidupnja.
Masalah asal usul Hitler lain lagi. Siapa sebenarnja kakek biologis Hitler dari pihak ajahnja? Tidak djelas, karena ajah Hitler lahir dengan nama ibunja, Schicklgruber. Ketidakdjelasan ini tak pernah terpetjahkan sampai sekarang, sehingga sempat menimbulkan banjak spekulasi. Salah satunja, nenek Hitler, jang bernama Maria Anna Schicklgruber dihamili oleh seorang pengusaha Jahudi, madjikannja.
Heboh soal siapa sebenarnja kakek Hitler ini berlangsung pada achir 1930, tidak sampai tiga tahun sebelum ia mendjadi der Führer. Waktu itu salah seorang saudara sepupunja sampai mengantjam akan membuka kemungkinan mengalirnja darah Jahudi dalam pembuluh si tjalon Führer. Memang achirnja ribut2 ini bisa dibungkam, tapi pada saat itu konon kabarnja Hitler sering sekali mendengar larik2 berikut ini (mulai 4:33) Nie sollst du mich befragen, noch Wissens Sorge tragen, woher ich kam der Fahrt, noch wie mein Name und Art.
Itu tadi tjuplikan opera Lohengrin tjiptaan komponis zaman romantis Djerman: Richard Wagner. Dalam larik tadi Lohengrin melarang Elsa, kekasihnja, untuk bertanja dari mana asal usulnja, siapa namanja serta seperti apa wataknja. Lohengrin djelas ingin menjembunjikan djati dirinja.
Hitler der Führer adalah penggemar berat opera2 Richard Wagner. August Kubizek, sahabat karib Hitler ketika masih umur belasan tahun, menulis betapa si tjalon Führer begitu gandrung pada Lohengrin, sampai2 dia hapal di luar kepala hampir seluruh sjair opera tiga babak dan berlangsung selama tiga djam lebih ini. Ketika selama beberapa bulan sempat tinggal sekamar dengannja di Wina pada tahun 1908, Hitler, dalam tjatatan Kubizek, sampai 10 kali menonton Lohengrin. Bagi kita, orang Indonesia, opera ini sebenarnja djuga tidak terlalu asing. Tjoba dengar jang ini (dimulai pada 3:31). Benar, ini musik pengantin jang banjak diperdengarkan, djuga di Indonesia, terutama di rumah2 gedongan, ketika jang kawin sudah tidak suka lagi musik tradisional. Dan memang musik itu adalah pengiring perkawinan Elsa dengan Lohengrin, dia jang tak mau membuka djati dirinja.
Sulit untuk dipungkiri: opera Lohengrin memang banjak mengandung melodi2 merdu peng-elus2 kuping. Jang mungkin tidak banjak diketahui orang adalah, dari opera inilah Hitler menimba kosa kata jang kemudian digunakannja ketika, bersama Nazi, berkuasa di Djerman seraja memprovinsikan negara2 Eropa lain. Seruan kemenangan Nazi Sieg Heil Sieg Heil berasal dari Lohengrin, pada adegan ketika, demi menjelamatkan Elsa, Lohengrin berhasil mengalahkan Friedrich von Telramund dalam duel dengan pedang. Radja Heinrich der Vögler mengizinkan duel itu, karena Friedrich von Telramund menuduh Elsa membunuh adiknja, Gottfried. Begitu Friedrich djatuh karena kerasnja hempasan pedang Lohengrin, paduan suara segera berteriak (mulai pada 0: 25) Sieg! Sieg! Sieg! Heil! dir, Held! Opera Lohengrin djuga disarati suasana nasionalistis Djerman jang kedengaran begitu kental, terutama di bagian depan. Jang lebih penting lagi, gelar Hitler: der Führer djuga diambil dari opera ini. Pada achir opera, ketika achirnja Lohengrin terpaksa membuka djati dirinja, ia djuga mengungkap siapa sebenarnja angsa jang selama ini selalu ditungganginja. Itulah Gottfried jang dalam sekudjur opera ditjari siapa saja, bahkan sampai Elsa, kakak Gottfried, kena tuduhan telah membunuh si adik. Ketika mengungkap ini Lohengrin menjanjikan larik berikut, (mulai 7:37 harap pasang telinga dan mata ketika penjanji tenor top Jonas Kaufmann menjanjiken kata Führer itu) “Seht da den Herzog von Brabant! Zum Führer sei er euch ernannt!” (Lihatlah sang Tumenggung Brabant! Ia akan mendjadi Führer kalian!). Tentu sadja Führer di sini berarti pemimpin atau penguasa dan bagi Hitler itu berarti penguasa mutlak Dritte Reich jang tak terbantahkan lagi.
Tapi djangan dikira kata Führer akan terdengar kalau menonton Lohengrin pada Bayreuther Festspiele, pentas paling sakral opera2 Wagner. Pada festival musim panas gagasan Wagner sendiri ini (dan bisa terlaksana berkat kotjek Raja Ludwig II jang setjara erotis begitu tertarik pada Wagner), sejak 1951, digunakan kata Schützer (pelindung). Apa pasal?
Itulah upaja bersih2 total jang dilakukan oleh dua tjutju Wagner, Wolfgang dan Wieland karena mereka tidak mau terbebani oleh fasisme. Maklum, pada zaman Nazi, ibu mereka, Winifred, pernah begitu dekat dengan sang Führer. Bahkan Hitler sempat mentjukongi Bayreuther Festspiele, meringankan padjak pertundjukan, chusus untuk festival ini, menjelamatkannja dari antjaman gulung tikar. Tapi ketika festival itu kembali buka setelah Perang Dunia Kedua, tahun 1951, semua djedjak fasisme dihapus, bahkan kata Führer-pun sampai ditjoret dari Lohengrin.
Makin rumtit sadja opera Lohengrin ini! Di atas pentas Lohengrin bisa sadja tidak ingin buka2. Tapi di altar tersutji Wagner, kata Führer ternjata sudah ditjoret. Rasanja Lohengrin sampai ber-kali2 mendjalani penjamaran. Masalahnja gelar Schützer, pelindung itu, sebenarnja sudah diterapkan pada Radja Heinrich der Vögler. Kenapa Schützer masih harus dipakai lagi untuk Gottfried? Bukankah dia sebenarnja penguasa Brabant? Penguasa djelas bukan pelindung!
Pelbagai keberatan itu tinggal sadja keberatan. Orang dengan akal sehat tampaknja tidak diundang masuk seluk beluk opera Lohengrin. Makanja djangan tergelak atau heran kalau mendengar njanjian Jonas Kaufmann, penjanji tenor paling top Djerman zaman sekarang. Ketika pada tahun 2009 untuk pertama kalinja tampil sebagai Lohengrin di pentas National Theater München, Herr Kaufmann masih menjanjikan kata Führer. Tetapi pada tahun berikutnja, 2010, ketika tampil di Bayreuther Festspiele, bibir dan kerongkongannja meluntjurkan kata Schützer (dimulai pada 7:27).
***
Lohengrin adalah salah satu dari 13 opera tjiptaan Wagner. Selain itu, komponis zaman romantis puntjak ini djuga menulis sebuah risalah jang terbit pada tahun 1850, tahun ketika Lohengrin dipentaskan untuk pertama kalinja di Hoftheater, Weimar. Risalah itu berdjudul Das Judenthum in der Musik, artinja kejahudian dalam dunia musik. Di sini Wagner menjerang komponis keturunan Jahudi seangkatannja, seperti Felix Mendelssohn Bartholdy [1809-1847] atau Giacomo Meyerbeer [1791-1864]. Mereka dituduh merusak kebudajaan Djerman.
Hitler jang terpesona pada Wagner termasuk pikiran2 anti Jahudinja, achirnja menulis buku terkenalnja Mein Kampf atau perdjuanganku. Kertas jang digunakannja untuk menulis di penjara itu diperolehnja dari Winifred Wagner. Di sini dia menjerang orang Jahudi jang disebutnja Untermensch, belum lagi manusia. Kita tahu pemikiran seperti ini achirnja berbuntut kerunjaman perang dunia dengan korban sampai enam djuta orang.
Walau begitu, di Eropa, benua jang mengaku tjikal bakal peradaban moderen, kebentjian kelompok tertentu terhadap orang asing (keturunan Jahudi pada zaman Hitler) ternjata masih djuga terus berlandjut. Sekarang, pada abad XXI ini orang asing itu tidak lain adalah para warga pendatang, di Belanda kebanjakan dari Turki atau Maroko. Menariknja di Belanda, eksponen pembentji warga asing itu ternjata bukan sepenuhnja Belanda asli. Dia punja asal usul di Indonesia.
Kalow sak sudahnja batja ini tulisan lalu djadi ngebet pengin lihat opera Lohengrin setjara komplit, maka silahken klik di sini. Tamtu azha jang dapuk djadi Lohengrin adalah Jonas Kaufmann sendiri, tjuman ini bukan versi Schützer jang nongol di Bayreuth. Ini versi Führer jang nongol di La Scala, Milano, Desember 2012
Rudjukan:
1. Ian Kershaw [1999], Hitler 1889-1936: Hubris, London: Penguin Books, ISBN 0-14-028898-8
2. Lizzy van Leeuwen “De politieke roots van Geert Wilders: Wreker van zijn Indische grootouders” dalam De Groene Amsterdammer No 36, Tahun 133, 4 September 2009. (halaman 22 – 27)
3. Charles Osborne [1992]: The Complete Operas of Wagner, A Critical Guide, London: Victor Gollancz Ltd. ISBN 0 575 05380.