“Benedict Anderson sebagai penerdjemah karja sastra” dihimpun oleh Joss Wibisono

Mendiang Benedict Anderson (1936-2015) telah menerdjemahkan beberapa karja sastra Djawa dan Indonesia ke dalem bahasa Inggris.     Sastra Indonesia 1. Idrus “Surabaja”. 2. Prijana Winduwinata “M. M. M. dan lain2 Tjerita Binatang Modern”. 3. Pramoedya Ananta Toer “Dendam”. 4. Pramoedya Ananta Toer “Njonja Dokterhewan Suharko”. 5. Pramoedya Ananta Toer “Perburuan dan Keluarga Gerilja” 6. Eka Kurniawan “Corat-coret di Toilet” 7. Eka Kurniawan “Jimat Séro” Sastra Djawa 1. Suluk Gatholotjo (Bagian 1) 2. Suluk Gatholotjo (Bagian 2) Selain karja2 di atas, Anderson djuga masih menerdjemahkan tjerpen karja Achdiat Kartamihardja berdjudul “Sensasi diatas pohon kelapa” jang dimuat dalam kumpulan tjerpen Asia … Lanjutkan membaca “Benedict Anderson sebagai penerdjemah karja sastra” dihimpun oleh Joss Wibisono

“Menembak tjelana dalam logam bukanlah djalan keluar” oleh Toef Jaeger

Berikut terdjemahan resensi jang dimuat oleh harian sore NRC Handelsblad pada edisi 15 djuli 2016, halaman C6 [Sebelum ini Schoonheid is een vloek (terdjemahan bahasa Belanda Tjantik itu luka), karja Eka Kurniawan sudah diresensi oleh harian pagi de Volkskrant dan harian pagi Trouw.] Apa jang harus diperbuat kalau anda punja tiga putri molek djelita dan jang keempat segera lahir? Berdoa supaja jang lahir itu djelek, demikian bisa dibatja dalam Schoonheid is een vloek — sebuah roman karja Eka Kurniawan jang terbit tahun 2002 dan sekarang diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Kalau kalimat pembuka sebuah roman berbunji: “Suatu sore di achir … Lanjutkan membaca “Menembak tjelana dalam logam bukanlah djalan keluar” oleh Toef Jaeger

“Eka Kurniawan mengikuti djedjak Rushdie dan Márquez” oleh Emilia Menkveld

Berikut terdjemahan resensi jang dimuat oleh harian Trouw (rubrik zomertijd) pada edisi sabtu 9 djuli 2016 halaman 32 dan 33. Babi berubah djadi orang, djanin hilang dari rahim, dan hantu gentajangan di setiap rumah SEBARIS KALIMAT PEMBUKA jang kena tidaklah gampang, tetapi penulis Indonesia Eka Kurniawan (1974) berhasil menorehkannja: ‘Sore hari di achir pekan bulan maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian. Seorang botjah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kambodja, kentjing di tjelana pendeknja sebelum melolong’. Siapa bisa mengawali novel pertamanja dengan kalimat seperti itu pasti dia seorang penutur ulung. ‘Tjantik … Lanjutkan membaca “Eka Kurniawan mengikuti djedjak Rushdie dan Márquez” oleh Emilia Menkveld

“Tjantik itu luka mengandung ramuan chusus”, oleh Wim Bossema

Berikut terdjemahan resensi jang dimuat oleh harian pagi Amsterdam de Volkskrant pada edisi sabtu 2 djuli 2016, novel ini memperoleh empat dari lima bintang jang ada. Manakala seorang penulis sedang dipersilakan masuk ke dalam kelompok pilihan jang hanja beranggotakan nama2 besar, maka dia akan tertimpa hujan perbandingan jang turun dengan lebatnja. Tidaklah mengherankan kalau penulis muda Indonesia Eka Kurniawan (1974) disandingkan dengan penulis senegerinja Pramoedya Ananta Toer, dengan Gabriel Garcia Márquez dan dengan Murakami Haruki. Tapi djustru gaja pribadi Eka Kurniawanlah jang membuat roman2nja (dia sudah menulis empat) merupakan petualangan. Dalam upajanja mendjangkau pembatja sekarang Belanda memperoleh giliran dengan terbitnja … Lanjutkan membaca “Tjantik itu luka mengandung ramuan chusus”, oleh Wim Bossema

“Sindrom Stendhal dan para penulis kita” oleh Joss Wibisono

Penulis Prantjis Stendhal bukan hanja terkenal berkat karja2 sastranja, tetapi terutama lantaran apa jang disebut sindrom Stendhal. Sindrom aneh inilah jang menjebabkan nama Stendhal melesat ke luar negeri, tidak melulu di Prantjis belaka. Bahkan di luwar Prantjis orang lebih mengenal nama Stendhal djikalau dikaitkan dengan gangguan kesehatan itu, katimbang dengan karja2 sastranja. Lebih dari itu, gara2 nom de plûme alias nama pena Stendhal orang djuga tidak terlalu tahu nama asli penulis ini, itulah Marie-Henri Beyle jang hidup antara 1783 sampai 1842. Alkisah pada suatu waktu monsieur Marie-Henri Beyle, si Stendhal itu, melangsungkan perlawatan ke Italia. Ia mengundjungi tiga kota masing2 … Lanjutkan membaca “Sindrom Stendhal dan para penulis kita” oleh Joss Wibisono

“50 tahun G30S dalam sorotan pers Belanda” oleh Joss Wibisono

Versi lain tindjauan pers ini telah nongol di madjalah Historia No 25, halaman 17-19. Lima puluh tahun G30S ternjata djuga mendjadi pemberitaan media massa Belanda, negeri bekas pendjadjah. Bukan tjuma koran, mingguan atau media tjetak lain jang memberitakannja, tapi djuga radio dan televisi serta tak ketinggalan situs web. Menariknja, ketika mingsih adaaa sadja media massa Indonesia jang gak bosen2nja meng-ulang2 sudut pemberitaan seperti 50 tahun silam (keminggrisnja gak bisa move on) jaitu G30S terus2an dipandang sebagai bentrokan ideologis antara PKI dan mungsuh2nja (seperti maunja orde bau), maka media massa Londo si bekas pendjadjah sudah sama sekali meninggalkan sudut pandang kuno … Lanjutkan membaca “50 tahun G30S dalam sorotan pers Belanda” oleh Joss Wibisono