“Menelusur Djedjak Adinda” Oleh Henk Mak van Dijk

Ini esai aku jang bikin terdjemahannja. Klow gak betah batja tulisan dalem edjaan Soewandi, silahken klik di sini untuk versi edjaan orde baunja, alias EYD.

Eduard Douwes Dekker dan naskah novelnja »Max Havelaar«
Eduard Douwes Dekker dan naskah novelnja »Max Havelaar«

Eduard Douwes Dekker baru berusia 18 tahun tatkala dia, pada tahun 1839, tiba di Batavia bersama ajah dan kakaknja. Berkat djaminan sang ajah, dia bisa bekerdja sebagai amtenar tak bergadji tetap pada Algemeene Rekenkamer, lembaga keuangan penguasa kolonial jang antara lain menghitung batig slot, jaitu keuntungan kolonial jang dibawa “pulang” ke Belanda. Prestasi kerdjanja baik, sehingga ia tjepat naik pangkat. Tetapi dalam posisi tweede commies, dengan tugas melakukan penghitungan itu, Eduard sering bosan jang sebenarnja timbul lantaran masalah lain. Kehidupan hura2 para sinjo Belanda di Batavia jang berkisar pada dansa dansi, main kartu dan biljar semalam suntuk termasuk banjak patjar, melatarbelakangi kebosanannja. Tidaklah mengherankan kalau kantong Eduard selalu kosong. Atas permintaan sendiri dia dipindah ke Sumatra Barat. Sebenarnja pemindahan djuga merupakan tjara gubermen menangani klerek jang dianggap mendjengkelkan.

Achir 1842 Eduard pindah ke Padang. Pada usia 22 tahun itu dia diangkat sebagai controleur tweede klasse (kontrolir kelas dua) di Sumatra Barat. Dalam djabatan itu ia merupakan orang Belanda tertinggi di Natal, sebuah daerah terpentjil di sebelah utara Padang, jang sebenarnja masih belum begitu aman. Maklum, baru setahun sebelumnja penguasa kolonial memadamkan pemberontakan Padri. Pada suatu hari ia bertemu Si Oepi Keteh, seorang gadis Atjeh berusia 13 tahun jang kelak dalam roman Max Havelaar dilukiskannja sebagai “tjinta pertamaku jang paling dalam.” Dalam novel bersedjarah itu Si Oepi tampil sebagai figuran jang mendengarkan tjerita tentang seorang pemahat Djepang. Bisa djadi adegan ini melukiskan Eduard sendiri jang menuturkan sebuah tjerita kepada Si Oepi. Tjerita itu karja W. R. Van Hoëvell, diumumkan oleh berkala Tijdschrift voor Nederlands-Indië.

Dari penuturan Mimi, istri kedua Eduard Douwes Dekker, bisa disimpulkan bahwa Si Oepi memang istri pertamanja. Si Oepi adalah anak seorang pemuka masjarakat Atjeh, pemilik perkebunan lada. Hubungan asmara Eduard dengan Si Oepi memang meluangkan beberapa penafsiran. Jang djelas, pada zamannja, usia Si Oepi jang 13 tahun tidak merupakan masalah. Tetapi dengan memilih putri seorang pemuka masjarakat Atjeh, Eduard tidak bisa berdiri di atas semua pihak, demikian anggapan pemerintah kolonial. Si Oepi punja arti penting bagi Eduard. Ia memanggilnja “Clio”, “pudjaan penulisan sedjarah” atau “nama harum” atau djuga “epos” (kisah kepahlawanan). Eduard djuga menjimpan segenggam rambut Si Oepi. Maka djelaslah, selama menetap di Natal, Si Oepi merupakan njai Eduard. (Ketika masih di Belanda, Eduard pernah djatuh tjinta pada Caroline Versteegh. Tapi ajah Caroline tidak mengizinkan anak gadisnja kawin, bagi Eduard djelas tjinta pertama itu telah tak terdjangkau lagi).

Pada bulan September 1843 Eduard Douwes Dekker diminta menghadap Gubernur Sumatra Barat Andreas Victor Michiels. Dikiranja bakal dapat promosi, tapi Eduard salah duga. Dia ditegur karena dianggap telah menjebabkan membengkaknja pengeluaran pemerintah, dan Eduard dilarang meninggalkan Padang. Uang saku bulanannja dipotong, bahkan pada awal 1844 dia dinonaktifkan. Si Oepi ikut, mereka hidup bersama di Padang. Periode Padang ini merupakan awal masa konflik, kemiskinan dan antjaman pengadilan selama ber-bulan2. Tentang masa ini ia menulis surat permohonan kepada Gubernur Djenderal di Batavia, “Pada tanggal 10 Agustus saja sudah menjerah mati, mati kelaparan Jang Mulia. Selama tiga hari tiga malam saja tidak makan! Seorang Tionghoa jang pernah saja tolong menemukan saja dan memberi saja makan!” Walaupun memang seseorang tidak akan mati setelah tiga hari tiga malam tidak makan, Dik van der Meulen, penulis biografi Eduard Douwes Dekker beranggapan keadaan sebenarnja lebih gawat lagi ketimbang jang tertera dalam Max Havelaar.

Baru pada bulan September 1844 kehidupan sengsara ini berachir ketika keluar keputusan Raad van Justitie (Dewan Justisi) Padang jang menjidik kasus ini. Dewan menjatakan tidak berwenang menangani masalah ini, tapi itu bukan berarti Eduard dibebaskan. Untungnja, status non aktifnja ditjabut dan sampai achir tahun dia tetap digadji. Ia kemudian pindah ke Batavia, perpisahan dengan Si Oepi tak terhindari lagi. Eduard waktu itu berusia 24 tahun. Mulailah zaman baru baginja. Ia berkenalan dengan Barones Everdine van Wijnbergen, seorang perempuan bangsawan. Pada Agustus/September 1845 mereka bertunangan.

Ini semua tertera pada biografi istimewa Multatuli, karja Dik van der Meulen, berdjudul Multatuli: Leven en werk van Eduard Douwes Dekker (Multatuli: hidup dan karja Eduard Douwes Dekker). Buku ini antara lain menelusur kemungkinan kaitan antara fiksi dan kenjataan hidup Eduard Douwes Dekker. Hanja satu kisah jang oleh Van der Meulen dianggap murni fantasi, tidak berakar pada kehidupan Eduard dan tjerita itu sekarang sangat terkenal. Itulah kisah Saïdjah dan Adinda. Tapi benarkah demikian?

Saja punja pendapat lain, tentu sadja tetap berdasarkan kenjataan jang sudah diungkapkan oleh biograf Dik van der Meulen. Inilah kisah hidup seorang pria belia, seorang pemuda penuh gelora tjinta jang bertemu gadis berusia 13 tahun, mungkin sadja dia berhubungan intim untuk pertama kalinja dengan si gadis. Gadis jang disebutnja sebagai pudjaan hati, jang potongan rambutnja disimpan, djuga gadis jang ditjeritai isi madjalah Belanda, gadis jang mendampinginja ke kota besar, ketika Eduard mendjalani bulan2 sulit penuh tjobaan.

Thema kematian serasa menjeruak. Di Padang Eduard sudah “menjerah mati.” Ini sepertinja tidak begitu djauh dari utjapan Adinda “Entah di mana aku akan menemui adjal.” Saja tak bisa sampai pada kesimpulan lain ketjuali bahwa sosok Adinda sendiri sebenarnja djuga berakar pada gedjolak hidup Eduard Douwes Dekker, di Sumatra. Adinda tidak lain adalah Si Oepi sendiri, putri seorang pemuka Atjeh! Dan memang banjak gadis lain bernasib mirip Si Oepi, seperti dikisahkan sendiri oleh Multatuli. Di permukaan, sebagai figuran dalam Max Havelaar, Si Oepi tampil sebagai “pendengar jang setia”. Tapi sebenarnja dia memegang peran utama sebagai Adinda. Djelas peran jang fantastis bagi Si Oepi, gadis pribumi berusia 13 tahun.

—Djogjakarta 14 Agustus 2011 (alih bahasa Joss Wibisono)

 

Ini versi aslinja (bahasa Londo):

Adinda is Si Oepi

Eduard Douwes Dekker was achttien toen hij samen met zijn vader en broer in Batavia aankwam. Onder borgstelling van zijn vader kon hij dienst nemen als onbezoldigd ambtenaar bij de Rekenkamer. Dat deed hij goed en hij klom al snel op tot tweede commies. Toch verveelde het baantje hem, en daarbij speelden andere zaken. Het vrolijke leven van jonge mannen in Batavia met zijn dansfeesten, kaartavondjes, biljartspel en maîtresses eiste vaak zijn tol. Ook bij Dekker was er sprake van aanhoudend geldgebrek. Op eigen verzoek werd hij overgeplaatst naar Sumatra’s Westkust. Dergelijke overplaatsingen waren overigens een bij het Gouvernement gebruikelijke oplossing voor het verwijderen van lastige klerkjes.

Najaar 1842 vertrok Eduard naar Padang. Hij was toen tweeëntwintig jaar oud en aangesteld als controleur tweede klasse op West-Sumatra. Natal werd zijn basis, een ongunstig gelegen kustplaatsje ten noorden van Padang, waar hij de enige en hoogste gezagdrager werd. Daar ontmoette hij Si Oepi Keteh[i] , een dertienjarig meisje uit Atjeh, in de Max Havelaar een van zijn ‘menigvuldige eerste liefden’ genoemd. Het meisje figureert in het boek als luisteraar naar het verhaal van de Japanse steenhouwer. Dekker zou deze parabel heel goed mogelijk zelf aan haar verteld kunnen hebben na publicatie ervan in het Tijdschrift voor Nederlands-Indië door auteur W.R. van Hoëvell.

Uit verhalen van Dekkers tweede vrouw Mimi blijkt dat Si Oepi zijn eerste (inlandse) vrouw is geweest. Zij was een dochtertje van een Atjehs hoofd, eigenaar van een peperaanplant. De relatie gaf enige moeilijkheden: in die tijd was haar leeftijd niet zo’n bezwaar, maar door te kiezen voor een kind van een belangrijk hoofd leek Dekker niet meer boven de partijen te staan, meende het gouvernement. (Zijn eerste vlam uit Nederland was lange tijd Caroline Versteegh; haar vader gaf echter geen toestemming voor een huwelijk en zij bleef onbereikbaar voor hem). Si Oepi was belangrijk voor Eduard. Hij noemde haar Clio, muze van de geschiedschrijving, de roem en het heldendicht. Ook bewaarde hij een haarlok van haar. Kortom, gedurende zijn verblijf in Natal was Si Oepi zijn njai.

In september 1843 werd hij ontboden bij gouverneur Michiels. Dekker vermoedde een promotie, maar niets was minder waar. Het ging om een deels door hem veroorzaakt steeds hoger oplopend kastekort, en Dekker kreeg een verbod om Padang te verlaten. Zijn traktement werd ingehouden en hij werd begin 1844 geschorst. Si Oepi was met hem meegegaan en zij woonden samen. De periode in Padang werd het begin van een maandenlange geschiedenis van conflicten, armoede en dreigende vervolging. Hij schreef in een rekest aan de GG over deze periode: ‘den 10en Augustus heb ik mij neergelegd om te sterven, van honger te sterven, Uwe Excellentie. Ik had in drie etmalen niet gegeten! Een chinees wiens ik eens ene dienst bewezen had, vond mij, en bragt mij eten.’[ii] Hoewel men nog niet dood gaat na drie dagen zonder eten, veronderstelt de biograaf dat Dekkers werkelijkheid destijds erger was dan bijvoorbeeld beschreven in de Max Havelaar.

Pas in september 1844 kwam aan dit grimmige bestaan een eind door een uitspraak van de Raad van Justitie die zich incompetent verklaarde, wat overigens Dekker niet vrijpleitte. Maar aan de schorsing kwam een einde en hem werd een wachtgeld toegekend op het eind van dat jaar. Batavia werd zijn nieuwe woonplaats. Een afscheid van Si Oepi was onvermijdelijk. Hij was toen vierentwintig. Een nieuwe tijd brak aan. Hij leerde baronesse Everdine van Wijnbergen kennen, met wie hij zich zou gaan verloven (augustus/september 1845).

Dit alles valt te lezen in de onvolprezen biografie over Multatuli van Dik van der Meulen, waarin hij onder meer nagaat hoe de verbanden zijn tussen verhaal en werkelijkheid in het leven van Eduard Douwes Dekker. Slechts een verhaal beschouwt hij echt als fantasie, zeker niet geworteld in het leven van Dekker, en wel het beroemde verhaal van Saïdjah en Adinda.

Ik denk daar anders over, gezien de bovenstaande gegevens van de biograaf zelf. Een jonge man, een zeer hartstochtelijke jongen die een meisje van dertien ontmoet met wie hij waarschijnlijk voor het eerst de liefde bedrijft. Een meisje dat hij zijn muze noemde, van wie hij een haarlok bewaarde, aan wie hij verhalen vertelde uit Nederlandse tijdschriften, een meisje dat hem vergezelde naar de grote stad, waar hij een ellendige periode zou doormaken. De thematiek van het doodgaan dringt zich op. Daar in Padang had Dekker zich ‘neergelegd om te sterven’. Of zullen we er met de woorden van Saïdjah van maken: ‘ik weet niet waar ik sterven zal’. Ik kan niet anders dan concluderen dat ook Adinda geworteld is in de bewogen werkelijkheid van Dekker uit die periode op Sumatra. Adinda is Si Oepi, een Atjehs meisje, kind van een Atjehs hoofd. En ja, er waren er velen zoals zij, zoals we weten van Multatuli. Aan de oppervlakte figureert ze in de Max Havelaar als ‘gedweeë luisterares’, maar in werkelijkheid speelt ze een hoofdrol als Adinda. Een fantastische rol voor Si Oepi, een inlands meisje van dertien.

Bron: Dik van der Meulen Multatuli; Leven en werk van Eduard Douwes Dekker, Amsterdam: Sun, 2003

Djocjakarta, 14 augustus 2011

 

[i] Si Oepi is een algemene naam die in Padang aan een dochtertje wordt gegeven. De laatste naam is merkwaardig. Keteh betekent aapje.

[ii] Van der Meulen: 189

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.