Ini resensi fiksi keduwa jang pernah kubikin, sekaligus ini adalah versi keduwa resensi keduwa ini. Versi pertama nongolnja di Tempo. Lantaran buku Iksaka Banu ini begitu menarik dan mingsih ada azha gagasan jang bernongolan, maka aku nulis versi kedua jang nongolnja di Majalah Loka. Berikut ini versi jang sedikit lain, lantaran tida dalem EYD.
SEDJARAH INDONESIA SEBAGAI FIKSI: selain Pramoedya Ananta Toer, tidak banjak jang bernjali melakukannja. Salah satu penulis jang sedikit itu adalah Iksaka Banu. Dalam buku pertamanja, kumpulan tjerita pendek berdjudul Semua untuk Hindia Banu menggubah fiksi jang berisi kisah2 mulai dari kedatangan Cornelis de Houtman di kepulauan Nusantara pada achir Abad XVI sampai periode vakum kekuasaan Agustus 1945 (ketika Djepun kalah tapi Republik muda masih harus menegakkan wibawa). Himpunan 13 tjerpen molek rupawan ini adalah bentangan sedjarah kelahiran Indonesia merdeka.

Harus diakui Semua untuk Hindia tidak berisi peristiwa2 besar jang sudah diketahui umum. Penulisnja djuga tidak menampilkan tokoh2 historis terkenal. Pilihannja adalah kedjadian jang tak terlalu kita ketahui, sementara tokoh2nja djuga sama sekali tak terduga.
Djuga perlu ditegaskan, Iksaka Banu membalik urut2an tjerpennja. Tjerita pembuka “Selamat Tinggal Hindia” berisi kekatjauan ibukota begitu Djepun kalah dan orang2 Belanda keluar interniran. Tjerita terachir jang berdjudul “Penabur Benih” berkisar tentang orang2 Belanda pada zaman pra-VOC jang berlajar ke Nusantara dan tiba di Pulau Enggano. Di antara keduanja bisa ditekuni tjerita2 lain tentang pelbagai peristiwa penting dalam sedjarah Indonesia.
Lebih dari itu, hampir semua pelaku utama 13 tjerita ini (sebagai tokoh penutur “aku”) adalah orang2 Belanda. Dengan begitu Banu mengadjak pembatjanja untuk menggunakan sudut lain dalam menekuni sedjarah Indonesia: sudut orang Belanda. Itu masuk akal belaka, karena bukankah Belanda djuga terlibat dalam sedjarah kita? Tentu sadja mereka “bukan jenis Belanda sontoloyo” (halaman 20), melainkan orang Belanda jang bersimpati pada kita, orang Belanda jang sanggup bersikap kritis terhadap kolonialisme mereka sendiri.
Dengan rangkaian keistimewaan ini, bisalah dimaklumi kalau ada pembatja jang mengernjitkan dahi ketika menjimak Semua untuk Hindia. Besar kemungkinan kita djuga akan pangling, tidak mengenali lagi sedjarah kita sendiri. Maklum tjerita2 itu dituturkan bukan oleh orang kita, melainkan oleh Belanda si pendjadjah. Inilah keunikan buku pertama Iksaka Banu: sarat dengan hal2 jang menggugah bahkan menggelitik indra batja kita.
Lepas dari raut sedjarah jang memadati tjerpen2 Banu, seseorang sebenarnja sudah akan terpana membatja kalimat2nja. Kalimat2 itu bukan hanja molek2 dan pendek2, tapi djuga sederhana, tidak rumit tapi hidup, dalam arti mudah dibajangkan makna dan dampaknja. Tak perlu diragukan lagi, Banu adalah seorang penutur jang sastrawi karena tidak sedikit kalimat2nja mendorong kita untuk berpikir dan merenung. Sebagai pembatja kita tidak hanja terhibur seraja ditambahi pengetahuan, kita djuga didorong untuk mendalami banjak persoalan kehidupan. Karja2 Banu ini djelas memperkaja batin pembatjanja.
Ambil tjontoh dua kalimat ini: “Kurasa Tuhan pun enggan mendengarkan doa kami. Sudah lama pula kami tak bisa menghormati kedaulatan orang lain” (halaman 64). Tuhan enggan mendengarkan doa umatnja? Bagaimana mungkin? Bukankah Tuhan maha rahim? Adakah ini ketjaman terhadap Tuhan? Ternjata di sini Banu menulis tentang seorang Belanda jang mengkritik nafsu kolonialisme negaranja.
Selama ini buku sedjarah, media massa maupun film selalu menampilkan Belanda sebagai pendjadjah jang litjik dan tjulas, tidak lebih dari angkara murka pemeras dan penindas. Banu tidak begitu suka pada semua klise itu, ia jakin ada Belanda baik jang memihak kita, korban pendjadjahan. Tak pelak lagi, Semua untuk Hindia adalah ungkapan ketidaksetudjuan penulisnja terhadap segala matjam klise tentang Belanda pendjadjah.

Paling menondjol adalah tjerpen keenam jang berdjudul “Semua untuk Hindia”. Bukan hanja karena tjerita jang begitu dramatis sekaligus heroik dan mengharukan, tapi juga karena di dalamnja Iksaka Banu menampilkan pengetahuan sedjarahnja jang sangat djempolan.
Tjerpen ini berkisah tentang penaklukan Bali, dibuka dengan surat seorang putri Puri Kesiman (keradjaan Badung), kepada seorang wartawan harian De Locomotief (terbitan Semarang). Pada awal abad lalu, tatkala kolonialisme Belanda bertjorak Politik Etis, De Locomotief termasuk koran progresif jang mendukung balas budi berupa peningkatan martabat inlanders (bumiputra) melalui pendidikan.
Sedjatinja, Politik Etis punja sisi lain jang tidak banjak diketahui orang. Pada zaman itu Batavia djuga menaklukkan wilajah luar Djawa (disebut buitengewesten). Maka Atjeh ditjaplok, begitu pula Tapanuli, Bone dan Bali pada 1906. Untunglah fotografi sudah ada, sehingga ekspedisi militer itu (dihaluskan sebagai pacificatie) terabadikan, dan jang paling terkenal adalah foto2 kedji Atjeh.
Itu artinja Politik Etis jang namanja terbatja mulia ini ternjata djuga punja wadjah bengis. Artinja lagi pada periode itu Belanda bukan tjuma mendidik (kaum elit) pribumi tapi djuga melebarkan sajap imperialismenja. Dengan sinis Banu menuturkan semua ini lewat wartawan Bastiaan de Wit, diselingi edjekan njinjir terhadap kalangan militer jang maunja tjuman pendekatan keamanan.
Di sini bisa dibatja betapa djeli Iksaka Banu mengamati sedjarah. Ketika Atjeh, Tapanuli, Bone dan Bali baru ditaklukkan pada awal Abad XX, apakah itu berarti Indonesia benar2 didjadjah Belanda selama 350 tahun? Bukankah sampai Abad XIX wilajah2 itu masih merupakan keradjaan2 berdaulat? Pada halaman 61 tertera salah satu larik surat putri Kesiman itu: “Adakah kehidupan bila kemerdekaan terampas?” Djadi sebelum 1906 itu Bali adalah negara merdeka. Inilah klise lain jang dibidik oleh Semua untuk Hindia. Kalimat itu sendiri mendorong kita untuk merenungi makna kehidupan di alam merdeka.
Sajangnja tjerpen ini mengandung satu keterlandjuran jang tidak perlu. Pena Banu terpeleset ketika menulis bahwa Gubernur Djenderal Van Heutsz “fasis tulen” karena begitu bernafsu mengumbar hasrat ekspansionisnja. Padahal di Italia, Benito Mussolini baru mendirikan partai fasisnja tahun 1919. Djadi pada 1906 itu masih terlalu dini untuk mentjap Van Heutsz seorang fasis, lantaran “fasis tulen” jang sebenarnja masih belum lahir.
Kegandjilan lain menjangkut sebuah kata Belanda jaitu “heer” jang ber-kali2 digunakan oleh Banu di sekudjur bukunja, sepertinja untuk mengganti sebutan “pak” atau “bapak”. Dan ini muntjul pada tjerpen2 lain, bukan tjuman tjerpen keenam.
“Heer” sebenarnja bukan padanan “pak”. Padanan jang lebih tepat adalah “mijnheer” untuk zaman dulu dan “meneer” untuk zaman sekarang. “Heer” bisa djadi dipakai pada zaman VOC, misalnja pada “de heren zeventien”, penguasa harian VOC. Tapi sesudah itu tidak digunakan lagi, orang Belanda menggunakan “mijnheer” dan pada zaman sekarang “meneer”. Kalaupun masih menggunakan “heer” maka biasanja disambung dengan nama orangnja, seperti pada pembukaan surat, misalnja Heer De Wit, artinja Pak De Wit. “Heer” jang tanpa apa2 lagi berarti tuhan. Djelas bukan “heer” ini jang dimaksudkan Banu.
Terus terang saja tidak terlalu suka mengkritik upaja orang Indonesia berbahasa Belanda. Kenapa? Karena memang orang Belanda dulu tidak mewadjibkan nenek mojang kita berbahasa mereka. Bahasa Belanda tidak pernah diwadjibkan di Hindia Belanda, berbeda misalnja dengan di Suriname. Djuga berbeda dengan pendjadjah2 Eropa lain (Inggris di Malaysia atau Birma; Prantjis di Indochine, sekarang Vietnam, Laos dan Kambodja; serta Portugal di Timor Leste) Belanda tidak pernah memaksa kita bitjara bahasanja. (Nenek mojang kita hanja dipaksa menanam kopi, nila, tebu dan sedjenisnja pada zaman cultuurstelsel). Belanda bahkan tidak ingin bahasanja djadi bahasa nasonal kedua di Hindia seperti bahasa Prantjis di Maroko atau Aldjazair jang sudah punja bahasa Arab. Kalau berkundjung ke dua negara itu, sekarang turis Prantjis akan ber-tjakap2 dalam bahasa Prantjis dan isi pembitjaraan tidak djarang hal2 jang serius, artinja kedua pihak berada pada taraf kefasihan bahasa jang sama. Sebaliknja, wisatawan Belanda di Indonesia sudah akan senang kalau ketemu kata “handuk” atau “asbak”. Dengan orang Indonesia mereka harus menggunakan bahasa lain jang umumnja tidak begitu dikuasai oleh kedua pihak. Djadi ketidakmampuan orang Indonesia zaman sekarang untuk berbahasa Belanda djuga merupakan kesalahan kolonialisme Belanda.
Dengan mahir Iksaka Banu menggunakan nama orang Belanda untuk meng-olok2 mereka. Kita misalnja diadjak berkenalan dengan Sersan Sterk (sterk artinja kuat). Tapi Banu segera menimpali: “setiap menyebut namanya aku selalu geli, karena sangat berlawanan dengan keadaan tubuhnya” (halaman 93). Lalu masih ada Jan Schurck jang “pandai membahayakan diri” (halaman 2). Sajang Banu tidak mendjelaskan lebih landjut makna kata schurck (sekarang diedja schurk) jang tidak lain adalah badjingan. Orang Belanda lain dengan nama istimewa adalah Kapten Jan Twijfels. Pada usia 18 tahun dia sudah memperoleh bintang penghargaan karena “tetap bertahan di pos meski luka parah dalam perang Sepanjang, melawan laskar gabungan Surabaya dan Bali” (halaman 105). Prestasi ini tidak didukung oleh namanja, karena twijfel sebenarnja berarti ragu. Hal2 djenaka ini adalah kenikmatan lain membatja Semua untuk Hindia.
Dalam 13 tjerpennja ini djuga terlihat betapa Iksaka Banu belum pernah menetap agak lama di Belanda. Itu terasa sekali, karena ketika bitjara soal verlof (tjuti di Belanda) tjerpen “Racun untuk Tuan” sama sekali tidak menjinggung musim, padahal musim dan tjuatja adalah topik pembitjaraan nomer satu orang Belanda. Dengan lihai dan rintji Banu menulis perdjalanan tokohnja di pusat kota Rotterdam, sebelum kota pelabuhan itu luluh lantah diserbu Nazi pada Perang Dunia II. Tapi sajang tidak djelas pada musim apa peristiwa itu berlangsung. Pada musim panaskah? Musim rontokkah? Musim dinginkah? Atau musim semikah? Rotterdam (dan Belanda/Eropa pada umumnja) punja wadjah sendiri2 pada masing2 musim.
Jang agak aneh adalah lamanja verlof atau tjuti itu. Sebelum ada pesawat terbang, perdjalanan ke Eropa selalu dilakukan dengan kapal laut dan itu berlangsung paling sedikit selama sebulan. Djadi pulang balik Belanda Hindia butuh waktu dua bulan. Dengan perdjalanan selama itu, mungkinkah tjuti di Belanda hanja sebulan? Djelas tidak mungkin. Tjuti itu biasanja setahun dan paling sedikit tiga bulan.
Di balik kesalahan2 ketjil tak berarti ini, Iksaka Banu tetap tidak tersaingi oleh penulis2 Belanda zaman sekarang. Sedjak Eduard Douwes Dekker menulis riwajat Saïdjah dan Adinda dalam Max Havelaar 154 tahun silam, makin sulit menemukan penulis Belanda jang menampilkan seorang inlander sebagai karakter utuh dalam karja mereka.
Grande dame sastra Belanda Hella Haasse (1918-2011) memang menulis Oeroeg, tapi anak mandur perkebunan teh di Djawa Barat ini melulu ditampilkan sebagai bajangan anak madjikannja jang Belanda tulen. Oeroeg tidak tampil sebagai karakter sendiri. Dalam Heren van de thee, Haasse malah menulis tentang para djuragan teh, tanpa satupun tokoh inlander (batja: buruh teh) jang berarti.

Pada tahun 2002 Hella Haasse menerbitkan Sleuteloog, roman terachirnja tentang Hindia jang tampaknja ditulis untuk mendjawab pelbagai kritik terhadapnja soal masa lampau kolonial Belanda. Lagi2 Haasse jang kelahiran Batavia ini tidak menampilkan seorang inlander sebagai karakter utuh. Kalaupun ada seorang jang bernama Ibu Sjarifa, maka dia sebenarnja adalah seorang Indo berdarah tjampuran jang suka mistik dan memilih djadi pribumi. Ibu Sjarifa, dengan kata lain, bukanlah seorang inlander asli.
Tak pelak lagi, sebagai bangsa terdjadjah kita memang tjuma figuran dalam karja sastra Belanda. Inilah kelebihan Iksaka Banu dengan tokoh2 Belandanja. Tokoh2 Banu tampil utuh, bahkan merupakan karakter utama tjerita2nja. Mereka adalah seorang perempuan Belanda berambut pirang jang mendjadi mata2 Republik, seorang asisten administratur perkebunan tembakau Belanda atau seorang wartawan jang menentang penaklukan Bali, seorang pelaut Belgia jang negaranja baru sadja merdeka dari Belanda, begitu seterusnja.
Tentu sadja Banu bukan pengarang Indonesia pertama jang menampilkan karakter Belanda dalam karjanja. Sebelum itu Pramoedya sudah punja tokoh2 seperti Herman Mellema, Jean Marais, Magda Peters atau Jacques Pangemanann, si Belanda staatsblad alias Indo jang memperoleh persamaan hak dengan orang Eropa. Tokoh2 inilah jang menjebabkan beberapa kritisi sastra Belanda mengetjam Hella Haasse, lantaran absennja inlanders sebagai karakter utuh dan penuh dalam segenap œuvre-nja. Kalau Pramoedya punja tokoh Belanda, mengapa sang grande dame tidak punja tokoh inlander?
Memfiksikan sedjarah adalah menulis sedjarah tingkat landjutan, bahkan, kalau berhasil, tingkat tinggi. Pengarang fiksi matjam ini tidak hanja dituntut paham sedjarah tapi djuga harus bisa mentjiptakan tokoh2 jang pas untuk tjerita sedjarahnja. Lebih dari itu ia djuga harus pandai2 menerdjemahkan sedjarah dalam kehidupan tokoh2nja. Djelas masalahnja bukan di mana letak sedjarah dalam fiksi melainkan bagaimana tokoh2 fiktif itu bisa tampil mejakinkan dalam setting sedjarah jang dipilih.
Di sini Iksaka Banu sudah berhasil. Selajaknja keberhasilan itu dilandjutkan dengan novel sedjarah.
Amsterdam, Kampung Jordaan, awal musim rontok 2014
Ya Mas Joss, sejarah bukan hanya goresan masa lampau, tetapi juga masa kini dan yang akan datang. Tetapi itulah sejarah, “History repeats itself,” demikian diktum sejarah dalam Enggres yang dalam catatan memang selalu berulang dalam bentuk dan versi yang lain. Betapa sejarah berubah di negeri Indonesia Raya yang nota bene tergantung pada siapa yang memerintah [baca Pak Harto] betapa beliau bisa mengutak-atik sejarah menurut kehendaknya dan tahtanya sendiri sampai-sampai professor sejarah kaliber pun Pak Harto bisa dikte. Karena aku juga mengajar sejarah, betapa kita tercengang dan sepertinya juga membodohi murid dan meluruskan bahwa pak Harto telah benyak melencengkan jalannya sejarah bangsa. Dalam sejarah Londo kita juga ternmasuk bangsa yang tak beruntung, termasuk lama sekali dalam masa pembodohon oleh Londo terhadap bangsaku. Ah sakit hati ini, Mas Joss, meski dulurku banyak bermukim di Londo. Kita berharap tak lagi ada sejarah yang dibengkok-bengkokan. Sulit meluruskannya kembali. Beruntunng jug orang Batak kedatangan Nommensen, yang tercatat sebagai pelaku sejarah yang spektakuler dari masa ke masa tak lekang oleh zaman. Isn’t it history? Meskipun dia seorang teolog dan missionaris tetapi dia juga pelaku sejarah yang handal karena mengalihbahasakan Alkitab dari bahasa Jerman ke bahasa Btatak Toba. Apakah ini bukan sejarah? Sejarah yang indah tentunya, paling sedikit bagi orang Batak, sakit hati juga kalau baca sejarah Londo di negeriku yang sangat lama. Yang menonjol adalah sejarah pembodohan. Belajar sejarah bukan berhenti pada sejarah itu sendiri. History should beyond history itselft. Sejarah itu juga harus mencerahkan. Salam Mas Joss.
Jakarta, 14 Oktober 2014.
Pembedahan yang teliti, detail, dan tajam.
Kagum atas ketelitian dan kedetailan data yang Mas Joss punyai, sampai hal-hal “sesepele” lama perjalanan pulang pergi Hindia Belanda – Belanda pun tidak luput dari pengamatan. Semua aspek dibahas. Pembahasannya pun punya dasar masing-masing.
Saya sendiribeli buku ini karena membaca resensi yang Mas Joss tulis di Majalah Tempo.