Berikut terdjemahan resensi jang dimuat oleh harian pagi Amsterdam de Volkskrant pada edisi sabtu 2 djuli 2016, novel ini memperoleh empat dari lima bintang jang ada.
Manakala seorang penulis sedang dipersilakan masuk ke dalam kelompok pilihan jang hanja beranggotakan nama2 besar, maka dia akan tertimpa hujan perbandingan jang turun dengan lebatnja. Tidaklah mengherankan kalau penulis muda Indonesia Eka Kurniawan (1974) disandingkan dengan penulis senegerinja Pramoedya Ananta Toer, dengan Gabriel Garcia Márquez dan dengan Murakami Haruki.

Tapi djustru gaja pribadi Eka Kurniawanlah jang membuat roman2nja (dia sudah menulis empat) merupakan petualangan. Dalam upajanja mendjangkau pembatja sekarang Belanda memperoleh giliran dengan terbitnja terdjemahan Tjantik itu luka.
Sex punja tempat chusus, demikian pula peristiwa2 fantastis tapi tetap masuk akal à la Murakami —pada kalimat pertama tertera pelaku utama Dewi Ayu bangkit kembali dari kuburnja, setelah mati selama 21 tahun. Sebelumnja, ketika masih hidup, sebagai anak keempat dia ingin memperoleh seorang anak perempuan jang buruk dan ternjata memperolehnja djuga, dengan hidung seperti tjolokan listrik, dan ia dinamai Tjantik.
Dewi Ayu memiliki semuanja untuk bisa mendjadi karakter standard sebuah karja sastra. Seorang gadis Indo (sebagian besar Belanda) jang memperoleh hal2 terbaik dalam hidupnja. Selama Perang Dunia Kedua terdampar dalam sebuah bordil lux untuk pradjurit Djepun, maka dia memilih karier kintjlong sebagai pelatjur jang dilandjutkannja pada zaman perang kolonial melawan Belanda serta kemerdekaan Indonesia.

Kekerasan, kekedjaman, penjiksaan perempuan, pembunuhan massal —bukanlah ramuan2 gampang bagi seorang penulis jang ingin setjara ringan menghidupkan periode historis selama 40 tahun. Bahwa Eka Kurniawan telah berhasil bisa disebut sebagai mukdjizat sastrawi ketjil. Dia melompat dalam waktu. Bahkan dalam diri seorang pendjahat terbesarpun tersimpan sesuatu jang menjenangkan.
Penulis mentjipta kota ketjil pedesaan Halimunda sebagai tempat berlangsungnja tjerita. Dia menggambarkan bandjir darah kalangan komunis pada tahun 1960an setjara mejakinkan, tetapi tokohnja, Kliwon, seorang gembong serikat buruh jang atheis, berhasil menjelamatkan diri dari kematian berkat kekuatan gaib — dan karena kekasihnja bersedia tidur dengen musuh dan sebagai imbalannja Kliwon dibiarkan hidup.
Eka Kurniawan djuga menulis untuk televisi, ‘soap, apa sadja jang mereka minta’. Ketika masih ketjil dia sibuk membatjai banjak roman pitjisan. Itulah jang menjebabkan Tjantik itu luka serasa memiliki ramuan chusus. (alih bahasa Joss Wibisono)
2 pemikiran pada ““Tjantik itu luka mengandung ramuan chusus”, oleh Wim Bossema”