“Keprihatinan bahasa Benedict Anderson” oleh Joss Wibisono

Versi awal tulisan ini terbit sebagai kolom pada mingguan Tempo edisi 27 desember 2015 (halaman 131), versi berikutnja nongol sebagai lampiran dalam atjara mengenang Ben Anderson jang diselenggarakan di TIM, Djakarta, tanggal 22 djanuari 2016. Keduanja dalam djudul jang ber-beda2. Karena masih ada sadja gagasan lain, sementara dua kesempatan di atas membatasi pandjangnja tulisan, maka inilah versi ketiga. Paling sedikit beginilah aku memahami bagaimana  Oom Ben memprihatini bahasa Indonesia. Salah satu tjiri chas mendiang Benedict Anderson jang mungkin mendjadikannja terkenal di kalangan generasi muda adalah penolakannja setjara konsisten untuk menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan, EYD. Mingguan Tempo edisi achir tahun 2001 … Lanjutkan membaca “Keprihatinan bahasa Benedict Anderson” oleh Joss Wibisono

“‘Mendengar’ Surga Sungsang” oleh Joss Wibisono

Inilah resensi pertama sebuwah novel jang pernah kutulis. Tentu sadja ini djuga novel pertama penulisnja. Versi lain resensi ini nongol di koran Suara Merdeka (dulu De Locomotief), edisi 30 Maret 2014, halaman 24 bawah. Klow mingsih ada azha kalangan jang gak betah batja tulisan dalem Edjaan Suwandi, dia bisa ngeklik ini untuk batja versi EYD-nja. Membatja Surga Sungsang, novel perdana Triyanto Triwikromo, laksana mendengar sebuah karja musik serius dan besar — dipentaskan bersama oleh orkestra Barat, seperangkat gamelan (sléndro maupun pélog) dan, tak ketinggalan, sekelompok paduan suara besar. Dua hal begitu menondjol dalam Surga Sungsang sehingga kita terdorong mengkaitkannja dengan … Lanjutkan membaca “‘Mendengar’ Surga Sungsang” oleh Joss Wibisono

“Melajoe Belanda” oleh Joss Wibisono

Versi lain (dan dalem EYD) nongolnja di Tempo edisi 2 September 2013 Sungguh tak terduga kolom saja “Bahasa Nasional” (Tempo, 29 Djuli-4 Agustus 2013) mendapat tanggapan kalangan akademis! Dosen UI, Kasijanto Sastrodinomo dalam kolom berdjudul “Satu Bangsa Satu Bahasa” (Tempo 19-25 Agustus 2013) membenarkan pendapat saja. Pendapatnja jang simpatik terbatja sebagai adjakan untuk berbalas pantun. Berikut sekedar “pantun balasan” itu. Dalam “Bahasa Nasional” sudah saja djelaskan pendirian penguasa kolonial Belanda dulu bahwa bahasanja hanja untuk kalangan elit dan tidak untuk kaum inlanders, bumiputra tanah djadjahan. Djuga bagaimana pendirian ini merupakan kelainan kalau dibanding pendjadjah Eropa lain. Berikut saja berniat untuk … Lanjutkan membaca “Melajoe Belanda” oleh Joss Wibisono

“Saling serap Indonesia Belanda” oleh Joss Wibisono

Catatan awal: pelbagai tulisan yang menguraikan serapan kata-kata Belanda ke dalam bahasa Indonesia selalu bersikap sepihak: tidak menguraikan bahwa bahasa Indonesia (mereka sebut het Maleis, bahasa Melajoe) sebenarnya juga diserap oleh bahasa Belanda. Inilah yang dicoba diuraikan dalam esei berikut. Serapan itu biasanya memang selalu dua pihak. Versi sedikit lain tulisan ini pernah terbit di Tempo. Partai politik pertama di Nusantara adalah Indische Partij jang pada tahun 1911, di Bandung, didirikan oleh Ernest Douwes-Dekker (Setiabudi Danudirdja), Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Suryaningrat. Kata bahasa Belanda partij selandjutnja kita serap ke dalam bahasa Indonesia mendjadi partai. Karena itu sekarang ada Partai Keadilan … Lanjutkan membaca “Saling serap Indonesia Belanda” oleh Joss Wibisono

“Politik Bahasa dan Mentalitas VOC” oleh Joss Wibisono

Versi lain esei ini pernah terbit di Mingguan Tempo Edisi 23 Djanuari 2012. Djuga diambiil alih oleh blog rubrik bahasa milik Ivan Lanin Serasa ada sesuatu jang terlewat pada setiap bulan bahasa, sebagai bagian ritual mengenang heroiknja Soempah Pemoeda. Itulah mengadjukan dan berupaja mentjari djawaban terhadap sebuah pertanjaan jang tidak kalah pentingnja: mengapa pendjadjah Belanda dulu tidak mewadjibkan kita berbahasa mereka? Bukankah di Filipina Spanjol memberlakukan bahasa mereka, seperti djuga Portugal di Timor Lorosa’e dan Prantjis di Indochine, sekarang Vietnam, Kambodja dan Laos? Kekuatan kolonial Eropa jaitu Inggris, Prantjis, Spanjol dan Portugal memang selalu membuat wilajah djadjahan mereka djuga berbahasa … Lanjutkan membaca “Politik Bahasa dan Mentalitas VOC” oleh Joss Wibisono

“Nasionalisme: Kini Giliran Bahasa” oleh Joss Wibisono

Catatan awal: versi EYD kolom ini jang lebih pendekan telah diumumkan oleh MBM Tempo edisi 7 Desember 2009, halaman 68. Bisa diklik di sini. Blog Ivan Lanin djuga mengumumkannja. Vienna atau Wina? Geneva atau Djenewa? Cheska atau Tjeko? China atau Tjina? Selama dua versi itu terus digunakan, diskusi mengenai nama2 asing ini tidak akan pernah selesai. Uraian berikut datang dengan sudut pandang jang agaknja belum pernah digunakan. Itulah nasionalisme. Nasionalisme bahasa, persisnja. Dengan katjamata nasionalisme bahasa, maka pertanjaannja mendjadi: kalau kita sudah punja Wina kenapa harus Vienna? Kalau kita sudah punja Djenewa buat apa Geneva? Kalau kita sudah punja Tjina … Lanjutkan membaca “Nasionalisme: Kini Giliran Bahasa” oleh Joss Wibisono

“Otoritas Bahasa: Perlukah?” oleh Joss Wibisono

Dèngen ini tulisan aku solider sama Eko Endarmoko jang didzolimi Pusat Bahasa karena karjanja Tesaurus Bahasa Indonesia didjiplak oleh lembaga taik kutjing itu. Versi jang agak berbeda diterbitkan oleh Tempo dalam rubrik bahasa, kemudian djuga diumumkan oleh blog rubrik bahasa milik Ivan Lanin. Seperti biasa, untuk blog, ini tulisan ditampilken dalam edjaan jang belon disempurnaken sama orde baunja engkong harto. Kalow ada jang lebih suka atow lebih terbiasa sama edjaannja si engkong, dipersilahken batja versi jang diumumkan Tempo. Pusat Bahasa, satu2nja otoritas bahasa kita, terdjerembab dalam kontroverse karena dituduh mendjiplak Tesaurus Bahasa Indonesia karja Eko Endarmoko. Tulisan ini mengadjak pembatja … Lanjutkan membaca “Otoritas Bahasa: Perlukah?” oleh Joss Wibisono