Salah satu daja tarik Amsterdam jang menjebabkan saja pada achir 1987 berkeputusan mendjadi penduduknja adalah amburadulnja situasi ibukota Belanda ini. Berlainan dengan Hilversum misalnja, kota tempat Radio Nederland bermarkas (waktu itu saja kerdja untuk seksi Indonesia), di Amsterdam lampu merah tidak berarti orang benar2 dilarang menjeberang djalan. Kalau memang sudah tidak ada hambatan, katakan sadja sudah tidak ada lagi mobil jang lalu lalang, maka walau pun lampu masih merah, warga Amsterdam pasti akan njelonong menjeberang djalan.
Selain itu, di Amsterdam djuga terdapat banjak sekali tjoretan dinding jang disebut grafitti. Banjak matjam tjoretan dinding di Amsterdam, tetapi jang saja sukai adalah jang berkaitan dengan Indonesia. Salah satu grafitti jang pernah digoreskan di tembok dekat Universiteit van Amsterdam berbunji: “Soeharto Moordenaar!” artinja, “Soeharto Pembunuh!” Tokoh Petisi 50 Chris Siner Key Timu, waktu berkundjung ke Amsterdam tahun 1995 sempat minta dipotret di depan grafitti itu.

Kemudian masih ada lagi tjoretan “Welkom Poncke!” artinja “Selamat datang Poncke!” jang digoreskan pada salah satu tembok di bilangan Amsterdam selatan. Pentjoretnja djelas menjambut kedatangan Poncke Princen, aktivis hak2 asasi manusia Indonesia keturunan Belanda di tanah kelahirannja. Ada kalangan di Belanda, kebanjakan mapan dan konservatif (biasanja tinggal di Amsterdam selatan), jang tidak setudju Poncke Princen bertandang ke tanah kelahirannja. Mereka tetap menganggapnja sebagai pengchianat bangsa, karena dahulu, semasa perang kemerdekaan, ia memutuskan untuk berbalik memihak Indonesia.

Waktu mulai bermukim di Amsterdam pada achir tahun 1987, sebagai seseorang jang berasal dari dunia ketiga, saja berpendapat bahwa karena amburadulnja, karena banjak tjoretannja, pendek kata karena berbagai ketidakteraturannja, maka Amsterdam tidak lebih dari kota dunia ketiga lainnja. Kota seperti inilah jang, paling sedikit bagi saja, menarik untuk ditinggali. Terus terang, saja tidak akan betah tinggal di kota jang rapi teratur, jang penduduknja manis2, pendek kata kota jang tidak bermasalah. Tinggal di kota steril sematjam itu djelas tidak inspiratif dan tjepat membosankan.

Kini setelah tiga dekade lebih mendjadi penduduknja, saja tidak pernah menjesal tinggal di Amsterdam. Keputusan jang saja ambil waktu itu terbukti tepat sekali. Amsterdam, seperti jang dikatakan oleh mendiang Schelto Patijn, walikotanja dari tahun 1994 sampai 2001, bukanlah murid jang paling alim, dan djuga tidak akan pernah mendjadi murid jang paling alim di kelas. Di tengah ketidakteraturan itu, seorang penduduknja seperti saja ternjata bisa beladjar banjak.
Peladjaran pertama sekaligus kedjutan jang menjenangkan adalah demonstrasi. Pada setiap achir pekan, sabtu atau minggu, di Dam, salah satu pusat kota Amsterdam, selalu sadja ada demonstrasi. Ini kedjadian istimewa buat saja. Maklum, waktu itu saja datang dari Indonesia jang tidak mengenal protes, demonstrasi, undjuk rasa atau kegiatan2 sematjam itu. Indonesia pada 1987 djelas sangat berbeda dengan Indonesia zaman sekarang. Waktu masih bermahasiswa, pada tahun 1980an itu, kami dilarang protes, karena kehidupan kampus, oleh Menteri P dan K Daoed Joesoef, sudah dinormalkan. Dengan begitu ketika untuk pertama kalinja menjaksikan demonstrasi para polisi Amsterdam, saja terbelalak kaget. Polisi jang biasanja mengamankan demonstrasi supaja tidak disusupi provokator, kok malah djustru berdemonstrasi?

Ternjata di Amsterdam (dan Belanda umumnja), demonstrasi merupakan hak siapa sadja, bahkan tak berlebihan kalau dikatakan bahwa untuk Amsterdam demonstrasi merupakan kedjadian rutin pada tiap achir pekan. Ada sadja alasan kenapa penduduk Amsterdam, persisnja penduduk Belanda pada umumnja, berdemo. Mulai dari protes terhadap kebidjakan parkir pemda sampai pada protes terhadap terpilih kembalinja Soeharto sebagai presiden Indonesia untuk masa djabatan ketudjuh, pada bulan maret 1998. Waktu itu, sekelompok orang berdemonstrasi siang malam di alun2 Dam, pada malam hari mereka njalakan lilin dan obor untuk menjemarakkan protes.
Peladjaran kedua adalah lalu lintasnja. Tadi sudah saja sebut bahwa bagi warga Amsterdam, lampu merah bukan berarti hambatan untuk tidak menjeberang djalan. Di sini tersirat bahwa lalu lintas Amsterdam tidak seramai lalu lintas berbagai ibukota negara lain di dunia ini. Dan bisa dipastikan bahwa lalu lintas Amsterdam tidak seramai lalu lintas Djakarta. Kenapa demikian? Mungkin karena memang Amsterdam ketjil, penduduknja sadja tidak sampai sedjuta orang.

Alasan lain adalah sistem lalu lintasnja. Di Amsterdam jang disebut djalan umum memang diperlakukan sebagai djalan umum pula, artinja jang meradjai djalanan itu adalah kendaraan umum dan bukan kendaraan pribadi. Djadi, kalau anda sempat ber-djalan2 di Amsterdam, terutama di pusat kotanja, maka akan terlihat di tengah djalan tjuma tram atau bis jang berlalu-lalang. Kendaraan atau mobil pribadi tjuma boleh menggunakan djalur pinggir djalan, itu pun masih harus berbagi dengan sepeda jang djuga punja djalur chusus. Djadi djalan jang bisa dilalui mobil memang sangat terbatas. Pusat kota Amsterdam jang sarat dengan berbagai gedung megah bersedjarah hampir mustahil didatangi dengan mobil. Makanja, kalau keliling Amsterdam sebaiknja tidak berkendaraan mobil, kendaraan umum atau sepeda akan lebih tjepat membawa kita ke mana2.
Peladjaran ketiga jang saja dapatkan dari Amsterdam berkisar pada café atau kedai kopinja. Di Amsterdam terdapat banjak matjam café, tetapi jang bagi saja sangat menarik adalah berbagai grand café atau café besar. Selain untuk makan dan terutama minum, orang datang ke grand café untuk membatja, berkentjan, berdiskusi, berdebat sampai bertengkar. Diskusi inilah jang menjemarakkan suasana grand café. Diskusi dan debat tidak dilakukan setjara terpusat, tetapi pengundjung biasanja berkelompok dalam membahas topik2 tertentu. Dan topik itu banjak sekali matjamnja, mulai dari tjuatja, penampilan karja seni, pameran lukisan sampai pemilihan daerah dan pemilihan umum.
Jang menarik adalah, selesai berdemonstrasi tidak djarang para demonstran kemudian masuk grand café, memperdebatkan hasil demonstrasi mereka. Grand café pendek kata merupakan tempat mangkal ideal. Dan tidak mengherankan kalau dahulu, pada awal tahun 1930an, Soetan Sjahrir sering pula bertandang ke grand café, berdiskusi dengan rekan2nja anggota Partai Sosialis Belanda. Dalam biografi Sjahrir bisa dibatja bahwa sewaktu menetap di Amsterdam selama tiga tahun, dari tahun 1929 sampai tahun 1931, salah satu bapak bangsa Indonesia ini merupakan pengundjung tetap Café Americain, sebuah grand café dengan bangunan gaja Art Deco di Leidseplein, salah satu pusat keramaian Amsterdam. Café Americain bukan termasuk café kesukaan saja, tetapi sekali masuk ke situ, dengan tudjuan napak tilas djedjak2 Soetan Sjahrir di Amsterdam, saja tiba2 berpikir, djangan2 gagasan untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dulu djuga lahir di grand café ini.

Itu semua terdjadi pada abad lalu, abad ke 20. Untuk abad ke 21 ini saja tidak akan terkedjut kalau topik diskusi di salah satu grand café Amsterdam djustru sama sekali berbeda, bahkan berlawanan dengan topik jang dulu dengan penuh semangat dibahas oleh Soetan Sjahrir. Melihat perkembangan zaman, bukanlah hal jang mustahil, paling sedikit bagi saja, kalau pada salah satu grand café Amsterdam kini dibahas berachirnja Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI. Sebab, setelah Sjailendra, Sriwidjaja, Madjapahit, pendjadjahan Portugal, pendjadjahan Belanda, pendjadjahan Djepang, sangat tidak masuk akal untuk berpendapat bahwa NKRI adalah bentuk achir jang tidak akan ber-ubah2 lagi.
Pertama kali ditulis pada musim panas 2008