
Penulis Prantjis Stendhal bukan hanja terkenal berkat karja2 sastranja, tetapi terutama lantaran apa jang disebut sindrom Stendhal. Sindrom aneh inilah jang menjebabkan nama Stendhal melesat ke luar negeri, tidak melulu di Prantjis belaka. Bahkan di luwar Prantjis orang lebih mengenal nama Stendhal djikalau dikaitkan dengan gangguan kesehatan itu, katimbang dengan karja2 sastranja. Lebih dari itu, gara2 nom de plûme alias nama pena Stendhal orang djuga tidak terlalu tahu nama asli penulis ini, itulah Marie-Henri Beyle jang hidup antara 1783 sampai 1842.
Alkisah pada suatu waktu monsieur Marie-Henri Beyle, si Stendhal itu, melangsungkan perlawatan ke Italia. Ia mengundjungi tiga kota masing2 Roma, Napoli dan Firenze. Perdjalanan itu berlangsung antara 1815 sampai 1817. Ini artinja selama dua tahun itu Stendhal masih harus menggunakan kereta jang ditarik kuda, karena di Eropa daratan, kereta api baru muntjul pada tahun 1835. Perlawatan seperti ini semula hanja bisa dilakukan oleh kalangan ketjil jang mampu membiajai kereta kuda bersama saisnja.

Dengan melakukan perdjalanan ke pelbagai pusat budaja seperti London, Paris atau Roma, orang bukan sadja bisa meningkatkan pengetahuan, tetapi djuga selalu berada pada garis depan pelbagai perkembangan di segala bidang. Maklum, sampai paruh pertama abad 19 komunikasi masih belum berkembang. Karena itu orang sadar akan pentingnja perdjalanan, dalam rangka memperluwas wawasan.
Termasuk dalam kalangan jang sering melakukan perdjalanan adalah para seniman, baik itu komponis, pelukis maupun penulis. Mereka biasanja mengumpulkan dana dari para sponsor jang kemudian akan dibajar kembali dengan karja mereka, memang biasanja lukisan atau karja musik.
Tidak djelas apakah sebagai penulis Stendhal djuga memperoleh dana dari sponsor. Jang djelas dia berhasil mengundjungi tiga kota Italia jang sarat dengan peninggalan budaja itu. Dan lebih hebat lagi tatkala berada di Firenze monsieur Beyle terkena apa jang jang kemudian terkenal sebagai sindrom Stendhal. Kalimat2 berikut tertera pada buku hariannja:
J’étais déjà dans une sorte d’extase, par l’idée d’être à Florence, et le voisinage des grands hommes dont je venais de voir les tombeaux. Absorbé dans la contemplation de la beauté sublime, je la voyais de près, je la touchais pour ainsi dire. J’étais arrivé a ce point d’émotion où se rencontrent les sensations célestes données par les beaux-arts et les sentiments passionnés. Et sortant de Santa Croce, j’avais un battement de cœur … la vie était épuisée chez moi, je marchais ave la crainte de tomber.

Kira2 begini terdjemahannja:
Aku langsung berada dalam extase begitu membajangkan tengah berada di Firenze, berada di sekeliling orang2 besar, karena aku dateng untuk berziarah ke makam mereka. Terserap dalam pikiran mengenai keindahan jang begitu tinggi, jang se-olah2 bisa kusentuh. Aku sampai pada emosi jang merupakan titik pertemuan antara sensasi surgawi sebagai akibat seni2 indah dengan perasaan jang begitu bergelora meng-gebu2. Keluar dari geredja Santa Croce djantungku ber-debar2, kehidupan tertjerabut dari diriku, dan aku berdjalan dengan rasa tjemas takut djatuh.
Perlu diketahui di geredja Santa Croce antara lain terdapat makam perupa/pematung Michelangelo, ahli politik Niccolò Machiavelli dan ahli astronomi Galileo Galilei. Sesudah zaman Stendhal komponis Gioacchino Rossini djuga dimakamkan di situ.
Nah, pakar ilmu djiwa menjebut keadaan di atas sebagai sindrom Stendhal. Dan itu terdjadi bukan hanja pada penulis Prantjis abad 19 ini melainkan djuga pada banjak orang. Bukan hanja orang Prantjis tapi djuga orang Amerika atau orang Djerman. Itu bukan hanja terdjadi di Italia, tetapi djuga di Jerusalem, Israel. Pendeknja sindrom ini mengenai siapa sadja di manapun dia berada.
Sulit dibajangkan bagaimana seseorang bisa mabuk seni, terkena sindrom Stendhal. Saja sendiri pernah mentjobanja pada tiga penulis Indonesia jang kebetulan ketemu di Amsterdam. Mereka saja adjak ke Rijksmuseum untuk menjaksikan lukisan terkenal Rembrandt. Pelukis Belanda ini masjhur dengan karjanja De nachtwacht, peronda malam jang dipasang di Eregallerij Rijksmuseum alias galeri kehormatan Rijksmuseum. Apa jang terdjadi?
Ternjata baik Iksaka Banu, Leila Chudori maupun Eka Kurniawan tidak mabuk atau djatuh sakit setelah mengamati lukisan raksasa Rembrandt itu. Mereka melihatnja dengan tenang dan butuh waktu lama. Iksaka Banu tidak hanja berhenti di satu titik, tapi ber-pindah2 ke titik2 lain, rupanja dia melihat De nachtwacht dari pelbagai sudut. Leila Chudori jang datang bersama putrinja Rain Chudori, lama membahas lukisan itu. Entah apa sadja isi pembitjaraan mereka. Eka Kurniawan djuga berdiri lama, suatu ketika dia memanggil saja untuk menundjukkan ketelitian Rembrandt. Ditundjukkannja bajang2 jang dengen persis dilukis Rembrandt pada tahun 1642 ini. Saja sempat ber-tanja2 ini sebenarnja Rembrandt atau Eka jang teliti?



Selesai menjaksikan lukisan terkenal Rembrandt dan setelah keluar dari Rijksmuseum ketiga penulis tetap sehat2 sadja. Kalaupun ada sesuatu, mungkin hanja lelah, lantaran ber-djam2 keliling Rijksmuseum. Walau menjimpan sangat amat luar biasa banjak karja seni jang bukan tjuma lukisan, di Rijksmuseum sendiri tak pernah saja batja ada pengundjung jang mabuk lantaran sindrom Stendhal.
Ada satu hal lagi. Kebanjakan orang jang terserang sindrom Stendhal ternjata berusia antara 26 dan 40 tahun dan belum menikah. Mereka biasanja datang sendirian dan djarang melakukan perdjalanan. Pantaslah kalau Iksaka Banu, Leila Chudori dan Eka Kurniawan tidak kelimpungan melihat karja terkenal Rembrandt. Selain sudah di atas 40 tahun ketiganja djelas sudah (pernah) menikah. Lagi pula mereka tidak sendirian, karena kalau sampai sindrom Stendhal menjerang maka saja masih bisa berteriak minta tolong atau minta dipanggilkan ambulans. Untung tidak perlu sampai sedjauh itu.