“Budaja takut kembali mentjekam Indonesia” oleh koresponden Michel Maas

Ini terdjemahan wasweswos laporan Michel Maas jang pada hari senin 26 oktober 2015, terbit di harian de Volkskrant, halaman 15.

Pembunuhan massal orang2 komunis di Indonesia terdjadi 50 tahun silam. Tapi berbitjara dju2r tentang ‘1965’ te2p tidak mungkin. Lebih2 lagi: sensor sekarang kembali beroperasi sepenuhnja.

Mendadak sontak sensor kembali sepenuhnja hadir di Indonesia. Hanja menjebut tahun 1965 sadja orang sudah bakal kena masalah. “Sepertinja sensor kembali mendjadi mode dari hari ini ke besoknja,” keluh seorang direktur sebuah festival sastra jang begitu kaget lantaran kundjungan polisi.

Artikel de Volkskrant edisi 26 oktober 2015 halaman 15
Artikel de Volkskrant edisi 26 oktober 2015 halaman 15

Pada sebagian atjaranja, festival jang dibuka rebo mendateng ini sedianja djuga akan membahas pembunuhan massal orang komunis pada tahun 1965, tapi atas perintah polisi bagian itu dibatalkan. Di tempat lain sebuah madjalah jang menerbitkan edisi chusus tentang pembersihan 1965 harus menjerahken semua exemplarnja. Dan seorang exil gaek jang ingin menziarahi kuburan massal jang kemungkinan merupakan tempat istirahat terachir ajahnja jang dibunuh tahun 1965, ditangkep dan diusir ke luar negeri. Tentara, polisi, dinas imigrasi dan pemerintah daerah semuanja bekerdjasama dengen eratnja.

Itu mirip zaman gelap kediktatoran harto, demikian penulis Laksmi Pamuntjak. Pada laman Facebooknja, Laksmi memperingatken soal “kembali dimiliterkannja pemerintahan”. Indonesia terperosok “kembali ke dalam budaja takut”. Pamuntjak tidaklah sendirian. Djedjaring sosial berdengung oleh kechawatiran itu. Inikah awal berachirnja reformasi, pembaharuan demokratis?

Pamuntjak baru kembali dari Frankfurt, di sana Indonesia memamerkan bukunja “Amba of de kleur van rood” pada Buchmesse. Djelas ini ironis, karena Amba adalah roman jang sepenuhnja membahas pembunuhan kalangan komunis dan dampaknja. Di luar negeri, Indonesia memamerken sesuatu jang di kandang sendiri ternjata lebih seneng dibungkam sadja.

Lembaran hitam
“1965” adalah lembaran hitam sedjarah Indonesia, tapi jang sesudah itu terdjadi tetap gawat djuga: lima puluh tahun pemutarbalikan sedjarah dan pembungkaman sistematis. Akibatnja djutaan orang kehilangan hak mereka sebagai warga negara mereka dan sedjak ketjil anak2 Indonesia dididik bahwa itu semuwa tidaklah apa2.

Pembunuhan massal itu adalah pemusnahan kalangan komunis jang, berkat dukungan Presiden Sukarno, sebenarnja bakal mendjadi kekuatan terbesar. Sebuah kudeta jang gagal pada tanggal 30 September 1965 memberi carte blanche (kebebasan) kepada tentara untuk turun tangan. Para pelaku kudeta praktis membunuhi semua pimpinan tentara, karena itu, seorang djenderal jang tak berarti, namanja harto, bisa merebut kekuasaan.

Itu dilakukannja setelah menghabisi ratusan ribu orang komunis dan simpatisan mereka. Mereka jang berhasil selamet, anak2 mereka dan bahkan tju4 mereka, mendjadi pariah, sampai sekarang.

Dalam buku peladjaran sedjarah pembunuhan massal itu disebut sebagai keperluan untuk melakuken daripada pembersihan hama. Tiap tahun anak2 sekolah masih tetap dibuat takut dengan film jang mempertontonkan bagaimana monster2 komunis menjiksa dan merusak tubuh para pahlawan. Bahwa kebenaran itu sebenarnya lebih bernuansa sekarang mulai per-lahan2 diketahui orang, tapi terus2an dilawan oleh tentara, polisi dan penguasa daerah.

Tentara mengangkut anggota Pemuda Rakjat (onderbouw PKI) dalam prahoto, oktober 1965. Ratusan ribu dibunuh
Tentara mengangkut anggota Pemuda Rakjat (onderbouw PKI) dalam prahoto, oktober 1965. Ratusan ribu dibunuh

Tak berizin
Pekan ini, festival penulis dan pembatja internasional Ubud sedianja akan mentjurahken perhatian pada prahara ini melalui tiga panel penulis, peluntjuran sebuah buku dan pemutaran film dokumenter The Look of Silence (Senjap) arahan sineas Joshua Oppenheimer. Polisi, tentara dan pemerintah daerah menutut supaja topik ini dibatalkan azha. Kalau itu tidak dilakukan maka festival bergengsi ini tidak akan memperoleh izin sehingga bakalan batal total. Penjelenggara tunduk.

Tahun lalu, film pertama Oppenheimer, The Act of Killing (Djagal) masih sempat dipertundjukkan. Pada kesempatan lain sebenarnja “1965” sudah sempat dibahas, tanpa ada jang ribut2. Janet DeNeefe, direktris festival Ubud, kaget aparat sampai bertjampur tangan. “Sekarang kami berupaja tjari djalan tengah sadja menghadapi randjau darat ini, dan berharap bukan merupaken sesuatu jang permanen.”

Sutradara Oppenheimer melihat tjampur tangan ini sebagai tanda2 kembalinja pemerintahan jang “seperti harto”. “Menjedihkan, saja chawatir ini adalah kembalinja negara bajangan. Mudah2an sadja saja salah.” Oppenheimer sudah menghasilkan dua film dokumenter jang membelalakken mata tentang bandjir darah 1965. Keduanja memperoleh penghargaan dunia dan di Indonesia hanja boleh dipertontonken setjara klandestin. Apa jang disebutnja “negara bajangan” itu merupakan rekajasa tentara dan polisi. Di bawah harto keduanja memerintah dengen tangan besi dan intimidasi, dengen se-mena2 serta menghilangkan banjak orang.

Sepekan sebelum Festival Ubud dilarang membahas pembantaian 65, polisi sudah menjita dan memusnahken semua exemplar Lentera, madjalah universitas di Salatiga. Madjalah ini mengangkat thema 1965. Lentera punja tiras 500 exemplar, tapi djumlah jang begitu ketjil ini dilihat sebagai kemungkinan penjebab infeksi.

Edisi ini adalah upaja berani untuk menggambarkan apa jang bener2 terdjadi. Misalnja didjelaskan bagaimana militer memerintahkan para petani untuk menggali lubang besar, karena siang hari akan datang “kiriman baru”. Djuga bagaimana kiriman itu datang: prahoto penuh manusia jang dipaksa djongkok di hadapan lubang untuk kemudian dibabat habis.

Ajah dibunuh
Salah satu pria jang dibunuh seperti itu adalah ajah Tom Iljas. Tahun 1965 Iljas tugas beladjar di luar negeri, dan setelah kudeta dia tidak boleh kembali. Sedjak itu dia menetap di Swedia. Sekarang, dalam usia 77 tahun, dia berharap bisa sekali lagi pulang ke Salida, desa kelahirannja di Sumatra.

Pada tanggal 11 Oktober itu dia berziarah ke makam ibunja dan sesudah itu berupaja mentjari kuburan massal jang diduga merupaken tempat peristirahatan terachir ajahnja, Ilyas Raja Bungsu. Tapi upajanja ini tidak disukai. Dia dilaporkan oleh kepala desa, ditangkap dan dibawa ke kantor tentara, tempat dia lama diintrogasi oleh polisi, tentara dan petugas dinas imigrasi. Empat hari kemudian Iljas digiring masuk pesawat terbang dan namanja dipasang dalam datar hitam: dia tak boleh lagi masuk Indonesia.

Sebelum itu Presiden Joko Widodo sudah mengumumkan akan minta maaf kepada korban pembersihan tahun 1965, serta anak2 mereka. Tak lama kemudian djandji ini ditjabut.

Novelis Laksmi Pamuntjak takut bahwa para pembela sensor mungkin telah mendesakkan aksi2 seperti ini. Kalau tak ada jang berbuwat sesuwatu, maka menurutnja Indonesia terantjem balik ke zaman militer jang akan “meneruskan apa jang pernah mereka kerdjakan pada zaman harto, serta budaja tak kena hukuman (kemlondonja straffeloosheid, keminggrisnja impunity, penerdjemah) akan tetep bisa dipertahanken jang memang sudah begitu mengakar di dalem masjarakat”.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.