Catatan awal: versi EYD kolom ini jang lebih pendekan telah diumumkan oleh MBM Tempo edisi 7 Desember 2009, halaman 68. Bisa diklik di sini. Blog Ivan Lanin djuga mengumumkannja.
Vienna atau Wina? Geneva atau Djenewa? Cheska atau Tjeko? China atau Tjina? Selama dua versi itu terus digunakan, diskusi mengenai nama2 asing ini tidak akan pernah selesai.
Uraian berikut datang dengan sudut pandang jang agaknja belum pernah digunakan. Itulah nasionalisme. Nasionalisme bahasa, persisnja.
Dengan katjamata nasionalisme bahasa, maka pertanjaannja mendjadi: kalau kita sudah punja Wina kenapa harus Vienna? Kalau kita sudah punja Djenewa buat apa Geneva? Kalau kita sudah punja Tjina (Tiongkok), kenapa China? Warga Wina menjebut kota mereka Wien (bahasa Djerman), warga Djenewa Genève (lafal: zhenèf, bahasa Prantjis), djelas tidak dalam bahasa Inggris. Lalu, kenapa kita harus pakai bahasa Inggris?
Merasuknja bahasa Inggris ke dalam bahasa kita lebih dalam lagi. Maklum kita suka pakai istilah jang kita kira bahasa Inggris, tapi ternjata tidak umum di negeri2 berbahasa Inggris.
Telpon genggam kita sebut HP, konon dari singkatan bahasa Inggris. Padahal bahasa Inggris menyebutnja mobile phone atau cellular phone. Telpon biasa sudah djarang disebut telpon sadja. Banjak orang sekarang menjebutnja fix phone. Menggelikan, karena telpon biasa dalam bahasa Inggris adalah land line.
Dalam buku kontroversial Detik-Detik yang Menentukan, B.J. Habibie menggunakan istilah “early primitive capitalistic dirty economy”, jang di-ulang2nja sampai tiga kali pada halaman 91 dan 92. Teman2 orang Inggris, Australia dan Amerika tidak tahu apa sebenarnja maksud sang bekas presiden, karena walaupun itu memang kata2 Inggris, tapi gabungannja belum pernah mereka dengar. Kenapa Habibie harus menggunakan bahasa Inggris? Inggris jang tidak umum lagi? Bukankah ia menulis untuk publik pembatja Indonesia?
“Bahasa Inggris” itu memang paling banjak digunakan pedjabat, anggota DPR atau tokoh masjarakat. Padahal seharusnja merekalah suri tauladan pengguna terbaik bahasa kita. Pedjabat dan anggota parlemen negara manapun selalu menggunakan bahasa mereka sebaik mungkin. Siapa lagi akan berbahasa Indonesia murni, tanpa tjampuran bahasa asing, kalau bukan kita sendiri: orang Indonesia?
Maka tampak betapa rendah nasionalisme kita dalam berbahasa. Ini menarik, karena untuk wilajah negerinja, orang Indonesia terkenal nasionalis, fanatik nasionalis bahkan. Dulu, ketika Timur Timur tjabut dari NKRI kita marah besar. Begitu pula ketika Mahkamah Internasional di Den Haag, pada bulan Desember 2002, menjerahkan Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Makin lantang sadja teriakan, “NKRI harga mati!”
Harga mati atau banting harga, gedjolak nasionalisme itu kempes belaka kalau kita tengok bahasa Indonesia. Dengan sengadja dan bahkan serakah orang Indonesia memasukkan bahasa Inggris ke dalam bahasanja. Bahkan untuk menjebut tempat2 asing kita sampai harus tunduk2 pada bahasa itu.
Tak pelak lagi: nasionalisme kita sekarang tjuma tinggal soal wilajah negeri sadja, bukan keindonesiaan kita jang lain, terutama bahasa. Padahal bahasalah keindonesiaan kita jang se-hari2, bahasalah keindonesiaan kita jang paling njata.
Seandainja Sipadan dan Ligitan kita pelihara pasti Malaysia tidak akan bisa masuk. Seandainja di Timor Timur tidak terdjadi pelanggaran HAM berat, wilajah ini bisa seperti Goa di India. Dulu India djuga menjerbu djadjahan Portugal itu. Tapi dunia internasional tidak pernah meributkannja, karena New Delhi memperlakukan penduduk Goa sebagai warga sendiri. Mereka tidak di-buru2, apalagi ditembak mati seperti warga Dili di makam Santa Cruz pada bulan November 1991. Goa, pendek kata, tidak diubah djadi rumah djagal, seperti Timur Timur di bawah orde bau dulu.

Kiranja djelas, bukan hanja wilajah2 tadi, bahasa kita djuga tidak kita rawat semestinja. Karena itu kita kehilangan wilajah dan bahasa Indonesia djuga makin terdjadjah bahasa asing.
Satu tjontoh lagi. Euro, mata uang bersama 16 (dari 27) negara Uni Eropa, kita lafalkan sebagai juro. Jelas lafal Inggris, sementara benuanja tetap kita sebut Eropa (bukan Jurop) dan Inggris sendiri djuga tidak memberlakukan euro, di sana tetap berlaku pound sterling. Kembali terlihat watak sebuah bangsa pandir jang tidak punja kebanggaan. Sesuai benuanja, euro djuga harus dilafalkan ero.
Peraturan edjaan Suwandi (berlaku antara 1952-1972) soal nama asing djauh lebih djelas. Nama asing selalu berangkat dari bagaimana si empunja nama menjebut diri sendiri. Oleh karena itu bagi bahasa Indonesia ibukota Tjeko adalah Praha, seperti sebutan orang Tjeko sendiri. Buat apa menjebutnja Prague (bahasa Inggris/Prantjis), atau Praag (bahasa Belanda)?
Di lain pihak, orang Tjeko menjebut negeri mereka Česká, tapi kenapa Pusat Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengedjanja Cheska? Penggunaan ch (seperti pada China) membangkitkan ketjurigaan: djangan2 ini rekaan jang, lagi2, berdasarkan bahasa Inggris. Padahal dalam bahasa Inggris Tjeko adalah Czech Republic. Dengan dalil sebutan si empunja nama, bagi kita jang benar adalah Makedonia, bukan Macedonia.
Bisakah sebuah undang2 menjelamatkan bahasa Indonesia dan, terlebih lagi, membangkitkan nasionalisme bahasa? Masalahnja bukanlah para pentjemar bahasa itu tidak tahu dan tidak mau, tapi mereka tidak punja kebanggaan pada bahasa sendiri. Bahasa sendiri dianggap lebih rendah dari bahasa asing, terutama bahasa Inggris (karena inilah satu2nja bahasa asing jang mereka ketahui dan, tong kosong berbunji njaring, mereka biasanja djuga tidak fasih berbahasa itu). Alhasil, jang pertama2 harus dihidupkan adalah kebanggaan pada bahasa sendiri. Berani taruhan itu tidak akan terwudjud hanja dengan sebuah undang2.
Betul, karena kita adalah bangsa dengan bahasa yang “masih seakan-akan” dan belum paripurna. Masih gamang dalam berproses…
Trims jach atas komentarnja. Aku punja pendapat gampang azha kok. Dalem soal bahasa orang Indonesia itu pandir kok. Pandir sama enggak punja kebanggaan pada bahasa sendiri.
Saya bukan penyuka bahasa Indonesia, tapi gemes juga kalau melihat salah ketik di koran2 berbahasa Indonesia. Contoh gampangnya: “Ayah, ibu, dan kakak.” Itu yg benar menurut tatabahasa yg paling mutakhir (setahu saya). Tapi tanda koma kedua sering dihilangkan.
Terima kasih Anda telah memberikan perspektif baru bagi saya dalam kesalahan berbahasa Indonesia yg baik dan benar.