Versi pendekan tapi tetep dalam edjaan Suwandi telah nongol di Tirto.id
Ada satu perkembangan dalam bahasa Indonesia jang belakangan begitu meluas sehingga merisaukan dan membuat saja risi. Perkembangan itu adalah semakin galaknja pentjampuradukan bahasa nasional dengan bahasa Inggris. Harus diakui ini bukan hal baru, sudah sedjak sekitar tahun 1980an orang suka sekali melakukannja. Waktu itu djumlah mereka masih sedikit dan setiap kali menggunakan kata2 atau istilah2 bahasa Inggris jang bersangkutan masih merasa perlu untuk menerdjemahkannja ke dalam bahasa Indonesia. Belakangan kalangan jang selalu saja edjek sebagai keminggris (bahasa Djawa artinja ke-inggris2an) ini, sudah semakin banjak dan berbeda dengan pendahulu mereka di tahun 1980an, sekarang mereka jang keminggris ini tidak merasa perlu untuk mengartikan kata atau istilah Inggris jang mereka gunakan. Se-olah2 itu semua sudah merupakan bahasa Indonesia dan chalajak ramai pasti akan memahaminja.
Sekedar dua tjontoh:
Dalam atjara “Perempuan dan Bom Bunuh Diri” jang disiarkan oleh KompasTV tanggal 17 mei 2018 tampil enam orang pembitjara perempuan. Hampir semua pembitjara mentjampuraduk bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, tjuma satu sadja jang tidak melakukannja. Baru pada kalimat awalnja, pembitjara pertama sudah berudjar, “Karena perempuan itu kan nature-nja caring, loving, gitu ja?” Seolah merasa tidak mau disaingi pembitjara lain, dalam lafal Djawa medhok, berudjar, “Pelibatan anak di dalam terorisme itu kan lebih indirect learning, gitu ja?” Menonton atjara itu saja tidak habis2nja bertanja, mengapa harus menggunakan istilah Inggris indirect learning? Bukankah bahasa Indonesia memiliki istilah “beladjar tidak langsung”? Tjampur bawur dua bahasa ini pasti mengorbankan salah satu bahasa, tidak mungkin bahasa tjampuran itu benar semua, baik dari segi bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Dan itu terlihat pada ungkapan “nature-nja caring”, walaupun nature dan caring adalah kata2 bahasa Inggris, tetapi djelas di sini telah terdjadi pelanggaran tata bahasa Inggris. Bahasa Inggris mana jang memiliki achiran “nja”!

Tjontoh lain adalah istilah “Meat and Great” jang besar2an dipasang pada sebuah atjara kampanje pemilihan gubernur Djawa Timur, awal april silam. Kesalahan jang sangat menggelikan, karena para tjalon gubernur itu tidak berurusan dengan daging walau mereka bisa sadja merasa diri besar. Djelas terbukti betapa penggunanja tidak paham bahasa Inggris. Bukankah bahasa Indonesia memiliki istilah “temu kangen”? Kenapa bukan itu sadja jang digunakan, mengapa menggunakan istilah bahasa Inggris jang salah dengan akibat jang begitu memalukan?

Bagaimana gedjala tjampur aduk bahasa itu bisa didjelaskan? Mengapa itu muntjul? Bukankah orang Indonesia terkenal begitu nasionalis, nasionalismelah jang melahirkan Indonesia merdeka, sepenuhnja lepas dan bebas dari pendjadjahan Belanda? Bagaimana pula dengan nasionalisme bahasa? Benarkah nasionalisme seperti itu tidak dimiliki oleh orang Indonesia zaman sekarang? Tulisan ini berupaja mendjawab pertanjaan2 itu, dengan begitu berichtiar pula untuk mendjelaskan bagaimana tjampur aduk bahasa itu bisa terdjadi.
***
Orang asing jang tahu sedikit sedjarah Indonesia, pasti berharap orang Indonesia akan lebih dekat dengan bahasa Belanda ketimbang bahasa Inggris. Bukankah selama sekitar tiga abad Belanda berhasil meluaskan kekuasaannja di seantero kepulauan Nusantara sehingga mendjadi djadjahan terbesarnja? Bagaimana mungkin orang Indonesia zaman sekarang ternjata begitu serakah menggunakan bahasa Inggris dalam bertutur kata? Berbeda dengan Singapura dan Malaysia jang merdeka dari pendjadjahan Inggris, Indonesia hanja selama lima tahun berada di bawah kekuasaan Inggris, jaitu antara 1811 hingga 1814, apa jang disebut interregnum Inggris (ketjuali Bengkulu jang baru dilepas Inggris tahun 1824). Selebihnja Indonesia merupakan djadjahan Belanda, bahkan djadjahan terbesar salah satu negara terketjil di Eropa utara ini. Kalau Timor Leste berbahasa Portugis, bagaimana mungkin Indonesia tidak berbahasa Belanda? Benarkah bahasa Belanda itu dihapus berkat nasionalisme Indonesia jang selain meng-gebu2 konon djuga menjeluruh?
Harus diakui sebagai bahasa internasional jang sekarang digunakan di mana2 bahasa Inggris memang kuat, bahkan dominan dalam komunikasi internasional. Pergaulan antarbangsa sekarang hanja berlangsung dalam bahasa ini. Bahkan orang Prantjis jang dahulu begitu gigih menolak bahasa Inggris, sekarang mengadjarkan bahasa ini di sekolah2 mereka. Generasi muda Prantjis masa kini fasih berbahasa Inggris, sesuatu jang tidak terdjadi pada generasi sebelumnja. Peran bahasa Inggris sebagai bahasa internasional ini bisa djadi memang besar, tetapi kalangan jang tertarik sedjarah seperti saja pasti akan terdorong bahkan merasa wadjib untuk djuga menoleh ke masa lampau. Benarkah, seperti orang Malaysia dan Singapura jang mendjalani pendidikan dalam bahasa Inggris, orang Timor jang dididik dalam bahasa Portugis, orang Filipina dalam bahasa Spanjol (sampai abad 19 untuk kemudian beralih ke bahasa Amerika), orang Indonesia djuga mendjalani pendidikan dalam bahasa Belanda? Berapa lama pengadjaran bahasa Belanda itu berlangsung di Nusantara? Bagaimana pula dengan roda pemerintahan Hindia Belanda? Benarkah itu selalu berlangsung dalam bahasa Belanda? Paling sedikit saja ingin bertanja mengapa, berlainan dengan bahasa Inggris di Malaysia dan Singapura, atau bahasa Portugis di Timor Leste, bahasa Belanda tidak mengakar di Indonesia? Mengapa orang Indonesia tidak berbahasa Belanda, sehingga kini dengan gampang beralih ke bahasa Inggris? Dengan mentjoba mentjari tahu itu semua, saja berharap bisa memberi pendjelasan jang lebih mendalam, lebih masuk akal dan lebih mejakinkan bagi gedjala keminggris alias tjampur baur bahasa jang belakangan berkembang begitu meluas di Indonesia — sesuatu jang sangat tidak saja sukai.
Sesungguhnja sedjak masih disebut bahasa Melajoe (bahasa Belandanja het Maleis), bahasa Indonesia sudah selalu hidup bersama dengan bahasa2 lain. Bukan hanja dengan bahasa daerah, tapi djuga dengan bahasa Belanda. Dibesarkan oleh kakek dan nenek di Malang, Djawa Timur, pada 1960an dan 1970an, waktu itu saja hidup dalam tiga bahasa: bahasa Belanda, bahasa Djawa, dan bahasa Indonesia. Kakek-nenek berbitjara dalam bahasa Belanda, maklum mereka dididik dalam sekolah berbahasa Belanda dan kemudian bekerdja sebagai guru pada zaman pendjadjahan di sekolah jang djuga berbahasa Belanda. Mungkin waktu ketjil saja lebih dahulu berbitjara bahasa Belanda ketimbang bahasa Djawa. Jang djelas kakek-nenek mengadjari saja berbahasa Belanda, bukan hanja setjara lisan, melainkan djuga tulisan. Bahasa Djawa saja peroleh dari pergaulan se-hari2, tapi bahasa Indonesia baru saja peroleh di sekolah. Hidup dalam tiga bahasa itu, saja djuga beladjar untuk tidak mentjampur aduk ketiganja. Bahasa Belanda hanja saja gunakan untuk berbitjara dengan kakek dan nenek, djuga dengan beberapa teman mereka. Bahasa Djawa jang semula hanja saja gunakan dalam pergaulan se-hari2, achirnja saja peladjari djuga di sekolah, selain bahasa Indonesia. Nenek terutama menegaskan bahwa saja harus menggunakan ketiganja setjara terpisah, tidak boleh tjampur aduk, karena mereka jang berbahasa Djawa dan bahasa Indonesia biasanja tidak paham bahasa Belanda. Di sekolah saja kemudian djuga beladjar bahasa Inggris (mulai kelas V SD) dan bahasa Djerman (mulai kelas I SMA). Para guru bahasa2 itu selalu menekankan kami harus berbahasa Inggris atau Djerman dengan baik, tidak boleh mentjampurinja dengan bahasa2 lain. Kalau tjampur2 bahasa dilakukan, maka itu berarti pelakunja belum fasih, dia harus beladjar lebih radjin lagi.

Saja sepenuhnja sadar bahwa kemampuan saja berbahasa Belanda adalah perketjualian. Djangankan generasi saja, generasi guru saja sadja sudah tidak lagi berbahasa Belanda. Memang ada perketjualian, jaitu beberapa generasi muda Indo, mereka jang berdarah tjampuran Indonesia Belanda. Semasa ketjil dulu, paling sedikit ada tiga teman sekolah keturunan Indo, dengan mereka saja djuga sering berbahasa Belanda. Bahasa itu baru kami gunakan kalau kami berbitjara sendiri, seandainja bersama teman lain jang tidak berbahasa Belanda kami gunakan bahasa Djawa. Tak pelak lagi, bahasa pendjadjah ini memang semakin sedikit penggunanja. Ketika melandjutkan pendidikan tinggi di Salatiga, Djawa Tengah, pada 1980, ternjata saja masih berkesempatan menggunakan bahasa Belanda. Bukan hanja dengan generasi tua, dan generasi muda berdarah tjampur (ada satu teman Indo di fakultas jang sama dengan saja), tetapi djuga dengan beberapa dosen asing Belanda jang waktu itu bertugas di Salatiga. Bahkan saja sempat mengadjar bahasa Indonesia kepada anak2 seorang dosen Belanda jang pada 1986 datang ke Salatiga. Di balik kesempatan berbahasa Belanda ini saja lihat sendiri penutur bahasa Belanda di Indonesia sudah semakin sedikit. Sebaliknja mereka jang menggunakan bahasa Inggris terus bertambah.
Ketika pada 1987 pindah ke Belanda untuk bekerdja pada siaran bahasa Indonesia Radio Nederland di Hilversum, saja tidak mengalami kesulitan beladjar bahasa Belanda. Saja hanja mengikuti kursus bahasa Belanda selama dua kali dan setiap kali berlangsung selama seminggu pada Instituut Regina Coeli, di Vught, Belanda selatan. Pemimpin seksi Indonesia Radio Nederland menganggap kemampuan bahasa Belanda saja sudah memadai, sehingga tidak perlu memperdalamnja lagi. Bukankah saja tidak akan menulis dalam bahasa Belanda? Paling djauh saja hanja perlu menerdjemahkan naskah siaran dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Saja setudju, dan karena itu kemampuan saja menulis dalam bahasa Belanda tidak sebaik kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia. Inilah akibat beladjar bahasa Belanda tidak di bangku sekolah, tidak seperti saja beladjar bahasa2 Djawa dan Indonesia.

Di Belanda saja kemudian lebih menekuni sedjarah, terutama sedjarah apa jang kita sebut zaman Belanda di Indonesia. Pada saat itu saja sadar bahwa berlainan dengan negara2 lain jang merdeka dari pendjadjahan, hanja Indonesia jang tidak berbahasa bekas pendjadjah. Di Asia Tenggara sadja, pola ini sudah terlihat djelas. Sebagai bekas djadjahan Inggris, Malaysia dan Singapura masih berbahasa Inggris, selain bahasa2 lain seperti bahasa Melajoe dan bahasa Mandarijn. Banjak penulis dua negara itu jang tetap berkarja dalam bahasa Inggris. Begitu pula Filipina jang pada achir abad 19 ditinggal Spanjol untuk diambil alih oleh Amerika. Sampai sekarang masih tetap banjak penulis Filipina jang berkarja dalam bahasa bekas pendjadjah itu. Timor Leste adalah tjontoh berikut jang ketika sekarang sudah merdeka dari pendudukan Indonesia, memilih bahasa Portugis. Vietnam, Laos, dan Kambodja mungkin bukan tjontoh baik bagi bekas djadjahan Prantjis jang masih menggunakan bahasa bekas pendjadjah itu. Maklum tiga negara ini sekarang punja bahasa nasional sendiri2 dan bahasa Prantjis semakin berkurang penggunanja. Saja tidak jakin ada penulis di wilajah jang dulu disebut Indochine itu jang berkarja dalam bahasa Prantjis. Untuk bekas djadjahan Prantjis saja lebih suka berpaling ke Maghreb, tiga negara Afrika utara, jaitu Maroko, Aldjazair dan Tunisia. Terutama karena pendidikan tinggi tiga negara ini berlangsung dalam dua bahasa: bahasa Arab dan bahasa Prantjis. Bahkan sastrawan Maroko Bensalem Himmich menulis roman setjara ber-ganti2, dalam bahasa2 Prantjis dan Arab.
Indonesia djelas tidak mengalami perkembangan seperti itu. Bahasa Belanda sekarang sudah benar2 tidak digunakan di Indonesia. Tidak ada satupun penulis Indonesia zaman sekarang jang berkarja dalam bahasa bekas pendjadjah itu. Memang dulu pernah ada penulis2 seperti Kartini, Noto Soeroto dan Soewarsih Djojopoespito jang menulis dalam bahasa Belanda, bahkan karja2 mereka diakui di Belanda sebagai karja sastra Indonesia jang ditulis dalam bahasa Belanda. Karena tidak ada lagi penulis Indonesia jang menulis dalam bahasa Belanda, maka tiga penulis itu lajak dianggap sebagai perketjualian. Bagi saja karja2 bahasa Belanda mereka tidak lebih dari ketjelakaan sedjarah belaka.
Mengapa Indonesia merupakan satu2nja bekas djadjahan di dunia jang tidak berbahasa pendjadjah? Mengikuti fanatisme historis jang saja bawa dari tanah air, semula saja jakin bahwa nasionalisme Indonesia berhasil mengusir Belanda dan semua jang sifatnja ke-belanda2an. Saja djuga jakin bahwa berkat Soempah Pemoeda jang ditjanangkan pada tahun 1928, bahasa Belanda dengan sengadja tidak digunakan oleh para pemuda pentjetusnja. Para pemuda waktu itu mentjetuskan sumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu: Indonesia. Tapi sedikit demi sedikit saja tanggalkan kepertjajaan jang tidak punja dasar historis ini.

Pertama, saja dapati bahwa Soewarsih Djojopoespito menulis novel Buiten het gareel (kira2 berarti ‘Di luar kendali’) pada tahun 1940, 12 tahun sesudah Soempah Pemoeda. Bukankah, kalau setia pada Soempah Pemoeda, penulis perempuan ini seharusnja berkarja dalam bahasa Indonesia? Mengapa ia tetap menulis dalam bahasa Belanda, padahal novelnja itu penuh gelora nasionalisme? Kemudian saja djuga sadar bahwa kakek-nenek dahulu tetap berbahasa Belanda sampai mereka meninggal dunia, bahkan saja memperoleh warisan bahasa pendjadjah itu, sesuatu jang istimewa karena generasi saja tidak lagi berbahasa Belanda. Dengan dua hal ini sadja saja jakin bahwa Soempah Pemoeda bukan alasan jang masuk akal bagi lenjapnja bahasa Belanda dari bumi Indonesia. Kalau begitu apa sebenarnja alasan historis sehingga bahasa Belanda tidak digunakan lagi di Indonesia?
Di tengah pentjarian itu saja menonton wawantjara dengan Benedict Anderson dalam VPRO, televisi Belanda (antara 29:20 dan 21:41). Pakar nasionalisme jang sangat terkenal ini antara lain berkata bahwa Indonesia adalah satu2nja djadjahan di dunia jang diperintah tidak menggunakan bahasa Eropa. Bahkan menurutnja dulu itu Indonesia bukan didjadjah oleh negara, melainkan oleh perusahaan, jaitu VOC. Wawantjara ini segera membuka mata saja.
Berawal dengan perusahaan dagang, VOC menguasai Hindia Timur dengan prinsip menekan biaja serendah mungkin. Itulah prinsip dunia usaha. Kapanpun dan di manapun ongkos harus selalu ditekan serendah mungkin, supaja bisa meningkatkan laba dan menghindari rugi. Tentu sadja masih ada tjara2 lain jang ditempuh VOC untuk menumpuk keuntungan, misalnja monopoli jang direbutnja dengan kekerasan. Dari pelbagai beleid VOC itu djelas tidak ada peluang untuk menjebarkan bahasa Belanda. Penjebaran seperti itu akan makan biaja besar. Lebih murah mewadjibkan pegawai VOC beladjar bahasa Melajoe, tjikal bakal bahasa Indonesia. Anderson benar: Hindia Timur merupakan satu2nja koloni di dunia jang diperintah tidak dalam bahasa Eropa. Sekali lagi, ini karena Hindia pada awal mulanja didjadjah oleh perusahaan dagang, bukan oleh negara. Ketika VOC bangkrut pada achir abad 18, baru Belanda sebagai negara mengambil alih Hindia, tapi ini dilakukan oleh pusat pemerintahan di Den Haag hanja dengan melandjutkan politik bahasa VOC. Tentu sadja dengan sedikit variasi (misalnja orang2 Eropa di Batavia wadjib berbahasa Belanda, padahal bahasa Portugis waktu itu merupakan bahasa kedua di ibukota, setelah bahasa Melajoe); tetapi intinja tetap sama: bahasa Belanda tidak disebarkan. Sekali lagi itu adalah politik bahasa jang murah. Lebih murah mengadjarkan bahasa Melajoe kepada orang Belanda, ketimbang sebaliknja: menjebarkan bahasa Belanda kepada penduduk koloni.
Alhasil tjalon amtenar kolonial wadjib beladjar bahasa Melajoe, dengan bahasa Djawa (bahasa kedua jang paling banjak penggunanja di wilajah djadjahan) sebagai pilihan. Ketika masih berupa pendidikan kedjuruan pada abad 19 kedua bahasa diadjarkan di Delft, dan ketika sudah berubah mendjadi pendidikan akademis kedua bahasa (termasuk hukum adat dan pelbagai pengetahuan lain tentang wilajah koloni) diadjarkan di universitas Leiden, pada fakultas jang bernama Indologie, bisa disebut sebagai tjikal bakal kadjian Indonesia zaman sekarang.
Sebagai pendjadjah extraktif jang terus2an menguras, Belanda tidak pernah mewadjibkan Hindia menggunakan bahasanja. Dalihnja Hindia sudah punja lingua franca jaitu bahasa pengantar dan itu adalah bahasa Melajoe. Padahal, terhadap Maghreb jang sudah punja lingua franca bahasa Arab, Prantjis tetap mewadjibkan bahasanja. Wilajah djadjahan harus berbudaja seperti negeri induk, demikian makna politik pendjadjahan Paris jang mereka sebut mission civilisatrice alias missi pemberadaban jang berarti penjelenggaraan pendidikan, termasuk penjebaran bahasa Prantjis di wilajah koloni. Digagas oleh Leroy Beaulieu pada 1874, Paris mulai meluntjurkan politik ini pada 1890. Bahasa Prantjis djuga harus dipergunakan di wilajah djadjahan. Ini berarti bahasa Prantjis berkesempatan untuk mengakar di wilajah koloni. Karena itu walaupun achirnja Maghreb merdeka, sampai sekarang bahasa Prantjis tetap merupakan bahasa kedua di bekas djadjahan itu, sesudah bahasa Arab. Itu djuga merupakan bahasa penghubung Maghreb dengan dunia internasional. Hal serupa djuga dilakukan oleh Inggris, Spanjol dan Portugal pada djadjahan2 mereka di manapun djuga.
Belanda jang tak henti2nja mengeruk Hindia, antara lain melalui Tanam Paksa pada abad 19, baru pada awal abad 20 sadar perlunja penjebaran bahasa, tatkala kolonialismenja bertjorak Politik Etis. Saat itu Den Haag melihat bahwa bahasa2 Prantjis, Inggris, Spanjol sudah mendjadi bahasa pengantar di banjak wilajah dan benua. Den Haag tergugah dan ber-tanja2 mengapa wilajah koloni terbesar mereka tidak berbahasa Belanda? Djelas Belanda tidak mau ketinggalan! Maka bahasa Belanda mulai diadjarkan di H.I.S. (Hollandsch Inlandsche School) sekolah dasar untuk bumiputra jang dibuka tahun 1914, menjusul dibukanja H.C.S. (Hollandsch Chinese School), sekolah dasar untuk kalangan Tionghoa pada 1908. Djelas ini langkah jang terlambat, lagi pula ternjata upaja penjebaran itu tjuma setengah hati.
Sebenarnja selain membuka pendidikan di wilajah djadjahan, Politik Etis djuga menaklukkan wilajah2 lain, apa jang disebut buitengewesten jaitu wilajah2 luar Djawa. Misalnja Bali atau Atjeh baru dikuasai Belanda pada awal abad 20. Untuk itu Belanda butuh sumberdaja, sehingga tidak bisa sepenuhnja digunakan untuk membiajai pendidikan ketika mendirikan H.I.S. Tapi djelas banjak wilajah luar Djawa jang tidak sampai 100 tahun didjadjah Belanda.
Bahasa Belanda hanja diadjarkan kepada kalangan elit, itupun tjuma sebagai bahasa kedua, bukan bahasa pengantar di sekolah. Artinja djam peladjaran bahasa Belanda di H.I.S. lebih sedikit djika dibandingkan dengan E.L.S. (Europeesche Lagere School), sekolah dasar untuk anak2 kulit putih keturunan Eropa. Sudah dibuka sekitar seabad sebelumnja, persisnja pada 1817, E.L.S. sepenuhnja berlangsung dalam bahasa Belanda. Harus ditjatat, kadang2 memang ada perketjualian, E.L.S. menerima murid bumiputra jang sepenuhnja dididik dalam bahasa Belanda. Tentu sadja dia bukan rakjat djelata, melainkan anak bangsawan terpandang dan punja koneksi dengan pedjabat kolonial. Salah satunja adalah Kartini jang berkat didikan E.L.S. mendjadi begitu mahir berbahasa Belanda, seperti terbukti dari surat2 jang dikirimnja kepada sahabat pena di Belanda. Djelas Kartini merupakan perketjualian, djuga karena dia begitu berbakat dan tidak mengalami kesulitan untuk beladjar bahasa asing. Di luar Kartini dan adik2nja, bahasa Belanda tetap merupakan bahasa elit di hadapan massa inlanders, bumiputra Hindia.

Maka terlihat bahwa sampai pendudukan Djepang pada tahun 1942 bahasa Belanda diadjarkan belum sampai 30 tahun kepada bumiputra Nusantara. Karena itu bahasa pendjadjah tidak pernah mengakar di Indonesia. Setjuwil lapisan elit jang fasih bertutur kata dalam bahasa Belanda berlalu ditelan zaman, mereka djuga tidak akan mampu menurunkan bahasa pendjadjah ini kepada generasi berikut. Sekali lagi, dalam hal ini kakek-nenek saja merupakan perketjualian, hanja saja jang memperoleh warisan bahasa Belanda dari mereka. Djangankan generasi saja, adik2 saja sadja tidak memperoleh warisan itu, hanja karena mereka tinggal bersama orang tua kami jang tidak punja waktu untuk mengadjari mereka bahasa Belanda. Orang tua menitipkan saja pada kakek nenek karena sekolah saja lebih dekat dari rumah orang tua ibu ini. Tak pelak lagi, kemerdekaan Indonesia setelah berachirnja pendjadjahan Djepang djuga berarti bahwa dunia pendidikan Indonesia tidak lagi berlangsung dalam bahasa Belanda.
Menariknja, di djadjahannja jang lain dengan penduduk tidak sebanjak Nusantara, jaitu Suriname di Amerika Latin serta di kepulauan Karibia, Belanda djustru menjebarkan bahasanja. Dalihnja lantaran berbeda dengan Hindia Timur, Hindia Barat (begitu sebutan Suriname dan Karibia) tidak memiliki lingua franca. Itu bisa sadja benar, tapi seandainja penduduk Hindia Barat sama banjaknja dengan Hindia Timur, sangat patut dipertanjakan Belanda akan bermurah hati untuk tetap menjebarkan bahasanja. Bisa2 wilajah ini malah didorong untuk berbahasa Spanjol sadja, seperti negara2 Amerika Latin lain.
Jang djelas politik bahasa tanpa visi masa depan ini telah gagal mendjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa internasional. Hanja digunakan di Belanda, Vlaanderen, Suriname, dan kepulauan Karibia, pengguna bahasa Belanda sekarang tidak sampai 25 djuta orang. Bajangkan kalau Indonesia djuga menggunakan bahasa Belanda, seperti Maghreb jang berbahasa Prantjis, maka pengguna bahasa Belanda bisa mentjapai 300 djuta orang, djumlah jang tidak ketjil! Bahkan orang Belanda bisa berbangga memiliki bahasa internasional. Kesempatan untuk itu pernah ada, tapi sajang mentalitas VOC tidak menjebabkan orang2 Belanda punja wawasan djangka pandjang atau masa depan.
Menariknja, pada tahun 1939, seorang gurubesar Prantjis sudah meramalkan nasib buruk bahasa Belanda di koloni terbesarnja ini. “Cinquante ans après, le hollandais aurait cessé de jouer un rôle social, qu’il soit, dans ce qui pendant plus de trois siècles aurait été territoire néerlandais”, demikian tegas George-Henri Bousquet dalam bukunja jang berdjudul La politique musulmane et colonial des Pays-Bas tentang politik pendjadjahan Belanda di Nusantara. Kalimat kutipan di atas kira2 berarti: “50 tahun mendatang bahasa Belanda akan tidak punja peran sosial lagi di wilajah jang sudah selama 300 tahun merupakan wilajah Belanda”. Tentu sadja Bousquet bermurah hati, karena ramalan djitunja bahwa bahasa Belanda kehilangan peran di Indonesia sudah terdjadi pada tahun 1970an, djelas lebih dini dari jang diramalkannja.
Alhasil kalau sekarang wisatawan Belanda berkundjung ke Indonesia mereka sudah merasa senang mendengar “handuk”, “asbak”, “knalpot”, atau kata2 Belanda lain jang diserap masuk ke dalam bahasa Indonesia. Mereka tidak tahu bahwa djumlah kata2 serapan dari bahasa Belanda itu sebenarnja menjusut, karena siapa jang kini masih tahu makna korting? Sekarang orang lebih memilih diskon. Begitu pula “DP” singkatan orang Indonesia untuk “down payment”, jang sekarang menggeser persekot (aslinja “voorschot”, padahal kita punja istilah “uang muka”!). Sementara itu untuk bisa bertegur sapa dengan orang Indonesia, wisatawan Belanda harus menggunakan bahasa ketiga, tentu sadja bahasa Inggris.
Betapa berbeda dengan warga Maghreb, Mali atau bekas wilajah djadjahan Prantjis lain di muka bumi ini. Mereka tetap fasih berbahasa Prantjis, sehingga mereka tidak perlu mentjari bahasa ketiga untuk bertegur sapa dengan turis Prantjis jang datang berkundjung. Sebaliknja, djika berkesempatan datang ke Prantjis mereka djuga langsung bisa berkomunikasi dalam bahasa itu.
Belum lagi setahun menetap di Paris tanpa dokumen, Mamoudou Gassama sudah fasih berbahasa Prantjis. Achir mei lalu Gassama mendjadi terkenal di seluruh dunia karena tindakan heroiknja menjelamatkan anak ketjil jang akan djatuh dari rumah susun empat tingkat di Paris. Keesokan harinja Gassama diundang beraudiensi dengan presiden Emmanuel Macron di istana Elysée, dan tentu sadja mereka bertegur sapa dalam bahasa Prantjis. Ini karena bahasa Prantjis tetap digunakan di Mali, negeri asal Gassama. Selain piagam penghargaan ia djuga memperoleh izin tinggal untuk menetap di Prantjis, dia djuga mendapat pekerdjaan pada dinas pemadam kebakaran Paris. Pasti tidak ada pendatang Indonesia jang belum lagi setahun menetap di Belanda sudah begitu fasih berbahasa bekas pendjadjah, sefasih si pemuda Mali itu berbahasa Prantjis, selengkap apapun dokumen jang dimiliki si pendatang Indonesia. Tentu sadja lulusan sastra Belanda akan merupakan perketjualian.

***
Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa tidak pernah terdjadi persaingan antara bahasa Belanda dengan bahasa Melajoe (kemudian mendjadi bahasa Indonesia) di bumi Nusantara. Bahasa pendjadjah tidak pernah mendesak bahasa pengantar penduduk wilajah djadjahan. Mereka tetap bisa bertutur kata dalam bahasa Melajoe, tanpa kewadjiban bertutur kata dalam bahasa pendjadjah. Memang orang Belanda mendirikan Balai Poestaka (Instituut voor volkslectuur) jang selain menerbitkan buku2 berbahasa Melajoe dan bahasa daerah lain, djuga mengatur bahasa pengantar pribumi ini. Balai Poestaka bertugas mengawasi penggunaan edjaan Van Ophuysen jang mulai diterapkan pada tahun 1900. Tapi itu tidak terlalu dirasakan sebagai pembatasan bahasa, karena bahasa Melajoe tetap boleh dipakai. Ini djelas berbeda dengan wilajah dan kendali pemerintahan Indonesia. Belanda selalu dinilai menduduki wilajah dan memegang kendali pemerintahan, bahkan disebut selama ber-abad2. Kalau Soempah Pemoeda memiliki tiga unsur jaitu tanah air, bangsa dan bahasa, maka pada kenjataannja hanja tanah air dan bangsa jang dianggap didominasi oleh pendjadjah. Pada zaman itu orang Indonesia jang disebut Inlanders alias bumiputra merupakan warga kelas tiga, setelah orang Eropa dan kalangan Vreemde Oosterlingen atau Timur Asing jaitu Arab, Keling (India) dan Tionghoa. Bahasa tidak dirasa kena dominasi. Ini penting sekali, karena inilah kuntji untuk mendjelaskan masalah nasionalisme bahasa dan ketjenderungan ke-inggris2an jang belakangan semakin meluas.
Bahasa Indonesia selalu digunakan oleh warga Nusantara. Bahkan bahasa Indonesia tidak pernah bersaing dengan bahasa Belanda. Itu artinja bahasa Indonesia selalu ada di bumi Nusantara, bahasa ini tidak pernah tidak digunakan. Orang Indonesia djuga tidak pernah dipaksa untuk menggunakan bahasa Belanda atau bahasa asing lain. Di sini saja berani menegaskan bahwa politik bahasa seperti ini membuat orang Indonesia tidak punja nasionalisme bahasa.
Harus diakui orang Indonesia selalu begitu sensitif dengan wilajahnja. Tatkala Mahkamah Internasional di Den Haag, pada desember 2002, mengakui kedaulatan Malaysia atas pulau2 Sipadan dan Ligitan, chalajak Indonesia marah sangat besar dan berteriak sampai suara parau “NKRI harga mati”. Mereka merasakan antjaman besar terhadap keutuhan wilajah Indonesia. Sebelum itu teriakan seperti ini djuga sudah terdengar pada bulan september 1999, ketika 78,5% rakjat Timor Timur memilih tjabut dari Indonesia. Soal wilajahnja, orang Indonesia djelas begitu super nasionalis. Begitu pula soal pemerintahannja. Bukankah sudah ber-kali2 pemerintah (siapapun presidennja) dikritik kena pengaruh asing? Perhatikan sadja soal hutang luar negeri Indonesia jang belakangan ber-kali2 dilontarkan terhadap presiden Jokowi.

Nah, jang tidak pernah dikritik adalah pengaruh bahasa asing. Padahal betapa orang zaman sekarang selalu keminggris, mentjampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, bukan sadja dalam bertutur kata, tapi djuga dalam tulisan. Sekarang siapa sadja keminggris, orang biasa begitu, apalagi pedjabat. Artinja kalau dalam soal wilajah dan pemerintahan orang Indonesia begitu nasionalis, bahkan nasionalis fanatik, maka dalam soal bahasa ini orang Indonesia djustru dengan sadar bahkan serakah memasukkan unsur2 asing, dengan sengadja mentjampur aduknja dengan bahasa kita. Mengapa begitu?
Sekali lagi, di atas saja melihat gedjala ini sebagai bukti bahwa orang Indonesia tidak punja nasionalisme bahasa. Tapi kemudian saja sadar bahwa memang bahasa Indonesia tidak pernah merupakan masalah bagi orang Indonesia. Kolonialisme Belanda dulu lebih dirasa menimpa wilajah dan pemerintahan (tanah air dan bangsa) dan tidak begitu menimpa bahasa. Bahasa Indonesia memang pernah di-kobok2 oleh pendjadjah, tapi bahasa ini selalu ada, selalu dipakai oleh orang Indonesia, tidak pernah orang Indonesia dipaksa menggunakan bahasa lain, apalagi bahasa asing. Karena itu orang Indonesia tidak punja nasionalisme bahasa, dan dengan begitu mereka djuga tidak merasa risi untuk mentjampur aduk bahasanja dengan bahasa asing. Di sini djelas bahwa walaupun memang tidak memiliki nasionalisme bahasa, orang Indonesia tidak akan merasa perlu untuk memiliki nasionalisme seperti itu.
Maka ketjenderungan keminggris atau ke-inggris2an jang sekarang sudah begitu meluas tampaknja tidak akan pernah bisa dibendung. Mungkinkah suatu ketika akan muntjul kesadaran umum bahwa sudah terlalu banjak kata Inggris jang menetap dalam bahasa Indonesia? Atau djustru bahasa nasional itu kelak akan bernama Indoglish? Entahlah, saja tjuma bisa berharap tidak akan pernah mengalami zaman seperti itu.
Referensi:
Kees Groeneboer (1993): Weg tot het Westen, het Nederlands voor Indië 1600-1950, een taalpolitieke geschiedenis, Leiden, KITLV Uitgeverijen. ISBN 90 6718 063 7.
Heel goed Bung Joss, saya juga risi mendengarkan orang-orang di TV yang keminggris. yang serampangan saya kategorikan bahasa Indonesia pasaran. Hemat saya problim bahasa ini tidak berkaitan dengan masalah identitas nasional(isme) tetapi lebih berkaitan dengan gaya menionjolkan diri sebagai orang terpelajar (untuk tidak menghina intelektual). Jika dalam buku saya saya menggunakan termi Bhs Inggris karena tidak menemukan padanan dalam Bhs Indonesia. Sama halnya dalam papers banyak saya gunakan pula term Bhs Arab Al-Qur’an. Saya sependapat dengan pandangan Bg Joss tentang hal ini. Hanya perlu di ingat identitiet nasional(isme) Indonesia sedang dibangun bersama-sama perlu waktu yang masih panjang.
“Meat and Great”
Daging gedhi.
Ha, ha.
Sangat menggugah, trims mas Joss.
Sama2, M Fachril Jabbar Baskara. Muga engga kesulitan batja tulisan dalem edjaan Suwandi.