Versi edjaan orde bau bisa dibatja dengan mengklik tautan ini.
Pada 12 djuli 1938, M.H. Thamrin, atas nama fraksi nasonalis dalam de Volksraad, parlemen Hindia Belanda jang anggotanja ditundjuk (bukan dipilih) membuat kedjutan. Mulai hari itu, demikian tandasnja, dalam setiap sidang Volksraad (djadi bukan dalam sidang pandangan umum belaka) fraksinja hanja akan menggunakan bahasa Melajoe, tjikal bakal bahasa Indonesia. Thamrin berniat menindaklandjuti keputusan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, pada djuni 1938, jang bertekad memperluas penggunaan bahasa Melajoe di pelbagai kesempatan umum.

Bahasa Melajoe, menurut Thamrin, harus sebanjak mungkin digunakan, supaja ditingkatkan mutunja dan terangkat dari keterpurukan. Dengan menggunakan bahasa Melajoe Thamrin djuga berharap bisa langsung berkomunikasi dengan massa rakjat. Dan memang itu berarti bahwa pers bumiputra dapat langsung mengutipnja, tanpa harus terlebih dahulu menanti terdjemahan jang biasanja djuga berarti perlunakan alias sensor.
Keruan sadja timbul ribut2, baik di dalam maupun di luar parlemen kolonial itu. Kalau kalangan nasionalis bumiputra menjambutnja, maka pihak Belanda menolaknja mentah2. Beberapa anggota Volksraad jang orang Belanda berpendapat bahwa kalaupun diizinkan, bahasa Melajoe hanja boleh digunakan oleh para anggota bumiputra jang tidak fasih berbahasa Belanda. Djadi bukan dalam rangka mempromosikan bahasa persatuan oleh kalangan jang sudah fasih berbahasa Belanda seperti M.H. Thamrin.

Mengutip beberapa fraksi Belanda dalam Volksraad, koran konservatif Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, mendesak pemerintah kolonial supaja mengabaikan sadja komentar jang disampaikan dalam bahasa Melajoe, atau tidak mendjawab pertanjaan jang dilontarkan dalam bahasa bumiputra ini. Pada salah satu beritanja, koran kolonial ini makin bernada menghina, “Bahasa Melajoe itu digunakan di pasar atau untuk berbitjara dengan pembantu. Bukankah tuan Thamrin jang mengendarai limusin mewah itu tidak bisa digolongkan sebagai pemimpin pembantu dan tukang kelontong?”
Ada pula pemberitaan jang keberatan karena alasan praktis. Misalnja, sebagian anggota orang Eropa tidak akan dapat mengikuti perdebatan; pengawasan tata tertib akan sulit dilakukan oleh pemimpin sidang jang tidak bisa berbahasa Melajoe; terdjemahan akan menjebabkan keterlambatan dan menelan biaja jang tidak ketjil. Jang terachir ini memang merupakan tjiri chas orang Belanda, sampai sekarang: kikir dan terlalu rintji berhitung untung rugi.
Tak pelak lagi, Hindia seolah tengah menanti petjahnja perang bahasa, antara bumiputra terdjadjah di satu pihak melawan penguasa kolonial Belanda di pihak lain. Ritjuh ini djelas merepotkan bukan hanja bagi ketua Volksraad, politikus kristen W. H. van Helsdingen tapi djuga bagi gubernur djenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Keduanja sadar, salah tindak —misalnja dengan menuruti kehendak fraksi Belanda— maka bentrokan bahasa akan tak terhindarkan lagi. Terutama gubernur djenderal tahu persis bahwa tjampur tangan pihaknja akan merusak proses politik jang tengah berlangsung dalam Volksraad. Bukankah parlemen kolonial ini bertudjuan untuk, sampai batas2 tertentu, menampung aspirasi bumiputra?
Sebenarnja sudah sedjak dibuka pada 1918, Volksraad telah mengakui dua bahasa: bahasa Belanda dan bahasa Melajoe sebagai bahasa pengantar. Berkat mosi jang diadjukan oleh pangeran Achmad Djajadiningrat (30 suara setudju delapan menolak), maka kepada ratu Wilhelmina diadjukan permintaan supaja mengizinkan kedua bahasa dalam sidang parlemen kolonial ini. Waktu mengumumkan keputusan menggunakan bahasa Melajoe, Thamrin djuga merudjuk mosi ini.
Pemerintah tidak bisa berbuat lain ketjuali diam, artinja membiarkan Thamrin berbahasa Melajoe dalam pelbagai sidang Volkskraad. Menariknja sebagian besar anggota bumiputra tidak selalu berbahasa Melajoe, mereka merasa lebih mudah berbahasa Belanda. Menariknja lagi, Thamrin sendiri, tiga hari setelah gebrakannja, ternjata kembali berbahasa Belanda. Para anggota bumiputra ini mendapati sendiri betapa tidak praktisnja menggunakan bahasa dalam salah satu sidang kalau ada hadirin jang tidak paham bahasa itu. Bukankah selama ini mereka selalu menggunakan bahasa Belanda? Bagi mereka bahasa Belanda bukan bahasa musuh, atau bahasa jang harus dimusuhi. Maklum mereka dididik dalam bahasa pendjadjah, djadi merumuskan pemikiran jang rumit soal politik lebih mudah dilakukan dalam bahasa Belanda.
Bahasa Melajoe sendiri djelas belum siap untuk menggantikan bahasa Belanda. Kosakata bahasa pengantar ini masih terbatas, tata bahasanja djuga belum berkembang tjukup untuk bisa digunakan dalam mengungkap pelbagai hal jang abstrak dan pelik. Ini terdjadi 10 tahun setelah para pemuda progresif bersumpah untuk berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu. Ternjata satu dasawarsa kemudian tjita2 berbahasa satu ini belum djuga terwudjud.
Maka tidaklah tepat untuk mem-besar2kan makna Soempah Pemoeda. Walau mungkin luhur, sumpah ini sama sekali bukan berarti peralihan mendadak dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Se-olah2 terhitung 29 oktober 1928, para pemuda berhenti berbahasa Belanda. Bahkan pada 1940 (batja: 12 tahun setelah Soempah Pemoeda) Soewarsih Djojopoepito masih menerbitkan novelnja dalam bahasa Belanda (berdjudul Buiten het gareel alias di luar kedali). Waktu itu bahasa Indonesia memang belum siap, masih perlu dikembangkan, masih perlu dipersering penggunaannja, masih perlu disebarluaskan.
Bahasa, tak pelak lagi, memang harus dirawat, dikembangkan dan dipelihara. Kini, siapa berani berkata bahwa mengindjak usia 89 tahun Soempah Pemoeda, bahasa Indonesia sudah sempurna, sehingga tidak butuh perawatan atau pemeliharaan lagi.