Tjatatan pengantar: Ini tulisan lama, ditulis tak lama setelah Tien Soeharto mendadak meninggal dunia. Versi bahasa Belandanja (dengan djudul “Tien Soeharto: ongeluksvrouw, geluksvrouw en mysterieuze krachtvrouw”) diterbitkan oleh Indonesië en Oost-Timor Feiten en Meningen Jaargang 19 nummer 2/3 juni-augustus 1996, halaman 7.
Oh ja, djangan lupa untuk djuga membatja buku saja jang menguraikan tjorak kekuwasaan Soeharto. Klik ini untuk melihat situs bukunja. Dan klik ini untuk pesan buku itu pada penerbitnja.
Sudah banjak analisa ditulis tentang meninggalnja Tien Soeharto, termasuk pertanjaan apakah Soeharto akan melandjutkan kekuasaannja ketika tahun depan masa djabatannja jang keenam akan berachir. Semua analisa itu bersifat spekulasi belaka, karena sistem politik Indonesia jang tertutup tidak memungkinkan analisa jang lebih masuk akal.

Spekulasi jang belum banjak dilakukan adalah membahas kematian Tien Soeharto dalam tjara kedjawèn, atau tradisi Djawa. Dirk Vlasblom dalam laporannja untuk harian NRC Handelsblad edisi 29 April 1996 men-tjoba2 berspekulasi menggunakan adat Djawa. Katanja, “Javanen van oude stempel zagen in haar Soeharto’s tumbal, een person met bijzondere gaven die het ongeluk kan afweren.” (Artinja: Orang Djawa tradisional menganggap Tien sebagai tumbalnja Soeharto, jaitu seorang dengan bakat luar biasa jang bisa menolak bala). Spekulasi ini tidak tepat, karena kata tumbal bukan berarti sebagai “persoon met bijzondere gaven die het ongeluk kan afweren.” (Artinja: orang dengan bakat luar biasa jang bisa menolak bala). Kata tumbal adalah korban jang diperlukan supaja jang mengorbankannja memperoleh imbalan, biasanja dalam bentuk kekajaan atau kekuasaan. Tien djelas tidak dikorbankan oleh suaminja. Tien Soeharto adalah sumber kekuasaan suaminja. Oleh karena itu, tidak djelas konsep Djawa apa jang dimaksud dan ingin dipakai oleh Dirk Vlasblom. Mungkin djimat atau adjimat, tapi djimat ini kebanjakan berbentuk benda keramat, misalnja keris, tombak, panah atau pusaka (jaitu barang bertuah) lainnja. Djimat berfungsi untuk menangkis berbagai matjam mala petaka. Sebagai orang Djawa jang menganut Kedjawèn (kepertjajaan Djawa) Soeharto djelas memiliki pusaka2 itu. Lalu, di mana peran istrinja?

Di lain pihak masih ada kata sakti atau kasektèn, kesaktian dalam bahasa Indonesia. Definisi Dirk Vlasblom, “een persoon met bijzondere gaven die het ongeluk kan afweren” (artinja orang dengan bakat luar biasa sehingga bisa menolak bala) adalah definisi jang paling tepat untuk kata kasektèn. Tetapi orang jang memiliki kasektèn ini tidak bisa begitu sadja berkuasa. Kasektèn, dengan kata lain, tidak mendatangkan kekuasaan. Lebih dari itu, kenjataan bahwa Soeharto sudah berkuasa selama 30 tahun lebih tidaklah tjukup kalau hanja didjelaskan dengan konsep2 tumbal, djimat dan kasektèn ini. Dengan begitu kini harus ditanjakan, bagaimana Soeharto bisa berkuasa, dan terus2an berkuasa sampai 30 tahun lebih? Di sinilah peran istrinja akan mendjadi penting.
Dan di sini pula kita sampai pada konsep Djawa lain jaitu wahju. Wahju adalah kekuatan gaib jang dimiliki oleh seseorang supaja bisa berkuasa. Djadi djelas wahju ini lebih besar tuahnja ketimbang tumbal, adjimat atau kasektèn. Menurut kepertjajaan Djawa, Soeharto berkuasa karena istrinja memiliki wahju. Tien Soeharto memperoleh wahju itu karena ia adalah keturunan Pangeran Sambernjowo, jang setelah mendjadi radja Mataram, Radja Solo, bergelar Mangkunegara I. Orang Djawa djuga pertjaja bahwa sebagai seorang perempuan, Tien Soeharto tidak bisa berkuasa sendiri, wahju jang diperolehnja itu harus didjalankan oleh seorang pria, oleh suaminja.
Menurut Benedict Anderson, dalam tradisi Djawa, kekuasaan itu riil dan djumlah kekuasaan dalam alam semesta itu tetap, tidak ber-ubah2. Karena Tien Soeharto sudah meninggal maka wahju jang semula dimilikinja kini mendjadi tjair, lepas dan tersedia kembali di djagad raja. Melalui ritual tertentu orang lain akan bisa memperoleh wahju jang sudah lepas dari tubuh Tien Soeharto. Oleh karena itu, orang Djawa pertjaja bahwa sebagai duda, Soeharto sekarang berkuasa tanpa wahju. Ini djelas berbahaja karena se-waktu2 ia bisa kehilangan kekuasaan itu, terutama apabila muntjul orang lain jang “dihinggapi” wahju jang sekarang sudah lepas dari tubuh istrinja.
Apakah kalau begitu putri sulung keluarga Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, Tutut, akan bisa memperoleh wahju ini? Tentu setelah ia mendjalankan ritual Djawa tertentu. Jang djelas Tutut bukanlah ibunja, ia anak, bukan istri Soeharto. Ia djuga bukan keturunan Pangeran Sambernjowo, dan sebagai anak Soeharto jang keturunan petani, ia tidak berdarah bangsawan (orang Djawa adalah patriachat). Oleh karena itu, mustahil Tutut bisa menggantikan ibunja.

Sebagai penutup masih ada soal tumbal. Adakah Soeharto mengorbankan seseorang untuk kekuasaannja? Orang Djawa pertjaja akan hal ini: Soeharto memang mengorbankan seseorang demi “memelihara” kekuasaannja. Itulah Hutomo Mandala Putra jang lebih dikenal sebagai Tommy Soeharto, salah seorang anak laki2nja jang kini mendjadi konglomerat. Tommy tidak boleh kawin, karena kalau ia kawin maka ajahnja akan kehilangan kekuasaan.
Sekali diperoleh, wahju memang harus dipelihara, dan pemiliharaan itu dilakukan melalui tumbal, dengan mengorbankan seseorang. Lebih dari itu, kekuasaan dalam tradisi Djawa selalu berbentuk riil, djadi harus ada adjimat tertentu jang mewujudkan kekuasaan itu. Begitu memiliki wahju, mengundjukkan tumbal dan memiliki adjimat, maka seseorang jang berkuasa pasti djuga memiliki kasektèn.
Setelah membatja tulisan ini djangan lupa membatja djuga buku saja: Saling Silang Indonesia Eropa. Silahken pesan pada penerbitnja: Marjin Kiri