Pelbagai kenangan jang muntjul di djedjaring sosial meratapi kepergian pater Adolf Heuken (lafal ‘hoiken’) jang berpulang 25 djuli itu kebanjakan bersifat pribadi. Mereka jang mengenang almarhum kebanjakan kenal sang rohaniwan dan kebanjakan djuga memudji keahliannja dalam bidang sedjarah Batavia-Djakarta. Ada jang menulis bagaimana almarhum begitu disiplin mendjaga koleksinja, sehingga koleksi itu tidak boleh dibawa keluar perpustakaan. Ada pula jang menulis sesudah mewawantjarai pater keturunan Djerman ini, segera dia tahu betapa sang rohaniwan begitu prihatin dengan pengetahuan sedjarah generasi muda Djakarta atas kota mereka. Karena tidak sadar nilai sedjarah itu, demikian sang pater melantunkan kechawatirannja, ketika besar mereka akan dengan gampang merobohkan bangunan2 bersedjarah ibukota.

Berlainan dengan mereka jang menulis kenangan itu, aku tidak kenal almarhum, aku djuga tidak pernah bertemu dengannja. Walau begitu, aku tetap akan menulis tentang beliau, menulis sematjem obituari. Alesanku: karena Adolf Heuken pernah mengambil langkah ‘ketjil’ jang berpengaruh pada sepak terdjang orde bau. Begini tjeritanja.
Aku tahu pertama kali tentang Adolf Heuken (1929-2019) setelah menonton sebuah dokumenter di televisi Belanda jang disiarkan pada tanggal 1 oktober 2015. Hari2 itu persis ulang tahun setengah abad peristiwa G30S jang mengorbankan tudjuh orang pahlawan Revolusi, jang kemudian disusul dengan pembantaian massal kalangan komunis dan mereka jang diindikasi kiri. Pers Belanda, baik tjetak maupun elektronik, ramai memberitakan peristiwa ini untuk ikut memperingati 50 tahun usianja. Aku sempat menulis sematjem tindjauan pers tentang ramainja pemberitaan itu.
Nah, ada satu tajangan dokumenter jang bertutur tentang seorang rohaniwan katolik bernama Joop Beek, seorang Belanda anggota ordo Jesuit. Di situlah muntjul pater Adolf Heuken. Dalem dokumenter berdurasi sekitar 50 menit itu kemuntjulan pater Heuken lumajan prominen. Tidak sadja diagihkan waktu tiga menit persis baginja (tokoh2 lain tidak sepandjang itu), tetapi djuga pendapatnja: Adolf Heuken bersuara sangat kritis terhadap Joop Beek, sesama anggota Serikat Jesus, ordo Jesuit dalam bahasa Indonesia. Bahkan Heukenlah satu2nja suara kritis dalam dokumenter itu. Kalau tokoh2 lain jang nongol dalam dokumenter itu begitu penuh pudja dan pudji pada Joop Beek, dan itu adalah tokoh2 jang membidani lahirnja orde bau seperti Liem Bian Kie (sekarang Jusuf Wanandi) dan Harry Tjan Silalahi, maka Adolf Heuken djustru sangat kritis terhadap Beek.
Sikap kritis itulah jang sangat menondjol dan berikut ringkasan wawantjara dalam dokumenter tersebut. Peran almarhum Adolf Heuken dalam menghadapi Joop Beek pantas dibuka, djuga pada publik tanah air.
Pater Adolf Heuken jang sampai achir hidupnja menetap di Djakarta, kenal Joop Beek sangat dekat. Waktu itu mereka masih sama2 berkantor di djalan Gunung Sahari, tapi harus pindah ke djalan M. Yamin di Menteng, karena kerdja politik Joop Beek menuntut lokasi jang tidak begitu mentjolok. Aart Zeeman, wartawan Belanda pembuat dokumenter itu bertanja, kenapa harus pindah? Dengan tegas pater Heuken mendjawab, “Supaja orang tidak bisa dengan mudah mengamati aktivitas Beek”.
Ketika ditanja lebih landjut, pater Heuken menegaskan, sebenarnja seorang rohaniwan katolik tidak boleh terlibat politik praktis. Dia langsung pula menjebut bahwa kegiatan Beek sangat politik praktis. Misalnja Beek menulis pidato harto, dia djuga melobi si tjalon orang kuwat supaja mau diwawantjarai televisi Belanda, untuk kemudian menulis djawaban jang harus dilontarken harto dalam wawantjara itu. Menurut pater Heuken, geredja katolik setjara keseluruhan harus mengambil djarak dari harto. Tidak boleh begitu dekat. “Soeharto membunuh hampir setengah djuta orang,” tegasnja, “Dengan begitu orang tidak bisa bekerdjasama dengannja.”
Zeeman bertanja tahukah Joop Beek bahwa harto bertanggung djawab bagi pembunuhan begitu banjak orang? Pater Heuken mendjawab penuh kejakinan, “Tentu sadja dia tahu. Kalau orang sedikit tahu apa jang terdjadi, maka pasti dia tahu. Tentu sadja Joop Beek tahu!”
Aart Zeeman bertanja terus, kalau begitu mengapa dia terus bekerdja sama dengan harto? Pater Heuken tahu alasannja. “Dia telah menolong kita dari bahaja komunis. Tiongkok sudah komunis, Vietnam terus Kambodja sudah komunis. Timor Timur dikira bakal menjusul, semuanja djadi merah”. Di sini Heuken menundjuk pendapat jang waktu itu berlaku bahwa banjak negara Asia Tenggara jang akan mendjadi komunis. Indonesia djuga punja partai komunis jang kuat, dan satu2nja pihak jang bisa menghalanginja adalah kalangan militer. Demikian kira2 pemikiran jang dianut Joop Beek.
Pemikiran seperti itu tidak disetudjui oleh pater Adolf Heuken. “Seorang pastor tidak boleh bekerdja seperti itu!” Heuken menjatakan dia sempat bertengkar dengan Joop Beek, dan Beek harus pindah lagi ke tempat lain.
Pater Heuken kemudian memutuskan untuk menulis surat kepada petinggi Jesuit di Roma. Dalam surat itu dia memperingatkan pembesar di Roma akan aktivitas politik Joop Beek. “Kebetulan ada orang dari Roma jang datang ke sini. Kepadanja saja minta supaja membawa surat itu, dia bersedia,” demikian Adolf Heuken kepada wartawan Belanda Aart Zeeman. Pemimpin tertinggi ordo Jesuit di Roma langsung melarang Joop Beek berpolitik praktis. “Dia tahu bahwa ini tidak bisa,” tegas Heuken. Heuken mengaku menjesal harus membawa masalah ini sampai ke Roma, ke kantor pusat Jesuit, tidak bisa menjelesaikannja sendiri di Djakarta. Tapi dia sadar masalah itu memang tidak mungkin bisa diselesaikan di Djakarta. Sesudah itu Adolf Heuken masih berusaha menghubungi Joop Beek, “Kita harus bitjara,” begitu adjaknja. Tapi Joop Beek menolak, “Tidak!” Pater Heuken angkat bahu, “Ja sudah kalau itu maumu,” begitu katanja kepada wartawan Belanda Aart Zeeman.
Maka terlihatlah di sini berkat tjampur tangan Adolf Heuken, Joop Beek tidak lagi berhubungan erat dengan orang kuwat orde bau.
Satu pemikiran pada ““Adolf Heuken versus Joop Beek: pastor tidak boleh berpolitik praktis” oleh Joss Wibisono”