Klow maunja batja versi EYD, silahken ngeklik ini.
Kamis sore 16 Oktober itu Auditorium INALCO (singkatan bahasa Prantjis untuk Institut Nasional Bahasa dan Kebudajaan Timur) di Paris tenggara, tampak mulai ramai. Seperti air menetes, pengundjung berdatangan menghadiri seminar bertadjuk “Paris vu de Djakarta” alias “Paris dipandang dari Djakarta”. Atjara utama seminar bienale (dua tahunan) ini adalah peluntjuran Retour, terdjemahan bahasa Prantjis novel Pulang karja penulis Indonesia Leila S. Chudori.

Dari sela2 pengundjung jang mulai memadati ruangan menudju auditorium, sesekali menjembul seorang perempuan jang begitu sibuk mengurusi ini itu. Sore itu Johanna Lederer bergaun tjoklat kemerahan dengan selendang songket biru berdjuntai di bahunja. Di balik wadjah seniornja tergores seraut kechawatiran. Sebagai penanggung djawab ia harus memastikan hadjatan sore itu bukan hanja berdjalan lantjar, tapi djuga sepenuhnja berhasil. Para pembitjara misalnja, harus datang. Sudah datangkah mereka semua?
Johanna tampak lega ketika achirnja Leila Chudori muntjul djuga bersama rombongan pembitjara lain. Atjara jang sudah dipersiapkannja selama dua tahun ini segera bisa dimulai. Inilah hadjatan besarnja: sebagai pendiri dan ketua Association franco-indonésienne Pasar Malam (Asosiasi Prantjis-Indonesia Pasar Malam) Johanna tak pelak lagi adalah motor di balik semuanja.
“Paris dipandang dari Djakarta” adalah tadjuk pertemuan sastra Indonesia keenam jang, seperti biasa, diselenggarakan oleh Asosiasi Pasar Malam. Asosiasi ini berupaja mati2an menundjukkan kepada chalajak Prantjis keberadaan sastra Indonesia. Di kota internasional seperti Paris orang bisa menemukan buku2 karja penulis2 India, Djepang, Amerika Utara maupun Selatan, tjuma njaris tidak ada buku karja penulis Indonesia. Hanja toko buku besar jang mendjual buku2 Pramoedya. “Kalau bertanja, maka kita sering diberitahu bahwa buku karja penulis ternama Indonesia ini pada deretan buku2 India”, tutur madame Lederer sedikit djengkel.

Dalam keadaan ini bersama beberapa teman ia memutuskan untuk menjelenggarakan Rencontre pour la littérature indonésienne, évènement biennal alias pertemuan dua tahunan sastra Indonesia. Dalam edisi keenam, Johanna mengaku masih kesulitan. “Seandainja sadja Pramoedya menang hadiah Nobel, pasti keadaan akan lain,” keluhnja. Pasti mata dunia terbuka, bukan sadja terhadap Pramoedya tetapi djuga terhadap sastra Indonesia, landjutnja. Kalau begitu pasti tidak akan sulit memperkenalkan sastra Indonesia, kesahnja berlandjut.
Tidaklah salah kalau orang bertanja mengapa Johanna bertekad memperkenalkan sastra Indonesia pada publik Prantjis, Paris chususnja? Bukankah ini tugas KBRI Paris?
“Sebenarnja ini tugas pemerintah Indonesia,” sela Johanna. Tapi ternjata Djakarta tidak melakukannja. Mengapa begitu? Johanna hanja bisa angkat bahu. Semula dia mengira ini merupakan tjiri chas Orde Baru jang, paling sedikit dari luar negeri, selalu ingin menutup Indonesia. Setelah pemerintahan otoriter itu tersingkir, Johanna tetap keheranan karena Djakarta tidak djuga mengkampanjekan budaja, padahal sudah membuka Indonesia bagi modal asing. Dia jakin pada zaman reformasi ini KBRI tetap tidak memperoleh anggaran untuk mempromosikan budaja Indonesia.
Tapi kejakinan Johanna gojah djuga ketika pada saat2 terachir, KBRI Paris mengulurkan bantuan. Sudah tak sempat mentjetaknja pada buku atjara, bantuan KBRI itu diumumkan pada peluntjuran Retour oleh pembawa atjara.

Kedjutan jang sangat menjenangkan Johanna ini djuga membawa harapan. Maklum sebelumnja dia sudah diberitahu bahwa karena ada pergantian presiden di Indonesia, maka anggaran dibekukan, apalagi untuk hal2 jang bukan rutin seperti hadjatannja, bienale sastra ini. Sampai2 Johanna harus mengetuk pintu kedutaan Prantjis di Djakarta supaja mengulurkan bantuan untuk membiajai tiket pesawat terbang Djakarta Paris pulang balik bagi Leila Chudori. “Ini memang bukan tugas kedutaan besar Prantjis di Djakarta,” sergah Johanna. Tugas mereka tentunja mempromosikan kebudajaan Prantjis di Indonesia dan bukan sebaliknja. Tapi dengan alasan demi persahabatan Indonesia Prantjis, Johanna berhasil mejakinkan Dutabesar Corinne Breuzé jang segera mengulurkan bantuan. Hadjatan dua tahunannja selamat dan bisa berlangsung.
Sementara itu, sebagai kota internasional, Paris terus membuka diri pada budaja asing, djuga budaja Asia. Ketika datang dari Belanda pada tahun 1960an, Johanna menegaskan Paris tidak mengenal restoran Djepang. Pada achir 1970an muntjul tiga, dan sekarang pada hampir setiap sudut djalan Paris ada restoran Djepang. Di atas semuanja Djepang sekarang memiliki pusat kebudajaan indah, megah dan modern di pinggiran Sungai Seine, di Paris baratdaja, tidak djauh dari menara Eiffel.
Sedangkan Indonesia? Selain dua restoran jang salah satunja mengilhami Leila Chudori untuk menulis Pulang, masih ada satu warung lagi. Padahal penduduk Paris mentjapai 11 djuta lebih. Djelas tak ada perkembangan jang berarti dalam soal penjebaran budaja Indonesia di Paris.
Tidaklah mengherankan kalau Johanna Lederer jang kelahiran Malang itu makin terdorong untuk mengkampanjekan sastra Indonesia. Organisasinja, Asosiasi Prantjis-Indonesia Pasar Malam, lebih dikenal dalam singkatan Prantjis AFI, menerbitkan Le Banian, berkala enam bulanan mulai Desember 2005. Bertudjuan menjebarkan perkembangan intelektual dan kesenian Indonesia, Le Banian jang tampil seperti buku ini djuga memuat pelbagai tulisan —dalam bahasa Prantjis— tentang Indonesia atau kegiatan di Prantjis jang menjangkut Indonesia.
Setiap edisi berisi topik tertentu. Djuni 2014 berisi tulisan2 tentang kalangan Tionghoa, edisi sebelumnja, desember 2013, tentang keragaman bahasa di Indonesia, sedangkan edisi djuni 2013 membahas musik di Indonesia. Selepas bienale sastra ini, Johanna dan teman2nja mempersiapkan Le Banian edisi desember 2014, topiknja sastra Indisch. “Topik2 ini adalah pertanjaan jang muntjul di kalangan redaksi,” kata Johanna Lederer. Dengan menerbitkan Le Banian edisi agama (Nomer 13, djuni 2012) misalnja, mereka menemukan djawaban tentang agama dan toleransi atau intoleransi di Indonesia.

Seperti edisi2 terdahulu sedjumlah penulis sudah diundang untuk meramaikan Le Banian. Pelbagai esai itu diterdjemahkan ke dalam bahasa Prantjis, ketjuali jang memang sudah ditulis dalam bahasa itu.
Kegiatan AFI tidak berhenti di situ sadja. Masih dalam rangka kampanje sastra Indonesia, mereka djuga menerbitkan buku2 jang berisi tjerita pendek, esai, puisi, atau fiksi karangan penulis Indonesia. Ini terhimpun dalam seri La collection du Banian. Dimulai pada 2010, kini sudah terbit 11 buku. Buku terachir adalah Retour, versi bahasa Prantjis novel Pulang karja Leila.
Pelbagai karja penulis Indonesia sudah dipilih. Bukan sadja penulis jang masih hidup seperti Leila Chudori dan Seno Gumira Ajidarma; tapi djuga mereka jang sudah tinggal nama seperti Iwan Simatupang (1928-1970) atau Prijana Winduwinata (1907-1969). Bukan sadja prosais seperti Nh Dini, tetapi djuga penjair seperti Saut Situmorang. Bukan melulu penulis pria seperti Sindhunata tetapi djuga penulis perempuan seperti Djenar Mahesa Ayu.
Semua penulis ini berkarja dalam bahasa Indonesia, ketjuali Prijana Winduwinata. Mantan Dekan Fakultas Sastra UGM dan Menteri Pendidikan pada achir 1950an ini menulis dalam bahasa Djawa. La collection du Banian memilih Dongèng Sato Kéwan (Dongeng Hewan, Balai Pustaka 1952) jang diterdjemahkan mendjadi Intrigues de jungle et lois de basse-cour (intrik hutan dan hukum warisan). Bisa djadi inilah satu2nja karja sastra Djawa jang diterdjemahkan ke dalam bahasa Prantjis.
Penerbitan buku2 inilah jang merupakan alasan bagi AFI untuk mengundang penulis Indonesia. “Kalau mengundang kelompok gamelan kami tak punja dana,” kata Johanna polos, “Satu dua orang penulis lebih mudah terlaksana,” landjutnja. Dengan mengundang penulis ini dia mengaku bertemu dengan orang2 jang menarik. Bukan hanja para penulis itu, tapi djuga hadirin jang datang. Mereka bukan hanja orang Prantjis atau orang Indonesia jang menetap di sana, tapi djuga peminat sastra Indonesia dari negara Eropa lain.

Di balik terus bertambahnja peminat sastra Indonesia ini, Johanna mengeluhkan pendjualan buku2 terdjemahan terbitan organisasinja. “La FNAC tetap tidak mau mendjual buku2 kami,” Johanna menjebut salah satu djaringan toko buku terbesar Prantjis. Sebaliknja pendjualan Le Banian lebih mudah.
Dengan mudah dia mendjual Le Banian edisi Tionghoa kepada kalangan Tjina di Paris. Mereka tidak tahu Indonesia tapi bersedia membatja masalah Tionghoa Indonesia. “Sepertinja ada solidaritas di kalangan mereka,” kata Johanna. Kalangan lain djuga tertarik membatjanja karena melihat beberapa persamaan dengan nasib orang Jahudi di Eropa mendjelang Perang Dunia Kedua. Johanna mengaku walaupun Le Banian melulu menekuni masalah Indonesia, tetapi tema2nja begitu dekat dengan tema2 universal.
Pascale Jacquemin lebih jakin lagi. Salah satu redaktur Le Banian ini pertjaja berkalanja sudah merupakan sukses besar. Le Banian sudah memiliki publik pembatja tetap. Pembatja itu bukan hanja mereka jang sudah mendalami, tetapi djuga mereka jang belum tahu banjak tentang Indonesia. Di antara mereka ada jang berlangganan langsung, tapi ada djuga jang membatjanja di pelbagai perpustakaan. Dan itu bukan melulu perpustakaan di Prantjis tetapi djuga perpustakaan di negara2 lain jang merupakan pelanggan berkala ini. “Djedjak ini tidak bisa dihapus lagi,” demikian madame Pascale Jacquemin dengan bangganja!
Satu pemikiran pada ““Asosiasi Pasar Malam dan Sastra Indonesia di Prantjis” oleh Joss Wibisono”